Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

bab 5

Tawangsari, kota semarang, Jawa tengah.

Jonathan duduk di lobi hotel tempat Delila--mantan kekasihnya--mengajak bertemu. Pria itu sudah mengira situasi seperti ini pasti terjadi. Jonathan terbang dari Jakarta ke Semarang hanya untuk menyelesaikan hubungannya dengan perempuan itu. Jonathan bukannya tidak melakukannya lewat telepon. Bahkan pria itu mengirim gelang emas berharga mahal sebagai permintaan maafnya, berikut surat perpisahan darinya.

Delila menjadi kekasih Jonathan selama  dua tahun, terbilang lama bila dibanding kekasih-kekasihnya yang lain. Delilah wanita yang cantik, seksi, dan periang. Usianya terpaut lima tahun lebih muda dari Jonathan. Meski setahun terakhir hubungan mereka mulai renggang, Jonathan merasa harus memutuskan hubungannya dengan baik. Bagaimanapun Delila pernah merajut kasih dengannya. Jonathan ingin memulai kehidupan baru tanpa diganggu masa lalunya.

Namun, walau sudah menerima hadiah dan surat perpisahan dari Jonathan, Delila belum mau berpisah sebelum Jonathan bertemu dengannya. Delila mengancam akan datang ke pernikahan Jonathan dan Sarah dengan memberi kejutan. Jonathan tidak ingin ada keributan, karena itulah sekarang dirinya berada di pantai Marina di kota Semarang.

Jonathan menyukai kota Semarang, kota yang dijuluki kota lumpia itu menjadi tempat sebagian besar bisnisnya. Jonathan kuliah disini, bersama dengan Alan sepupunya. Masa-masa remajanyapun lebih sering dihabiskannya di kota tersebut. Kakek Jonathan berasal dari sana. Kota Semarang takkan mungkin bisa dia tinggalkan sepenuhnya. Meskipun nanti menikah dengan Sarah, setiap bulan Jonathan tetap harus ke Semarang, mengontrol bisnisnya.

Segelas kopi yang berada di mejanya mulai dingin. Pria itu melirik jam tangannya. Setengah jam sudah dari waktu yang ditentukan perempuan itu. Delilah belum juga datang. Jonathan mengenakan kaos berkerah warna hijau mint dipadu dengan celana pendek. Pagi itu Jonathan memilih sendal untuk dipakai dibanding sepatu, lebih ringan dikaki juga santai. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, bahkan ada perempuan yang tak malu memandang lama meski Jonathan menangkap tatapan itu. Jelas sekali perempuan itu memang ingin didekati, pria itu tahu undangan tak terucap tersebut. Jonathan mengalihkan tatapan dari perempuan tersebut. Ia merasa sudah cukup dengan hal-hal seperti itu. Bukan waktunya lagi bermain-main. Ada Sarah---yang meskipun tidak iacintai---akan segera dinikahinya. Bukan hal mudah untuk dilakukan, tapi keputusannya sudah bulat.

Meskipun dari tempatnya duduk pemandangan pantai Marina memberikan penampilan terbaiknya, tapi yang diinginkan  Jonathan sekarang adalah menyelesaikan masalahnya dengan Delilah kemudian kembali ke Jakarta. Masih terbayang dikepalanya tatapan sendu Sarah tatkala dirinya akan pergi, gadis itu jelas tidak senang. Jonathan menghela napas, sekali lagi melirik arlojinya.

Kopinya terlalu manis, pria itu membiarkan lebih dari setengah tersisa, ia tidak berniat menghabiskannya. Sebenarnya bisa saja ia meminta kopi yang baru, tapi pria itu tidak melakukannya.  Jonathan memilih membuka ponsel dan membaca berita dari sana. Pasar saham dan beberapa berita politik. Beragam terjadi di dunia bisnis begitupun politik.

Beberapa menit lagi berlalu, Delilah masih belum datang. Rasa jengkel  pada Delila mulai merambat ke hatinya ketika wanita semampai berkulit kuning Langsat itu menghampiri mejanya. Gerakannya begitu terukur, mengulurkan tangan lantas menyentuh tengkuk Jonathan. "Terimakasih sudah menungguku," Delila duduk didepannya, mengibaskan rambut ekor kudanya. "Ada masalah sedikit tadi." Jonathan mengenal Delilah, perempuan itu sama sekali tidak menyesal sama sekali. Delilah mungkin sengaja melakukannya.

Jonathan sama sekali tidak tertarik pada masalah Delila, wanita itu bersikap seperti tidak terjadi sesuatu pada mereka. Pria itu langsung mengenali gelang pemberiannya karena Delila membiarkan tangannya di atas meja. Delila menyadari arah pandangan Jonathan. Wanita itu menyentuh gelangnya. "Aku suka," katanya. "Harganya pasti mahal. Terimakasih, kau selalu tahu apa yang kusukai." Jonathan termasuk ke dalam pria yang royal terhadap kekasih-kekasihnya, semua perempuan-perempuan itu telah memberikan seluruh tubuhnya untuk Jonathan.

"Langsung ketujuan kita saja, Del. Aku tidak punya waktu banyak. Aku harus kembali ke Jakarta, sekarang katakan apa yang ingin kau katakan!"

Cantik, seharusnya tidak sulit bagi Delilah menemukan pengganti Jonathan. Delilah juga bukan dari keluarga sembarangan, ayahnya seorang anggota dewan dan ibunya dosen di kampus ternama di kota itu. Delila cukup menarik perhatian banyak pria, tapi tidak Jonathan. Bagi Jonathan dia tipe perempuan yang cocok dijadikan kekasih tapi tidak untuk jadi istri. Di awal mereka memulai hubungan, pria itu tidak menjanjikan apapun. Delila tidak keberatan, maka berjalannya hubungan itu. Sebulan, dua bulan. Setahun hingga dua tahun. Kebersamaan itu sangat membekas pada Delilah. Mungkin Jonathan tidak memakai perasaan, berbeda dengan Delilah. Wanita itu patah hati begitu tahu Jonathan akan menikah.

Di matanya Jonathan begitu tampan, baik dan dia mencintai pria itu. Bagaimana mengatakannya pada Jonathan? Ia tak mampu kehilangan pria itu.

"Apakah perempuan itu lebih cantik dariku?" tanyanya, tersenyum getir.

Sarah cantik begitupun Delilah. Kedua perempuan itu memiliki dayatariknya masing-masing. Tapi Jonathan terpikat pada kepolosan Sarah. Jonathan belum bisa mengatakan bahwa ia mencintai Sarah, namun ia menginginkan Sarah menjadi istrinya. "Mengertilah, Del," bujuk Jonathan. "Kita tidak bisa bersama. Aku bukan untukmu, begitupun sebaliknya. Ada banyak lelaki baik yang menyukaimu."

"Tapi aku menginginkanmu," desak Delilah. "Hanya kau yang kumau, aku tidak peduli yang lain, Jo."

"Sebaiknya kau pesan segelas teh," saran Jonathan, mulang jengah dengan sikap Delilah. "Agar suasana hatimu membaik."

"Persetan dengan, Tah," tukas perempuan itu. "Apapun tidak akan membuat perasaanku membaik selain kau membatalkan pernikahan konyolmu itu."

Jonathan merasakan desakan mengumpat, pria itu memaksa meneguk kopi hitamnya, padahal rasanya sangat mengerikan di lidahnya. Tampaknya Delilah tidak bisa dibujuk dengan baik, Jonathan tidak mungkin menghabiskan waktu lebih lama lagi di tempat itu. Ia berjanji akan tiba di Jakarta malam hari. Sarah pasti bertanya-tanya jika Jonathan tidak menepatinya.

"Aku menghargai hubungan kita, Delilah. Karena itulah aku menuruti permintaanmu untuk bertemu. Mungkin kau ingin mendengar langsung dariku, kata-kata perpisahan itu. Dari awal pun aku sudah bilang aku tidak terikat pada perempuan sebelum ada pernikahan. Kau tidak keberatan. Aku tidak ingin ada sakit hati di hubungan ini. Mengertilah. Sekarang aku akan mengatakan padamu, aku akan menikah. aku minta maaf kalau semua tidak berjalan seperti yang kau inginkan. lagipula, setahun terakhir saat kau tidak bersamaku kudengar kau dekat dengan beberapa pria. Aku tidak melarangmu karena memang kita tidak terikat."

Beberapa kali Delila memang jalan dengan lelaki, bahkan lebih dari satu. Alan bahkan meyakinkan Jonathan bahwa ia pernah melihat Delilah di sebuah hotel dengan laki-laki. Delilah mengenal Alan karena Jonathan pernah mengenalkan sepupunya itu pada Delilah. "Itu kulakukan karena kau menjauhiku, Jo." Perempuan itu beralasan. "Tapi mereka semua tidak berarti apapun dibanding kau Jo. Mereka hanya pelampiasan saja."

Menghela napas, Jonathan memegang tangan Delilah yang berada diatas meja. Meremasnya pelan, pria itu berkata. "Cobalah membuka hatimu, Del." Meski tidak mencintai dan sudah tidak punya perasaan apapun lagi pada perempuan itu, Jonathan tidak ingin melihat Delilah putus asa.

''kau baru mengenalnya, Jo! Apakah hubungan kita selama ini tidak berarti apapun bagimu?" Ujar Delilah keras kepala. ''beri kita kesempatan lagi."

"Aku tidak bisa, maafkan aku. Kita bisa berteman." Hanya itu yang bisa ia berikan.

"Kau pernah meniduriku," serunya putus asa. "Bagaimana mungkin aku menganggap mu hanya teman? Aku tidak bisa Jo."

Jonathan memejamkan mata, kehabisan kata-kata untuk Delilah. Bagaimana jika Sarah tahu semua tentangnya dan Delilah? Sarah tidak mungkin memaafkannya.

"Hubungan kita telah selesai sejak kau mulai pergi dengan teman laki-lakimu itu," ujarnya tenang, mencoba memberikan penjelasan masuk akal. Apakah Sarah juga keras kepala seperti perempuan di depannya ini? Sepertinya tidak. Mudah-mudahan tidak!

"Aku melakukan itu karena kau menjauh dariku," bantah Delilah, tidak mau melepaskan Jonathan. "Ayolah, Jo. Aku mencintaimu."

"Itu bukan alasan, Delilah. Kalau kau mencintaiku, kau tidak mungkin bisa pergi dengan pria lain. Itu mungkin hanya obsesimu saja."

"Mereka tidak ada yang setampan dirimu, tidak sebaik dirimu." serunya serak, menengadah ke atas demi menyembunyikan matanya yang berair. "Aku menginginkan perhatianmu. Kupikir kau akan kembali melihatku kalau aku bergonta-ganti teman lelaki. Tapi kau tidak."

"Kau cantik, Del. Kau punya pekerjaan yang bagus---"

"Aku tidak suka cantik, tidak suka pekerjaanku jika aku tidak bisa memilikimu. Gadis ini, yang akan kau nikahi tidak secantik aku juga tidak bekerja, tapi kau  memilihnya. Kenapa?"

"Darimana kau tahu tentang calon istriku?"  Bola mata Jonathan mendelik, tidak senang dengan sikap penguntit Delilah. ''aku tidak akan memaafkan mu jika kau  menyakitinya."

"Aku bisa melakukan apapun yang Kusuka. Gadis kecil tidak membuatku takut."

"Delilah, aku serius. Sarah dalam perlindunganku, karena dia adalah calon istriku dan hanya dalam hitungan hari akan jadi istriku. Seujung jaripun, jika kau berani menyentuhnya, kau berhadapan denganmu. Aku ingin kita tetap berteman, jika kau tidak ingin itu terserah padamu."

Delilah menangis, sampai sesenggukan. Jonathan jadi bahan perhatian orang-orang disana. Pria itu menggeram dalam hati, kenapa perempuan serumit ini?. Ia berdiri dari kursinya, menarik Delilah ke pelukan. "Semua akan baik-baik saja," ia meyakinkan perempuan itu, mencoba menenangkannya. "Aku akan menjadi temanmu."

Delilah menjatuhkan kepala ke bahu Jonathan, suaranya serak saat bertanya. ''kau janji?"

Beberapa detik Jonathan diam, seolah berpikir tapi kemudian menjawab. "Aku berjanji."

"Akan kuingat janjimu, Jo."

*******

"Aku akan mengingat saat ini, Sarah," ungkap Daniel, memperhatikan gadis itu menjilat eskrim rasa vanila. Gadis itu tampak cantik dengan kaos berlengan pendek  warna toska dan rok jeans diatas lutut. Sarah menggerai rambut indahnya, benar-benar berkilau di mata Daniel. Sayang ia tak bisa memilikinya.

"Kau berlebihan, Dan." Sarah menertawakan tatapan sedih sahabatnya itu. "Seolah aku akan mati besok dan kau tidak bisa melihatku lagi."

"Aku memang bisa melihatmu, tapi takkan mungkin bisa pergi bersamamu seperti saat ini lagi." Daniel mengajak Sarah menonton film romantis. Sarah sendiri yang memilih judulnya. Membelikannya eskrim, dan juga membelikan gadis itu kalung perak dengan tiga lonceng di bagian tengahnya. Kalung itu tidak mahal, tapi Daniel membelikannya dengan perasaan tulus dan Sarah sangat menyukainya.

Langkah kaki Sarah berhenti, ia menyugar rambut pria itu. "Aku menikah, Daniel. Bukan mati." Lagi-lagi ia tertawa namun tawa itu tidak menular ke Daniel.

"Sarah," Daniel meraih tangan gadis tersebut, sesaat menimnang-nimbang kalimat yang ingin ia ucapkan. ''kau bahagia, kan?" tanyanya pelan. Tawa Sarah berhenti, akhirnya ia menyadari keseriusan sahabatnya. Film baru saja selesai, Daniel bermaksud mengantarnya pulang. Saat ini mereka tengah berjalan keluar dari bangunan tempat mereka nonton. "Maksudku kau yakin dengan pernikahanmu, kan?"

Sarah tidak menepis tangan Daniel yang menggenggamnya. "Kau yang meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja, Dan. Kupikir sudah terlambat kalaupun aku ingin lari dari pernikahan," eskrim ditangannya mulai mencair, terasa dingin di jemarinya. "Lagipula," gadis itu menambahkan. "Aku memilikimu. Kau temanku yang akan selalu ada untukku."

Banyak hal yang ingin diabicarakan dengan Sarah. Banyak sekali. Namun Daniel tidak tahu memulainya darimana.

*******

Jam delapan malam Jonathan tiba di Apartemennya. Sebelum naik ke pesawat pria itu memberitahu Sarah untuk menunggunya di partemen. Jonathan tidak menemukan gadis itu disana. Tidak ada tanda-tanda Sarah berada disana. Jonathan menelepon Sarah, seorang pria yang menjawab teleponnya.

"Kau siapa? Dimana Sarah?" Jonathan tidak sibuk menjaga nada suaranya, jelas sekali pria itu tidak senang kalau bukan Sarah yang menjawab telepon. Walau belum memberitahu nama, Jonathan seakan tahu siapa pria itu. Ada rasa marah entah untuk apa.

"Saya Daniel," katanya. "Teman Sarah. Sarah sedang ke kamar mandi. Anda siapa? Ada yang ingin anda katakan?"

Menjauhlah dari calon istriku, sialan!!

Jonathan ingin mengumpat. "Bilang saja Jonathan menelepon." Pria itu tidak menunggu Daniel berkata apapun, ia memutus panggilan.

Sarah bertemu dengan Daniel di belakangnya. Perasaan Jonathan menjadi gusar. Setiap menyebut nama Daniel, Sarah menunjukkan perhatian pada sahabatnya itu. Hubungan mereka sangat dekat, dan Jonathan tidak menyukainya.

Masih dengan perasaan dongkol, Jonathan membuat kopi untuk dirinya sendiri. Ia membawa kopinya ke balkon, menghempaskan tubuhnya ke kursi yang ada disana. Pandangannya tertuju ke lampu-lampu kota namun pikirannya masih pada gadis berambut tembaga yang tiba-tiba tidak bisa ia lupakan.

Entah sudah berapa menit pria itu menikmati angin malam di balkon saat terdengar pintu depan terbuka. Jonathan tersentak, sontak berdiri dan pergi melihat. Jonathan sudah tahu siapa yang datang. Karena cuma pada satu orang ia memberi kunci duplikat apartemennya.

"Kau sudah tiba," kata Sarah sembari menutup pintu. Senyumnya begitu manis, sulit sekali Jonathan bertahan pada kekesalannya. "Aku membawakan mu ikan bakar, kau pasti belum makan." Sarah hanya menerka. Ikan bakar itu sengaja ia beli sebagai permintaan maafnya. Daniel memberitahunya kalau Jonathan menelepon. Sarah baru ingat pada pesan Jonathan sebelum ke Semarang, dirinya disuruh menunggu di apartemen. Bukannya melakukan seperti yang diminta Jonathan, Sarah malah pergi dengan Daniel. Di tengah perjalanan Sarah meminta Daniel berhenti di restoran yang biasa didatanginya dengan Daniel. Sarah memilih ikan gurami bakar dan meminta dua porsi nasi putih.

Jonathan belum mengatakan apapun, tatapannya mengikuti Sarah berjalan ke meja makan. Gadis itu membuka plastik yang iabawa. Dikeluarkannya ikan bakar yang iabeli dari sana. Dalam sekejap ruangan itu dipenuhi aroma sedap. "Kau mau langsung makan atau?" Sarah tidak mau menyerah. Gadis itu tahu Jonathan sedang marah---terlihat jelas dari gestur tubuh dan rahangnya yang kaku---namun ia yakin bisa membuat amarah pria itu hilang.

"Sarah!!"

"Hhmm?" Sarah menunggu, mengikat asal rambutnya karena mulai gerah dengan tatapan Jonathan.

Jonathan tidak lapar, ia tak ingin makan. Ia kesal pada Sarah. Gadis itu berjalan, memperkecil jarak diantara mereka. "Bagaimana urusanmuu di Semarang?'' Sarah mengganti topik. Mungkin Jonathan sudah makan malam. "Kau perlu dibiarkan sendiri? Kau ingin aku pergi?" Sarah mencoba cara lain. Sarah mulai menyerah karena Jonathan tidak kunjung menunjukkan sikap luluh.

Akhirnya Jonathan menghela napas.  Ia menyuruh Sarah dengan jari telunjuk agar semakin dekat. Setelah hampir tak ada jarak yang memisahkan mereka, pria itu berkata. "Lain kali kalau akan bertemu dengan Daniel, kau harus mengatakannya padaku. Kau mengerti?"

Kening Sarah mengernyit. ''sebelum bertemu denganmu, aku dan Daniel sudah lama berteman. Kau tidak boleh melarangku bertemu dengannya, Jo."

"Aku tidak melarangmu, sayang," ujar Jonathan, ia menyentuh untaian rambut Sarah yang lolos dari kepangannya. "Tapi kau mesti memberitahuku."

"Baiklah." Sarahpun tidak mau memperpanjang masalah. Jonathan mulai tenang, tidak selalu tadi. "Hanya dia teman yang kupunya," aku Sarah. Sarah berjanji pada Daniel tidak akan menjauh meski telah menikah nanti.

Pinggang ramping gadis itu ditarik Jonathan kesisinya, menghapus jarak yang tersisa. "Sekarang ada aku, kau bisa mengandalkan ku."

Sarah mengangguk. Pelukan Jonathan kuat namun terasa nyaman. Ia merasakan kehangatan dalam lingkaran itu. Jonathan berbau enak, itu bukan berasal dari parfum mahal atau wangi-wangian lain, hanya Jonathan. Sarah menyukai aroma pria itu.

"Apakah kau marah karena aku bertemu dengan Daniel?"

Jonathan tidak menjawab pertanyaan Sarah, pria itu menunduk lantas mendaratkan ciuman di bibir Sarah. Bibir lembut yang membuatnya kecanduan. "Boleh aku melanjutkan apa yang kita mulai di dapurmu kemarin?" bisik Jonathan di atas bibir Sarah yang basah akibat kulumannya.

"Apa yang kau inginkan?" Sarahpun berbisik, terhipnotis dengan cumbuan pria itu. Jonathan melepas ikat rambutnya, membiarkan dirinya jatuh hingga ke bawah bahu. "Memangnya apa yang belum selesai?"

Jonathan kembali menyatukan bibirnya dengan milik Sarah, memancing respon malu-malu gadis itu. Tidak ada ciuman yang lebih nikmat dari ini. Bahkan tidak dengan Delilah. Sarah memiliki sesuatu yang tidak sanggup ditolaknya. Sarah tak berusaha keras menaikkan gairahnya, dengan cepat Jonathan menginginkan lebih.

Suara desahan Sarah adalah nada paling indah yang pernah diadengar.  Ketika Jonathan pikir Sarah mulai kehabisan napas, pria itu berhenti sesaat. Sarah terengah, dadanya naik-turun dengan irama cepat. "Nikmat sekali," Jonathan mengerang, merasakan celananya semakin sempit.

Sarah menjilat bibirnya yang basah. Gadis itu takjub pada gairah yang terlihat jelas Dimata Jonathan. Seakan ada gelenyar hangat ditubuhnya tatkala tangan Jonathan merambat kebalik kaosnya. Pria itu bergerak lambat, menunggu reaksi Sarah. Saat Sarah mendesah, itu sudah sembuh persetujuan.

Jonathan tidak memberi waktu lama, ia takut Sarah berubah pikiran. Jemarinya penuh kelembutan menyentuh bagian dalam kaos gadis itu, menikmati erangan yang semakin kuat berasal dari bibir gadis itu.

Kepala Sarah pening dengan semua Sensasi yang ditimbulkan oleh sentuhan Jonathan. Jonathan tidak membiarkannya berpikir, dirinya hanya dijinkan untuk merasakan. Merasakan gairah yang ia sampaikan. Berbagi rasa nikmat yang ia inginkan.

Tubuh Sarah tidak menyerah, ia membiarkan Jonathan membawanya ke kamar pria itu. Kamar luas dengan tempat tidur besar ditengahnya. Pelan sekali, pria itu membaringkan Sarah disana. Saat melakukannya Jonathan tidak melepas ciumannya. Bibir dan leher gadis itu menjadi tempat kesukaan Jonathan, apalagi payudara dan puncaknya. Jonathan takkan mungkin sanggup menahan diri dari menyentuh semua itu.

"Apa yang kau lakukan padaku, Sarah?" tanya Jonathan disela-sela melepas pakaiannya. "Yang kupikirkan hanya bagaimana rasanya menyentuhmu seluruhnya. Kau membuatku bergairah hanya dengan berdiri didepanku."

"Aku tidak sehebat itu." Gadis itu ingin duduk namun Jonathan menahannya dengan tubuhnya sendiri. Sarah mau tidak mau kembali berbaring, Jonathan begitu dengannya dan...telanjang. Sarah terpana. Jonathan adalah pria pertama yang dilihatnya tanpa busana sedikitpun. Jonathan memiliki tubuh yang sedap dipandang. Otot-ototnya membentuk dengan sempurna. Jonathan tidak setegap olahragawan, tapi porsi otot pria itu tepat. Jonathan tampan. Sangat tampan.

"Apa yang kau rasakan sekarang, sayang?" ujar Jonathan dengan nada tenang, pria itu menaikkan rok gadis itu hingga pahanya tersingkap. Tangannya mengusap disana, mengirimkan getaran hangat ke tubuh Sarah.

"Aku tidak tahu." Aku Sarah jujur. Ada perasaan mendamba, ingin disentuh, ingin lebih. Ia menyukai Jonathan berada diatasnya.

"Kau ingin aku berhenti?"

''Jangan!" Sahutnya cepat, kemudian pipi Sarah memerah ketika Jonathan tertawa.

Sarah membiarkan Jonathan menyentuhnya dimanapun yang pria itu suka. Bibir lembutnya dihisap penuh gairah. pria itu memagut berkali-kali, menambah percikan api yang membakar tubuhnya dan Sarah. Jonathan dengan cepat melucuti semua pakaian Sarah, gadis itu menyambut dan mengimbangi hasrat Jonathan.

Pusat gairah Jonathan berada diantara kaki gadis itu. Basah dan siap menerimanya.

*****

Pagi yang indah, setelah malam yang luar biasa. Sarah terbangun disisi Jonathan. Ia terbangun karena merasakan tangan hangat di pinggangnya yang telanjang. Gadis itu memperhatikan Jonathan yang masih tidur. Pria itu begitu tenang dan damai, wajahnya tampak polos.

Sarah menyadari ketelanjangannya dibalik selimut. Tadi malam bukan mimpi, hal itu nyata. Jonathan telah bercinta dengannya. Tidak ada jalan untuk kembali, semua telah terjadi. Meski begitu tidak ada penyesalan di diri Sarah.

"Pagi,'' bisik Sarah saat Jonathan menggeliat dan matanya mulai terbuka.

Tatapan Jonathan berusaha fokus. Setelah jelas melihat Sarah, pria itu mengusap mata dengan tangan. "Selamat pagi," ujarnya serak khas orang baru bangun tidur. "Kau baik-baik saja?''

''kenapa aku harus tidak baik-baik saja?"

"Tadi malam," Jonathan berpangku pada siku yang ia letakkan di tempat tidur, ia menelusuri tubuh Sarah dengan tatapan. "Apakah aku menyakitimu?" Sarah menggeleng. "Sekarang kau tidak bisa lari lagi.'' jika Sarah memiliki niat membatalkan pernikahan, itu tidak bisa terjadi lagi. Sarah bukan perawan lagi. Sarah berbeda dengan Delilah.

"Kemana aku harus lari?"

Ke Daniel, mungkin.

"Entahlah," sahut Jonathan. "Karena kau masih muda. Aku beberapa kali berpikir kau bisa saja tiba-tiba lari karena berubah pikiran tentang pernikahan kita." Apalagi ada Daniel didekat Sarah. Bukan tidak mungkin pria itu menghasut Sarah. Jonathan sama sekali tidak menyukai Daniel.

Selain karena mereka telah dijodohkan, Sarah menyukai Jonathan. Pria itu tidak membuatnya takut walau tidak terlalu mengenalnya. Sekarang Sarah sudah dimiliki Jonathan, kemana lagi dia harus pergi?

"Kau tidak percaya padaku?"

"Sedikit," aku Jonathan. ''kau sangat cantik, masih muda dan dari keluarga terpandang, mungkin kau memiliki hal lain untuk dilakukan daripada menikah dengan seseorang yang tidak kau kenal."

"Ayahku tidak mungkin membiarkanku lari."

"Jika Ayahmu mengijinkan kau membatalkan pernikahan kita, kau akan melakukannya?" Pandangan Jonathan menyipit.

"Aku tidak tahu. Yang kutahu kita harus menikah."

"Jika kau tidak bahagia?" tantang Jonathan. "Banyak pernikahan tidak bahagia karena tidak saling mencintai."

Sarah sudah mempertimbangkan hal tersebut. Bagaimana jika ia tidak menemukan kebahagiaan pada pernikahannya?

Sesuatu tidak boleh dinilai dari yang terburuk. Meski banyak pernikahan gagal akibat tidak ada cinta, namun tak sedikit yang berhasil dalam perjodohan. Jika Jonathan tidak mencintainya, ia akan membuat pria itu jatuh cinta padanya. Tidak ada pilihan lain, apalagi sekarang. Mungkin saja telah ada bayi yang tengah berkembang di perutnya.

"Aku nyaman didekatmu. Untuk sekarang itu sudah cukup. Kita tidak tahu bagaimana nantinya, tapi aku akan berusaha jadi istri yang baik untukmu."


*************
******************

Sampai jumpa di bab berikutnya...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro