Ketika Cita-Citamu Tak Sesuai dengan Takdirmu (Ep 1)
Aku menjelma menjadi seekor capung yang hinggap di depan rumahmu. Sesekali terbang dan hinggap lagi. Bersama mata lebar dan berwarna biru sapir, aku menatapmu. Kamu sedang duduk seorang diri. Aku bisa melihat dengan jelas. Tapi tidak dengan matamu yang terbatas. Tubuhku yang kecil dan netramu yang punya batasan, tak mampu melihat diriku, apalagi warnaku. Itulah manusia, tidak bisa melihat hal-hal di balik pagar, tersembunyi. Tetapi sesungguhnya, tidak sepenuhnya seperti itu. Jika kamu meresapi dan mengambil arti dari sesuatu yang membatasi dan menghalangi, pasti kamu tidak akan menari sedih dalam kegelisahan hati.
Padahal hari ini begitu segar. Tapi hatimu tak setegar rumput yang bergoyang. Kau tau. Rumput di bawah pagar rumahmu bercerita padaku bahwa kamu tak sekuat rumput itu. Dengarkan aku bercerita tentang kisah pilu Si Rumput, sahabatku. Dia begitu banyak diinjak. Tapi tak pernah berniat untuk patah hati. Seberapa pun dirinya dipangkas habis, dia tak menyerah untuk tumbuh lagi. Lalu bagaimana denganmu?
Aku terbangkan tubuhku. Lalu hinggap di pangkuanmu. Kamu melihatku dengan keluh kesah. Ya...aku paham kamu lelah. Sabar......seandainya capung punya bibir. Niscaya aku tunjukkan senjum teduh padamu. Tapi itu tidak mungkin. Sangat menyeramkan melihat seekor capung meringis. Tidak elegant.
Aku menatapmu dalam dan memancing dirimu nyaman. Lalu aku bilang "kamu boleh cerita apa saja padaku."
"Aku gagal lagi" jawabmu padaku.
Kamu menghela napas ke arahku dengan kencang sampai-sampai aku hampir-hampir terhempas. Helaan napasmu seolah mengisyaratkan bahwa lima menit lagi kamu ingin mati. Oleh karena itu, aku mengigitmu dan kau menjerit sakit. Lalu kau pandang aku penuh dendam seperti hendak mengikatku di kail pancing sebagai umpan untukmu memancing.
"Kau menggigitku. Sakit." Protesmu padaku.
"Supaya rasa sakit itu mengalihkan perhatianmu dari rasa kecewamu." Balasku.
"Terimakasih. Tapi kau tak berhasil". Selamat kau membuatku tak bergeming dengan ucapanmu.
Lalu kamu bertanya padaku apa salahmu sehingga kamu tak berhasil. Usaha sudah sampai bernanah. Tapi belum juga menemui jaya.
"Ahhhhhhhhh (kamu menjambak kepalamu). Ini semua karena aku tidak cantik."
"Apa maksudmu?" Tanyaku.
"Maksudku, lihat aku. Mereka terlalu memprioritaskan kecantikan daripada kemampuanku."
"Jangan berpikir seperti itu. Kamu itu cantik kok." Hiburku.
"Aku bisa mencium kebohongan dari napasmu. Berkacamata, gemuk, item, dan berjerawat. Itu maksudmu cantik?" Cecarmu.
Ok. Kamu gila. Cuma orang gila yang bisa mengatakan bisa merasakan napas dari seekor capung.
"Kamu hanya perlu menyadari kamu itu cantik. Kamu sangat cantik sayang."
"Bacot! (Kasar sekali). Kau yang tidak dalam kondisi sadar. Jika aku cantik. Bisakah kamu berubah menjadi pria dan ajak aku ke KUA." Kamu menantang.
"Ok. Fine. Kamu jelek." Aku menyerah.
Aku diam sejenak. Berdebat denganmu ternyata bukan hal yang mudah. Aku harus menata kosa kata. Supaya kamu dapat menerima. Tapi jika kali ini gagal. Aku harus pergi sejenak dan bertanya pada alam. Barang kali bunga dan ilalang dapat menjawab.
"Kamu tak ingin mencoba hal lain?" Tanyaku.
"Tidak. Cita-cita dan ambisiku adalah menjadi penyanyi. Aku tak akan menyerah dari hal ini."
"Cobalah yang lain! Aku dengar dari burung gereja bahwa manusia sibuk dengan persiapan CPNS. Cobalah! Barangkali rejeki." Bujukku.
"Tidak. Aku akan mati-matian mengejar impianku. Selain itu, aku tak ingin. Aku akan tetap fokus. Tunggu! Apa kau memintaku menyerah menggapai impianku?" Waow. Kau hebat berkata-kata.
"............" Aku diam. Kamu membuatku nampak jahat dalam fiksi ini.
"Hiks...hiks..hiks (kamu menangis lagi). Semua orang mengatakan suaraku seperti bunga di tepian surga. Begitu indah. Aku selalu menang dalam semua vestival. Tapi ketika aku ke agensi. Mereka enggan dan mengatakan aku kurang menarik. hiks...hiks. Apa aku harus oprasi plastik? Hiks...hiks." Rengekmu.
Aku pikir otakmu sedang tersumbat kerikil kecil hingga berpikir gila seperti ini. Aku menunggu tangismu redah. Baru kita bicara. Tapi sayangnya daya tahanmu tak begitu kuat. Tak sampai 10 menit. Kamu sudah lelah menangis.
"Masih mau menangis?" Tanyaku
"Aku lelah. Biar kucicil untuk nanti." Jawabmu gila.
"Kamu perempuan sinting!" Ejekku padamu. Lalu kamu balas dengan tertawa.
"Bagus. Kamu sudah berhasil tertawa." Pujiku padamu.
"Tapi aku masih kecewa." Ucapmu sambil membersihkan ingusmu. Sungguh kamu menjijikan.
"Kalau begitu aku pergi sebentar dulu. Satu jam lagi aku kembali." Pamitku untuk pergi.
Aku pergi meninggalkanmu. Sebenarnya tidak bisa disebut meninggalkanmu. Aku hanya terbang di atap rumahmu. Kebetulan, aku melihat sepasang burung merpati tua di atap rumahmu. Aku lalu menghampiri mereka. Aku memperkenalkan diriku dan mengajak mereka mengobrol. Tapi sayangnya Pejantan tua merpati itu tak bisa bersuara. Dia bisu. Caranya berbicara dengan menggelangkan leher dan kepala. Sayangnya aku tak paham sama sekali. Kebetulan, aku tidak pernah belajar bahasa isyarat bangsa merpati. Untungnya Istri merpati itu menjembatani aku berbicara dengan merpati bisu itu. Ternyata merpati itu sangat bijak. Ada banyak hal yang aku tanyakan. Termasuk masalahmu.
Satu jam kemudian. Aku sudah hinggap di pangkuanmu. Aku melihatmu sudah tidak menangis. Tapi sangat terasa kekesalanmu masih belum habis.
"Masih sedih?" Tanyaku padamu.
"Lebih dari yang kau tau." Jawabmu.
"Apa kamu tidak ingin mencoba hal lain selain yang berhubungan dengan cita-citamu?" Tanyaku.
"Apa maksudmu? Aku sangat ingin menjadi penyanyi. Tapi kau malah mencoba mematahkan semangatku." Cecarmu padaku.
Aku menghela napas lelah. Sungguh aku mulai kesal padamu.
"Bukan seperti itu. Maksudku, ini hidup. Jika menjadi penyanyi bukanlah takdirmu, apa yang akan kau lakukan? Dunia bukan malem yang bisa kau bentuk seperti yang kamu inginkan." Jelasku padamu.
"Maksudmu?"
"Jika takdir bertentangan dengan keinginanmu, apa yang akan kamu lakukan?"
"....."
"Burung merpati tua mengatakan padaku. kita tidak akan pernah tau jalan hidup kita akan seperti apa. Apa yang kita cita-citakan belum tentu mutlak jadi akhir kita. Inilah realitanya. Maksudku, ada banyak kesempatan di luar sana. Hanya karena tidak sesuai dengan ambisimu. Kamu menolaknya. Padahal ambisimu belum tentu menjadi milikmu. Bukankah itu namanya perjudian?"
"......"
"Bayangkan! Jika kita menolak semua kesempatan yang datang. Hanya karena tak linier dengan ambisi kita yang belum jelas akan menjadi kenyataan. Lalu pada akhirnya kamu tidak mendapatkan ambisimu dan tidak juga dengan yang lainnya karena penolakkanmu. Apa yang akan kamu perbuat sahabatku?"
"Bisa jadi Allah tak mengabulkan cita-citamu karena itu bukan yang kamu butuhkan. Allah itu lebih paham apa yang kita butuhkan meski kadang bertentangan dengan apa yang kita inginkan. Bisa jadi keinginanmu itu dapat membuatmu menjadi manusia yang lebih buruk. Allah ingin menjagamu dari hal itu."
Kamu hanya menunduk dan meresapi semua nasehatku.
"Bukan maksudku memaksamu berhenti mengejar cita-citamu. Aku hanya ingin menunjukkan sudut pandangku. Bisa saja salah. Bisa juga benar. Begini. Berjuanglah menggapai cita-citamu. Tapi jangan abaikan kesempatan lain. Coba saja. Allah sudah mencatat sajak takdir kita. Kita hanya perlu usaha. Jika itu takdir kita. Maka kita tidak akan melewati takdir itu dan takdir itu tidak akan melewati kita. Jangan angkuh dengan ketetapan Allah. Kamu hanya wayang bukan dalang. Kamu butuh cahaya. Tanpa cahaya tidak ada bayang-bayang. Ketersesatan teramat dalam jika manusia menolak cahaya yang datang."
"Iya. Aku paham." Ucapmu sambil menahan air mata.
"Baguslah. Semoga kamu berjaya. Aku harus pergi. Tapi aku akan kembali. Entah itu kapan. Ini pertemuan pertama kita. Tapi kita sudah sangat akrab tanpa mengenal. Sebab aku adalah bagian dari suara hatimu."
"Iya. Kita melakukan kesalahan." Katamu.
"Apa?" Tanyaku heran.
"Kita bahkan belum berkenalan. Namaku Putri. Siapa namamu?" Katamu memperkenalkan diri.
"Aku punya nama. Hanya saja aku tidak ingat. Emmm. Kamu boleh menamaiku." Kataku padamu.
"Dasar aneh. Iya. Kamu aku namai Si Aneh." Kamu sangat bahagia menamaiku.
"Nama yang bagus. Kalau begitu aku harus pergi. Tapi sebelumnya aku ingin katakan mantraku. Aku selalu mengucap mantraku sebelum pergi. Mantraku adalah.....Aku hanya datang di dua waktu dalam hidupmu. Di saat keadaan paling sedih dan saat paling bahagia dalam hidupmu. Lalu akan menghilang dalam hidupmu." Jelasku padamu.
Aku kemudian terbang pergi meninggalkanmu tanpa menoleh kebelakang. Diam-diam aku berdoa pada robbu. Supaya segera datang waktu kebahagianmu sehingga kita bisa bertemu.
BERSAMBUNG.......
Mudeng gak kawan???? Memang aku buat absurt. Kalian bisa tafsirkan sendiri ya.... Tapi jangan lupa komen ya. Apa kesan setelah membaca cerita ini? Rekomendasikan juga buat teman kalian. Kalau suka berikan vote. Kalau gak suka kasih vote juga. Hhhhhhh. Maksa....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro