Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.8

Jovanka mengamati mendung yang menggantung dari tempatnya berdiri. Kecemasan terlihat di wajahnya. Ia lupa membawa jas hujan dari rumah. Tadi pagi sempat terpikir untuk mampir ke minimarket, dan membeli jas hujan plastik. Namun, ia lupa.

"Kamu izin pulang cepat mau ke mana, Jo?" tanya Irma, saat melihat Jovanka mengemasi barang-barang sebelum waktu kerja berakhir.

"Ada perlu, penting."

Jovanka enggan mengatakan, jika keperluannya adalah bertemu dengan seorang sahabat sewaktu kuliah. Sahabatnya baru pulang dari Eropa setelah bertahun-tahun menetap di sana. Seperti yang dijanjikan, sahabatnya akan mentraktir makan di restoran hotel bintang lima. Di sinilah ia, menatap teras lobi kantor dengan perasaan khawatir akan hujan. Handphone bergetar, terlihat nama Mika di layar. Jovanka menggeser layar terbuka, dan meletakkan handphone di telinga.

"Jojo, kamu enggak ingkar janji, kan?" Suara Mika yang melengking menembus pendengaran Jovanka.

"Nggaklah, ini sudah mau jalan ke sana," jawab Jovanka, sambil melangkah melintasi parkiran menuju motornya.

"Baiklah, kita ketemu di sana. Jangan lupa bawa pacar, ya?"

Ucapan penutup dari Mika membuat Jovanka tertawa miris. Mika tahu jika dirinya sudah bertunangan, dan pasti menduga ia akan membawa sang tunangan ke acara reuni. Tidak ada yang tahu jika Mahendra bukan lagi kekasihnya. Mendesah pasrah, Jovanka memacu motor menuju hotel. Sial baginya, saat motor memasuki halaman parkir hotel, hujan mulai turun. Meski sudah berusaha secepat mungkin untuk berteduh, tetap saja kemeja dan rambutnya basah. Badannya sedikit menggigil saat memasuki lobi hotel yang berpendingin. Sambil mengibaskan rambutnya yang basah, ia memencet tombol di lift, menuju lantai tiga. Restoran tempatnya janjian berada di sana.

Mika mengirim pesan akan datang telat, karena terjebak macet. Demi untuk mengurangi rasa dingin dan menjaga penampilan agar lebih enak dilihat, Jovanka mengelap rambut dengan tisu sebelum masuk ke dalam restoran. Tersentak kaget saat sebuah suara yang ia kenal menyapanya.

"Jojo?"

Ia mendongak dan menatap mata hitam kebiruan milik Max. Selanjutnya apa yang dikatakan Max membuatnya tak percaya. Masih dalam keadaan bingung, ia digandeng masuk dan dikenalkan sebagai calon istri sang CEO. Jovanka berdiri gemetar dalam rangkulan Max, serta menerima tatapan membunuh dari Amarisa. Ia bahkan sama sekali tidak mengerti, apa yang terjadi.

"Kamu berani membawa gembel ini datang?" desis Amarisa sengit.

Max memandangnya sekilas. "Jangan mengatakan hal yang buruk tentang calon istriku, Amarisa. Dia seribu kali lebih baik darimu."

Pembelaan Max pada Jovanka membuat Amarisa melotot marah, sementara Steve terdiam sambil memandang wanita yang berdiri di sebelah sepupunya. Bersikap seolah-olah tidak kaget dengan kedatangan Jovanka yang tiba-tiba.

"Ayo, duduk di sini, Sayang. Kenalkan dulu, ini Pak Johanes," ucap Max, menarik lembut bahu Jovanka, mengenalkannya pada Pak Johanes.

"Wah-wah, kejutan manis," ucap Pak Johanes sambil menaikkan sebelah alis, saat Jovanka mencium punggung tangannya.

"Apa kabar, Pak?" sapa Jovanka gugup.

"Baik. Sini duduk."

Pak Johanes menunjuk kursi di dekatnya, yang semula tempat Max. Mau tidak mau Steven menggeser duduknya, dan membiarkan Max bersebelahan dengan Jovanka.

"Katakan padaku, Max. Kamu melepas Amarisa demi gadis ini?" tanya Pak Johanes terus terang.

Dengan tenang, Max meraih tangan Jovanka dan mengecupnya. "Cinta itu buta, Pak. Dan hati saya jatuh pada gadis ini dengan membabi-buta," ucapnya pelan. Memandang Jovanka yang menunduk.

Tindakannya membuat Jovanka makin gemetar. Hangat ciuman Max di punggung tangannya, makin membuatnya kehilangan konsentrasi. Ia datang ke hotel untuk reuni, bukan untuk menemani Max dan mengaku jadi calon istri.

'Apa yang terjadi sebenarnya?' batin Jovanka bingung.

"Siapa namamu?" tanya Pak Johanes kepadanya.

"Jovanka, Pak. Dipanggil Jojo," jawab Jovanka pelan.

"Bekerja di mana?"

Jovanka menggigit bibir bawahnya, melirik sekilas pada Max sebelum menjawab, "Vendros Impersia, bagian administrasi."

Dengkusan tidak sopan terdengar dari Amarisa. Wajahnya merah padam, dan menyiratkan kekesalan teramat dalam. Tangan bersedekap memandang Jovanka dan Max bergantian.

"Wah, cinta lokasi ternyata." Pak Johanes berkata sambil mengangguk geli. "Kapan pernikahannya, Max?"

Max terlihat berpikir sejenak lalu menjawab enteng, "Tiga minggu lagi jika tidak aral melintang."

Jawaban Max membuat Jovanka terkesiap, begitu pula Steve yang hampir menjatuhkan sendok kecil yang digunakannya untuk mengaduk kopi.

"Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri keluarga," lanjut Max lancar, berbicara seolah-olah pernikahan memang sudah lama dirancang. "Maklum, Jojo bukan tipe yang suka kemewahan, Pak."

Dengan penuh kelembutan, Max mengelus rambut Jovanka yang basah. Meraih tisu di atas meja, dan mulai mengelap rambut gadis yang ia akui sebagai calon istri.

"Sir, aku bisa sendiri," tolak Jovanka pelan.

"Santai saja, jangan kaku begitu. Mentang-mentang ada banyak orang," timpal Max mesra, seakan-akan sudah biasa jika rambut Jovanka basah, ia yang akan mengelap.

Tangan Max yang besar, terasa lembut di rambutnya. Jovanka menelan ludah, jantungnya berdegup cepat.

"Baiklah kalau begitu, aku tunggu undangan pernikahan kalian. Sekalian untuk membahas kontrak." Pak Johanes bangkit dari duduknya diikuti oleh yang lain, termasuk Amarisa.

"Pak, bisakah dipertimbangkan kembali masalah ini?" Amarisa berkata dengan tidak senang. "Mereka berdua bermain di belakang saya, dan sengaja menipu." Amarisa menunjuk pada Jovanka dan Max.

Merasa jika ia harus membela Max, Jovanka menjawab pelan, "Kami sudah saling mengenal sebelum Anda mengajukan lamaran pertunangan. Jika memang Max ingin menipumu, tentu dia bisa menikahimu dan tetap menjalin hubungan denganku."

"Kamuu!" Amarisa membentak marah. "Jangan ikut campur!"

"Sudah-sudah, aku paham sekarang." Pak Johanes menghentikan perdebatan. "Amarisa, kita bisa membahas kerja sama yang lain jika kamu juga sudah menikah."

Pernyataan Pak Johanes bagaikan ketuk palu bagi Amarisa.

"Max, aku sungguh tidak menduga tentang calon istrimu. Jarang sekali seorang miliarder memilih gadis sederhana. Kita bertemu di pernikahan kalian."

Setelah mengucapkan itu, Pak Johanes meninggalkan meja. Di depan pintu, ada dua orang berseragam safari menyambut dan mengiringi langkahnya menyusuri lobi hotel menuju lift. Jovanka terhenyak di kursinya, menyambar segelas air putih di depan Max dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Tiba-tiba terdengar musik yang berasal dari permainan piano di tengah restoran, dan membuat hatinya makin gundah.

"Tak kusangka, Max. Kamu menjadikan gembel ini sebagai istrimu," ucap Amarisa sinis. Menjatuhkan tubuhnya kembali ke kursi.

"Itu urusan pribadi kami, orang luar sepertimu tidak berhak ikut campur," jawab Max tenang, sambil menyeruput kopinya. Melirik Steve yang sedari tadi terdiam.

"Seleramu benar-benar payah!"

"Sekali lagi kamu menghina calon istriku, kusuruh satpam mengusirmu," sergah Max panas.

Amarisa bangkit dari kursi, sambil memandang Jovanka yang tengah menunduk. Tangannya menyambar gelas berisi air putih, dan mengguyurkannya ke wajah Jovanka.

"Rasakan ini, Gadis Gembel!"

Tindakannya membuat Jovanka menjerit kaget karena disiram tiba-tiba, begitu pula dengan Max dan Steve. Beberapa pengunjung restoran melihat kejadian dari meja mereka dengan penasaran. Pemain piano bahkan menghentikan permainannya, karena kaget mendengar jeritan Jovanka. Beberapa pelayan datang menghampiri dengan kain lap di tangan.

"Steve, amankan dia!" perintah Max pada sepupunya.

Steve mengangguk, mengitari meja dan merangkul pundak Amarisa.

"Mau apa kamu?" tanya Amarisa sengit. Memandang Max, yang sibuk membantu Jovanka membersihkan air dari wajah dan rambutnya. Meronta dari rangkulan Steve.

"Kita keluar sekarang, di sini banyak pengunjung. Kamu pasti tidak mau namamu terpampang di halaman berita, sebagai mantan tunangan yang mengamuk?" bisik Steve, sambil menarik Amarisa keluar.

"Dua kali kalian mempermalukanku! Rasakan pembalasanku, Max Vendros!"

Meninggalkan ancaman terakhir, Amarisa diseret Steve keluar dari restoran. Dengan sigap, para pelayan datang untuk membersihkan lantai dan meja yang basah. Max mengajak Jovanka pindah ke meja yang lebih kecil. Memesan teh herbal panas untuk Jovanka menghangatkan badan.

"Apa kamu mau aku pesankan baju kering untuk ganti?" tanya Max.

Jovanka menggeleng. "Enggak usah, Sir. Bentar lagi kering, kok."

Saat pelayan menghidangkan teh, handphone Jovanka bergetar. Ia mengerutkan kening tatkala melihat nama Mika tertera di layar.

"Halo?"

"Jojo, maaf! Mobilku mengalami kecelakaan kecil, enggak bisa datang ke restoran sekarang. Maaf, Jojo!" Suara Mika yang histeris, membuat Jovanka mengembuskan napas panjang.

"Ya sudah, yang penting kamu baik-baik aja. Kita ketemu lain kali."

Diiringi permintaan maaf yang bertubi-tubi dan janji untuk bertemu lain waktu, Mika memutuskan sambungan telepon. Jovanka menatap handphone di tangannya dengan perasaan lega. Sebenarnya, ia merasa akan lebih baik jika Mika tidak melihat Max di sini.

"Minum tehmu dan ikut aku sekarang," perintah Max kepadanya.

Dengan heran Jovanka bertanya, "Mau ke mana?"

"Ke rumahku, membuat kontrak pernikahan."

"Apa? Ini seriusan, Sir?" tanya Jovanka sambil menggigit bibir bawahnya.

Max mengangguk. "Ini serius, dan aku bukan hanya meminta tolong padamu, tapi juga memohon agar kamu setuju menikah denganku. Bisa kupastikan, aku tidak akan menyentuhmu."

"Tapi, Sir, ini terlalu ... mendadak."

"Terpaksa, jika tidak dilakukan secepatnya, maka aku akan kehilangan proyek jutaan dolar." Max meraih tangan Jovanka dan mengenggamnya. "Aku mohon, Jo. Tolong aku. Apa pun yang kamu mau akan aku turuti, asal masih dalam batas wajar."

Permohonan dari Max membuat Jovanka tidak hanya bingung, tetapi merasa berputar-putar di udara karena pusing. Kepalanya berdenyut-denyut. Kejadian dengan Max yang tiba-tiba, sungguh suatu pukulan yang tak terduga. Bagaimana ia bisa menolak jika yang memohon adalah sang bos besar? Lalu bagaimana menjelaskan pada keluarganya, perihal ia akan menikah dengan miliarder?

Dalam kebimbangan dan kebingungan, Jovanka terdiam saat digiring masuk ke dalam mobil Max. Ia duduk bersebelahan dengan Max di jok belakang, sementara Steve duduk di samping sopir. Mobil melaju mulus meninggalkan hotel, dengan para penumpang di dalamnya yang hening tanpa suara.

Jovanka menatap Max dan berujar pelan."Bagaimana motorku, Sir?"

"Urusan kecil, berikan kuncinya pada Steve. Akan ada orang yang mengambilnya."

Jovanka menghela napas, tidak tahu ke mana akan dibawa pergi. Ia melamun hingga menyadari jika mobil memasuki kawasan perumahan elite di selatan Jakarta. Ia ternganga menatap pagar tinggi yang terbuka, dan mobil membawanya masuk ke halaman rumah yang sangat luas. Mobil berhenti tepat di depan pintu rumah, dengan empat pilar tinggi menyangga teras yang tertutup atap putih. Ada lampu kristal besar berpendar terang, dan tergantung di langit-langit teras.

"Ayo, Jo, masuk. Selamat datang di rumahku," ucap Max sambil membuka pintu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro