Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima - Seminggu yang Terpuruk


Seminggu setelah pertemuan dengan Pram, Hani sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Tidak pergi ke kantor, aktivitasnya hanya mandi dan salat, makan pun seperti tidak ada tenaga, hanya kemasukan air putih. Ayu sudah mencoba membujuknya melalui sambungan telepon, tapi bukan Hani namanya kalau tidak teguh pada pendirian.

Hani ingat, dia memilih masuk ke perusahaan iklan itu agar bisa satu tempat kerja dengan Pram. Sekarang ketika laki-laki itu memilih pergi, Hani tidak memiliki tujuan lagi. Hani tidak bisa membayangkan setiap hari matanya menonton Pram bersama perempuan lain. Hatinya tidak mungkin sekuat itu.

Hani masih denial. Menyangkal bahwa Pram sedang bekerja kemudian ketika sudah selesai ia akan menghubungi Hani seperti biasa. Di dalam kamar, Hani masih menunggu pesan-pesan romantis di ponsel dan Pram sebagai pengirimnya. Selama seminggu ini, Hani pun menunggu telepon dari Pram. Bahkan masih berani telepon lebih dulu, meski berakhir tidak diangkat.

"Kamu tega, Mas!" Hani melempar ponsel, kemudian meremas rambutnya. Bagaimana bisa delapan tahun dikalahkan oleh wanita yang baru dikenalnya satu bulan?

"Semuanya gara-gara kamu, Kirana! Mati aja kamu!"

Hani mulai menyalahkan Kirana. Andai perempuan itu tidak datang, Pram masih mau berjuang bersama Hani untuk mendapatkan restu ibunya. Andai perempuan itu tidak datang, Pram masih miliknya. Andai perempuan itu tidak datang, Pram tidak akan tertarik dengannya lalu mencampakkan Hani.

Kamarnya sudah tidak terbentuk lagi. Beberapa lembar tisu tercecer di lantai. Selimut dan bantal tak luput menjadi korban. Entah sudah berapa banyak air mata yang Hani keluarkan hanya untuk menangisi Pram, sampai matanya sakit dan bengkak. Delapan tahun berujung sia-sia, siapa yang tidak merasa kehilangan? Hani rasa semua perempuan akan seperti dirinya jika kenyataan tidak sesuai ekspetasi.

Hani tidak tahu sampai kapan akan seperti ini. Hani rasa hidupnya sudah tak berarti sejak Pram memutuskan untuk pergi. Hani masih ingat betul perjuangannya mendapati hati ibu dari laki-laki itu sejak usia hubungannya tiga tahun.


"Ibu mau ketemu sama kamu, Dek. Kamu mau, kan?"

Tentu saja Hani tidak akan menolak permintaan itu. Sudah tiga tahun dan Hani menanti momen itu datang. Dia sudah membayangkan Pram akan membawanya ke rumah, bertemu dengan ibu. Bukankah itu impian semua wanita?

Namun, saat tiba dan duduk di sofa ruang tamu, Hani justru merasakan aura menyeramkan. Tatapan Ibu terus mengintai setiap jengkal kulit Hani. Ke atas, ke bawah, lalu ke atas lagi. Hani sendiri bertemu dengan orang baru merasa gugup luar biasa.

"Siapa namamu?" Suara wanita setengah abad itu terdengar setelah tiga belas menit hanya memperhatikan.

Hani menelan ludah. Menggenggam jemarinya sendiri yang dingin. "Hani, Bu."

"Tinggal di mana?"

"Di Banyumanik, Bu. Ngekost."

Kening wanita itu berkerut. "Orang tuamu kerja apa? Ayahmu? Ibumu?"

Inilah pertanyaan tersulit bagi Hani. Mengalahkan rumus-rumus yang pernah ia pelajari. Hani tidak tahu pekerjaan orang tuanya. Pun tidak tahu rupa ayah serta ibunya.

Keringat dingin membanjir wajah Hani saat matanya melirik sang kekasih. Pram memberi kode supaya Hani mau menjawab apa adanya.

"Saya sudah tidak punya orang tua, Bu." Akhirnya bibir Hani berani mengeluarkan kalimat itu. Tentu dengan perasaan berkecamuk.

"Lho, terus sebelum ngekost kamu tinggal di mana?"

"Hani tinggal di panti asuhan—"

"Panti asuhan?" Nada bicara ibunya Pram naik beberapa oktaf. Berhasil membuat bulu kuduk Hani berdiri tegak. Bahkan kini Hani tidak berani menatap wajah wanita itu.

"Pram, kamu ini apa-apaan, sih? Masa kamu pacaran sama perempuan yang nggak jelas asal-usulnya! Kamu mau bikin malu keluarga?"

Hani terkesiap, tidak siap menerima perkataan sang ibu dari kekasihnya. Kata-kata itu sukses meruntuhkan pertahanan Hani yang awalnya senang bisa bertemu dengan ibunya Pram. Menghancurkan imajinasi yang ia bangun setelah mendengar ajakan laki-laki itu.

"Kamu tahu, Hani, Pram lahir dari keluarga terpandang. Semuanya harus seimbang. Kamu pasti paham, kan? Kamu nggak pantas jadi istri Pram!"

"Ibu, jangan bilang begitu." Pram bersuara membela kekasihnya. Membuat sang ibu menatap tajam.

"Ibu nggak suka, Pram! Asal-usul dia nggak jelas. Kamu emang nggak mikir, bisa jadi dia adalah anak hamil di luar nikah. Makanya dibuang ke panti asuhan."

"Ya Allah, Bu, dijaga mulutnya."

"Apa? Kamu mau melawan Ibu demi perempuan itu?"

Hening. Hani tidak bisa mengucapkan satu kata untuk membela diri. Hani juga tidak mau membuat ibu dan anak itu jadi bertengkar karena dirinya.

"Putusin dia sekarang! Ibu nggak mau lihat mukanya lagi!"

Suara itu terdengar menggelegar. Sanggup merobohkan benteng Hani. Lehernya seolah tercekik hingga kesulitan bernapas. Rusak sudah harapannya. Hancur sudah kereta bayangan indah bersama Pram. Ibu menolaknya secara terang-terangan, hanya karena Hani seorang anak dari panti asuhan.

"Aku nggak bisa, Bu. Aku cinta sama dia." Pram rupanya belum menyerah. Menyalakan setitik cahaya di dada sang kekasih. Pria berwajah manis itu memasang badan untuk melindungi Hani.

"Halah, cinta itu bisa luntur kalau kamu sudah bertemu dengan perempuan baru. Wis, to, manut sama Ibu."

"Aku tetep nggak bisa, Bu. Aku maunya sama Hani."

"Ya sudah kalau begitu Ibu juga nggak akan merestui kalau kamu masih kukuh sama dia!"

Dari situlah perjuangan dimulai. Atas dukungan Pram, Hani mulai berani meluluhkan hati Ibu. Pram mengatakan Hani adalah wanita yang pantas berada di sisinya. Hani cerdas, Hani bisa masak, Hani sama seperti perempuan lainnya. Tidak masalah asal-usulnya tidak jelas, yang penting kelak Hani bisa membawanya menuju kebahagiaan.

Rupanya Pram lupa pernah berkata seperti itu setelah bertemu dengan Kirana.


Hani memaksakan diri keluar pergi bekerja. Sudah lama cuti, Hani tidak mau menambah beban timnya jika terlalu lama libur. Lagi pula mau selamanya libur, tidak akan bisa mengembalikan Pram ke sisinya kembali. Hani harus tahu diri.

Pagi ini Hani memilih pesan taksi online daripada menghubungi Dika. Wajahnya masih sembap, Hani tidak mau Dika melihatnya dan menimbulkan pertanyaan. Rasanya belum siap menceritakan semuanya pada laki-laki itu.

Masuk ke ruangannya, Hani mendengar beberapa karyawan sedang membicarakan sebuah dresscode yang akan dikenakan saat kondangan. Namun, saat melihat Hani, ruangan mendadak hening. Hani tidak mau ambil pusing, ia memilih duduk di kubikelnya.

"Hani," panggil seorang perempuan berambut pendek. Namanya Zira. "Kamu seminggu nggak masuk gara-gara galau Pak Pram mau nikah sama Bu Kirana, kan?"

Hani mencengkeram ujung penanya. Memilih pura-pura tidak mendengar. Akan tetapi, pertanyaan Zira beberapa detik yang lalu sukses menyengat tubuh Hani. Tadi apa katanya? Nikah?

Spontan Hani memanjangkan lehernya ke kubikel Zira, dan ia menemukan sebuah undangan berwarna emas dengan ukiran renda bunga-bunga, berinisial P dan K di bagian sampulnya. Hani bangkit, berjalan sedikit hingga bisa menjangkau kertas itu. Dengan bola mata membesar, Hani membaca seluruh tulisan pada undangan tersebut. Kenyataan kembali mengempaskan perempuan itu. Di situ tertera jelas nama Pram dan Kirana.

Padahal belum lama Pram memutuskan mengakhiri hubungannya. Sekarang laki-laki itu sudah menyebar undangan dan Hani tidak mendapatkannya. Bahkan undangan ini merupakan desain yang Hani rancang untuk pernikahannya dengan Pram.

"Katanya kamu nggak direstui sama ibunya Pak Pram, ya, makanya Bu Kirana bisa langsung gaet Pak Pram?"

Mengabaikan Zira yang kembali mengoceh, Hani berlari kencang menuju toilet terdekat dan masih memegang undangan itu. Begitu tiba di sana, Hani mengunci pintunya. Tubuh kurusnya merosot bersamaan dengan luruhnya air mata. Dadanya sesak lagi. Gadis itu berusaha mengambil udara agar sesaknya hilang, tetapi yang didapat justru nyeri luar biasa. Hingga Hani memukul dadanya sangat kencang.

Sampai kemudian seseorang mengetuk pintu dari luar. Samar-samar Hani mendengar suara Ayu di sana. Hani bergegas bangkit, membuka pintu, lalu menubruk tubuh Ayu, menangis kencang.

"Han, kamu kenapa?" Ayu tampak kebingungan. Namun, melihat undangan yang juga ia terima, membuat Ayu paham kenapa Hani menangis. Siapa yang berani memperlihatkan benda itu akan Ayu patahkan lehernya.

"Sebenernya kamu diundang, Han, tapi undangannya aku simpan. Aku juga udah bilang ke anak-anak jangan sampai ada yang bocorin. Eh, si Zira laknat juga ternyata!" Ayu terus mengoceh seraya mengelus punggung Hani perlahan. Hatinya iba melihat sahabatnya yang terluka. Pram memang minta disunat sepuluh kali!

Sedikit tenang, Hani mengurai pelukannya. Lalu mengucek matanya yang basah. Mencoba mengambil napas dengan hidung tersumbat.

"Wis, kamu nggak usah datang. Biar kapok, tuh, si Pram berengsek!"

Hani menggeleng. "Aku harus datang, Yu. Biar Mas Pram tahu kalo aku baik-baik aja setelah dia pergi."

"Baik-baik aja dari mana?" Ayu menyelisik Hani dari atas sampai bawah. "Lihat ,nih, kamu habis nangis kayak gini mau dateng? Yang ada kamu dipermalukan di sana!"

"Aku tetap akan datang, sebagai bentuk menghargai karena udah diundang."

Ayu mengembuskan napas kasar. Hani dan keras kepala memang tidak bisa dipisahkan. "Kalo gitu sama aku berangkatnya, ya?"

Hani menggeleng lagi. "Nggak usah, Yu. Aku mau ngajak seseorang."

A/N

Holaaa, untuk bulan ini aku usahakan update setiap tanggal genap, ya. Harap dicatat dan diingat hehehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro