Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enem - Mengetahui Sebenarnya


"Tolong kamu ke toko Pak Yasin, beli kain blacu sama kanvas. Itu udah Ibuk tulis di kertas berapa jumlahnya, kamu tinggal kasih." Hasanah menyerahkan kertas berisi catatan bahan yang akan dibeli oleh Dika serta sejumlah uang warna merah dan biru.

"Siap, Buk."

Setelah meletakkan piring basah ke rak, Dika segera meluncur menuju toko Pak Yasin. Toko tersebut menyediakan berbagai macam alat jahit serta kerajinan tangan dan sudah menjadi langganan ibunya sejak lama.

Sejak suaminya meninggal saat Dika masih kecil, Hasanah yang bisa menjahit sering membuat tas-tas souvernir dan baju demi bisa mencukupi kebutuhan hidup. Ia menerima pesanan dari tetangga yang akan mengadakan sebuah acara. Selain itu, Hasanah juga menjual hasil kerajinan tangannya ke toko-toko. Jelang lebaran, orderan selalu meningkat. Dika hanya bisa membantu memotong kain, itu pun sudah diberi tanda. Atau saat hendak mengantarkan ke pelanggan dan membeli bahan seperti yang dilakukannya sekarang.

Berkat tangan terampil ibunya, Dika bisa mengenyam pendidikan sampai bangku kuliah. Hasanah juga yang membelikan motor agar Dika bisa pergi ke mana-mana tanpa ribet.

Awalnya Dika hanya menggunakan motornya untuk nongkrong ke sana-kemari. Namun, setelah ditawari kerjaan oleh Sofyan, Dika memberanikan diri mendaftar jadi pengemudi Gojek. Tak menunggu waktu lama, Dika diterima. Sejak saat itu Dika menggunakan motornya untuk mencari uang membantu ibunya. Hasil dari ojek selalu ia serahkan ke Hasanah untuk ditabung, berapa pun jumlahnya. Dika menyisakan sedikit untuk beli rokok dan bensin.

Kalau orderan sepi, Dika hanya punya dua pilihan, menyisakan uang untuk rokok atau bensin. Kalau bensinnya masih full, Dika gunakan untuk beli rokok. Kalau sebaliknya, Dika nebeng rokok ke Anwar. Begitu cara Dika memutar uangnya. Sejak bisa kerja, pantang bagi Dika meminta uang pada Hasanah. Meski kadang ibunya yang memberi dengan dalih itu hasil tabungan dari Dika.

Motor Dika berhenti di sebuah ruko besar di pinggir jalan. Usai memasang standar motornya, Dika memasuki toko tersebut. Usai menyapa, Dika langsung menyerahkan kertas itu ke Pak Yasin. Dengan sigap Pak Yasin menyuruh asistennya untuk memotong kain sesuai permintaan Hasanah.

"Tumben banyak sekali," decak Pak Yasin. "Dapat pesanan banyak, ya?"

"Kayaknya, sih, iya, Pak. Ibuk belum cerita." Dika menjawab jujur. Semalam ia langsung tidur karena kelelahan. Ibunya pun sibuk dengan mesin jahitnya, Dika mana berani mengganggu.

"Gimana ojekmu?" Karena sudah berlangganan, Pak Yasin jadi akrab dan tahu pekerjaan laki-laki itu. Bahkan sering meminta Dika mengantar saat bepergian.

"Alhamdulillah, lancar, Pak."

"Dik, mending kamu kerja bantu-bantu di sini. Insyaallah soal gaji kamu jangan khawatir."

Dika tersenyum samar. Bukan sekali ini Pak Yasin menawarkan pekerjaan. Memang tarif pengemudi ojek tergantung berapa kali mendapat orderan dan total perjalanan. Kalau sanggup menyelesaikan orderan selama enam belas kali dalam sehari, pengemudi baru mendapat bonus sebesar lima puluh ribu. Kadang Dika bekerja sampai malam demi bisa mendapat bonus, walau berakhir punggungnya dilukis indah oleh ibunya. Kalau sedang sepi, Dika cuma gigit jari.

"Nanti, Pak, tak pikir-pikir dulu." Begitu jawaban Dika untuk kesekian kalinya. Jawaban yang sama karena Dika masih mencintai pekerjaannya sekarang. Lagi pula dirinya belum memiliki kebutuhan mendesak, seperti punya anak misalnya.

Istri aja belum punya, batin Dika mengingatkan.

"Jangan kelamaan. Roda kehidupan terus berjalan, nggak selamanya kamu mengandalkan gaji ojek."

Dika meringis. "Iya, Pak."

Asisten Pak Yasin datang membawakan dua gulungan kain dan diserahkan ke Dika. Setelah itu Dika memberikan uang kepada Pak Yasin.

"Terima kasih, Pak. Kalo gitu saya pulang dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Dika mengikat dua kain tersebut di atas jok motornya. Saat hendak menaiki motor, ponsel di dalam saku celana levisnya berdering. Dika segera mengeluarkan benda itu dari dalam saku celananya.

"Hani?" Melihat nama itu, Dika baru sadar ternyata sudah seminggu Hani tidak meminta antar-jemput dan ini masih jam kerja. Apa perempuan itu sedang sakit?

Dika mengangkat telepon itu supaya rasa penasarannya hilang. "Kenapa, Han?"

"Kamu di mana?"

Suara Hani terdengar bindeng di telinga Dika. Hal itu lantas membuat Dika semakin yakin kalau gadis itu sedang sakit.

"Di toko habis beli bahan tas buat Ibuk. Ada apa?"

"Kamu bisa ke sini habis ini?"

Dika mengernyit. "Ke sini mana?"

"Ke kos."

"Kamu nggak kerja?"

"Nanti kamu tahu."

Telepon tiba-tiba terputus. Menyisakan tanda tanya besar di kepala Dika.

Setelah mengantar pesanan ibunya, Dika langsung meluncur ke indekos Hani, memenuhi rasa keponya akan kondisi gadis itu. Masih siang, pemilik kost mengizinkan laki-laki mengunjungi meski hanya sampai teras. Sejak bekerja, Hani memang sudah tidak tinggal di panti. Alasannya karena ingin hidup mandiri. Dika setuju saja sebab indekos Hani tidak jauh dari rumahnya sehingga masih bisa memantau gadis itu.

Begitu pintu terbuka, Dika melihat Hani yang masih mengenakan setelan kerjanya. Namun, rambutnya berantakan, matanya bengkak, wajahnya sembap hingga riasannya tersamarkan.

Hani langsung menubruk tubuh Dika, kemudian sesenggukan. Dika gelagapan, takut jika ada penghuni lain yang melihat lalu salah paham.

"Han ... kenapa?" Dika sudah tidak tahan lagi. Dia melepas pelukan Hani. Menatap gadis itu lekat-lekat. Tangisannya begitu menyayat hati Dika. "Kamu sakit?"

Alih-alih menjawab, Hani justru menyodorkan sebuah undangan. Dika menerima lalu membuka sampulnya. Seketika matanya terbelalak setelah membaca nama pada undangan itu.  "Pram  ... ini Pram pacar kamu?"

Hani mengangguk lemah. Sibuk menyedot ingus agar tidak menetesi jaket Dika.

Dika berdeham sebentar demi menetralkan amarah yang entah kapan datangnya. Baik, dia harus waras kali ini. Jangan sampai terbawa emosi sehingga tidak bisa menyerap informasi dari Hani. "Kok, bisa?"

"Mas Pram ternyata sudah menyiapkan pernikahan dengan perempuan lain. Terus seminggu yang lalu dia mutusin aku dan sebentar lagi mereka menikah."

"Hah? Seminggu yang lalu?" Tanpa sadar Dika mencengkeram erat undangan berbahan kertas itu. Pram asu! Berani-beraninya menyakiti Hani.

Dika mengusap sisa air mata di pipi Hani. Lantas menyentuh bahu gadis itu. Jujur ia tidak tega melihat Hani yang seperti ini. Pram, kok, bisa kepikiran melukai hati Hani?

"Udah, cowok berengsek kayak dia nggak usah kamu tangisi. Eman-eman. Sayang air mata kamu. Di sini Gusti Allah udah nunjukin kalo dia bukan laki-laki yang baik buat kamu. Mendingan sakit sekarang daripada menderita seumur hidup kalo bersatu sama dia."

"Aku nggak yakin bisa bangkit ...."

Kalau Dika yang berada di posisi itu, mungkin akan berkata sama. Berat menjadi Hani. Sudah pacaran bertahun-tahun, tidak mendapat restu orang tua, dicampakkan seolah-olah Hani sampah yang tidak ada artinya, dan sekarang dengan percaya dirinya mengundang Hani ke acara pernikahan itu.

"Bisa. Ada aku di sini. Kamu nggak usah takut." Memang benar, Dika akan selalu ada untuk Hani pada saat terpuruk sekalipun. Dika akan pastikan Hani bisa tersenyum lagi seperti semula.

"Kamu mau, kan, nemenin aku datang ke acara ini?"

"Buat apa? Kamu nggak pantes datang ke sana. Mending nggak usah," tolak Dika.

Hani menggeleng. "Aku cuma mau memastikan Mas Pram menikah dengan Kirana terpaksa atau nggak."

"Terus kalo ternyata dia senang, kamu mau apa?"

Hani diam. Tidak memiliki jawaban.

"Seminggu yang lalu, kamu sudah menemukan jawabannya, Han. Dia bahagia dengan pernikahan ini, makanya langsung mutusin kamu."

"Kok, dia enak? Bahagia di atas hati yang hancur."

"Karena dia berengsek." Dika mendengkus. Jika dirinya memiliki kesempatan bertemu dengan Pram, maka Dika akan mematahkan batangnya biar kapok. Enak saja berani menyakiti wanita secantik Hani.

"Kamu beneran mau datang ke sana?" tanya Dika setelah beberapa saat sunyi. Hani mengiakan.

"Kalo kamu tetep mau datang dan masih mau membuktikan dia bahagia atau tidak, aku temani."


Gemes nggak sama Hani? 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro