Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab.5

Malam Minggu yang cerah, tepat pukul delapan malam, Jovanka berdiri di lobi hotel yang mewah. Lututnya terasa gemetar di balik celana panjang yang ia pakai. Di depan ballroom langkahnya terhenti. Undangan terasa kaku di tangannya. Dengan niat ingin tampil cantik, sekarang ia merasa salah kostum. Semua tamu yang memasuki ballroom terlihat berkelas dan mewah dengan gaun dan jas. Sedangkan dia? Celana panjang dan tunik merah.

"Duuh, tahu begini aku pakai gaun tadi. Tapi gimana? aku juga enggak punya gaun seperti mereka," gumam Jovanka was-was.

Melangkah perlahan, ia mendekati penerima tamu. Menyerahkan undangan tebal dan mengilat warna pastel lembut. Setelah memastikan undangan yang dibawanya asli, Jovanka dipersilakan masuk dengan diantar oleh seorang pelayan berseragam.

Jovanka menganga, melihat pesta dengan segala kemewahan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Lampu kristal besar berpendar dengan untaian bunga segar di langit-langit yang megah.

Jovanka menatap dengan takjub pada tamu undangan yang berlalu lalang dengan pakaian indah. Meja bundar dengan kursi berpelitur mengilat—dilapisi kain satin—berjajar rapi dengan sepuluh kursi. Meja ditutup taplak linen putih, dengan rangkaian bunga anggrek di setiap permukaannya. Jika itu masih belum cukup mewah, maka ia lebih ternganga melihat tempat pelaminan yang mirip dengan pelaminan untuk pernikahan. Bernuansa emas dan pink lembut, banyak bunga serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Ada Max berdiri di samping wanita cantik bergaun putih layaknya pengantin.

"Apa aku kabur aja, ya? Persetan dengan uang tiga ratus juta," gumam Jovanka pada diri sendiri. Berdiri bingung di ujung lorong kecil bertabur bunga yang menuju langsung ke pelaminan.

Suara musik terdengar samar-samar tetapi merdu, dari penyanyi wanita berpakaian glamor yang berada di panggung kecil di samping tempat Max berdiri.

"Para hadirin, mari kita beri selamat pada pasangan yang sedang dimabuk asmara." Sang penyanyi wanita yang sepertinya artis terkenal memberikan sambutan. "Max Vendros dan Amarisa Eleondra."

Gemuruh tepuk tangan terdengar di seantero ruangan. Jovanka mengembuskan napas panjang, menatap pelaminan. Dan di antara banyak orang yang berlalu-lalang, ia menyadari mata Max menemukannya.

♥♥♥

"It's suspicious."

Max tidak menanggapi ucapan Steve—asisten pribadi sekaligus sepupu jauhnya—yang terdengar curiga. Max tetap tenang memasang manset kemeja sambil menatap bayangannya di cermin.

"Tell me something, Max."

"What?"

"Entah kenapa, sampai sekarang aku tidak yakin kalau kamu bersedia bertunangan tanpa perlawanan."

Max menaikkan sebelah alis, mengambil jas yang dihamparkan di atas kasur besar berseprai putih dan mulai memakainya, sementara Steve yang semula duduk di pinggiran meja kini melangkah mendekat.

"Bukankah kamu yang mengatur acara ini?" ucap Max pelan. Tangannya sibuk merapikan jas dan kerah kemeja.

"Memang, sih, hanya saja ada yang aneh. Kamu menyerah terlalu cepat untuk rencana ini, dan itu bukan seperti Max yang aku kenal."

Max tersenyum kecil, tangannya sibuk menyugar rambut, sementara Steven berdiri di sampingnya, mengamati seakan-akan dirinya adalah fotomodel yang sedang memakai jas untuk dipamerkan. Melihat sikap serius Steve, dalam hati Max tertawa. Sepupunya memang jago menganalisis orang. Ia curiga, jika Steve lebih tahu tentang kehidupannya daripada dirinya sendiri.

"Aku hanya tidak ingin ada pertentangan keluarga."

Ucapan Max yang tenang dan bijak, ditanggapi dengkusan tak sopan oleh sepupunya. Bahkan ia sendiri merasa aneh dengan ucapan yang keluar dari mulutnya.

"Max yang aku kenal akan menolak dengan terus terang, atau bahkan berani menantang dunia yang mempermainkannya. Sekarang? Menyerah untuk bertunangan?"

Max berbalik, menepuk punggung Steve yang hari ini terlihat tampan dengan jas maroon.

"Ini baru tunangan, belum menikah. Santai ...."

"Bagaimana dengan Violet? Aku dengar bulan depan dia kembali ke Jakarta."

Max terdiam, menyambar handphone di atas meja dan memasukkannya ke saku celana. Menghadap sekali lagi ke cermin, untuk memastikan jika tidak ada yang salah dengan penampilannya.

"Aku tahu dia akan kembali, aku pun menunggunya," jawab Max pelan. "Bukannya kamu bilang ini semua juga demi dia?"

Steve menghela napas, mengiringi langkah Max keluar dari kamar. Tinggi mereka nyaris sama, yang membedakan hanya soal penampilan. Jika Max cenderung bergaya netral dalam bermain warna pakaian yang ia kenakan, maka Steve sebaliknya, dia suka berekperimen dengan segala warna untuk pakaiannya. Max bertubuh tinggi dan berotot, maka Steve cenderung lebih kurus dari saudaranya dengan mata sipit.

"Apa kamu grogi?" bisik, Steve saat masuk ke mobil yang akan membawa mereka menuju tempat acara.

Max mengangkat bahu. "Tidak, aku sudah beberapa kali bertemu Amarisa. Tidak ada kendala dalam komunikasi."

"Bagus, meski tetap saja aku tidak yakin. Rasanya masih ada yang salah," gumam Steve yang duduk di samping Max.

"Trust me, everything will be ok." Max tersenyum sambil menatap layar handphone-nya. Ada satu pesan masuk yang membuat senyumnya merekah tiba-tiba.

♥♥♥

Segalanya memang berjalan lancar sesuai keinginan keluarga Max. Pesta dihadiri para tamu undangan dan berlangsung meriah. Max memasang wajah tegas berwibawa seperti biasanya, tidak peduli wanita di sampingnya tersenyum lebar yang tidak menyembunyikan rasa bahagia. Steve bahkan berkali-kali mendekat, hanya untuk mengingatkan agar jangan lupa tersenyum.

"Please, Max. Senyumlah! Jangan bersikap seperti orang yang hendak masuk tiang gantungan," bisik Amarisa di sela-sela sesi foto mereka berdua.

Max meliriknya dan berkata, "Jadi kamu sadar jika sekarang hidup kita digantung pernikahan, Amarisa?"

Senyum menghilang dari wajah Amarisa, hanya sekejap lalu kembali merekah saat fotografer mengarahkan gaya.

"Aku menyukaimu, Max. Tidakkah itu cukup? Dengan pernikahan kita, akan ada banyak keuntungan."

"Aku akan menikah dengan wanita yang aku mau, bukan demi deal dagang."

Amarisa tetap tersenyum dalam pelukan Max. Bersikap seolah-olah tidak mendengar sindiran yang diberikan untuknya. Lelaki itu mengaku salut atas kemampuan wanita itu menyembunyikan perasaannya. Sampai sekarang, ia bahkan tidak mengerti apa yang dilihat Amarisa dari dirinya hingga wanita yang punya segalanya dalam hidup, bersikeras untuk menikah dengannya. Ia sudah melakukan penolakan secara halus saat pertemuan pertama dan kedua, tetapi nihil, Amarisa tetap yakin untuk menikah dengannya. Mau tidak mau, dirinya memutar otak untuk menggagalkan pertunangan yang ia yakin akan membelenggu hidupnya.

Jalan keluar dari masalah pertunangan yang tak diinginkan, hadir dalam wujud Jovanka. Max mengamati bagaimana gadis bertubuh sintal yang merupakan pegawai administrasi kantornya, memandang ruangan pesta dengan raut wajah bingung. Bahkan dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat dengan jelas kegugupan Jovanka.

'Semoga dia tidak berubah pikiran dan memutuskan lari di tengah pesta,' Max bergumam dalam hati. Mengamati Jovanka yang ikut antrean untuk memberikan ucapan selamat.

Mata mereka bertemu. Setelah menjabat tangan Amarisa, kini Jovanka berdiri persis di depan Max. Berkali-kali menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Jovanka tak peduli meski antrean mengular, dia bergeming.

"Max," ucap Jovanka pelan. Tangannya meraih kedua tangan Max dan menggenggamnya erat. Pria itu hanya membiarkan tindakan Jovanka, sementara Amarisa terlihat melotot tidak suka.

"Ada sesuatu yang mau aku bilang sama kamu," ucap Jovanka pelan sambil menggigit bibir bawahnya.

"Iya ...."

Tanpa diduga, wanita itu meraih tangan Max dan menggandengnya pergi meninggalkan pelaminan. Semua kaget melihat apa yang dilakukan Jovanka, terutama Amarisa.

"Max!" teriak Amarisa dengan tangan berusaha meraih Max.

Lelaki itu tidak mengindahkan panggilan Amarisa. Membiarkan dirinya ditarik Jovanka. Musik berhenti, bahkan sang penyanyi terdiam memperhatikan. Bisik-bisik dan gumaman terdengar di seantero ruangan. Di ujung tangga pelaminan, langkah mereka dihadang oleh Steve yang keheranan.

"Siapa dia, Bro?" tanya Steve, sambil merentangkan kedua tangan untuk menghalangi. Di belakangnya ada beberapa bodyguard berpakaian safari hitam ikut merangsek maju.

Jovanka berusaha menyingkirkannya dengan berkata mengancam, "Jangan ikut campur!"

Ancaman Jovanka dan pandangan memperingatkan dari Max, membuat Steve menyingkir.

Diiringi pandangan mata seluruh tamu pesta yang terasa panas bagaikan lampu sorot, Jovanka setengah berlari sambil menggenggam tangan bosnya. Mengikuti insting, dia membawa Max menyusuri lorong berkarpet. Ada pelayan berlalu lalang, tetapi mereka menepi dan membiarkannya lewat. 

Ada salah satu ruang dengan pintu terbuka, dia masuk dengan Max di belakangnya. Di dalam, dia mendapati sofa panjang, meja rias beserta seluruh perlengkapan make-up dan seorang pelayan perempuan yang kaget saat melihat kedatangan mereka. Rupanya mereka masuk ke ruang rias.

"Keluar!" perintah Max, pada pelayan yang langsung berlari keluar saat mendengar suaranya.

Jovanka melepaskan tangan Max dan berbalik menghadap bosnya. Napasnya terengah-engah dan wajahnya memerah. Rambutnya yang menempel di dahi dan tengkuk juga basah.

"Apa cara ini berhasil?" tanyanya khawatir.

Max mengangkat bahu. "Entahlah, kurasa sebentar lagi mereka akan datang kemari."

"Trus, aku harus gimana?" jerit Jovanka setengah panik.

"Terserah padamu, aku mengikuti semua yang kamu lakukan."

"Aaah, gimana kalau mereka memukulku? Keluargamu dan para bodyguard itu terlihat menakutkan sekali." Jovanka menceracau, sambil mondar-mandir dan meremas tangannya. "Bagaimana kalau setelah ini hidupku enggak bisa aman lagi?"

"Jangan berlebihan," sanggah Max pelan.

Jovanka memandang Max yang menatapnya dengan tatapan bosan, geli, juga geram. Meski begitu, sang bos tetap terlihat tampan tak tercela. Sedangkan Jovanka, bajunya nyaris basah oleh keringat dan tubuh gemetar hebat. Saat ia hendak mengatakan sesuatu, terdengar langkah kaki menuju ke ruangan mereka. Dengan sigap Jovanka berdiri di depan Max, dan kembali menggenggam tangannya.

Masuk beberapa orang sekaligus. Jovanka melihat Amarisa—yang berwajah pucat di balik make-up—dengan laki-laki yang tadi menghadang langkahnya. Di belakang mereka ada dua pasang suami istri, sepertinya orang tua dari pasangan yang sedang bertunangan. Pemilik Vendros Impersia berada di samping pintu, jika Jovanka tidak salah menebak. Dilihat dari postur dan bentuk muka yang sama persis seperti Max, maka dia adalah Abraham Vendros. Yang memandangnya dengan tatapan membunuh. Seketika, Jovanka merasa nyalinya menciut.

'Mampuslah, aku,' pikir Jovanka suram.

"Ada apa ini, Max. Siapa dia?" tanya Amarisa sambil menuding Jovanka.

Jovanka menghela napas panjang, masih dengan tangan Max dalam genggamannya, ia berbalik menatap Amarisa.

"Maaf sebelumnya, bisakah pertunangan ini dibatalkan?" ucap Jovanka pelan.

"Apaa?"

"Siapa dia?"

"Berani-beraninya kamu!"

Gumaman heran dan teriakan marah terdengar memenuhi ruang rias. Max tetap tenang, ia bahkan memeluk pundak Jovanka. Bagi yang tidak mengerti, tentu melihat Max seakan sedang melindunginya, tetapi bagi Jovanka sendiri, sentuhan lelaki itu di punggungnya adalah dorongan tak langsung agar dia meneruskan sandiwara ini. Kepalang basah, terpaksa Jovanka kembali berbohong.

"Aku sangat mencintai Max, dan enggak mau kalau harus pisah sama dia."

Amarisa maju dua langkah menghampiri Jovanka. "Berani-beraninya kamu mengatakan itu di hari pertunanganku, Gadis Gembel! Siapa kamu? Seberapa hebat orang tuamu sampai berani merusak pestaku?" teriak Amarisa tepat di muka Jovanka.

Seorang wanita setengah baya yang terlihat cantik dalam kebaya warna pastel, menghampiri Amarisa dan mengelus pundaknya. "Sabar, Sayang. Jangan marah!"

"Maa ... dia merebut Max!" sergah Amarisa keras. Matanya beralih memandang Max yang berdiri tenang di samping Jovanka. "Dan kamu, siapakah dia bagimu, Max?"

Max mengulum senyum. "Kami pernah dekat," jawabnya tegas.

Kedua orang tuanya yang semula berdiri di dekat pintu kini melangkah maju. Bahkan sang papa terlihat marah. Sebelum Abraham mencapai tempat Max berdiri, Steve lebih dulu bertindak dengan menahannya.

"Sabar, Uncle. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."

"Minggir, Steve! Biar aku urus wanita ini," geram Pak Abraham.

Max maju selangkah, memandang papanya. "Please, Pa. Jangan berbuat onar."

"Berbuat onar, katamu?" bentak Pak Abraham. "Apa kamu tahu, yang dilakukan wanita ini dengan menculikmu adalah peristiwa memalukan?"

Jovanka menghela napas panjang dan membuangnya perlahan. Kini dia merasakan remasan lembut bosnya di pundak. Dia harus bertindak sebelum semua yang ada di dalam ruangan melumatnya habis-habisan. Dia berbalik, menghadap Max. Setengah berjinjit dan melingkarkan tangannya ke leher lelaki itu. Tanpa diduga dan entah mendapat keberanian dari mana, Jovanka mendaratkan kecupan di bibir Max.

Tindakannya membuat semua yang ada di ruangan terperangah, tidak terkecuali Max yang wajahnya sekilas bereaksi, tetapi pulih dengan cepat. Lelaki itu membalas tindakan Jovanka dengan membelai wajahnya.

"Wanita murahan!" desis Amarisa keras.

Jovanka mengabaikannya. Setelah mengecup Max, dia menyelusup dalam pelukan bosnya dan mengedarkan pandangan ke semua orang di hadapannya.

"Max tentu enggak akan pernah bilang sama kalian kalau kami pernah bersama. Bukan hanya bersama secara dekat, tapi sangat intim," ucap Jovanka mengawali cerita.

"Tentu dia tidak akan bercerita, mengingat jika punya pasangan gadis gembel sepertimu," lantang Amarisa menjawab. "Aku bisa menerima masa lalu Max, jadi lepaskan dia."

Jovanka tertawa lirih, melirik Max yang tenang.

"Sayang, apa kamu enggak cerita perihal rahasia kita? Bagaimana kita menghabiskan malam-malam penuh syahdu? Juga tentang hal kecil itu ...."

Suara terkesiap terdengar dari orang-orang di dalam ruangan. Jovanka bergeming, tetap dalam pelukan Max dan melanjutkan bicara. "Harusnya kamu mengatakan pada tunanganmu jika kamu suka bermain ... kasar!"

"Apaaa?!" teriakan Amarisa membelah keheningan. "Max? Kamu masokis?"

Jovanka nyaris terbatuk menahan geli, tetapi dia merasa tenang karena Max tidak membantah omongannya.

"Iya. Menurutmu kenapa dia memilihku yang gembel ini? Tentu saja karena bercinta dengan sedikit kasar itu menggairahkan. Bisa dilihat dari badanku yang penuh bilur. Mau aku buka baju?" tantang Jovanka.

Dari atas kepala Jovanka, Max berpandangan dengan Steve yang melongo, sementara Amarisa memandangnya geram. Kedua orang tua mereka pun tidak kalah terkejut.

"Max, betul yang dikatakannya?" tanya Amarisa pelan.

Max hanya mengangkat bahu, tidak mengiyakan atau menyangkal. Jovanka tertawa keras, terlihat nyata jika tawanya adalah palsu. Dia melangkah maju dan berkata, "Dia suka melakukan hal aneh denganku, dan aku enggak yakin kalau nona besar kayak kamu mau melakukannya."

"Kamu pasti bohong," desak Amarisa.

Jovanka tertawa. "Kenapa kita enggak buktiin? Ayo, aku akan buka baju!"

Amarisa mengepalkan tangan dan tanpa diduga melayangkan pukulan ke wajah Jovanka dengan keras. Satu tamparan kuat yang membuat Jovanka terhuyung.

"Jalang!" umpatnya marah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro