Bab 1
Saat itu musim hujan di bulan November. Di luar hujan telah reda, menyisakan udara dingin yang membuat tubuh Sarah ingin berada di balik selimut tebal. Biskuit coklat yang dibelinya tempo hari belum ia makan semuanya, pasti menyenangkan mengunyahnya dengan selimut menutupi kaki seraya menonton drama kesukaannya. Sarah menghela napas, itu bisa ia lakukan setelah selesai bicara dengan ayahnya.
Radolf, sekretaris ayahnya membukakan pintu. "Pak Arif sudah menunggu, Non.'' Radolf berperawakan tinggi, berkulit coklat gelap, bola matanya bahkan lebih gelap dari kulitnya. Sarah tidak ingat pria itu pernah tersenyum padanya, atau memang ia tidak pernah tersenyum sama sekali? Entahlah, mungkin dengan begitu Sarah bisa mengerti kenapa laki-laki itu tahan bekerja dengan ayahnya yang kaku dan dingin. Karena mereka memiliki karakter yang sama.
Walau Radolf tidak tersenyum padanya, Sarah memberinya senyum tipis. "Kau tahu apa yang akan dikatakan Ayahku padaku?" Sarah tahu ia takkan mendapatkan jawaban, namun ia tetap mencoba. Masih terlalu pagi untuk membicarakan hal penting, ia bahkan belum sarapan. Tapi jika ia dipanggil ke ruang kerja ayahnya, itu pasti karena ada hal yang penting. Perhatian jarang sekali diberikan Arif pada Sarah. Segala kebutuhan Sarah tercukupi, agar suasana hatinya membaik ia menganggap hal itu sebagai bentuk perhatian ayahnya.
"Kau akan segera mengetahuinya." Mengangguk, Radolf menyingkir dari jalannya. " Aku tidak diberitahu apapun."
"Baiklah," ujar Sarah pelan. Ia akan bertemu dengan ayahnya, bukan sekelompok singa lapar. Kenapa dirinya harus setakut itu. Bisa dihitung dengan jari tangannya berapa kali ia berada di ruangan itu. Dan setiap keluar dari sana Sarah tak pernah merasa lebih baik daripada saat ia masuk.
Arif, ayahnya itu bertubuh gemuk, pendek dan berkulit putih. Berambut gelap begitupun dengan matanya. Sarah sama sekali tak mirip ayahnya selain kulitnya yang putih. Sarah lebih tinggi dari Arif. Rambut Sarah berwarna tembaga, ia mendapatnya dari Adeline, ibunya. Matanya coklat, juga didapatnya dari Adeline. Hidungnya juga begitu. Sarah begitu mirip dengan ibunya. Ibunya berdarah Inggris. Arif dan Adeline bercerai saat usia Sarah lima tahun. Arif menang atas hak asuh dirinya, sementara Adeline kembali ke Inggris. Tiga tahun setelah bercerai Adeline menikah lagi. Arif sebisa mungkin membatasi komunikasi Sarah dengan ibunya. Tak banyak yang Sarah ketahui, meski singkat waktu yang ia lewati bersama sang ibu, Sarah mencintainya.
Sarah tidak pernah bertanya mengapa orang tuanya bercerai. Dengan sifat dingin dan diktator ayahnya perempuan mana yang sanggup bertahan. Sarah menyayangi Arif, bagaimanapun Arif adalah ayahnya. Namun terkadang sifat pria itu membuat Sarah jengkel dan ingin berkata kotor. Seperti sekarang ini. Sarah berusaha percaya bahwa Arif juga mencintainya, dengan caranya sendiri.
"Aku sudah memilihkan calon suami yang cocok untukmu."
Pintu di belakangnya baru saja ditutup, Sarah belum sepenuhnya menatap Arif ketika kalimat tegas Arif terlontar begitu saja.
Sarah menahan semburan yang ingin keluar dari mulutnya, alih-alih ia bertanya. "Maksud Ayah suami untukku?" Rasa terkejut Sarah terdengar dari nada suaranya. "Ayah pasti bercanda." Tambahnya saat Arif mengangguk.
"Duduk lah dulu."
Sudah terlambat untuk itu, Sarah jengkel. Tidak, ia marah. "Aku berdiri saja, Ayah." Dengan begitu ia bisa segera pergi ketika kalimat Arif beribah semakin tidak masuk akal.
Arif melipat tangannya, meletakkan siku di atas meja. Mata gelap pria itu menatap putri satu-satunya. Ia tahu Sarah akan mewarisi sifat keras kepala Adeline, tapi ia takkan membiarkan putrinya menentang keputusannya. Arif tahu apa yang terbaik untuk Sarah. Atau setidaknya menurutnya begitu. "Kuliahmu sudah selesai," mulainya. "Memiliki suami yang mapan adalah ide bagus."
"Baru dua Minggu, Ayah." Sarah menjaga suaranya tetap tenang. "Aku belum mulai bekerja. Aku masih ingin menikmati masa mudaku sebelum berakhir di pernikahan. Aku tidak mau menikah dengan laki-laki yang tidak kukenal dan tidak kucintai."
"Usiamu sudah dua puluh dua tahun, Nak." Arif tak mau menyerah. "Kau dan dia akan segera berkenalan, dan untuk soal cinta," ia membiarkan kata-katanya menggantung sesaat, ingatannya seakan mundur ke masa lalu. "Aku dan ibumu dulu saling mencintai, tapi kami bercerai. Apa gunanya cinta?" Beberapa detik yang singkat Sarah mendengar nada getir pada suara ayahnya, tapi Sarah menolak percaya Ayahnya punya sisi lembut di dirinya.
Dulu. Arif menggunakan kata dulu. Sarah ragu Arif pernah mencintai Adeline. Mungkin saja itu hanya obsesi. Adeline wanita cantik, terpelajar dan dari keluarga terhormat. Banyak teman-teman Arif ingin menjadikannya istri. Arif terdorong mengalahkan temannya.
"Itu bukan cinta." Sarah ingin meratap. Jadi beginilah akhirnya, ia dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal. Apakah pria itu buruk rupa? Ataukah sudah tua. Atau lebih parah lagi berwatak angkuh seperti ayahnya? "Aku tidak ingin menikah. Tidak sekarang, Ayah."
Arif tidak memberinya pilihan. "Kau akan menikah, Sarah. Kau tidak sedang berada di posisi bisa memilih. Pertemuanmu dengan calon suamimu akan segera diatur." Segera setelah kalimat terakhirnya terucap, Arif berdiri kemudian berjalan mendekati Sarah. "Dia laki-laki bertanggungjawab, kau pasti menyukainya."
***"
Sarah memesan taksi. Ia bisa saja menggunakan salah satu mobil yang berjejer rapi di garasi, tapi ia tidak melakukannya. Ia tak bisa berkendara sekarang tanpa takut menabrak sesuatu. Pikirannya sedang kacau.
"Lagi-lagi kau masuk tanpa mengetuk pintu." Daniel baru keluar dari kamar mandi saat melihat Sarah tidur telentang di sofa panjang. Sarah merupakan teman baiknya semasa kuliah. Daniel dan Sarah kuliah di kampus yang sama dengan jurusan berbeda. Daniel manejemen dan Sarah Tata boga. Awal perkenalan mereka Sarah adalah gadis tomboi, meski tomboi Sarah tetap cantik. Setahun terakhir gadis itu berubah semakin cantik. Dan sifat tomboinya sudah menghilang.
Beberapa detik ia memperhatikan wajah Sarah yang cantik. Tak pernah bosan ia melakukannya, mungkin selamanya takkan pernah. Sarah adalah perempuan paling cantik yang pernah dilihatnya. Rambut gadis itu menutupi sebagian wajahnya, pandangannya mengarah ke atas. Seakan sedang memikirkan sesuatu.
"Maukah kau menikah denganku, Daniel??'' Sarah tidak menatap Daniel saat mengatakannya. Perasaan Sarah campur aduk. Antara takut dan kesal. Takut dirinya akan menikahi laki-laki tua yang jelek dan angkuh dan kesal dengan sifat ayahnya yang tak berperasaan. Sarah tidak mencintai Daniel, tapi setidaknya ia menyukai temannya itu. Cinta mungkin bisa datang dengan sendirinya jika mereka bersama. Dengan begitu ayahnya tidak bisa menjodohkannya lagi. Bayangan menikah dengan Daniel masih lebih baik dibanding dengan laki-laki tak dikenalnya itu. Daniel baik dan cukup enak dilihat. Walau pria itu berasal dari keluarga sederhana, tapi itu bukan masalah.
Terdengar kekehan Daniel. "Aku tidak percaya barusan kau melamarku, Sarah." Handuk yang dipakainya melap dadanya yang basah dilemparnya ke saran yang langsung disingkirkan gadis tersebut dari wajahnya. "Kau salah minum obat pagi ini?'' Daniel sudah akan menawari Sarah minum saat gadis itu bersuara lagi.
"Munurutmu kita cocok menikah, Dan?" Kali ini Sarah menatapnya dengan iris coklat yang sangat Daniel suka. Daniel menaikkan alis, berpikir gadis itu sedang dalam masalah. Dan jawabannya segera datang. "Aku dijodohkan. Aku bahkan tidak tahu siapa laki-laki itu."
Daniel termangu. Ia bukannya tidak pernah memikirkan Sarah menjadi istrinya. Sarah gadis cantik. Tidak, cantik terlalu biasa untuk melukiskan wajah gadis itu. Mempesona. Yah, Sarah sangat mempesona hingga membuatnya lebih dari sakali ingin mengutarakan perasaannya. Namun ia tak bisa. Sarah terlalu berbeda. Ia hanya beruntung bisa berteman dengan Sarah hanya karena gadis itu mau berteman dengannya. Kasta mereka berbeda. Lagi pula Daniel baru lulus kuliah, ada dua adiknya yang membutuhkan biaya sekolah. Daniel bisa dibilang tulang punggung keluarga. Ia tak bisa begitu saja menikah. Ibunya pasti menyukai gagasan pernikahannya, tapi Daniel masih ingin membantu orangtuanya membiayai sekolah adik-adiknya.
Sarah melihat ketidakyakinan Daniel, gadis itu menghela napas. "Tampaknya perjodohanku akan tetap terjadi," ujarnya pelan. Ini bahkan lebih ngeri dari mimpi buruk. Mimpinya tak pernah seburuk ini.
"Maafkan aku, Sarah. Aku menc---" Daniel menelan ludah, dengan cepat mengganti kata-katanya. "Aku bukan tidak mau menikah denganmu," sambungnya perlahan. Mencari kalimat yang cocok agak tak melukai perasaan gadis itu. "Kau tahu aku punya adik yang perlu biaya sekolah. Aku yakin masih ada cara lain agar ayahmu membatalkan niatnya." Apa yang harus dilakukannya? Menikah dengan Sarah ia tidak bisa, membayang Sarah menikah dengan laki-laki lain pun ia tidak sanggup. Daniel mengumpat dalam hati.
"Ayahku takkan membatalkannya, Dan. Dia sangat serius. Sebenarnya sudah berbulan-bulan sebelum aku wisuda dia mengisyaratkan rencananya itu. Aku pura-pura tidak peduli, sampai tadi pagi. Kurasa aku harus mempersiapkan diriku bertemu dengan calon suamiku." Ringisan kecil terdengar dari bibirnya yang penuh. "Calon suami. Dua Minggu lalu saat kupikir setelah wisuda aku bisa memulai kehidupanku yang baru, bekerja dan menikmati hidupku, sekarang---" mata Sarah memindai ruangan tersebut, ruangan yang sudah familiar di benaknya karena terlalu sering berada di sana. Tak banyak perabotan di sana, lagipula Daniel memang tidak memerlukan banyak perabot. Hanya ada set sofa dan TV, motor Daniel bahkan belum dikeluarkan. Rumah Daniel tidak memiliki garasi. Hanya sebuah rumah kecil yang nyaman dengan satu kamar, ruang tamu, dan dapur dengan ukuran yang sama. Kecil. Daniel cukup pembersih. Meski tak ada sentuhan wanita di rumahnya, Sarah merasa nyaman berada di sana.
"Yah, mungkin aku tetap bisa menikmati hidupku yang baru. Sebagai seorang istri."
Daniel membuatkan Sarah nasi goreng karena gadis itu bilang ia belum sarapan. Mereka mengobrol, Daniel berjanji akan selalu ada bila Sarah membutuhkannya. Jika calon suaminya bukan pria baik, Sarah selalu bisa menemui Daniel. Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk membantu.
Jika Sarah lebih memperhatikan, Daniel berubah murung sejak Sarah memberitahu tentang perjodohannya. Sebisa mungkin Daniel menutupi rasa sakit hatinya, bukan pada Sarah melainkan pada keadaan. Jika situasinya berbeda, Daniel dengan senang hati menjadikan Sarah istrinya.
Sebelum Sarah meninggalkan rumahnya, Daniel memberinya pelukan. "Pernikahanmu belum terjadi, sayang," bisiknya di telinga Sarah. "Jangan sesedih itu, kau terlihat jelek begitu." Dustanya. "Maafkan aku tidak bisa melakukan apapun mencegah perjodohanmu."
"Kau pria baik, Dan" ujar Sarah. Menarik diri, Sarah memberi Daniel senyum aku baik-baik saja. "Aku juga tidak bisa memaksamu menjalani kehidupan pernikahan denganku. Kau tidak mencintaiku, begitupun aku. Yang bisa kuharapkan sekarang adalah calon suamiku tidak menyukaiku."
"Kuharap juga begitu."
"Kau berjanji tak akan meninggalkanku kan, Dan? Bisa saja aku tidak menyukai pria itu, aku perlu teman untuk menghiburku."
"Aku di sini. Aku belum berniat menjual rumahku pada siapapun.."
Taksi yang dipesan Sarah datang, kemudian ia naik dan meninggalkan Daniel yang masih menatap ke arah taksi yang membawa Sarah di dalamnya.
"Haruskah aku melakukan sesuatu?" Renungnya dalam hati.
****
Waktu berlalu penuh kemuraman bagi Sarah. Jika tak ada Daniel yang memberinya semangat serta meyakinkannya pernikahan tak seburuk yang ia bayangkan, Sarah pasti sudah kehilangan kewarasannya. Pernikahannya pasti menyenangkan kalau saja Sarah mencintai pria yang akan ia nikahi.
Tak ada teman wanita yang bisa dijadikan tempat berbagi cerita. Hanya ada Daniel. Sarah bukan gadis yang pandai bergaul. Andai ada ibunya di dekatnya, Sarah pasti bisa melewati ini dengan lebih tenang. Sarah beruntung ia masih memiliki Daniel. Pada akhirnya Sarah harus bertemu dengan calon suaminya. Situasi tersebut tak mungkin terelakkan.
Sarah hampir menabrak Radolf saat ia berjalan ke ruang kerja Arif. Kenapa pria itu seperti prangko? "Ayahku ada?" Radolf menggangguk. Sarah mengetuk pintu dua kali kemudian membukanya. "Aku ingin tahu nama pria itu, Ayah." Tuturnya langsung, ia tak ingin berbasa-basi.
Arif langsung tahu siapa pria yang dimaksud putrinya. Arif cukup senang Sarah bertanya, itu menunjukkan putrinya tidak terlalu membenci perjodohannya lagi. Arif menyambut dengan senyuman, memberi jawaban untuk pertanyaan Sarah. "Jonathan."
Seperti terakhir kali Sarah berada di ruangan itu, kali ini pun Sarah tidak mau duduk. "Jonathan?"
"Jonathan Phelan. Kau pasti menyukainya, Sarah sayang."
"Aku ingin bertemu dengannya, Ayah."
Alis Arif terangkat. "Kau tidak sedang merencanakan sesuatu, kan?"
Menggeleng, Sarah menahan dirinya mencibir. Itu pasti bukan sesuatu yang akan disukai ayahnya. Bukan berarti sekarang Sarah peduli terhadap apa yang disukai ayahnya, ia hanya tidak ingin membuat keributan yang tak perlu.
"Kalau tidak ada kemungkinan ayah mengurungkan niat ayah, kupikir tidak ada alasan menunda pertemuanku dengannya. Semakin cepat aku mengenalnya semakin banyak pula waktuku menyesuaikan diri sebelum hari pernikahan itu tiba."
Arif tampaknya sependapat dengan Sarah karena beberapa hari kemudian Sarah sedang memasuki restoran tempat Jonathan Phelan menunggunya. Jonathan pasti bukan orang sembarangan, restoran itu cukup mewah.
Sarah mengira mereka akan bertemu di sebuah cafe sederhana. Hal itu lebih bagus, dengan secangkir teh hijau.
Sarah tidak pernah terlihat tidak cantik. Karena itulah beberapa pasang mata menatapnya, mengikuti langkah kakinya yang jenjang. Rambut tembaganya ia biarkan tergerai, dengan riasan tipis Sarah bahkan terlihat lebih muda dari usianya.
Sarah memberitahu nomor mejanya kepada pelayan. Dengan cepat pelayan mengantarnya. Di meja tersebut ada secangkir kopi, namun tak ada Jonathan disana.
"Mungkin beliau sedang ke kamar mandi," pelayan menjawab pertanyaan Sarah yang tak terucap. Pelayan tersebut tersenyum ramah, berusaha tidak terlalu tertarik dengan penampilan Sarah.
Sarah mengenakan jeans panjang. Celana itu membentuk bokongnya yang berisi. Dipadu dengan kemeja oversize hijau mint.
"Terimakasih," Sarah menarik kursi, lalu duduk. "Aku akan menunggunya."
Pelayan bertanya apakah Sarah ingin memesan sesuatu. Sarah belum lapar. Sarah meminta dibawakan segelas teh. Untuk saat ini itu saja cukup. Pelayan meninggalkannya sendirian. Setelah lima menit Jonathan belum memperlihatkan batang hidungnya, Sarah mengirim pesan pada Daniel.
Me: Aku hampir bertemu dengannya.
Daniel: kuharap dia tidak jelek
Me: jika ini tidak berjalan baik, maukah kau menjemputku, Dan?
Daniel: pelayanmu siap melayani.
"Kuharap aku tidak membuatmu menunggu lama."
Suara serak seorang pria mengangetkan Sarah. Sarah hampir menjatuhkan ponselnya. Gadis itu menaikkan pandangan hingga bertemu dengan iris gelap dari seseorang berwajah tampan. Luar biasa tampan.
Sarah hampir tak percaya laki-laki setampan dia mencari istri dengan cara perjodohan. Seolah tak ada wanita lain yang bisa ditemukan dengan cara yang lebih baik. Apakah perjodohan sedang tren?
Penilaian singkat Sarah terhadap Jonathan terjadi begitu saja. Jonathan memiliki tinggi setidaknya diatas seratus delapan puluh. Berkulit coklat, tapi tidak secoklat kulit Rudolf. Rahangnya kokoh, bahunya bidang, lengannya terlihat kuat. Sarah bergidik membayangkan jika tangan itu memukul sesuatu. Bibirnya khas pria perokok dan Sepasang mata gelap yang tengah memandangnya.
"Setidaknya dia tidak jelek," batin Sarah. Dan bukan pria tua.
"Aku baru saja tiba," akhirnya Sarah menemukan suaranya. "Pelayan bilang kau ke kamar mandi." Selain dengan Daniel, Sarah tidak terbiasa berbicara santai dengan pria dewasa. Kehidupannya hanya berputar di sekolah. Ketika sekarang seharusnya Sarah mulai berbaur setelah lulus kuliah, ia harus menikah.
"Ada telepon yang perlu kujawab. Disini terlalu berisik.'' Jonathan memanggil pelayan. "Kau ingin makan sesuatu?"
"Aku sudah memesan teh." Sarah memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan kecil yang dibawanya. Makan adalah hal terakhir yang diinginkannya sekarang.
"Makan malammu?" Menyebutkan pesanannya, Jonathan menunggu Sarah.
"Aku belum lapar, mungkin nnti."
Sarah senang Jonathan tidak memaksanya memesan. Pria itu mengangguk ke pelayan dan pelayan itu pergi.
"Kupikir kau tidak akan datang," mata gelapnya menilai penampilan gadis di depannya. ''aku menunggu cukup lama, jika saat aku kembali kau belum datang, aku mungkin akan pergi."
"Aku minta maaf untuk keterlambatan ku," Sarah serius. Di detik- detik terakhir ia hampir berubah pikiran. "Dan...sejujurnya aku memang hhmm ingin batal datang. Sekali lagi maafkan aku. Orang sepertimu pasti memiliki banyak hal yang harus dikerjakan, dan aku membuatmu menunggu lama.''
"Aku diberitahu namamu Sarah." Jonathan mengganti topik. "Dan usiamu dua puluh dua. Kau terlihat berusia belasan."
"Kuanggap itu sebagai pujian." Sarah meyesap tehnya begitu pelayan meletakkannya di hadapannya. "Usiaku memang dua puluh dua. Dan masih terlalu muda untuk sebuah pernikahan."
"Ibuku berusia dua puluh saat menikah dengan ayahku."
"Yah, kurasa kami tidak memiliki pemikiran yang sama soal usia yang idel untuk menikah."
Beberapa saat Jonathan hanya memandang Sarah. Pipi Sarah bersemu mendapati perhatian seintens itu. "Aku menyukai rambutmu." Sarah terkejut dengan keterusterangan Jonathan. "Ayahmu berambut gelap kurasa."
"Rambut ibuku sepertiku."
Jonathan mengangguk. Makanannya kemudian datang, Jonathan sekali lagi meminta Sarah memesan sesuatu selain teh. Sarah berkeras tidak. Jonathan bahkan membiarkan gadis itu memakan miliknya sebagian jika mau. Jawaban Sarah tetap tidak.
Meski berat, Sarah harus mengakui ia menyukai pemandangan Jonathan sedang menyantap makan malamnya. Jonathan memilih gurami bakar sebagai menu utamanya, dengan beras merah dan beberapa sayur lalapan. Sebotol anggur menjadi pesanan terakhirnya.
"Apa tanggapanku tentang perjodohan ini?" tanya Jonathan tiba-tiba setelah beberap saat diam.
"Aku tidak tahu." Sarah menaikkan gelas tehnya ke bibir. Ketika bibir merah mudanya menyesap, perhatian Jonathan naik ke sana. Sarah menjilat bibir, gugup. Tindakan kecil itu menuai senyum kecil dari Jonathan. "Kau...kau mau menikah denganku?"
"Kenapa tidak?" Tatapan lelaki itu masih belum beralih. Terus terang ia menyukai pemandangan di depannya.
"Tapi kau tidak mengenalku."
"Kupikir kita sedang berkenalan," melap mulutnya denga tisu, Jonathan menuang anggur ke gelasnya. "Berhentilah menjilati bibirmu, Nona. Kau membuatku memikirkan hal-hal menarik yang berkaitan dengan menjilat."
Wajah Sarah berubah pink. Sontak ia memalingkan wajah dari tatapan nakal pria itu. Terlalu vulgar, menurutnya. Sarah tak terbiasa membicarakan hal-hal seperti itu.
Sarah mencari topik yang aman untuk dibicarakan. Berusaha tidak terpengaruh pada setiap godaan Jonathan. Jonathan jelas mahir melakukannya. Setiap kali Sarah membahas sesuatu, pria itu menyelipkan kata-kata rayuan. Entah lah, sepertinya Jonathan sengaja melakukannya. Untuk apa? Untuk membuatnya tak nyaman. Karena tentu saja pipi Sarah berubah semakin merah seiring godaan-godaan Jonathan terlontar.
Tak peduli sekeras apa Sarah mengalihkan pembicaraan yang mengarah ke bibir dan rayuan, Jonathan selalu dapat menemukan cela. Lagi dan lagi Sarah memerah.
********
Jonathan berkeras mengantar Sarah pulang. Sarah banyak diam, ia tak ingin mendengar kata-kata godaan dari Jonathan lagi.
Jonathan menyadari kebisuan Sarah, gadis itu tak banyak bicara. Jonathan tertawa dalam hati, tahu apa penyebabnya.
"Bagaimana sekarang?" Ujar Sarah pelan, saat mobil berhenti. "Apakah kau masih ingin meneruskan pernikahan ini?''
"Apakah kau tidak?" Jonathan mendapati ia tertarik pada gadis di sampingnya. Apalagi rambut dan bibirnya. Jonathan senang sekali menyentuh bagian itu jika Sarah mengijinkannya.
"Aku takut."
"Sarah," pelan sekali nada itu terdengar. "Apakah aku begitu seram?"
"Kau pasti bercanda, bukan itu maksudku."
"Lalu."
"Kau tidak mengerti."
"Kalau begitu buat aku mengerti."
"Kau tidak mencintaiku aku pun sebaliknya."
"Bercinta tidak selalu membutuhkan cinta, sayang." Senyuman itu lagi.
"Kau tidak membantu sama sekali." Sarah menatap keluar mobil. Rumah besar tempatnya tinggal. "Apakah rumahmu sebesar ini?" Rumah itu besar namun terasa menyesakkan sekarang.
"Jika kau menikah denganku, kau adalah rumahku, manis." Jonathan bercanda. Lengan kemeja Jonathan digulung hingga siku, ada jam tangan melingkar di sana. Hanya soal waktu, Sarah akhirnya akan menikah dengan Jonathan. Sarah tahu itu.
Menghela napas, Sarah kembali memandang wajah lelaki itu. "Kau tampak seperti perayu wanita." Itu pasti yang sebenarnya.
Tawa Jonathan pecah di mobil itu. "Biasanya perempuan suka mendengar kalimat seperti itu."
"Aku tidak."
"Baiklah,'' Jonathan menyentuh bibir bawah Sarah. Lancang sekali, namun Sarah tidak menepisnya. Ada dorongan untuk membiarkan Jonathan menyentuhnya. "Berhenti menggigitnya."
Sarah memegang tangan Jonathan, mengijinkannya sesaat seperti itu. Ia tidak fokus, sementara Jonathan kebalikannya. Sarah benci dengan sikap santai pria itu sementara pikiran Sarah kacau. "Berapa usiamu?"
"Tidakkah kau merasa pertanyaan itu harusnya kau tanyakan tadi saat kita masih di restoran?" Tangan yang tadi berada di bibir Sarah kini pindah ke balik punggungnya.
"Menurutku sama saja, kau bisa jawab sekarang."
"Sepuluh tahun lebih tua darimu." Melihat raut terkejut di wajah Sarah, Jonathan segera menambahkan. "Beri kesempatan pada hubungan ini. Kita takkan tahu sebelum mencoba."
"Kapan pernikahan itu terjadi?"
"Kenapa?" Lagi-lagi senyum nakal itu. "Kau tidak sabar berada di ranjangku?"
"Jonathan!!"
"Aku menyukai namaku di bibir indahmu, Sarah." Jonathan lagi-lagi menggoda Sarah, dan laki-laki itu menyukai setiap detiknya. "Besok aku akan bertemu denganmu lagi. Sekarang pergilah istirahat."
Sarah tidak mengunggu lama. Ia keluar dari mobil dan masuk ke rumah. Di kamarnya Sarah mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ada pesan Daniel disana.
Daniel: kau perlu aku menjemputmu?
Daniel: bagaimana dia?
Me: aku sudah di rumah. Dan aku tidak tahu bagaimana dia. Tapi setidaknya dia tidak jelek.
"Luar biasa tampan. Oh," gadis itu menutup mata dengan kedua tangan. "Apa yang harus aku lakukan?"
______________________
_________________
Udah lama sejak terakhir kali aku buka wattpad. Ngakak tahu kenapa tiba-tiba pengin nulis lagi. Masih part pertama. Semoga kalian suka. Typo dan lain-lain harap maklum. Nnti kuperbaiki kalau sempat. Salam sayang🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro