Limolas - Membuang Berlian Demi Batu Apung
Setelah mengantarkan dua penumpang pagi ini, Dika berhenti di pangkalan. Namun, sepertinya datang ke sini bukan keputusan yang baik, sebab di bangku sudah ada ketiga temannya yang siap menggoda Dika.
"Nah, pengantin baru kita muncul." Sofyan menyingkir dari tempat duduknya. "Kasih tempat biar teman kita bisa istirahat."
"Kok, nggak lemes, Dik? Kamu beneran minum telur ayam kampung?" tanya Joko polos. Mendengar itu, rasanya Dika ingin menyumpal mulut Joko pakai telur.
"Betah berapa ronde, Dik? Bagi tipsnya sama aku, dong." Anwar tak mau kalah.
Dika mengibas tangannya supaya Anwar dan Joko menjauh. "Otak kalian kotor semua, ya. Nggak ada gitu-gituan! Dikasih tidur sekasur aja udah syukur."
"Dika, jangan bercanda kamu! Masa, iya kamu nggak ngelakuin itu sama Hani?" seru Anwar.
"Buat apa bercanda soal beginian? Nggak ada untungnya." Dika mendengkus. Asli gemas dengan Anwar. "Lagian, otakmu, tuh, yang perlu dicuci pake air wudu. Dipikir aku nikah cuma buat gituan!"
"Pantesan kamu nggak lemes," kata Joko datar. "Tapi, masa kamu nggak kepengen gitu? Apalagi tidur sekasur."
"Ya, ada tegangnya dikit, sih." Dika menggaruk tengkuknya. Halo, Dika ini laki-laki normal. Di hadapkan perempuan cantik paripurna seperti Hani, ya, masa tidak kesetrum? Dika harus menahan diri sebisanya. Lagi pula, ini baru hari pertama, masa mau menyerah? "Ya, tapi, kan, aku nggak mungkin maksa."
"Sekarang kamu masih bisa tahan, Dik. Kalo nanti, nggak tau, deh," ujar Sofyan. "Sekarang tugasmu bikin dia jatuh cinta sama kamu, bikin dia nyaman. Sekuat-kuatnya iman kamu, pasti bakal ada keplesetnya juga, apalagi udah boleh. Nah, sebelum itu terjadi, kamu udah bisa dapetin hatinya duluan."
"Si Hani nggak waras," sela Joko. "Buat apa nikah kalo nggak mau dipegang-pegang? Untung nikahnya sama kamu, Dik. Kalo sama aku, udah tak perkosa."
"Joko sinting!" sahut Anwar. "Tapi, ada benernya, sih. Hani, tuh, cantik, pasti dalemnya legit."
"Heh, sama aja!" Dika menoyor kepala Anwar. Tidak terima jika temannya satu ini membayangkan yang iya-iya tentang Hani. "Awas kalo berani ngomong gitu, aku beneran mau jejelin mulut kamu pake telur!"
"Hani!"
Buru-buru Hani menutup mulut Ayu yang sudah menghebohkan pengunjung kantin lainnya. Memang salah menceritakan itu di ruangan terbuka, Ayu pasti akan heboh seperti sekarang.
"Diem!" Ayu menarik paksa tangan Hani dari mulutnya. Matanya tajam menatap Hani. "Kamu, tuh, Ya Allah ... bener-bener pengin tak ajak ke laundry biar otakmu bersih. Hani, kamu itu sebentar lagi bangunin singa tidur. Kalo nggak mau diapa-apain, kenapa nggak pisah kamar sekalian?"
"Mau tidur di mana emangnya? Cuma ada satu kamar." Hani berkata jujur. Kontrakan itu hanya tersedia satu kamar. Mana mungkin Hani tega membiarkan Dika tidur di tikar.
"Kan, bisa kamu di atas dia di bawah!"
Hani langsung membekap mulut Ayu lagi karena suaranya terdengar kencang saat mengucapkan kalimat itu.
"Nggak usah keras-keras!" Hani menempelkan jari telunjuknya di bibir sebentar. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Sumpah, Ayu memang tidak bisa menjaga mulutnya. "Nggak mungkin, lah, Yu. Aku nggak tega. Lagian, aku percaya kalo Dika nggak akan ngapa-ngapain aku."
Ayu melepas bekapan itu dengan paksa. Bibirnya sudah tidak tahan ingin memberikan siraman kalbu untuk Hani. "Percaya, sih, percaya, Han, tapi kamu harus ingat dia bukan malaikat. Han, kalau dalam pernikahan ini kamu ngerasa dia makin baik, makin sabar sama kamu, jangan sampai kamu lepasin dia. Nyari cowok kayak Dika, tuh, susahnya nauzubillah, Han. Jangan sampai aku denger kamu berulah. Kalo sampe itu terjadi, aku nggak mau nolongin kamu."
"Bener, nih, kamu nggak mau nolongin aku?"
"Aku serius, Han." Ayu membetulkan letak kacamatanya. Kemudian menarik napas. "Kalau kamu masih anggap ini main-main, ya, jangan salahkan takdir kalau akhirnya Dika ninggalin kamu."
"Dari kemarin kamu ngomongin itu mulu, sih, Yu. Dika nggak mungkin ninggalin aku!" Hani mulai kelihatan gusar.
"Karena di pernikahan ini, dia doang yang ngalah, Han. Sadar nggak? Kamu minta syarat satu ranjang, tapi nggak boleh saling sentuh, dia nurut aja, kan? Apa namanya kalo bukan ngalah? Belum lagi yang lain. Ayolah, Han, coba kasih dia hati kamu, jatuh cinta sama dia. Kamu hidup tenang habis itu. Aku jamin itu."
Hani diam. Tidak, dia tidak bisa memberikan hatinya ke siapa pun---termasuk Dika---selama masih ada Pram yang menguasai. Tidak semudah itu Hani menghapus jejak mantan kekasihnya. Semuanya butuh waktu dan Hani tidak tahu sampai kapan.
Lantas, bagaimana dengan Dika? Apa sekarang Hani sedang menumbuhkan harapan ke laki-laki itu?
"Makanan kamu udah habis belum? Kalo udah, ayo, balik! Aku masih ada kerjaan." Ayu sudah berdiri, bersiap untuk pergi. Sementara itu, Hani masih menghabiskan minumannya, lalu mengekori Ayu di belakang setelah piring dan gelasnya kosong.
Belum sampai di depan pintu, mata Hani menangkap sepasang suami istri yang berjalan dari arah berlawanan. Jantung Hani berhenti berdetak selama beberapa detik. Tangannya pun sudah dipegang erat oleh Ayu.
"Nggak usah kamu liatin. Ayo, jalan terus!"
Namun, Hani tidak menurut. Pandangannya terus mengarah kepada Pram yang menggandeng mesra tangan Kirana. Hawa panas mulai menyelimuti hati gadis itu. Mereka tampak bahagia. Hani tidak terima, tetapi dia tidak kuasa untuk mencegah semuanya. Pram sudah milik perempuan lain, begitu juga dengan dirinya sudah menjadi milik Dika.
"Hani?"
Kirana menyadari keberadaan Hani dan Ayu. Mendengar itu, Pram menoleh dan pandangan mereka bertemu. Hani terpaku. Apalagi saat Kirana dan Pram melangkah mendekatinya. Pegangan tangan Ayu semakin erat.
"Aku dengar kamu udah nikah sama tukang ojek yang biasa nganterin kamu itu. Bener?"
Hani masih mendengar suara Kirana. Ia segera menguasai diri untuk menjawab pertanyaan dari perempuan itu. Tentu saja kabar pernikahannya sudah menyebar luas. Hani tidak mempunyai celah untuk berbohong. "Iya."
"Kok, mendadak? Kamu dihamili sama dia?" tanya Kirana dengan alis terangkat sebelah.
Hani terbelalak. Memang benar pernikahannya mendadak, tapi kenapa pernikahan yang mendadak selalu dikaitkan dengan stigma buruk?
"Sembarangan kamu! Hani, tuh, cewek baik-baik. Tanya aja, tuh, sama laki-laki di sampingmu!"
Itu bukan Hani yang bicara, melainkan Ayu. Tentu saja Ayu tidak rela temannya dipandang buruk hanya gara-gara nikah mendadak.
Kirana menatap bengis ke arah Ayu. "Aku nggak ngomong sama kamu, ya, tapi sama temen kamu," kata perempuan itu seraya menunjuk Hani. "Oh, ya, Han, aku pikir setelah kamu diputusin sama Pram, kamu cari laki-laki yang kerjaannya lebih di atas Pram, tapi ternyata selera kamu rendahan."
"Ayo, Han, kita pergi!" Ayu sudah menggamit tangan Hani hingga tubuh gadis itu tersentak. Sebelum pergi, Ayu menatap tajam ke arah Pram.
"Pak Pram yang Terhormat, Bapak dengar, kan, istri tercinta tadi ngomong apa? Ternyata sama aja, Pak Pram sudah membuang berlian demi batu apung."
Tidak berhenti sampai di situ, kini Ayu memberikan tatapan menusuk ke arah perempuan berkulit putih yang telah berhasil menghancurkan mimpi Hani. Dari segi fisik, Kirana memang menang banyak. Tubuh ramping serta tinggi, kulit putih, wajah bersih, dan pakaiannya selalu modis. Meski tergolong karyawan baru di perusahaan ini, siapa sangka jika ternyata Kirana merupakan anak dari keluarga konglomerat. Dia sengaja bekerja karena katanya ingin membangun karier dari bawah. Ya, pantas ibunya Pram tidak berpikir panjang menerima Kirana.
"Saya kasih tau, ya, Bu Kirana, merebut pasangan dari orang lain itu hidupnya nggak akan bahagia."
Setelah itu, Ayu benar-benar menarik Hani keluar. Kalau di sana terus, tidak baik untuk kesejahteraan hati Hani.
Kirana kenapa, sih? 😌
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro