Enem Belas - Ombrophobia
Pertemuannya dengan Pram dan Kirana berhasil membuat Hani tidak baik-baik saja. Sepanjang kerja Hani masih teringang-ngiang sikap Kirana padanya. Ia jadi berpikir apa kalau di rumah, Kirana seperti itu juga? Kalau iya, lantas dari sudut mana ibunya Pram menyukai perempuan itu? Apa karena Kirana putri seorang konglomerat?
Tadi Pram sama sekali tidak berkutik. Hani menduga bahwa sang mantan tidak bahagia dengan pernikahannya. Apakah itu menjadi kesempatan Hani untuk dekat lagi dengannya? Kalau begitu, artinya Hani merusak rumah tangga orang. Tidak. Hani tidak mau melakukan itu. Sebaiknya bersabar sedikit lagi.
Soal Pram bisa dipikir nanti, sekarang Hani sedang berada di toko mebel bersama Dika. Memilih kursi meja kayu untuk ruang tamu.
"Dik, kita kayaknya juga butuh rak ini, deh, buat naruh piring sama gelas," kata Hani saat melihat rak lemari setinggi dua meter. Sisi permukaannya bening. Pada bagian atas terdapat bufet yang pintunya terbuat dari kaca. Barang tersebut sudah menarik perhatian Hani sejak awal.
"Ya, udah, beli sekalian kalo mau."
Mata Hani berbinar mendengar itu. "Bisa diantar ke rumah, kan, Pak?" tanya Hani pada seorang bapak-bapak yang melayaninya sejak tadi.
"Iya, Mbak, bisa."
Hani yang membayar semuanya. Sebelumnya, di rumah Dika memberikan sebagian uangnya. Awalnya Hani menolak, tapi Dika bilang lebih baik patungan biar tidak berat. Hani akhirnya setuju.
Begitu urusan selesai, Hani dan Dika pulang. Tiba di rumah, Hani langsung turun dari motor, melepas helm lalu menyerahkan seperti biasa, tetapi Dika tidak mematikan motornya.
"Mau ke mana?" tanya Hani yang heran.
"Jemput penumpang."
Hani mengerjap. "Sampai malam?"
"Nggak tau. Kalau ada lagi bisa sampai malam."
Sejenak, Hani memandang langit yang cukup cerah meski sudah sore. Sepertinya malam ini tidak akan turun hujan. "Iya, udah. Kalau gitu hati-hati."
Sebelum pergi, Dika sempat mengelus kepala Hani. Begitu Dika sudah tidak terlihat, Hani masuk ke rumah dengan perasaan tidak menentu.
Hani menekan sakelar lampu dengan malas. Hening mendominasi ruangan. Sebenernya ia takut sendirian di tempat yang sepi, apalagi kalau hujan turun. Sebagai penderita Ombrophobia, Hani sangat butuh seseorang untuk mengatasi rasa takutnya. Makanya Hani benci hari Sabtu dan Minggu ketika musim hujan. Sebab para penghuni kos yang lain pergi berlibur atau jalan-jalan dengan pasangan, sementara Hani yang tidak memiliki teman sering ditinggal sendirian. Mau meminta bantuan Ayu pun percuma, Hani tidak mau menganggu kebersamaan Ayu dengan suami dan anaknya. Mau keluar sama saja, kalau hujan sudah turun, Hani serasa tidak memiliki daya hanya sekadar melangkah. Meminta Pram datang menemani juga tidak mungkin karena kos-kosan putri. Yang bisa Hani lakukan ketika hujan turun adalah berdiam diri di kamar sambil memasang earphone agar suara hujan tidak terdengar.
Ada dua alasan mengapa Hani takut sekali dengan hujan. Yang pertama saat masih kecil, Hani pernah terjebak sendirian di halte saat hujan deras. Kala itu, Rumanah tidak bisa menjemput karena ada acara, sedangkan orang yang diamanahkan untuk menjemput Hani dari sekolah terlambat datang. Jadilah Hani menangis karena terjebak selama berjam-jam. Yang kedua saat SMP, Hani pernah mengalami kejadian hujan deras disertai angin kencang dan petir sampai atap gedung kelas yang terbawa angin. Sejak saat itulah, Hani benar-benar takut dengan hujan, tidak mau sendirian saat turun hujan. Dika sudah tahu, tetapi Hani jarang meminta bantuan laki-laki itu. Selain tidak mau mengganggu aktivitasnya, Hani takut jika Pram cemburu. Namun, tanpa diminta Dika selalu menelepon Hani untuk mengurangi rasa takutnya.
Hani jadi teringat dulu dirinya pernah berteduh di rumah Pram dan bertemu Ibu di sana.
"Kenapa ke sini?" Hani mendadak gelisah begitu mobil Pram berhenti tepat di depan rumahnya. Mereka berdua baru saja pergi makan di restoran. Langit memang sudah berubah warna. Sejak di dalam mobil, Hani terus cemas memikirkan sebentar lagi akan terjebak hujan.
"Sebentar lagi hujan, langitnya udah gelap banget. Kalau aku antar kamu ke kost sekarang, terus ternyata kamu sendirian di sana, nanti kamu takut."
Hani tersenyum simpul. Hatinya menghangat dengan bentuk perhatian kekasihnya.
Benar saja, tepat saat Hani dan Pram keluar dari mobil, hujan langsung turun dengan derasnya. Seketika itu Pram menarik tangan Hani agar segera masuk ke rumahnya. Sementara itu, perasaan Hani sudah tidak karuan. Kaki serta tangannya mulai dingin, napasnya mulai tidak beraturan, tubuhnya berkeringat dingin, kepalanya pusing, perutnya seperti diaduk-aduk dan siap mengeluarkan isinya. Hani butuh earphone atau apa pun yang menutup telinganya dari suara hujan.
Pram terus menggandeng tangan Hani menelusuri lorong rumahnya hingga berhenti di sebuah ruangan. Pram membuka pintunya lalu mengajak Hani memasuki ruangan tersebut. Berikutnya, Hani tidak mendengar suara rintik hujan, padahal belum mengenakan earphone.
"Ini ruangan kedap suara yang biasa aku gunakan kalo mau menyendiri. Gimana? Kamu nggak denger suara hujan, kan?"
Hani mengedarkan pandangannya. Ruangan selebar dua kali dua meter itu dindingnya dilapisi oleh karpet. Terdapat satu rak buku besar di sudut kanan. Ada kursi, meja, dan lampu baca.
"Kita di sini dulu sampai hujannya reda. Kalau kamu pakai earphone terus, nanti telingamu rusak."
"Gimana caranya tahu kalau hujannya udah reda?"
"Itu." Pram menunjuk sebuah monitor kecil yang terpasang di dinding. "Monitor itu udah terhubung sama kamera di luar. Jadi, kita bisa tahu keadaan di sana seperti apa tanpa harus keluar dulu."
Hani menganga. Kembali takjub untuk kesekian kalinya.
Untuk mengusir sepi, Hani membaca koleksi buku yang ada di rak ruangan tersebut. Pram memang suka membaca. Tak heran jika setiap sudut ruangan yang ditempati pria itu akan ada rak buku.
"Dek, besok Ibu ulang tahun. Kamu coba masakin apa gitu atau kasih hadiah, siapa tau Ibu suka." Pram membuka suara setelah sekian menit terdiam. Hani pun menutup buku bacaannya.
"Itu sudah aku lakukan tahun lalu, Mas. Hasilnya? Ibu masih gini-gini aja. Kayaknya emang susah, Mas." Wajah Hani berubah mendung jika membahas sang ibu dari kekasihnya. Perjuangan untuk mendapatkan hati wanita itu selalu berujung sia-sia. Hani lelah, tapi Pram berhasil membangkitkan semangatnya.
Pram kemudian mengelus lembut puncak kepala Hani. "Suatu saat Ibu pasti bakal suka sama kamu, asal kita nggak berhenti usaha. Yang sabar, ya, Sayang."
Hani mengangguk. Wajahnya bersemu merah. Kata-kata Pram begitu menenangkan. Kepalanya langsung berpikir optimis.
"Sudah berhenti hujannya. Yuk, keluar!"
Hani mengangguk. Pram menggenggam tangan Hani dan berjalan keluar. Namun, saat menutup pintu, ibunya Pram datang dari arah kamarnya.
"Kalian ngapain keluar dari ruangan itu?" tanya wanita itu ketus. Lantas, sorot matanya tajam menatap Hani. "Hani, kamu nggak tau sopan santun, ya? Masuk ke ruangan kosong sama laki-laki yang bukan suamimu. Dasar wanita murahan!"
"Ibu, kita nggak ngapa-ngapain. Hani takut hujan, makanya aku bawa ke ruangan itu." Pram membuka suara membela sang kekasih.
"Halah, alasan takut hujan. Bilang aja kamu mau berduaan sama Pram. Emang dasar anak nggak jelas!"
"Bu, sudah! Aku antar Hani pulang dulu, ya."
Pram meraih tangan ibunya untuk dicium, berhasil. Giliran Hani yang hendak melakukan itu, ibunya Pram menolak dengan melengos masuk ke kamar lagi. Hani menghela napas, menekan kesabarannya lebih dalam lagi.
"Nggak usah dimasukin hati, ya." Pram mengelus pipi kekasihnya. Hani mengangguk. Berusaha menampilkan senyum manis di saat hatinya teriris.
"Yuk, aku antar pulang."
Aduh, masih inget mantan aja, nih, Mbak Hani 😌
Btw, aku adalah salah satu yang takut hujan. Pokoknya nggak bisa dideskripsi rasanya pas denger hujan terus lagi sendirian. Sayangnya, tahun ini bakal jadi musim hujan terpanjang. Bakal lama tersiksa lahir batin 😌
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro