bab 3
Jonathan tahu ia menginginkan Sarah sebagai istri sejak pertemuan pertama mereka. Sosok Sarah mencerminkan seorang istri yang sederhana dan menawan.
Sarah tidak menjauh saat perlahan ia menurunkan wajah, mencari penolakan pada tatapan Sarah namun nihil. Jonathan menganggap hal tersebut sebagai lampu hijau. Menyatukan bibir dengan Sarah adalah hal pertama yang diinginkannya begitu melihat gadis itu.
Dengan penuh kelembutan Jonathan membelai bibir bawah Sarah, menyesapnya penuh kehati-hatian. Sarah bagai bunga yang sedang mekar, Jonathan haus akan madunya. Jonathan mengerang, semakin dalam melumat.
Sarah memejamkan mata. Sekuat tenaga menahan debaran jantungnya. Erangan Jonathan di mulutnya hanya semakin menambah kuat debar jantungnya. Pria itu menyapu setiap sudut yang dapat diraih, tidak membiarkan Sarah berpikir.
Sarah tak mungkin berbohong, ia menikmatinya. Jonathan mengendalikannya, mengendalikan ciumannya.
Sarah tidak pernah mengira bahwa ciuman pertamanya akan dicuri oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Jonathan pasti tahu betul apa yang diinginkan seorang gadis, Sarah sampai melupakan fakta bahwa belum ada seminggu ia berkenalan dengan pria itu.
Jonathan begitu lembut membelainya dengan bibir, melumat dengan cara yang belum pernah dipikirkan Sarah sama sekali. Rasanya menggetarkan. Sesaat setelah Jonathan menyatukan bibirnya dengan bibir Sarah, gadis itu lunglai. Seakan kakinya tak memiliki tulang. Jonathan harus memegang erat pinggang dan tengkuk Sarah agar gadis itu tidak jatuh ke lantai.
"Kau mencuri ciuman pertamaku,'' bisik Sarah serak di bibir Jonathan, mungkinkah ciuman dapat menyebabkan kesemutan pada jari kaki? Itulah yang dirasakan Sarah saat ini.
Kening Jonathan dan Sarah bersentuhan, pria itu menatap bibir merah muda yang baru saja dilahapnya dengan bergairah. Pengendalian pria itu tentu sangat luar biasa, karena meski bukti gairahnya mendesak ingin lebih, ia masih bisa berhenti pada saat yang tepat. Belum saatnya melakukan lebih daripada sebuah ciuman.
"Aku meminta ijin," sanggahnya, menyukai rasa payudara Sarah di tubuhnya, meski masih ada pakaian diantara mereka. Ciuman pertama Sarah, Jonathan adalah pria pertama yang menciumnya dibibir. "Kau tidak menunjukkan gelagat ingin pergi. Sehingga kupikir kau menginginkannya juga. Apakah kau tidak menyukainya?"
Sarah menarik tubuhnya, namun Jonathan tidak membiarkannya. Pelukan pria itu di pinggangnya begitu erat. Pria itu menyeringai melihat usaha Sarah membebaskan diri. Tubuh gadis itu menggeliat, menambah besar hasrat yang berusaha ia redam. Jarak sofa hanya beberapa langkah, bagaimana kalau Jonathan membaringkan Sarah disana lantas melanjutkan cumbuannya?
"Aku tidak tahu,'' jawab Sarah akhirnya, berhenti bergerak karena itu hanya akan membuat Jonathan merasakan tubuhnya. "Sejujurnya tadi lumayan hhmm bagus, tapi kupikir ciuman bisa lebih bagus dari yang kita lakukan tadi. Di novel mereka menceritakannya dengan begitu fantastis." Sarah tak menemukan kata-kata ringan yang lain untuk diucapkan. Akan sangat memalukan jika ia tak mampu bersuara setelah ciuman panjang yang diberikan Jonathan tadi.
Jonathan melonggarkan tangan di pinggang Sarah namun tidak melepas gadis itu, belum. Iris keduanya saling menatap. "Sebenarnya aku menahan diri,'' aku Jonathan. "Ciuman bisa menikmati bercinta."
"Menahan diri?" Sarah memiringkan kepalanya ke satu sisi. "Kupikir kau tipe pria yang tidak bisa menahan diri." Lebih nikmat daripada bercinta katanya? Tubuh Sarah bergetar membayangkannya.
Jonathan terlalu jantan menurut Sarah. Pria itu tidak mirip Daniel, sedikitpun tidak. Daniel tipe laki-laki yang mengantar kekasihnya ke depan pintu rumah, kemudian mengecup kening sebagai ucapan selamat malam. Jonathan juga akan mengantar kekasihnya, tapi bukan sampai depan pintu melainkan ikut masuk ke dalam. Sebelum mencium bibir sang gadis hingga sulit bernapas pria itu takkan pergi.
Kenapa pula ia membandingkan Daniel dengan Jonathan.
"Aku juga cukup terkejut dengan pengendalian diriku malam ini,'' kata Jonathan tenang. Jemari Jonathan bermain di ikal rambut Sarah. Rambut tembaga yang sangat disukai Jonathan. "Sebenarnya aku ingin membaringkanmu di sana," tambahnya sambil menatap sofa panjangnya. "Ketika kita berada disana, aku yakin ciuman yang akan kuberikan benar-benar berbeda."
''lebih bagus dari ciuman tadi?''
"Tentu saja. Kau mau mencoba?"
Sarah membiarkan Jonathan bermain dengan keingintahuannya. Pria itu pasti menyukai setiap menitnya. Bagaimana tidak, mata pria itu tersenyum begitupun dengan bibirnya. Rasa bibir coklat itu masi terngiang jelas dipikiran Sarah, meski tampak kasar namun rasanya lembut. Jonathan adalah perayu wanita. Pria itu tahu kapan harus menyentuh dan berhenti.
Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Sarah ingin berada di sofa itu bersama Jonathan. Ia ingin tahu bagaimana rasanya. Mungkinkah sehebat yang pria itu katakan? Jonathan memiliki karisma yang sulit ditolak, sayangnya pria itu menyadarinya dan memanfaatkan kelebihannya itu.
"Kurasa aku harus pulang." Ujar Sarah tiba-tiba. Mencoba menyelamatkan diri. Karena jika ia berada di dekat Jonathan lebih lama lagi, ia ragu pertahanan diri siapa yang akan goyah. Jonathan atau dirinya. "Ayahku pasti tidak senang jika aku pulang larut." Sekali lagi Sarah berusaha membuat dirinya menjauh dari Jonathan, kali ini pria itu membiarkannya.
Sarah berjarak satu meter dari Jonathan. Aroma pria itu melekat padanya, maskulin.
"Kita belum memesan makan malam," sahut Jonathan memberitahu. ''aku akan bicara pada ayahmu, dia pasti tidak keberatan kau tinggal bersamaku malam ini."
Itu tidak boleh terjadi.
"Kurasa kepalaku pening, sebaiknya kau mengantarku pulang."
*****
Sarah membawa masuk barang belanjaannya ke rumah Daniel. Pintu rumah itu dibukanya dengan kunci cadangan yang ia miliki. Daniel memberikannya pada Sarah agar gadis itu bisa datang ke rumahnya kapanpun dia mau.
Sarah bermaksud memasak udang asam manis untuk Daniel. Sudah beberapa hari ini ia tak berkirim kabar dengan sahabatnya itu. Daniel pasti bertanya-tanya kenapa Sarah tidak datang sekedar melihat keadaan Daniel. Sarah biasa menganggu Daniel jika pria itu tidak sedang sibuk. Sejak ada Jonathan, Sarah jadi memiliki kesibukan lain. Hari ini Sarah menyempatkan diri belanja bahan makanan dan berkunjung ke rumah Daniel. Sarah tidak mau Daniel mengira ia telah melupakan persahabatan mereka.
Setelah membersihkan piring kotor, Sarah mulai memasak. Peralatan dapur Daniel seadanya, tapi Sarah bisa menanganinya.
Memasak untuk Daniel sering Sarah lakukan. Sarah suka memasak dan Daniel menyukai masakannya. Sarah dan Daniel akan makan sambil mengobrol. Membicarakan hal-hal sepele serta bercanda. Seperti kebiasaan mereka.
Sarah berusaha fokus pada masakannya dan bukan pada Jonathan. Akhir-akhir ini pria itu menyita sebagian besar pikirannya. Setelah ciuman pertama itu, beberapa kali Jonathan menemuinya dan syukurlah pria itu tidak lagi mencoba menciumnya. Sarah tidak tahu perasaannya akan hal tersebut. Apakah ia senang Jonathan berhenti menciumnya, ataukah sebaliknya.
Jonathan membawanya berkeliling kota dengan mobil sportnya. Mengajaknya menonton film romantis di bioskop. Memilihkan sepatu, baju dan tas yang sebenarnya tidak dibutuhkan Sarah. Jonathan berperilaku sebagai pacar yang baik. Jonathan bahkan berencana membelikan Sarah boneka beruang sebesar dirinya.
Saat berada di pusat perbelanjaan, ada sebuah toko yang memajang boneka beruang besar. Sarah bukan tipe perempuan yang menyukai boneka, namun entah kenapa Sarah menyukai yang satu itu. Jonathan melihat perhatian Sarah ke arah boneka tersebut. Tanpa menunggu lama Jonathan meminta pemilik toko membungkukkan boneka itu, tapi sayangnya yang berada di etalase telah dibeli orang, sore itu akan diantar ke pembeli tersebut. Sarah menarik tangan Jonathan, mengatakan bukan masalah jika boneka tersebut telah jadi milik orang lain. Sarah tak terlalu menginginkannya. Tentu saja Sarah berbohong dan Jonathan tidak percaya. Jonathan berkeras membeli boneka yang sama seperti yang dipajang dietalase. Pemilik toko berjanji akan mengirimkan boneka yang sama, Jonathan membayar sejumlah uang lalu memberikan alamatnya.
Sudah tiga hari berlalu. Sarah dan Jonathan belum bertemu sejak saat itu. Jonathan sedang berada di Semarang.
Tiga hari tidak melihat Jonathan, Sarah menyadari ada rasa rindu pada pria itu. Senyum jailnya, kata-kata menggodanya, sentuhan nakalnya, entah kenapa Sarah mulai terbiasa dengan itu semua. Jonathan tidak berlagak sopan padanya. Pria itu akan mengatakan apa yang dia rasakan sampai Sarah memerah. Ketika mendapati pipi Sarah bersemu, Jonathan tertawa. Tawa yang mulai dikenal Sarah.
Ponsel Sarah berbunyi. Itu dari Jonathan. Sarah melap tangan di celemek yang dipakainya lalu menjawab. "Iya?" Apakah nadanya begitu antusias? Jonathan tidak boleh tahu Sarah memiliki rindu untuknya.
"Kau dimana?" Sangat Jonathan sekali, tidak ada basa-basi.
"Di rumah teman." Sarah tidak berbohong.
"Si Daniel itu?"
"Iya."
Terjadi keheningan, Sarah pikir Jonathan mematikan teleponnya tapi saat Sarah melihat ponselnya, panggilan masih berlangsung. "Kau baik-baik saja?" tanya Sarah, bingung dengan kebisuan Jonathan.
Jonathan berdehem. "Aku hanya ingin memberitahu bonekanya akan diantar sore ini''.
"Oh, ok. Terimakasih karena sudah membelikan ku boneka." Terjadi keheningan lagi.
"Aku akan meneleponmu lagi nanti."
"Baiklah." Sarah meletakkan ponsel di meja makan. Sesaat bingung dengan percakapannya dengan Jonathan. Ada apa dengan pria itu. Tempo hari saat pamit akan keluar kota, semua baik-baik saja. Apakah ada masalah dengan pekerjaan pria itu?
Gadis itu melanjutkan kegiatan memasaknya. Sebentar lagi Daniel pulang. Sarah ingin masakannya selesai sebelum Daniel pulang.
Beberapa menit kemudian semua hidangan yang ia masak telah berada di atas meja. Udang asam manis, Sarah memilih udang dengan ukuran besar. Rebusan sawi, toge dan kacang polong. Sarah menggoreng tahu dan tempe, dan membuat sambal belacan yang sangat disukai Daniel. Saat Daniel pulang, pria itu akan sangat menyukai semua makanan ini.
"Aku mencium aroma lezat dari dapurku,'' seru Daniel, tak lama setelah Sarah menyeduh teh ke dalam gelas. "Kau membuat perutku lapar, Sarah." Daniel menutup pintu di belakangnya, berjalan menghampiri Sarah. Begitu Daniel menemukan pintu rumahnya tidak terkunci, ia tahu siapa yang berada di dalamnya. Dan ia benar.
Sarah tersenyum, dengan pinggul bersandar di meja makan Sarah seperti seorang istri yang sedang menunggu kepulangan suaminya. Gadis itu tersenyum, menyodorkan segelas teh untuk Daniel.
"Ada kopi?" Pinta Daniel, mengikuti kemanapun Sarah melangkah. ''kau akan jadi seorang istri yang luar biasa, sayang." Ungkap Daniel, berpikir kalau Tunangan Sarah adalah pria beruntung. Kursi dia tarik untuknya sendiri.
"Terimakasi," sahut Sarah dengan senyuman, ia memberikan kopi yang diminta Daniel. ''kuharap suamiku nanti akan berpikiran sama sepertimu." Jonathan memiliki semua yang diinginkan wanita pada diri seorang pria. Wajah yang tampan, kekayaan yang melimpah, status keluarga yang terpandang. Jonathan takkan sulit memilih istri. Sarah takut Jonathan, sekalipun telah menikah dengannya, takkan puas dengan satu wanita. Lelaki seperti Jonathan terlalu berbahaya untuk gadis seperti Sarah. Sarah sama sekali tidak berpengalaman menyenangkan pria. Sarah berharap masakan yang dimasak dengan tulus dapat membuat pria seperti Jonathan bertahan. Sejauh ini Jonathan tidak terlihat seperti laki-laki brengsek yang suka selingkuh, itu semua pasti hanya ketakutan Sarah saja.
"Kalian tampaknya semakin dekat," terka Daniel. Daniel tidak membuang waktu lama, pria itu memastikan piringnya penuh. Sarah duduk di sebrang Daniel, menggangguk pada pria itu. "Pantas kau tidak pernah meneleponku lagi," candanya. "Rupanya kau telah melupakanku setelah menemukan pengganti ku."
Bibir Sarah merenggut. "Aku tidak melupakanku, Daniel. Buktinya aku masih mau memasak untukmu."
"Itu takkan terjadi setelah kau menikah." Bayangan Sarah terikat dengan seorang lelaki menimbulkan sengatan tajam di dada Daniel. Saat itu Sarah takkan menjadi orang yang sama lagi.
Daniel mungkin benar. Tapi Sarah bisa membuat Jonathan mengerti bahwa hubungannya dengan Daniel murni persahabatan. "Kita akan tetap berteman meski aku menikah, Daniel. Kau satu-satunya sahabatku. Mana mungkin aku melupakanmu."
Mengangguk, Daniel tidak ingin memperpanjang topik tersebut. Yang diinginkannya sekarang hanyalah menikmati semua yang dimasak Sarah. Pria itu mengerang karena rasa lezat yang ia makan.
"Kau dimaafkan karena tidak memberiku kabar sama sekali. Aku mengira kau telah menikah diam-diam tanpa memberitahuku. Dan suamimu yang kaya itu melarangmu berhubungan dengan orang sepertiku."
Sarah memberi Daniel senyum terimakasih. "Jonathan tidak seperti yang kau bayangkan, Daniel. Dia memang kaya tapi pikirannya tidak dangkal."
"Mulai menyukainya sekarang, Sarah?" Daniel memandangnya dari balik bulu matanya yang gelap. ''Dia berhasil menarik perhatianmu." Alis Daniel terangkat, menunggu jawaban.
"Jonathan laki-laki yang baik," Sarah mengakui. "Kurasa hanya soal waktu agar aku bisa terbiasa dengannya."
"Aku mendoakan yang terbaik untukmu, sayang." Dan itu benar.
"Terimakasih. Bagaimana pekerjaanmu?" Sarah senang melihat Daniel makan dengan lahap. Sewaktu Sarah memeriksa kulkas Daniel tadi, yang ada hanya telur dan mentega. Sarah tahu setiap bulan Daniel mengirim uang ke orangtuanya. Karena itu Daniel harus menghemat, pria itu lebih mendahulukan kepentingan adik dan orangtua dibanding dirinya sendiri.
"Tidak ada masalah."
"Baguslah." Sahut Sarah. ''aku mengisi kulkasmu dengan sayuran dan ikan. Sayur dan ikan-ikan itu sudah kubersihkan, jadi kau tinggal memasaknya saja. Ada juga buah di kulkasmu, kau harus memakannya."
Persahabatan yang mereka miliki sangat berarti untuk Sarah begitupun dengan Daniel. Daniel adalah satu-satunya teman untuk Sarah yang sangat dekat. Di masa-masa kuliah Daniel banyak membantunya. Daniel pendengar yang baik. Daniel merupakan sosok kakak yang tidak Sarah miliki.
"Setelah gajian aku akan membayar."
"Berhentilah bersikap menyebalkan, Daniel. Aku akan marah kalau kau melakukannya."
"Aku tidak suka berutang."
"Siapa bilang kau berutang? Aku membelikannya untukmu. Kau tidak berutang sama sekali."
"Baiklah, kalau kau memaksa."
"Aku memaksa."
****
Kediaman Jonathan yang megah berada jauh dari suara-suara kendaraan. Jaraknya lumayan jauh dari kota sehingga suasananya begitu tenang. Jonathan mendapatkan rumah itu setelah membelinya dari pelelangan. Jonathan tidak menyewakannya karena senang tinggal disana kalau berada di Semarang. Apalagi kota tersebut termasuk sering dikunjunginya karena sebagian besar bisnisnya ada di kota tersebut. Jonathan mempekerjakan beberapa orang untuk merawat rumah itu, memastikan segalanya baik jika Jonathan sedang tinggal disana.
Alan entah untuk urusan apa juga berada di kota yang sama dengan Jonathan. mengetahui Jonathan berada di rumahnya di Semarang, Alan segera datang menemuinya. Biasanya pria itu akan tinggal di sana beberapa waktu.
"Kau menggerutu seperti nenek-nenek yang kehilangan gigi palsunya," ejek Alan, memutar bola mata saat Jonathan malah membanting pintu. "Ada masalah pada tunanganmu?" Jonathan mengumpat hanya karena masalah sepele, sekretarisnya pun menerima pelototan dari Jonathan padahal si sekretaris hanya ingin menyampaikan beberapa perkembangan bisnisnya. Jonathan seolah tak ingin diganggu oleh masalah apapun. Karena itulah Alan menarik sebuah kesimpulan.
Jonathan duduk di kursinya kemudian membuka halaman pertama dari surat pernjanjian yang pagi tadi diantar sekretarisnya. "Kenapa kau mengira begitu?" tanyanya sambil lalu. Setiap baris kata ya diabaca tak bisa ia cermati dengan baik. Yang hinggap di pikirannya malah Sarah bersama Daniel yang katanya teman itu.
Alan bukan hanya sepupu, tapi juga seorang teman bagi Jonathan. Tak perduli seberapa sering mereka bertengkar, keduanya tetap tak terpisahkan. Mengendikkan bahu, Alan berkata, "Hanya firasat seorang teman."
Satu lagi halaman yang ia lewati dengan kalimat yang masih belum sepenuhnya iapahami. "Firasatmu bisa saja salah." Sarah bilang Daniel hanya seorang sahabat. Jonathan harus mempercayai gadis itu, tidak ada pilihan lain. Sarah pasti tidak senang jika dilarang bertemu dengan temannya.
"Tapi kali ini pasti benar. Dari tadi kau hanya membolak-balik kertas sialan itu." Alan menunjuk dengan matanya kertas yang dipegang Jonathan. "Dia berubah pikiran?" Terka Alan. Ia merujuk ke gadis yang dijodohkan dengan Jonathan. Alan mengakui kehebatan Jonathan dalam memenangkan hati perempuan, tapi selalu ada yang pertama kali untuk sebuah kesalahan, kan? "Tadi pagi kau baik-baik saja."
"Kau benar," Jonathan menyerah membaca isi perjanjian tersebut. "Aku bisa membacanya nanti." Jonathan memanggil pelayan, meminta sebotol anggur dan dua gelas kosong. "Segelas anggur mungkin bisa membuat pikiranku lebih tenang." Katanya.
Alan tertawa pelan. "Dugaanku benarkan, ini pasti soal perempuan itu."
"Dia punya sahabat.," Mulai Jonathan.
"Lalu apa masalahnya, sepupu? Kau tidak bermaksud mengurungnya untuk dirimu sendiri, kan?" Tatapan Alan penuh selidik. "Aku jamin dia takkan senang."
Pelayan datang membawa anggur dan dua gelas kosong. Alan menuang untuk Jonathan kemudian untuknya sendiri.
"Sarah bersahabat dengan seorang pria," ujar Jonathan setelah menghabiskan setengah gelas anggurnya. "Kau mengira aku tidak berusaha berpikir bahwa tidak ada yang terjadi diantara mereka selain pertemanan? Aku melakukannya tapi tidak sepenuhnya percaya."
Alan sependapat dengan Jonathan. "Kau sudah pernah bertemu di Daniel ini?"
"Belum." Jonathan menambah anggur ke gelasnya. "Saat ini mereka sedang bersama."
''kau cemburu, eh?"
Jonathan tidak menyukai gagasan tersebut. "ini bukan soal cemburu atau tidak cemburu. Sarah tidak menolak menikah denganku. Seharusnya dia menjaga kesetiaannya."
Terkekeh, Alan berkata dengan santai. "Kupikir kau orang paling tidak setia, Jo. Tempat tidurmu tidak pernah diisi oleh wanita yang sama setiap bulannya."
"Aku tidak berencana menikahi satupun dari mereka. Yang ini berbeda."
Alan tertawa lebar kali ini, ia bersulang dengan gelas kosong Jonathan yang kedua. "Aku penasaran dengan gadismu. Gadis yang bisa membuatmu cemburu."
"Aku tidak cemburu, sialan!" Sangkalnya. Alan terus tertawa, membuat Jonathan semakin jengkel.
Sudah tengah malam saat Jonathan masuk ke kamarnya. Alan membuatnya kesal dengan kata-kata tak masuk akalnya. Jonathan tidak mungkin cemburu, perasaan tersebut bukan jenis perasaan yang dimiliki Jonathan. Alan pasti sudah gila jika mengira demikian.
Sebotol anggur tak bisa membuat Jonathan mabuk. Ia masih sadar sepenuhnya ketika mengeluarkan ponsel dari saku lantas menelepon Sarah. Pria itu menunggu panggilannya dijawab. Ia menyibak gorden jendela kamarnya, ia dihadapkan pada pemandangan taman yang gelap. Jonathan masih menunggu gadis di sebrang menjawab teleponnya. Jonathan berhenti saat panggilan ke empat. Sarah pasti sudah tidur, batinnya.
Jonathan berbaring di tempat tidur dengan tatapan ke langit-langit kamar. Matanya belum bisa terpejam. Sebaliknya dengan gadis yang tengah iapikirkan. Sarah terlelap dengan memeluk boneka beruang yang sore tadi diantar ke rumahnya. Sarah bahagia menerima hadiah tersebut. Ia berjanji akan berterimakasih langsung pada Jonathan jika pria itu kembali.
Paginya Sarah terbangun dan terkejut melihat panggilan Jonathan yang tidak terjawab. Gadis itu menelepon balik dan dijawab seorang perempuan yang mengaku sekretaris Jonathan. Jonathan sedang rapat dan tidak bisa diganggu kata perempuan itu. Lalu kenapa ponsel Jonathan bisa ada padanya?
Sarah menitip pesan agar Jonathan segera meneleponnya jika sudah ada waktu. Sekretaris Jonathan mengiyakan permintaan Sarah. Sarah menunggu seharian tapi tak ada kabar dari Jonathan. Saat akhirnya Jonathan menelepon jam dinding di kamar Sarah menunjukkan pukul sebelas malam. Sarah terlanjur tidak berselera.
Awalnya Sarah menuliskan telinga pada semua panggilan telepon Jonathan. Karena panggilan itu tak kunjung berhenti, kepala Sarah mulai sakit mendengar nada panggilnya yang berputar berkali- kali, Jonathan tidak mau menyerah.
"Halo," Sarah membuat nada mengantuk pada suaranya. Masih kesal karena Jonathan mengabaikannya. Apakah karena disana ada perempuan lain yang menemaninya. Pemikiran tersebut membuatnya semakin tak keruan. Hubungan mereka memang masih belum jelas, tapi bagi Sarah ciuman mereka kemarin berarti sesuatu. Tidakkkan Jonathan merasakan hal yang sama?
"Maaf aku baru meneleponmu sekarang," kata pria itu. "Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan."
"Iya, aku mengerti."
"Lusa aku pulang." Jonathan memberitahu, berharap Sarah senang mendengarnya.
"Oh,"
"Kau tidak senang bertemu denganku?" Terdengar Sarah menghela napas. "Semua baik-baik saja?"
"Aku mengantuk." Apalagi yang bisa diakatakan? Sarah masih baru memiliki hubungan seperti hubungannya dengan Jonathan. "Sampai bertemu lusa, Jo. Selamat malam." Sarah mematikan telepon, tidak menunggu kalimat penutup dari Jonathan.
Gadis itu memeluk bonekanya lagi, kemudian tertidur dengan kebimbangan di dalam hatinya.
***""""
***********************
Sampai jumpa di bab berikutnya. Salam sayang
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro