Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.7

Steve duduk memandang Max yang serius membaca dokumen. Ini adalah hari pertama Max datang ke kantor pusat, setelah sebelumnya—hampir sebulan—mengantor di cabang Jakarta Utara. Dua minggu semenjak peristiwa rusaknya pertunangan terjadi, dan ia masih tidak mengerti.

"Aku tidak mengerti."

Ia berdiri dari kursi, lalu menyandarkan tubuh ke meja Max yang luar biasa besar. Tangannya mengetuk-ngetuk tidak sabaran.

"Max, aku benar-benar tidak mengerti," ulangnya sekali lagi, karena Max tidak memperhatikannya.

Max mendongak. "Mengerti apa?"

"Kenapa harus memilih cara itu untuk membatalkan pertunangan? Apa memang benar kamu masokis, ya?"

Max mendengkus. Masih tajam dalam ingatannya saat Jovanka mengatakan ia pengidap seks menyimpang. Ia pikir, tadinya Jovanka akan mengaku hamil. Nyatanya tidak begitu. Malam itu juga pertungannya dengan Amarisa dibatalkan. Perlu banyak uang dan usaha, untuk menutup pemberitaan media.

"Jadwal kita malam ini apa?" tanya Max mengalihkan pertanyaan Steve.

"Mengalihkan pembicaraan, Bro?" Steven menaikkan sebelah alis, dengan tangan merogoh handphone untuk melihat jadwal.

"Bertemu dengan Pak Johanes. Ehm ... orang ini sulit."

"Kenapa?"

"Ia menentukan banyak prioritas tentang siapa yang akan menjadi partnernya. Kurasa jalanmu untuk menjalin kerja sama dengannya tidak akan mudah, Max."

"Selain itu?"

Steve membaca informasi di handphone-nya. "Ia orang kaya, tapi terhitung sederhana. Tidak terlalu suka berfoya-foya, dan lebih menyukai partner yang sudah beristri. Wah, kamu akan benar-benar kesulitan menaklukkannya."

"Makanan kesukaan?"

"Nastar."

"Ada hal istimewa lain?"

Steve menggeleng. Mereka terbiasa mencari informasi tentang siapa yang akan mereka hadapi, termasuk Pak Johanes.

"Yang aku dengar, keluarga Lim juga menginginkan kerja sama dengannya," ucap Steve perlahan. Menatap saudaranya yang masih menunduk di atas meja.

Max menutup dokumen di depannya dengan suara agak keras. "Kita lihat saja nanti. Ayo, jalan. Aku ingin mampir ke suatu tempat dulu."

"Ke mana?" tanya Steve mengiringi langkah Max. "Bukan cari hadiah untuk Jojo itu, kan?"

Max menoleh cepat. "Kenapa cari hadiah untuknya?"

"Bukankah dia sudah membantumu menggagalkan pertunangan? Aku heran kenapa dia mau lakukan itu, sungguh heran."

"Jangan pikirkan itu," tukas Max.

"Lebih heran lagi kenapa papanya Amarisa yang biasanya gahar, kali ini diam saja saat tahu anaknya dipermalukan."

Max tersenyum. Menepuk punggung saudara yang sekaligus asistennya. "Aku menyimpan kartu truf, dia tidak akan berani macam-macam pada kita."

"Pantas," gumam Steve pelan. Mengamati sosok Max yang menghilang ke dalam mobil. Ia tidak akan bertanya-tanya lagi perihal pertunangan yang gagal. Cukup lega akhirnya bisa lepas dari drama tanpa banyak masalah.

♥♥♥

Mendung mengintai sepanjang perjalanan. Sementara Steve sibuk menelepon, Max melihat dengan penuh minat poster seorang artis cantik yang sedang mengiklankan produk kecantikan. Desir kerinduan terselip di hati.

Kejutan menanti mereka saat tiba di tempat pertemuan. Pak Johanes, laki-laki setengah baya dengan rambut hitam tersisir rapi ke belakang, bertubuh kecil dan ramping dengan mata sipit. Penampilan sederhana dengan kaus polo putih, tidak membuatnya terlihat seperti miliarder. Bukan perkara Pak Johanes yang membuat mereka kaget, tetapi orang yang menemaninya. Duduk anggun sambil menyesap minuman di tangan, Amarisa melirik saat melihat kedatangan Max dan Steve.

"Hai, mantan tunanganku," sapa Amarisa dengan senyum terkembang.

Max mengangguk kecil. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah acara pertunangan yang gagal. Ia tidak menyangka akan mendapati Amarisa di sini. Melihat gelagat yang tidak bagus, Steve bertindak cepat. "Apa kabar, Pak Johanes. Ini Max Vendros dan saya sendiri Steve," ucapnya memperkenalkan diri.

Pak Johanes tersenyum lalu menjabat tangan dua laki-laki muda di depannya. "Silakan duduk," ucapnya.

Mereka duduk mengelilingi meja persegi panjang beralas kaca, tersedia masing-masing dining set untuk tiap kursi. Ada rangkaian bunga segar di tengah meja. Restoran tempat mereka bertemu terletak di dalam hotel bintang lima. Sepertinya menyajikan makanan khas Nusantara, jika dilihat dari foto yang tercetak di buku menu. Steve dan Max duduk berhadapan dengan Amarisa, sementara Pak Johanes duduk di sebelah ujung. Tak lama kemudian, pelayan laki-laki berseragam putih dengan celemek hitam datang menghampiri. Baik Max maupun Steve memilih untuk memesan kopi.

"Saya sudah banyak mendengar tentang Pak Johanes," ucap Max membuka percakapan.

"Benarkah? Kabar baik atau buruk?" tanya Pak Johanes sambil menyesap kopinya.

"Kabar baik, tentu saja. Mengingat pengalaman Bapak yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia property. Perkenalkan, saya Max dari Vendros Impersia Group," Max berkata sopan sambil mengangguk.

"Hahaha ... aku tidak seberapa dibandingkan kalian, para anak muda dengan semangat dan inovasi yang melebihi pemikiran kami para orang tua," gelak Pak Johanes. "Aku juga sudah banyak mendengar sepak terjangmu di dunia property, Max. The Green Palace itu salah satu proyek sempurna."

Max tersenyum, tanpa sengaja pandangan matanya berserobok dengan Amarisa yang mengamatinya penuh minat. "Terima kasih atas pujiannya, Pak. Tidak sebanding dengan Anda," jawabnya merendah.

"Jika tidak salah dengar, kalian sudah saling mengenal? Bahkan ada kabar yang mengatakan kalian sudah bertunangan?" tanya Pak Johanes sambil menunjuk Amarisa.

"Iya, memang, Pak. Tapi dia mencampakkan saya." Amarisa menjawab sambil tertawa. Menunjukkan deretan gigi putihnya yang terawat sempurna. Wajahnya terlihat bercahaya dengan gaun sutra hijau yang dia kenakan. Cahaya lampu restoran yang tidak terlalu benderang, makin menambah kecantikannya.

"Wah-wah, Max. Aku kecewa padamu. Kenapa kamu menolak gadis cantik ini?"

"Mungkin karena saya dianggap kurang cantik, dan kurang kompeten dalam bekerja, Pak," ucap Amarisa malu-malu.

"Benarkah begitu, Max? Wah, penilaianmu salah kali ini," decak Pak Johanes. Bergantian memandang Max dan Amarisa dengan penuh ketertarikan.

"Karena itu, hanya Bapak yang bisa membantu saya. Tolong beri kesempatan, agar saya bisa membuktikan diri di depan mantan tunangan yang sudah menyakiti hati," pinta Amarisa dengan senyum manis tersungging. Melirik Max dengan sengit.

Pak Johanes tertawa lebar lalu berucap sambil terang-terangan memandang Max. "Bagaimana ini, Max?"

Max tidak menjawab, mengetuk meja pelan dengan telunjuk dan mengamati Amarisa yang tertawa lepas dengan Pak Johanes. Ia sudah mencium ada sesuatu yang janggal, saat melihat Amarisa di sini dan sekarang terbukti. Rupanya, kabar jika sang mantan tunangan juga berniat bekerja sama dengan Pak Johanes itu benar. Ia melirik Steve yang ternyata juga sedang memperhatikannya. Max menelengkan kepala untuk memberi tanda, sepupunya mengangguk paham.

"Pak Johanes, kami dengar Bapak suka kue nastar? Ini, sengaja kami bawakan. Home made dari seorang teman."

Steve mengangkat kotak merah ke atas meja dan membukanya. Ada dua buah stoples putih berisi nastar. "Silakan, Pak. Cocok untuk menjadi teman minum kopi."

Steve membuka toples, dan menyorongkannya ke depan Pak Johanes. Terlihat mata pria paruh baya itu sedikit terbeliak kaget, saat melihat nastar di atas meja. Dia memandang Max dan Steve bergantian.

"Wah, kalian tahu saja aku suka nastar." Tanpa sungkan dia mengambil satu butir, dan memasukkan ke dalam mulut. "Enak sekali."

Sekilas terlihat kekesalan di wajah Amarisa. Max mengabaikannya, dan mendengar bagaimana Steve bicara dengan Pak Johanes tentang aroma mentega dalam kue.

"Sudah, cukup basa basinya. Mari kita mulai serius," ucap Pak Johanes, sambil mengelap mulut dengan tisu lalu meneguk air putih dari gelasnya.

"Aku tahu maksud kedatangan kalian, tentu saja berniat untuk bekerja sama dalam membangun perumahan mewah di area Jawa Barat, bukan? Selain perumahan juga ada hotel dan mall."

Max dan Amarisa mengangguk bersamaan.

"Kalian tahu jika proyek itu bernilai jutaan dolar? Dan aku berminat bekerja sama dengan mereka yang kompeten."

Amarisa mengubah gaya duduknya, sekarang memandang Pak Johanes lekat. "Kalau begitu, tolong beri kami, keluarga Lim, kesempatan untuk bekerja sama. Kami yakin bisa memenuhi standar kompeten dari Bapak."

Pak Johanes mengangguk sambil tersenyum kecil.

"Maaf, Pak Johanes. Anda tentu telah mempertimbangkan, jika memang sudah mendengar soal sepak terjang kami di dunia property." Max berkata menyela. "Karena jika kami tidak cukup bagus, Anda tidak akan bersedia menemui kami di sini. Jadi, mohon mempertimbangkan proposal kami."

Amarisa menatap Max dengan menyipit. "Berkompeten bagaimana, jika seorang laki-laki tega mengkhianati tunangannya?"

Selaan dari Amarisa membuat Max tersentak, lalu tersenyum. "Jangan bicara hal pribadi di sini, Amarisa. Kita sedang membahas bisnis."

"Hah! Pak Johanes itu seorang family man. Bisnis dan keluarga adalah hal penting untuknya," sergah Amarisa. "Tentu saja beliau tidak keberatan, jika aku menyinggung hubungan kita."

Max mengumpat dalam hati. Mau tidak mau mengakui kecerdikan Amarisa, yang menggunakan kemalangannya untuk mendapat simpati dari Pak Johanes.

"Sebenarnya, aku berniat bekerja sama dengan kalian berdua." Ucapan Pak Johanes membuat sekeliling meja terhenyak.

"Maksudnya, Pak?" tanya Amarisa bingung.

"Tadinya, saat mendengar kalian bertunangan, aku berniat membuka kerja sama secepat mungkin. Tapi sekarang, setelah tahu faktanya, rasa-rasanya kalian tidak ada yang cocok untuk menjadi partnerku."

Max dan Steve berpandangan. "Kenapa begitu, Pak?" tanya Max heran.

"Seperti yang dikatakan Amarisa, aku seorang family man. Berharap punya partner yang dewasa dan bertanggung jawab. Tanggung jawab terbesar seorang pengusaha, justru saat dia berkeluarga. Jadi, kalian berdua masih single." Pak Johanes mengakhiri perkataannya. Baik Max maupun Amarisa memandangnya tak percaya.

"Selain kalian berdua, ada Agung Samudra Group dan Citra Hanarusa yang kita semua ketahui bahwa CEO mereka sudah berumah tangga." Pak Johanes mengaduk kopi lalu meneguknya, sebelum meneruskan perkataannya. "Aku menghargai laki-laki yang memikul tanggung jawab keluarga, karena menurutku, dia akan bekerja lebih keras daripada mereka yang masih sendiri. Tidak, tidak ada hubungannya dengan kemampuan kalian. Ini soal prinsip."

Max mengendurkan dasi, mendesah dalam hati jika negosiasi akan berjalan alot. Tampaknya Amarisa juga merasakan hal yang sama, terlihat dari tindakannya yang menggigit bibir bawah tanpa sadar. Max berpikir suram, bagaimana mungkin ia mengaku beristri jika kenyataannya memang ia masih sendiri. Ia menoleh ke arah pintu, dan tanpa sengaja ujung matanya menatap sesosok perempuan yang baru saja datang dengan rambut dan baju yang basah. Rupanya di luar sedang hujan. Karena restoran tempat mereka bertemu berada di dalam hotel, sama sekali tidak menyadari hujan turun di luar.

Perempuan itu, tampak tidak menyadari Max yang memandangnya. Dia mengibaskan rambut tepat di depan restoran.

"Maaf, saya permisi sebentar," pamit Max pada semua yang ada di meja. Steve memandangnya bingung.

Perlahan Max bangkit dari kursi, dan menghampiri perempuan berkemeja putih yang sedang mengelap rambut basah dengan tisu.

"Jojo?" sapanya.

Jovanka mendongak heran. "Sir, kenapa ada di sini?" tanyanya bingung.

Max melangkah lebih dekat, dan meraih tangan Jovanka. "Jojo, tolong aku sekali lagi. Kali ini, bayaran yang kamu terima akan lebih banyak. Aku jamin."

"Eih, ada apa, Sir?" tanya Jovanka bingung, memandang tangan Max yang meremas lengannya.

"Kamu hanya tinggal mengangguk, tidak usah menjawab macam-macam. Please?"

Mengabaikan wajah Jovanka yang keheranan, Max meraih pundaknya dan membimbingnya menuju meja di mana Pak Johanes menunggu. "Pak Johanes, perkenalkan, ini calon istri saya."

Semua yang ada di meja mendongak kaget, tidak terkecuali Steve. Amarisa bahkan bangkit dari kursi dan menuding Jovanka.

"Kamu! Berani sekali kamu kemari!"

Dengan tangan besar Max berada di pundaknya, Jovanka termangu bingung mencerna informasi yang baru saja dia dengar. Mulai kapan ia menjadi calon istri Max?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro