Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


Dua mangkok mie dengan rasa yang berbeda sudah tersaji di atas meja ruang tamu. Sarah dan Petang pun sudah duduk manis di atas karpet. Tidak duduk di sofa karena bila duduk di sofa kenikmatan memakan mie ala-ala warung lesehan tidak akan terasa. Mie masih sangat panas oleh karena itu keduanya masih belum berani untuk melahapnya. Mereka tidak ingin lidah mereka melepuh.

"Sampai sekarang gue masih aneh. Orang Korea kok pada kuat yah makan-makanan panas. Lidah mereka apa nggak ngelepuh?" Sarah membuka pembicaraan.

Pertengkaran tentang kriteria jodoh sepertinya telah dilupakan.

"Mana gue tahu. Gue kan bukan orang Korea," jawab Petang seadanya. Matanya sepenuhnya tercurah pada layar televisi yang tengah menayangkan sinetron, "Lo pasti korban sinetron ini."

"Apa?" tanya Sarah kebingungan.

"Lo nganggap gue meninggal terus jadi arwah gentayangan pasti gara-gara sinetron ini."

Sarah langsung menatap televisi dan tak lama tawanya langsung pecah, "Iya. Gara-gara sinetron ini. Kok lo tahu sih?"

"Riska."

"Siapa Riska?"

"Pramugari di maskapai tempat gue kerja. Dia suka cerita tentang sinetron ini. Kisahnya tentang si cowok yang meninggal pas mau ngelamar pacarnya. Dan akhirnya si cowok itu gentayangan. Iya kan?"

Bukannya menjawab pertanyaan Petang, Sarah malah balik bertanya, "Si Riska ceritain sinetron ini ke lo?"

"Bukanlah. Nggak ada kerjaan banget gue nyimak cerita macam gituan. Gue nggak sengaja denger pas dia cerita sambil nunjuk-nunjuk ke arah tv yang ada di ruang tunggu."

"Oh."

Keduanya mulai melahap mie yang sudah tak panas lagi sambil melanjutkan pembicaraan tentang makhluk gentayangan.

"Jadi nggak mungkin yah orang yang meninggal jadi hantu?"

"Nggak. Yang jadi hantu itu setan. Dan niat setan datang dalam wujud menyerupai manusia yang udah meninggal itu agar terjadi fitnah. Itu yang disebut fitnah kubur. Membicarakan orang yang sudah meninggal gara-gara jadi hantu. Padahal nyatanya nggak ada orang meninggal jadi hantu," ucap Petang disela kegiatannya melahap mie.

Setelah pembahasan tentang hantu selesai, pembicaraan keduanya kembali ke masalah tentang jodoh. Namun yang dibicarakan sekarang bukan jodoh untuk Sarah, namun jodoh untuk Petang.

"Gue pengen punya istri yang shalehah."

Sarah langsung tertawa, "Tumben pengen punya istri yang shalehah. Pantesan dari tadi ngomongnya tentang agama terus. Jangan-jangan lo udah punya calon yah?"

"Belum. Masih dalam tahap mencari."

"Selain shaleha. Ada kriteria lain nggak?"

"Ada. Mukanya harus enak di pandang. Jadi kalau nanti gue mandang muka dia lelah gue langsung hilang."

"Berarti istri lo harus cantik yah?"

"Nggak juga. Yang penting enak pas gue pandang."

"Kalau muka jerawatan kaya gue mana enak yah buat dipandang? Kasihan banget yah yang nanti jadi suami gue."

Petang langsung tertawa.

"Ya Allah lo tega banget sih Tang, tertawa di atas penderitaan gue," dengan membabi-buta Sarah memukuli kepala Petang dengan bantal sofa.

Petang tidak menghindar, tidak juga membalas. Dia hanya tertawa sambil berucap, "Lo harus banyak-banyak bersyukur. Di luar sana masih banyak yang mukanya lebih ancur dibandingin lo."

"Sadis banget sih lo!" hardik Sarah sambil terus memukuli Petang dengan bantal.

🍒🍒🍒

"Nggak mau," ucap Sarah pada Kakaknya saat Kakaknya mengutarakan niatnya untuk kembali memperkenalkan Sarah dengan sahabatnya.

"Kenapa nggak mau. Dia baik?"

"Kan baru seminggu yang lalu Abang ngenalin aku ke temen Abang yang namanya Putra. Kenapa Abang gencar banget mau ngejodohin aku? Aku ngebebanin Bang Ari sama Mama yah?"

Ari membelai pucuk kepala adiknya dengan penuh sayang, "Ngomong apa sih kamu? Abang sama sekali nggak ngerasa terbebani sama kamu. Memenuhi kebutuhan kamu itu emang udah kewajiban Abang."

"Terus kenapa Abang gencar banget mau ngejodohin aku? Umur aku masih dua puluh dua. Seharusnya Abang yang nyari jodoh. Umur Abang kan udah mau dua puluh tujuh."

"Abang berkewajiban buat memenuhi kebutuhan kamu dan Abang juga berkewajiban buat nyariin jodoh yang baik buat kamu."

"Aduh Abang baik banget sih. Jadi terharu Sarah," ucap Sarah. Tangannya bergerak seakan-akan tengah menghapus air mata yang membasahi pipinya padahal nyatanya tak ada setetes pun air mata yang membasahi pipinya.

"Nggak usah lebay," ucap Ari sambil mencubit Pipi Sarah. Meskipun umur adiknya sudah dua puluh dua tahun tapi di mata Ari, Sarah masih terlihat seperti adik kecilnya yang masih berusia tujuh tahun.

"Aduh Bang sakit... Jerawat aku kepencet," ucap Sarah sambil meringis.

"Maaf," Ari langsung melepaskan cubitannya, "Kok jerawat kamu makin banyak sih?" dia memperhatikan wajah adiknya yang dipenuhi oleh jerawat yang ukurannya lumayan besar-besar.

"Nggak tahu. Makin hari bukanya berkurang malah makin banyak aja."

"Besok ke dokter kulit yah. Abang temenin."

"Besok Abang off bukan?"

"Iya besok Abang off."

"Ih jangan besok Bang. Aku udah ada janji."

"Janji sama siapa?"

"Sama Petang."

"Mau kemana kalian?"

"Mau nonton konser."

"Konser apa?"

"CNBLUE."

Ari langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, "Umur udah dua puluh dua tahun tapi masih lihat yang kaya gituan. Kapan kamu mau berubahnya?"

"Emang kenapa sih kalau nonton konser. Emak-emak juga ada kok yang nonton konser?"

"Saat nonton konser Abang jamin kamu bakal kaya orang nggak waras. Joget-joget sambil jerit-jerit kaya orang gila. Itu yang nggak Abang suka."

"Nggak kok Bang. Aku nggak akan joget-joget sama jerit-jerit. Beneran aku cuma mau lihat mereka secara langsung aja. Sarah janji ini yang terakhir kalinya."

Ari menghela napas panjang, "Abang pegang janji kamu."

"Makasih Bang. Sarah sayang Abang," Sarah memeluk sosok Kakaknya dengan penuh sayang. Ari adalah sosok Kakak terbaik. Ari tidak pernah memaksakan kehendaknya itulah yang Sarah suka.

Saat dia tidak mau memakai kerudung. Ari tidak memaksanya untuk mau memakai kerudung, namun setiap hari Ari selalu dengan sabar mengingatkannya kalau kerudung itu wajib bagi wanita muslim. Hingga akhirnya hati Sarah luluh dan memutuskan untuk memakai kerudung saat kuliah semester tiga.

Ari sangat tahu seperti apa sifat Sarah. Sarah tidak bisa dipaksa atau dikerasin kalau dikerasin yang ada Sarah malah akan membangkang. Oleh karena itulah cara Ari mendidik Sarah adalah dengan cara yang halus. Bukan dengan cara memaksa apalagi memukul. Itu benar-benar bukan cara mendidik yang baik.

"Oh iya Mama kemana? Dari siang aku nggak lihat Mama?"

Ari terdiam. Tidak memberikan jawaban pada Sarah.

"Kemana Bang? Mama kemana? Kok pergi nggak ngasih tahu aku?"

"Mama ke Solo."

"Ngapain Mama ke Solo?"

"Jenguk Papa," jawab Ari dengan suara pelan.

Wajah Sarah langsung memerah. Matanya berkilat marah namun tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir Sarah.

"Jangan marah sama Mama. Bagaimana juga Mama dan Papa masih resmi sebagai suami istri jadi sudah menjadi kewajiban Mama untuk menemani Papa disaat Papa sakit."

"Kenapa harus Mama? Memang kemana si istri mudanya?" Sarah berucap dengan sangat sinis.

Ari mengabaikan ucapan sinis yang terucap dari bibir adiknya, "Besok berangkat jam berapa sama Petang?"

"Sembilan," Sarah menjawab singkat.

"Kamu udah shalat isya belum?"

Sarah menggeleng.

"Sana shalat. Jangan kebiasaan shalat isya menjelang subuh!" Ari sangat tahu kalau Sarah sering menunda-nunda shalat. Bahkan dia pernah mendapati Sarah melaksanakan shalat isya menjelang subuh. Saat itu dia kira Sarah sedang melaksanakan shalat malam namun ternyata yang Sarah kerjakan itu shalat isya. Dan hal itu terjadi bukan hanya sekali dua kali tapi sering seperti telah menjadi sebuah kebiasaan.

"Emang kenapa sih Bang? Yang pentingkan shalat."

"Karena waktu shalat Isya cuma sampai pertengahan malam."

Mata Sarah membulat sempurna, "Ih kenapa Abang baru ngasih tahu Sarah?"

"Karena Abang juga baru tahu. Kemarin Abang ikut kajian Ustadz Adi. Beliau bahas batas waktu shalat," terang Ari.

Ilmu agama Ari sangatlah terbatas. Beberapa tahun yang lalu hidupnya benar-benar ancur. Jangan pun ikut kajian, shalat pun sering dia tinggalkan. Sekarang dia sedang berusaha untuk memperbaiki diri agar dapat menjadi sosok anak yang baik untuk Mamanya, sosok Kakak yang baik untuk Sarah, sosok calon suami yang baik untuk calon istrinya kelak dan yang terpenting adalah agar dapat menjadi sosok hamba yang baik di mata Allah. Karena baik di mata makhluk tidak menjamin akan baik pula di mata Allah, sedangkan kalau baik di mata Allah sudah pasti baik juga di mata makhluk. Baik itu makhluk yang tinggal di bumi maupun makhluk yang tinggal di langit. Masya Allah.

"Mulai sekarang usahain shalat tepat waktu. Kita kan nggak tahu kapan malaikat maut bakal jemput kita. Coba bayangin kalau ternyata malaikat maut datang pas kita lagi nunda shalat. Itu berarti kita meninggal dalam keadaan meninggalkan shalat."

Sarah bergidik ngeri, "Ya udah aku mau shalat dulu Bang."

Ari tersenyum, "Jangan cepet-cepet yah shalatnya. Santai aja. Nggak akan ada yang hilang kok."

"Oke."

Meskipun sudah bilang Ok tetap saja Sarah melaksanakan shalat dengan cepat. Tidak sampai lima menit sepertinya. Tidak tahu apa yang dia baca dalam shalatnya hingga bisa secepat itu.

"Udah shalatnya?" tanya Ari saat Sarah sudah kembali duduk di sampingnya.

"Udah."

"Baca apa kamu pas shalat?"

"Bacaan shalat lah. Masa baca puisi," sahut Sarah jengkel. Tidak mau pembicaraan tentang shalat melebar ke mana-mana Sarah langsung mengalihkan pembicaraan, "Oh iya Bang kok aku ngerasa aneh yah."

"Aneh kenapa?"

"Aku nggak cantik, shalehah apalagi, tapi kok temen-temen Abang yang kayanya shaleh mau sih dijodohin sama aku?"

Ari membelai pucuk kepala Sarah, "Karena mereka mau bantu kamu biar jadi wanita shalehah."

"Masa? Kayanya mereka mau dijodohin sama aku karena mereka salah tangkap deh."

"Salah tangkap gimana?"

"Mereka kayanya nganggap aku sebaik Abang. Shalat selalu tepat waktu, rajin baca Al Qur'an, sama rajin ikut kajian padahal nyatanya aku belum bisa sebaik Abang."

"Nggak. Mereka tahu kok kamu kaya gimana. Mereka sendiri yang nanya ke Abang. Abang punya adik akhwat yang udah siap buat dikhitbah nggak. Yah Abang jawab punya. Umur kamu kan udah dua puluh dua. Kuliah udah selesai jadi menurut Abang kamu udah siap buat dikhitbah. Sebelum Abang kenalin mereka ke kamu, Abang jelasin dulu ke mereka kalau kamu itu masih dalam proses belajar. Terus kamu juga punya sifat keras kepala. Selain itu Abang juga nunjukkin foto kamu ke mereka yang emang niat serius nyari calon istri bukan pacar. Dan mereka bersedia buat bimbing kamu. Ya udah Abang kenalin ke kamu."

"Beneran?"

"Iya beneran masa bohongan."

"Mereka nggak kaget apa pas lihat foto aku."

"Keget kenapa?" tanya Ari kebingungan.

"Kakaknya cakep kok adiknya jelek banget."

"Astagfirullah Sarah kamu tuh ngomong apa sih."

"Nggak. Aku aneh aja. Kok mereka mau sih dikenalin sama aku."

"Mereka nggak aneh. Kamu yang aneh. Cowok baik kok ditolak. Udah sana tidur dah malem."

Sarah mengangguk. Dia mulai berjalan ke arah kamarnya yang ada di lantai dua. Dengan langkah pelan dia menapaki anak tangga.

"Ingat Sarah, nggak semua laki-laki shaleh punya sifat kaya Papa. Jadi jangan pukul rata semuanya. Itu nggak adil buat mereka."

Sarah terdiam. Menatap anak tangga yang sedang dia pijak.

Tidak semuanya seperti Papa, namun bukti diluaran sana menyatakan kebalikannya.

🍒🍒🍒

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro