Bab 2
Alan, sepupu Jonathan masih berusaha meyakinkan Jonathan kalau perjodohannya adalah ide konyol. Banyak wanita yang tertarik pada Jonathan, kenapa melalui jalan sulit demi mendapatkan istri. Alan mengenal Jonathan hampir sepanjang hidupnya, laki-laki itu memiliki masa kecil yang cukup sulit, walau keluarganya memiliki kekayaan berlimpah. Kedua orangtua Jonathan meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal di usianya yang baru menginjak lima tahun. Ibu dari ayahnya mengambil hak asuh atas dirinya, Jonathan cukup menyayangi sang nenek untuk melakukan apapun yang diminta wanita tua itu.
Segera menikah. Itulah yang diinginkan Imelda disisa-sisa usianya yang semakin menua. Imelda ingin melihat Jonathan menikah sebelum ia pergi. Jonathan berusia tiga puluh dua tahun, cukup matang memulai sebuah pernikahan. Menurut Imelda. Imelda bosan melihat Jonathan bergonta-ganti pasangan. Tak satupun dari kekasihnya itu yang ia sukai. Terlalu nyentrik, terlalu berpakaian terbuka, terlalu haus kekayaan, di mata Imelda semuanya terlalu...
Sampai Arif, rekan bisnis keluarga, menyarankan agar Jonathan dijodohkan dengan putrinya. Imelda melihat foto Sarah, ia gadis yang manis. Masih muda dan tidak berpenampilan mencolok. Imelda langsung menyukainya walau belum bertemu. Arif meyakinkan Imelda, Jonathan pun akan menyukai Sarah.
"Kau belum berubah pikiran, eh?" Dengus Alan, menyeringai sok tahu segalanya. ''segera setelah kau melingkarkan cincin ke jari gadis itu kau akan lihat perangkap perempuan sungguh mengerikan.'' bergidik, Alan membayangkan dirinya diposisi sepupunya. Terikat dengan seorang gadis, harus siap dengan kerecokan rumah tangga, Alan pikir itu adalah neraka. Alan masih punya banyak kalimat yang akan diucapkannya yang tak satupun ditanggapi serius oleh Jonathan.
"Perhatikan saja sodokanmu, sepupu." Ujar Jonathan, menggeleng saat beberapa kali Alan membuat bolanya berserak namun tak satupun masuk ke lobang. ''perempuan tak semengerikan yang kau pikirkan." Atau setidaknya yang satu ini, batin Jonathan. Bayangan Sarah menggigit bibir berputar dikepalanya. Sarah gadis cantik, sangat cantik. Rambut tembaganya berkilau kontras dengan kulit seputih susu. Ketika ia bercinta dengan Sarah, Jonathan akan sangat senang membenamkan wajah di rambut indah itu. Sementara dirinya memiliki Sarah, gadis itu akan mengeluarkan desahan merdu yang memabukkan.
Tempat tidurnya terasa dingin akhir-akhir ini.
Pada akhirnya Jonathan harus menikah. Istri yang cantik dari keluarga terpandang sudah didepan mata, kenapa harus mencari yang lain. Sarah sepertinya perempuan penurut. Jonathan memang menginginkan istri yang penurut.
Kalau bukan karena mendengar tawa Alan, Jonathan pasti semakin larut dalam lamunan. "Di wajahmu tergambar jelas maksudmu, man." Skor Alan masih tertinggal jauh dari Jonathan. Permainan biliar yang sedari tadi mereka mainkan, selalu saja Jonathan berhasil memasukkan bola, namun sebaliknya dengan Alan. Alan terlalu sibuk mengkuliahi sepupunya itu, seolah-olah dirinya sangat paham masalah rumah tangga. "Kalau aku tidak mengenalmu dengan baik aku pasti mengira kau anak ingusan yang sedang memimpikan payudara montok seorang wanita. Kau sudah tidur dengannya? Bagaimana? Apakah dia sehebat itu di ranjang?"
Alan dan Jonathan selalu membicarakan apapun yang mereka suka. Apalagi saat tak ada orang lain selain mereka berdua. Pikiran keduanya hampir sama kotornya. Jonathan selalu memilih private room jika akan bermain billiar dengan Alan, karena ia tahu mulut sepupunya itu tidak ada filternya.
"Tempat tidurku bukan urusanmu, sialan."
"Kau tidak bisa menyembunyikan niatmu itu, Jo."
"Aku bahkan belum menciumnya. Aku tidak mau membuat Sarah ketakutan." Jonathan menunggu beberapa bolanya masuk. " Yes," ujarnya senang ketika beberapa bola masuk ke lobang. "Kau kalah, Alan."
Alan sama sekali tak peduli dengan kekalahannya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu dari saku celana, memberikannya pada Jonathan. Perhatiannya tertarik ke kalimat Jonathan sebelum pria itu memenangkan permainan. "Kalau begitu kau belum bertemu dengannya?"
"Tadi malam," memasukkan uang kemenangannya ke saku, Jonathan menambahkan. "Dia masih dua puluh dua tahun. Aku tidak ingin membuatnya lari ketakutan. Masih ada lain waktu untuk mencoba keberuntunganku." Ia meletakkan stiknya di meja, melirik sepupunya. "Malam ini aku bermaksud menemuinya lagi." Terlukis senyuman kecil di bibirnya. Ada misi yang harus diselesaikan.
"Kau tak mau menunggu lama ya, kawan," Alan kembali tertawa. "Aku baru tahu kau penyuka gadis muda." Semua perempuan yang dekat dengan Jonathan tak ada yang berusia muda. Mereka cukup dewasa untuk mengerti apa yang diinginkan pria dewasa. Si gadis ini pastilah bukan gadis biasa. ''kapan kau mengenalkannya padaku?"
"Aku takkan melakukannya sampai hari pernikahanku tiba," ucap Jonathan tenang. "Sarah pasti menilaiku buruk jika tahu aku berteman dengan orang sepertimu." tentu saja ia berkata begitu hanya agar Alan jadi kesal dan ia berhasil.
Alan merenggut kesal. "Dia tidak tahu kau lebih buruk dariku kalau soal wanita. Kau tidak pernah serius pada satu perempuan pun."
Mendelik, Jonathan menyeringai. "Selalu ada yang pertama, sepupu. Dan kau takkan mengatakan padanya berapa banyak kekasihku, kurasa itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan."
Jonathan dan Alan keluar dari ruangan itu, Jonathan memberi tips ke pelayan yang melayani mereka saat bermain tadi. Mereka berpisah di tempat parkir. Sebelum meninggalkan Jonathan, Alan sempat mengatakan. "Ngomong-ngomong, biasanya perempuan bernama Sarah cantik-cantik."
Jonathan mengacuhkan sepupunya, provokasi pria itu takkan berhasil padanya. Jonathan melajukan mobil ke salah satu hotel yang dia miliki. Asistennya sudah menunggunya, laporan-laporan yang perlu diabaca dan tandatangani.
Menjelang sore Jonathan menyempatkan waktunya pergi ke cafe yang baru dua bulan terakhir beroperasi. Ada satu dua hal yang perlu diperiksanya di sana. Jonathan tidak pernah lalai mengurus bisnisnya. Ada beberapa orang yang ia percaya untuk membantunya, meski begitu Jonathan tidak pernah lepas tangan sepenuhnya.
Keuletan dan kerja kerasnya membuat Jonathan menjadi salah satu pengusaha muda yang sukses. Jonathan terkenal tegas dan tak pandang bulu. Semua pekerjanya diberi imbalan yang cukup sesuai dengan hasil kerjanya.
Jonathan disegani dalam dunia bisnis walau usianya terbilang muda. Soal perempuan Jonathan kerap bermain-main, tapi tidak soal pekerjaannya.
*****
Sudah pukul setengah delapan malam saat Jonathan kembali ke rumah. Imelda tengah menyulam sebuah topi di kursi ruang tamu, perempuan itu menunggu Jonathan pulang. Topi tersebut sudah hampir selesai, seminggu terakhir dia menyulamnya. Topi itu akan diaberikan pada calon istri Jonathan.
"Sudah malam, nenek. Sebaiknya kau melanjutkan topi itu besok. Matamu akan sakit jika kau tetap melanjutkannya." Kecupan hangat ia berikan di puncak kepala Imelda. "Mau kubantu kau berjalan ke kamarmu?"
Imelda berhenti sebentar dari aktifitasnya. Melepas kaca matanya, ia melap mata yang sedikit perih. ''kau sudah pulang rupanya," tuturnya pelan. "Semalam aku menunggumu. Aku ingin tahu bagaimana perkenalanmu dengan gadis itu. Arif meyakinkanku bahwa kau pasti menyukai putrinya. Kuharap begitu karena aku tidak percaya dengan semua kekasih-kekasihmu itu, mereka berwajah cantik tapi tidak dengan pribadinya." Imelda menaikkan kembali kacamatanya, mengatur letaknya agar pas di hidungnya yang mancung. ''kau menyukainya?"
Imelda memakai piyama lavender berbahan tebal. Rambutnya yang putih disanggul tinggi di puncak kepala. Kulit keriputnya tampak pucat, sesekali Jonathan mendengar suara batuk neneknya. "Aku menyukainya." Ia berkata jujur, bukan semata ingin menyenangkan hati sang nenek. "Malam ini aku berencana menemuinya lagi, bagaimana menurutmu?'' bagi Jonathan, Imelda Adalah nenek, ibu, dan ayah untuknya. Tiga peran tersebut diemban Imelda sejak usia Jonathan masih lima tahun. "Kau harus tetap sehat jika ingin melihatku menikah, Nek."
Jonathan duduk di depan Imelda tak ada meja diantara mereka, Imelda mengulurkan tangannya yang tua menyentuh pipi Jonathan. "Aku bahkan ingin melihat kau memiliki anak, Jo. Aku akan sehat untuk melihat itu." Ada keyakinan dalam nada suaranya.
"Karena itu," Jonathan berdiri, menolak berlama-lama menghadapi suasana yang sentimentil. Lelaki tersebut membantu Imelda berdiri. "Nenek harus istirahat. Tidur larut tidak baik untuk perempuan seumuranmu."
"Belum ada jam delapan." Rengut Imelda.
"Hanya tinggal beberapa menit lagi menuju angka itu."
Setelah memastikan Imelda berada di tempat tidur dan beristirahat, Jonathan membersihkan diri. Mandi dengan cepat dan berpakaian dengan sama cepatnya, ia telah siap hanya dengan beberapa menit. Kaos dan celana pendek membuat penampilannya tampak santai. Rambutnya basah, disisir kebelakang. Jonathan pria yang tampan. Tak satupun kekasihnya menyangkal hal tersebut.
Jonathan tiba di rumah Sarah beberapa menit kemudian, ia masuk dan langsung bertemu dengan Arif. Arif senang bertemu dengannya, tentu saja. "Sarah tidak mengatakan apapun tentang kedatanganku," imbuhnya menyambut calon menantu.
Jonathan memang tidak memberitahu Sarah. Kejutan kecil sesekali diperlukan untuk merebut gadis muda itu. "Sarah tidak tahu aku datang," ujarnya ringan. "Apakah aku berkunjung terlalu malam?" Setengah sembilan. Sebenarnya itu cukup larut, tapi tampaknya Arif tidak berpikir begitu.
"Oh, tidak..tidak." Arif tentu takkan membiarkan Jonathan pergi begitu saja. Menantu seperti Jonathan tidak banyak stoknya. "Aku akan menyuruh seseorang memanggil putriku. Sementara itu bagaimana kalau kita minum teh dulu."
Tidak sopan menolak ajakan yang begitu ramah. Jonathan mengangguk sementara Arif mengarahkannya kesebuah kursi rotan yang tampak elegan. Tak berapa lama seorang perempuan mengantar dua cangkir teh. Arif dan Jonathan mengobrol. Tentu saja sebagian besar membahas soal bisnis. Jonathan menyukai topik tersebut, setidaknya dia bisa mengimbangi Arif yang telah memulai bisnisnya sejak muda. Arif juga memuji putrinya, dengan penuh kasih kalau Jonathan simpulkan. Walau Sarah belum bekerja di perusahaan manapun-karena masih baru wisuda, Arif bangga terhadapnya. Sarah adalah gadis yang mandiri dan tidak cengeng, tapi sedikit keras kepala.
"Aku mengerti Sarah bisa bersikap begitu. dia mendapatkannya dari Adeline, ibunya. Jika kalian bersama, kuharap kau bisa memaklumi sifatnya itu. Dia gadis yang baik."
Perceraian Arif dan Adeline sudah diketahui orang-orang sekitar mereka, termasuk Jonathan. Namun apa yang menjadi penyebabnya Jonathan tidak tahu dan tidak tertarik untuk tahu
Hal tersebut bukan urusannya.
"Apakah Sarah setuju menikah denganku?" tanya Jonathan.
"Aku tidak bisa mempercayakan hidupnya pada sembarang pria." Ada kegundahan di pelupuk mata Arif. "Suatu saat dia pasti mengerti."
Itu berarti Sarah tidak setuju, Jonathan menarik kesimpulan.
*****
"Kau pasti membuat ayahku terkesan," pungkas Sarah tanpa menunggu lama saat mereka cuma berdua. Sarah membiarkan pria itu membawanya entah kemana. "Dia menyebutmu calon suamiku."
Terdengar jelas sindirian Sarah untuknya. Jonathan memberikannya senyuman malaikat. "Kau tahu pasti penyebabnya, sayang."
Sarah melirik lelaki di sampingnya, terenyak dengan kesombongan pria itu. "Kuakui kau memang tampan, tapi Daniel juga enak dipandang. Kenapa ayah tidak pernah menyukainya. Ataukah hanya karena uang nilai seseorang itu bertambah? Sungguh miris pemikiran seperti itu. Segala sesuatu tidak seharusnya dinilai dari seberapa kaya orang tersebut, atau seberapa mewah huniannya. Aku sama sekali tidak sejutu dengan pemikiran seperti itu."
"Siapa Daniel?"
"Hah?"
Dari banyaknya kata yang diucapkan Sarah, hanya satu kata yang didengar Jonathan. Daniel. "Dia pacarmu?"
"Siapa?"
"Daniel."
"Daniel sahabatku."
"Oh."
Hanya oh?
Jonathan tidak pernah percaya pada persahabatan seorang perempuan dan laki-laki dewasa tanpa melibatkan perasaan. Dia pun begitu. Berkenalan dengan wanita, mereka berteman, pada akhirnya berujung di tempat tidur. Dan saat ini Sarah mengatakan Daniel adalah seorang sahabat? Bisakah Jonathan percaya?
Mungkin perasaan Sarah ke Daniel murni perasaan seorang teman, apakah Daniel juga menganggapnya begitu? Jonathan sama sekali tidak percaya dengan teori tersebut.
"Kita akan kemana?" tanya Sarah karena Jonathan mendadak jadi pendiam. Kali ini Sarah mengenakan rok lipat selutut berwarna abu muda, dan blouse motif polkadot kuning. Benar-benar penampilan seorang remaja. Sangat manis.
"Aku tidak tahu,'' kata Jonathan asal. "Ada hal yang kau sukai?" Jonathan menepis rasa tidak sukanya pada pria bernama Daniel ini. Belum ada alasan untuk melarang Sarah berteman dengan Daniel. Sarah pasti menganggapnya gila jika melakukannya.
"Aku suka masak." Sarah bisa menghabiskan waktu seharian di dapur bereksperimen dengan masakan, karena itulah ia memilih jurusan tata boga. Ia ingin menjadi koki. Bekerja di sebuah hotel atau restoran mewah. Tapi tampaknya mimpi itu takkan mungkin tercapai.
Mungkinkah Jonathan mengijinkan Sarah menjadi koki walau telah menikah dengannya?
"Memasak?" Sekilas Jonathan memandang Sarah. ''perutku pasti selalu kenyang jika kau jadi istriku."
"Kalaupun kita tidak menikah kau bisa memperkerjakan koki hebat untuk mengenyangkan perutmu." Itu bukan lah hal sulit. Jonathan punya banyak uang. Apa yang tak bisa dibeli pria itu?
"Berbeda jika istriku yang melakukannya." Tersirat banyak arti pada nada suara Jonathan, ditambah senyuman nakalnya. Sarah memerah. Sejak bertemu Jonathan, Sarah lebih sering tersipu. "Aku belum makan malam, kita ke apartemenku saja." Sebuah ide terlintas di kepala Jonathan.
Alis Sarah berkerut. "Ngapain?"
"Kau masakkan sesuatu untukku," senyum nakal Jonathan kembali. "Hitung-hitung percobaan sebelum kau jadi istriku." Sarah tidak mengiyakan namun dia pun tidak menolak.
Jonathan membawa Sarah menaiki lift menuju apartemennya. "Kau tinggal disini?" tanya Sarah setelah Jonathan membukakan pintu. Sarah entah kenapa membandingkan ruangan itu dengan rumah Daniel. Bagaikan langit dan bumi. Pantas ayahnya tidak menyukai Daniel. Daniel sangat jauh dari kriteria Ayahnya.
"Sesekali." Jawab Jonathan. "Kantorku tidak jauh dari sini. Kalau sudah terlalu malam, aku malas pulang ke rumah, aku tidur di sini."
Sarah menggangguk. Apa daya dirinya yang tidak pernah tidur di tempat lain selain rumahnya sendiri. Pernah suatu malam hujan deras, Sarah berada di rumah Daniel. Mereka telah selesai mengerjakan tugas kuliah namun Daniel tak bisa mengantar Sarah pulang. Daniel tidak punya mobil, ia hanya punya motor. Sarah menelepon Ayahnya, memberitahunya bahwa ia tidak pulang. Ayahnya marah, dan segera menyuruh orang menjemputnya. Setiap kali Sarah ingin tidur di luar ayahnya tak pernah mengijinkan. Segala sesuatu tentang Sarah terserah pada keputusan Arif.
Jonathan seorang laki-laki. Mungkin situasinya akan berbeda jika Sarah anak laki-laki. Mungkin Arif tidak seprotektif sekarang. Entahlah, Sarah takkan pernah tahu karena hanya dia seorang keturunan ayahnya.
Di lubuk hatinya yang terdalam, Sarah menginginkan kehidupan yang berbeda jika ia menikah dengan Jonathan. Ia akan berdamai dengan ayahnya, biarlah pernikahan itu terjadi asalkan dirinya terbebas dari kekangan ayahnya. Tapi bagaimana jika ia lepas dari Arif yang diktator dan terjebak dengan Jonathan yang lebih parah?
Sesaat Sarah memiliki keinginan tidur di apartemen Jonathan semalam saja. Bagaimana reaksi ayahnya. Apakah Arif akan marah? Sama seperti saat Sarah di rumah Daniel dulu? Dorongan itu begitu besar.
"Di rumah kau tinggal sendirian juga?''
Jonathan menggeleng, membuka kulkas, melihat apakah ada sesuatu yang bisa dimasak. Sayangnya tidak ada. Hanya ada beberapa biskuit, minuman kaleng dan telor. Tak ada yang lain. "Aku tinggal dengan nenekku. Usianya delapan puluh, aku tidak akan membiarkannya tinggal sendirian." Ada beberapa pelayan di sana, namun Jonathan tidak pernah meninggalkan Imelda lama. Sesekali mungkin, saat ia keluar kota.
"Hanya kau cucu yang dia punya?" Sarah meletakkan bokongnya di sofa Jonathan yang lembut, roknya bergoyang saat ia menggerakkan kaki. Sejauh ini Jonathan bersikap baik padanya. Ada sesuatu yang ditahan pria itu tapi Sarah tidak tidaj tahu apa. "Anaknya bagaimana?"
"Ayahku anak satu-satunya. Ayah dan ibuku meninggal dalam sebuah kecelakaan." Sudah bertahun-tahun namun masih menyisakan luka untuk Jonathan. Mengulang cerita yang sama setiap kali ada yang bertanya, menimbulkan kepahitan di lidahnya.
"Oh, Tuhan." Sarah bangkit dari duduknya, menghampiri Jonathan di depan kulkas yang telah ditutup. Merasa bersalah untuknya. "Maafkan aku, Jo. Aku tidak bermaksud." Entah keberanian dari mana, Sarah menangkup pipi pria itu. Ada kesedihan di sana. "Maafkan aku. Aku tidak tahu." Arif dan Adeline bercerai, namun keduanya masih hidup. Sarah masih memiliki orangtua. Ia masih bisa bertemu dengan Ayah dan ibunya. Berbeda dengan Jonathan. Sarah tak sanggup membayang jika dirinya menjadi Jonathan. Di usia lima tahun sudah kehilangan kedua orangtua.
"Bukan masalah," ujar Jonathan, meremas tangan Sarah dan menggenggamnya. "Aku berusia lima tahun saat mereka pergi. Waktu menjadi obat untuk kesedihanku. Mereka telah bahagia disana. Nenekku merawatku. Dia sangat menyayangiku, aku beruntung". Topik tentang kematian orangtuanya bukanlah topik yang ingin diulang-ulangnya, namun jika Sarah akan menjadi istrinya gadis itu juga perlu tahu.
"Dia pasti perempupuan baik," bisik Sarah.
"Seperti malaikat untukku."
"Kau pasti sayang padanya."
"Sangat menyayanginya sampai menuruti semua permintaanya."
"Termasuk perjodohan ini?"
Tinggi Sarah hanya sebatas dada Jonathan, gadis itu terbilang mungil bila dibanding kekasih-kekasihnya sebelumnya. Namun yang satu ini sangat cantik. Matanya yang bulat dengan bulu mata lentik tengah menatap padanya. Bibir merah muda itu telah datang ke mimpinya, membuat Jonathan tak mungkin lupa. Tangan yang masih digenggam Jonathan ditariknya hingga tubuh Sarah bergerak semakin dekat padanya. Aroma manis gadis itu memikatnya. Apakah rasanya semanis aromanya? Jonathan bertanya-tanya. Sudah lama sejak terakhir kali Jonathan bersama seorang wanita. Setahun mungkin? Dan kini hasrat untuk memiliki itu timbul tanpa dapat dicegahya. Jonathan tidak ingin membuat Sarah ketakutan. Terlihat jelas gadis itu masih polos.
"Dia hanya ingin yang terbaik untukku," tutur Jonathan. "Sama dengan ayahmu yang menginginkan yang terbaik untukmu."
Tubuhnya dan Jonathan begitu dekat. Sarah gugup, namun menolak menunjukkannya. Jonathan pasti akan menggodanya jika tampak tidak nyaman. Jonathan pasti mengira ia sudah berpengalaman. Sarah menolak sebaliknya.
Yang Sarah tidak tahu Jonathan berusaha menyesuaikan diri dengan kepolosannya.
Daniel tidak pernah membuatnya gugup. Daniel juga tidak pernah membuat jantungnya berdegup seperti sekarang. Sarah menyesal tidak mengenal lebih banyak pria selain Daniel. Tapi toh Arif tidak mungkin mengijinkan Sarah berteman dengan sembarang pria. Arif selalu mengatur hidupnya.
Perlahan. Jonathan akan melakukannya dengan perlahan. Pelan, sepelan mungkin.
"Kau berubah pikiran tentang memasak makan malam untukmu?" Jantung Sarah semakin tak tertolong tatkala Jonathan menurunkan wajahnya.
"Tidak ada bahan makanan di kulkasku," ujar pria itu serak. "Aku tidak keberatan menyantapmu sebagai makan malamku," Jonathan ingin berkata begitu namun mampu menahan lidahnya. Alih-alih ia mengatakan."Sebaiknya kita memesan makanan saja."
"Hhmm, aku tidak keberatan."
Kini tak ada lagi jarak diantara mereka. Tangan Jonathan meraup pinggang gadis itu, menahannya tak bisa menjauh. Tangannya yang lain berada di leher Sarah. "Kapan ciuman pertamamu?" Suaranya begitu serak, Sarah dapat melihat jakunnya naik turun.
Kapan? Apakah itu perlu? Apakah saat ayahnya menciumnya dipipi termasuk di dalamnya.
"Ayahku mengecup pipiku saat aku berulang tahun ke tujuh belas." Jonathan terlalu lihai menguasai keadaan, ia mampu membuat Sarah tak berkutik. Sarah takut, hal ini merupakan pengalaman baru baginya. Keingintahuannya yang polos membuatnya tak ingin menjauh.
Harusnya Sarah menjauh. Jonathan terlalu liar untuknya. Terlalu cerdik dan terlalu berpengalaman.
"Selain ayahmu?"
Sentuhan jemari lelaki itu di lehernya terasa menggelitik ke sekujur tubuh Sarah. Bagaimana mungkin sebuah sentuhan berakibat seperti itu pada dirinya.
"Tidak ada."
"Tidak ada sama sekali?"
"Jika ada yang menciumku selain ayahku aku pasti bisa mengingatnya."
Senyum kemenangan tercetak di wajah Jonathan, seakan pria itu telah memenangkan sebuah tropi. "Aku ingin menciummu, sayang. Dan kau akan mengingatnya seumur hidupmu."
*******
Di bab sebelumnya banyak sekali typo. Maaf untuk typonya🥰🥰
Terimakasih untuk dukungan kalian untukku. Semoga selalu ada waktu menulis untuk menghibur kalian.
Aku perempuan dengan satu anak berusia 2 tahun 5 bulan. Dan dengan pekerjaan segudang. Ditambah ada suami yang juga minta perhatian, harus kerja ekstra menyisihkan waktu.
Terimakasih untuk vote dan komen kalian. Itu sangat membantu. Dan untuk yang nanyain pdf, aku minta maaf nggak ada pdf untuk di jual lagi. Dan di PS juga begitu. Kemarin penerbitku bermasalah dengan google, semua ebook ditarik dari google. Sekali lagi maaf untuk yang udah kecarian pdf dan ebook cerita-ceritaku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro