Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 02: Anak Panah, Doa, dan Surga

[Cerita ini dilindungi undang-undang Akhirat, jika melakukan plagiat akan dicatat oleh malaikat]

1000 vote + 100 komen tercepat kita adakan giveaway di akun instagram (@)ceritasangpelita

SYARATNYA:

- Cukup ramaikan cerita Wattpad Sang Pelita di IG Story kalian

- Ramaikan juga AU Instagram Sang Pelita di official instagram, jangan lupa tag IG Author (@)yudiiipratama (@)tekad.universe & (@)ceritasangpelita serta follow instagram ketiganya!

- Hadiahnya diumumkan di hari Raya Idul Fitri

Happy reading ....

"Bagaikan anak panah, waktu beranjak begitu cepat. Banyak waktu terbuang sia-sia begitu saja. Setiap waktu seharusnya kita merindu Baginda Nabi, setiap waktu seharusnya kita mendoakan beliau. Mengingatnya dengan khusyuk di sepanjang salat lima waktu saja masih sulit. Lantas, masihkah kita layak mengharapkan syurga dari Allah?"

🕊🕊🕊


Udara malam yang cukup dingin perlahan menusuk kalbu, masih tersisa rintik hujan di dedaunan dan batang pohon yang mengitari pekarangan rumah. Aroma sejuk khas Kediri begitu terasa menyejukkan suasana hati Azmi yang baru saja pulang dari masjid bersama Yossy. Setelah melaksanakan salat isya berjamaah.

"Malam ini mau ikut sowan ke rumah teman Om, nda?" tanya Yossy pada Azmi setelah mereka memasuki pekarangan rumah.

Azmi menggeleng. "Nggak dulu, deh, Om. Azmi mau cepat tidur. Lumayan capek hari ini." Ia memilih untuk beristirahat lebih cepat oleh karena seharian telah menghabiskan banyak energi latihan memanah.

Yossy mengangguk. "Weslah, kamu istirahat dulu aja. Mau tak panggilin Jepang nda buat temenin?"

"Jangan, Om. Kan Azmi mau tidur, kalau ada si Jepang bisa-bisa satu album dinyanyiin sampai Azmi tewas." Keluhan Azmi membuat Yossy terkekeh.

"Ha ha ha, kamu yaaa, sudah bisa ngelawak ternyata." Yossy kemudian menepuk pundak Azmi.

Azmi tersenyum menyeringai, enggan mengakui kalau dirinya itu lucu. Baginya Azmi di mata Yossy masih polos nan lugu, mungkin juga di mata orang-orang yang akrab dengan Azmi pasti akan berpikir demikian.

Hubungan antara paman dan ponakan lebih menyerupai kakak beradik, mereka berdua sangatlah dekat, hingga Azmi selalu saja nempel di Yossy di saat waktu-waktu libur seperti sekarang. Menikmati libur pondok yang berlangsung sepekan membuat Azmi sedikit lega, akhirnya ia bisa kembali menghirup udara segar Kediri dan kumpul bersama sanak keluarganya yang ada di sini. Azmi memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Yossy saat liburan, tidak ada alasan yang spesial. Hanya saja, sudah menjadi agenda rutin Azmi untuk berkunjung di tempat yang bisa membuat perasaannya menyatu dengan kenangan-kenangan semasa kecil dulu. Kediri bagaikan kota kecil yang membuatnya tumbuh dengan baik dan prima seperti sekarang ini.

"Keluar dulu ya, Dek," pamitnya sambil menyemprotkan parfum ke bagian kera bajunya.

"Nggih," sahut Azmi yang sudah membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil memejamkan mata menghadap ke tempok kamar, lebih tepatnya membelakangi Yossy yang sedang menyisir rambut di depan cermin.

"Pintu kamar jangan dikunci."

"Nggih."

"Tidur duluan aja, nggak usah nungguin om."

"Nggih, Om."

Azmi tidak mengindahkan ucapan Yossy, matanya sudah setengah sadar. Suaranya terdengar letih.

"Begadang jangan begadang." Kembali Yossy menjahili Azmi.

"Nggih."

Yossy terdengar ketawa kecil di balik punggung Azmi. "Kalau tiada artinya."

Suara Azmi masih bisa terdengar meski samar-samar. Ia mengucapkan "nggih" sampai suaranya hilang dan tertidur pulas. Yossy yang masih ada di belakang punggungnya melihat Azmi yang tertidur tertawa dalam hati dengan sangat puas. Bukan Yossy kalau tidak memiliki kebiasaan menggoda keponakannya itu.

***

Sebelum balik ke Blitar, pagi itu Azmi mengantar Yossy kembali ke tempat latihan memanah yang jaraknya tak cukup jauh dari rumah Yossy, bukan karena ingin latihan memanah tetapi mereka kembali untuk mengambil sorban Azmi yang tertinggal di loker tempat penitipan barang. Saking terburu-burunya kemarin, Azmi lupa kalau ia memakai sorban putih kesayangannya yang dihadiahkan dari Kyai Akhyar—pendiri Pondok Pesantren Darul Akhyar di Wonosobo—sewaktu menghadiri acara majelis taklim dulu.

"Lagian kenapa pakai lupa segala, sih, Dek?" tanya Yossy yang sedang menyetir mobil.

"Ya, namanya juga kemarin terburu-buru, Om," jawab Azmi.

"Tapi yakin kan sorban kamu ketinggalan di loker?"

Azmi manggut. "Nggih, kuncinya aja sama aku, Om." Ia mengangkat kuncinya, diperlihatkan pada Yossy.

Yossy berdeham. "Kenapa juga dilepas segala? Padahal cuman manah doang, bukan lari maraton."

Azmi mengembuskan napas pasrah, ia tidak menanggapi celotehan Yossy kali ini, pandangannya kini dialihkan ke luar jendela. Mobil kian melaju pelan menyusuri jalanan sepanjang alun-alun kota yang masih tergenang air hujan bekas semalam.

Setelah beberapa menit berlalu, mereka akhirnya tiba di tempat latihan memanah. Azmi langsung bergegas turun dari mobil dan menuju tempat loker yang ada di sisi kanan ruang peralatan memanah. Azmi kemudian membuka loker nomor tujuh dan alhasil, sorbannya tidak ada di sana. Sontak mata Azmi membelalak. Innalillah, ucapnya dalam hati sembari ia memastikan kembali dengan merogoh loker yang kosong tersebut sampai ke dalam-dalamnya.

Azmi mulai panik, ia melempar tatapan ke segala penjuru, tapi tak satu pun penjaga di bagian loker terlihat, tepatnya mereka belum ada yang datang karena masih sangat pagi untuk memulai kerja. Azmi terus mencari di sudut-sudut loker barangkali tercecer, tapi tetap saja tak ketemu. Sorban itu sangat berarti untuk Azmi, kalau sampai hilang maka ia tidak tahu bagaimana perasaannya.

"Gimana? Sorbannya ada, kan?" tanya Yossy saat Azmi kembali ke dalam mobil.

Setelah menutup pintu, Azmi berkata, "Nggak ada, Om. Mungkin diamankan sama petugasnya. Kita nunggu dulu ya om sampai petugasnya datang." Ia sudah mulai frustasi.

"Azmi ... Azmi, kamu toh teledor sekali. Kok bisa hilang, sih?"

"Nggak hilang, kok, Ommm. Pasti ada kok, pasti diamankan sama petugasnya. Kita nunggu aja, ya, Om," dijawab Azmi meyakinkan Yossy kalau sorban tersebut tidak benar-benar hilang.

Yossy menuruti permintaan Azmi, mereka pun menunggu beberapa waktu sampai salah seorang petugas loker yang memakai kaos hitam sudah ada duduk di tempat loker. Azmi pun menghampirinya, dan mempertanyakan sorbannya yang tertinggal. Azmi yakin kalau sorbannya benar-benar terakhir ia simpan di loker nomor tujuh tersebut dan kuncinya pun masih ada di dia. Akhirnya, petugas tersebut mencari barang-barang yang biasanya tertinggal atau tercecer dari pengunjung diamankan di dalam office.

"Gimana, Mas? Ada?" tanya Azmi pada petugas tersebut setelah keluar dari ruang office.

Petugas itu menggeleng. "Ndak ada, Mas. Saya juga telepon sama temen yang ship kemaren, katanya nggak ada buka-buka loker."

Azmi mengernyit heran. "Serius, Mas?"

"Nggih, Mas. Ndak ada."

Wajah Azmi tertunduk pasrah, tak tahu harus apa. "Gimana, Mas? Ketemu?" Yossy menghampiri Azmi ke tempat loker.

Azmi menoleh ke sumber suara, lalu menggeleng tanpa menjawab pertanyaan Yossy. "Atau gini aja, Mas ..," Petugas itu angkat bicara setelah melihat ekspresi Azmi yang begitu merasakan kehilang karena sebuah sorban. "Mas tinggalkan saja nomor telepon. Nanti saya coba tanyakan juga ke petugas-petugas lain, mungkin saja tercecer di suatu tempat di gedung ini, Mas."

"Nggih, nggih, Mas," dijawab Azmi dengan semangat. "Matur nuwun, Mas. Tolong yaaa, Mas."

Ia pun menitipkan nomornya pada petugas tersebut dan berharap sorban kesayangannya ditemukan secepat mungkin. Azmi sungguh merasakan kehilangan sesuatu yang berharga miliknya, sebuah pemberian yang sangat berkesan dari orang terkasih, Kyai Akhyar. Bagaimanapun, Azmi sangat menghargai pemberian dari orang lain, sekecil apa pun itu. Lebih baik ia kehilangan barang yang ia beli dari tangannya sendiri ketimbang kehilangan barang pemberian orang lain. Bukan persoalan seberapa tinggi harganya, jika itu adalah pemberian seseorang, maka harganya tidak akan pernah ternilai dengan nominal.

"Terus? Ini nggak jadi balik Blitar?" tanya Yossy saat mereka kembali ke parkiran.

Azmi menggeleng dengan wajah cemberutnya. "Batal, Ommm. Sorban Azmi harus ketemu pokoknya."

Yossy menyipitkan mata ke Azmi. "Azmi ... Azmi ... lagi-lagi kamu berulah. Makanya barang tuh dijaga, Dek."

"Nggih, Ommm."

"Ya udah izin dulu sama Umi kamu lagi, takutnya dia udah nungguin loh."

Azmi merogoh handphone-nya dari kantong baju, lalu menghubungi uminya untuk menjelaskan semuanya. Pagi itu, Azmi gagal pulang ke Blitar oleh karena sorban kesayangannya masih dalam pencarian. Besar harapan Azmi, sorbannya hanya tercecer di gedung pemanah itu, dan tidak benar-benar hilang. Dari barang pemberian Kyai saja ia merasa sangat kehilangan, apalagi kehilangan orang-orang yang ia sayangi? Sudah pasti tak kuat ia menahan kepedihan. Membayangkannya saja Azmi tak sanggup, meski pada akhirnya suatu hari semua yang bernyawa akan merasakan mati.

***

Azmi terus saja kepikiran dengan sorbannya, ia belum juga mendapatkan kabar terkini dari petugas. Kembali ke rumah Yossy, bukannya menenangkan diri, ia justru terus saja mengingat-ingat di mana terakhir sorban tersebut melingkar di lehernya, dan yang ia ingat betul adalah saat meletakkannya ke dalam loker.

Namun sebelum ia mengunci pintu loker, Azmi sempat menengok ke salah seorang pemanah yang lebih tua darinya, yang juga sedang meletakkan barang-barangnya ke dalam loker. Alihnya terfokus ke orang tersebut yang perawakan sampai perlengkapan memanahnya sudah seperti atlet yang akan ikut olimpiade. Azmi terus memandangnya saat itu, seperti orang yang sangat kagum dengan seorang ahli olahraga memanah, salah satu jenis senjata perang yang disunnahkan oleh Rasulullah untuk setiap umatnya mempelajarinya.

Bola mata Azmi kemudian membelalak saat ia mulai tersadar penuh dan mengingat momen saat sebelum ia menutup kembali pintu loker, ia tidak begitu yakin sorbannya ada di dalam karena saat itu angin tiba-tiba berembus kencang dan ia langsung mengunci loker tanpa memastikan sorbannya terlebih dulu.

"Om Yossyyyy," teriak Azmi dari dalam kamar.

Azmi pun langsung bangkit dari tempat tidur dan meminta kembali Yossy untuk mengantarnya ke tempat latihan memanah, sekarang juga.

Dalam perjalanan, Azmi merelai ingatannya kembali, menduga-duga di mana gerangan sorban itu tercecer. Wajahnya terlihat serius, beberapa kali ia memainkan alisnya, bibirnya ditekuk ke bawah. Yossy kemudian menatapnya dengan heran, untuk pertama kali ia melihat Azmi seserius itu.

Yossy berdeham. "Kehilangan sorban udah kayak kehilangan istri, Dek." Lagi-lagi Yossy menggoda Azmi.

Azmi sontak tersenyum kecut sambil melirik sinis ke Yossy. "Cih!" seru Azmi. "Istri apaan, sih, Om? Ada-ada aja."

"Lah, tujuh belas tahun udah boleh nikah, loh, Dek."

Azmi mendesir sebal. "Kenapa nggak Om aja?" Ia tersenyum lebar, mengejek Yossy. "Kan om lebih tua dari Azmi, lebih ganteng, sudah mapan, dewasa, terus Om udah ada calonnya kan? Nah, terus—"

"Tunggu-tunggu!" Yossy memotong pembicaraan. "Ini kenapa jadi Om yang kena, sih? Ah, sudah sudah."

Azmi tertawa lepas. "Yaa lagian, sih. Om yang mancing, kok."

Meski umur terpaut cukup jauh, tetapi mereka begitu akrab hingga membahas menyoal apa pun bisa mengalir. Dari awalnya serius, boleh jadi berakhir dengan candaan. Begitulah Azmi bisa dekat dengan Yossy, ia sudah menganggap Yossy sebagai kakaknya sendiri.

Tak terasa mobil hampir tiba di lokasi, beberapa menit sebelum masuk ke dalam area gedung memanah, Azmi mendapatkan pesan dari petugas yang sudah mengambil kontaknya pagi tadi.

Pesan masuk:

087*********

Assalamualaikum, Mas. Sorbannya sudah ketemu. Silakan datang ke bagian kantor kami ya mas.

Dari, petugas harian Gedung Latihan Memahan.

"Alhamdulillahhhh," teriak Azmi setelah membaca pesan tersebut. "Omm, sorban Azmi katanya sudah ketemu."

"Ah, sudah kuduga."

Azmi mengernyit. "Maksudnya? Om tahu kalau sorbannya bakalan ketemu?"

"Yaa tau lah, Dek. Toh kamu yang teledor. Pasti jatuhnya di dekat loker, atau bisa jadi orang lain yang nemuin."

"Ohhh, gitu toh." Azmi mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu kembali bernapas lega sambil tersenyum.

Pandangan Yossy kembali terpusat ke depan yang masih menyetir mobil. Dalam hati Yossy berkata, "Dek, kapan kamu dewasa? Udah tujuh belas tahun, kok masih polos."

***

Azmi menemui petugas yang sama di loker office yang ternyata sudah menunggunya di depan pintu, lelaki berpakaian kaos hitam polos itu terlihat memegang sebuah kain putih berenda bermotif abu-abu. "Mas Azmi, ya?" tanyanya memastikan.

"Iya, Mas."

"Oh, iya." Petugas itu langsung menyodorkan sorban milik Azmi. "Ini sorbannya, Mas. Silakan dicek dulu, apa barangnya sudah betul?"

Wajah Azmi berseri-seri sembari memastikan bahwa benar itu barang miliknya yang hilang. Azmi menganggukkan kepala. "Iya, Mas. Sudah betul. Matur nuwun sanget, Mas."

Petugas itu membalas senyum Azmi. "Nggih, Mas. Saya hanya meneruskan titipan dari seseorang yang menemukan sorbannya mas kemarin pada saat ia selesai latihan memanah."

Azmi mengerutkan dahi. "Kemarin? Latihan memanah?"

"Iya, Mas. Kebetulan sekali yang nemuin sorban mas tercecer di depan loker adalah atlet panahan yang cukup terkenal di Kediri, pernah mendapat medali perunggu di Asian Games dua tahun lalu."

Mata Azmi spontan mendelik. "Serius, Mas? Sekarang dia di mana, Mas? Saya mau ketemu."

"Oh, dia? Lagi latihan, Mas. Tapi—"

"Nggih, Mas. Sekali lagi, terima kasih," tukas Azmi.

Setelah memotong pembicaraan petugas tersebut, Azmi langsung masuk ke dalam arena latihan memanah untuk menemui atlet yang menemukan sorbannya, dan ia yakin betul kalau atlet yang dimaksud oleh petugas itu adalah orang sama yang Azmi lihat kemarin dengan penuh kekaguman karena postur tubuh, pakaian, serta alat-alatnya sangat mencerminkan bahwa ia adalah atlet memanah kelas asia.

Tak jauh dari pijakan Azmi berdiri seseorang yang ia cari. Seorang atlet terlihat sedang memainkan anak panahnya di sisi kanan lapangan yang lebarnya kurang lebih lima meter, tepatnya di depan papan sasaran.

Azmi perlahan menghampiri atlet tersebut dengan wajah sumringahnya. "Assalamualaikum, Kak," sapanya kemudian.

Atlet laki-laki yang bertubuh jangkung itu berbalik badan. "Waalaikumsalam." Ia kemudian langsung tersenyum pada Azmi seperti sudah mengenalnya.

Azmi menjulurkan tangannya untuk menyalim Atlet tersebut. "Kenalin. Saya Azmi, Kak. Pemilik sorban yang kakak temukan kemarin."

Sang Atlet membelalak seraya berkata, "Ohh, jadi itu punya Azmi? Maasya Allah. Beruntung sekali saya bisa menemukan sorban peselawat terkenal seantero Jawa." Atlet itu masih sumringah.

Azmi cengengesan sembari menundukkan kepalanya karena malu. "Ehehe, nggak terkenal, kok, Kak. Bukan siapa-siapa, hanya hamba Allah yang cinta selawat."

"Ah, maasya Allah, merendah sekali kamu, Azmi. Wajar orang-orang mengagumimu karena Allah." Ia menepuk-nepuk pundak Azmi yang masih tertunduk. "Oh, iya, kenalin, saya Randi, atlet pemanah dari klaster internasional dengan jarak 90 m."

"Maasya Allah, Kak Randi yang pemenang medali perunggu di Asian Games cabang olahraga panah putra dua tahun yang lalu, kan?"

Atlet pemilik nama lengkap Randi Pangestu itu manggut. "Alhamdulillah, sebuah keberuntungan yang datang dari Allah kala itu."

Mereka berdua pun melanjutkan perbincangan lebih jauh setelah Azmi menanyakan banyak hal tentang bagaimana menjadi seorang pemanah yang sesuai dengan anjuran Rasulullah. Keduanya memilih gazebo untuk bincang-bincang santai, terlebih Azmi sendiri ketika memiliki rasa penasaran terhadap sesuatu maka ia akan menggalinya sedalam mungkin. Karena bagi Azmi, setiap orang adalah ilmu; baik sekalipun buruk, segala sesuatunya ia definisikan sebagai pelajaran hidup yang kelak akan ia temui saat dirinya sudah cukup dewasa untuk mengerti dan paham semuanya. Betul kata Yossy, dari dulu Azmi sangat menggebu-gebu ingin mengertahui banyak hal, penasaran dengan hal-hal baru. Hanya saja, ia belum cukup umur untuk memahami itu semua dengan mudah.

Memang umur tidak selalu menjadikan orang untuk dewasa dalam berpikir, tetapi umurlah yang dijadikan patokan kapan seseorang dianggap dewasa atau belum. Bisa jadi, sekarang Azmi berpikiran dewasa dengan banyaknya tanya dan rasa penasaran dalam dirinya. Tetapi perilakunya masih tercermin seorang Azmi yang lingkungannya kenal, seorang anak yang masih butuh banyak bimbingan dan kasih sayang dari orang-orang terkasihnya.

"Azmi ... kamu tahu? Apa yang sebenarnya membuat saya tekun belajar memanah dari kecil sampai bisa menjadi Atlet dan bersaing di antara pemanah-pemanah kelas dunia?" Perbincangan mereka mengalir dengan cukup akrab, padahal baru saja mereka berkenalan.

Azmi tidak menjawab, ia terus menatap Randi, menunggu sang atlet itu menjawab pertanyaannya sendiri. "Semua karena Rasulullah."

Senyuman Azmi terlukis dengan indah tatkala nama Rasulullah terdengar dari getaran suara berat Randi. "Dan bagian yang paling menyentuh adalah tentang kisah seorang sahabat Rasulullah, Sa'ad bin Abi Waqqash yang dijuluki sebagai Sang Singa yang menyembunyikan kukunya."

Bagi penikmat Sirah Nabawiyah, tidak ada yang tidak mengenal Sa'ad bin Abi Waqqash, ia adalah salah satu sahabat Rasulullah yang dijanjikan kelak masuk surga. Ia menjadi panglima perang di masa itu, Sa'ad juga diangkat menjadi amir--setingkat gubernur di Irak--pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun dari sifat pemberaninya itu, Sa'ad adalah orang yang sering menangis karena takut kepada Allah. Setiap kali mendengar Rasulullah memberi nasihat dan berkhutbah, maka air matanya selalu berlinang.

Azmi masih menyimak dan larut dalam cerita Sa'ad yang Randi sampaikan. "Sa'ad adalah orang pertama yang melepaskan anak panah dalam perang Uhud. Ia juga orang pertama yang terkena panah, dan ia juga satu-satunya orang yang ditebus oleh Rasulullah dengan tebusan kedua orang tuanya. Rasululullah mengatakan pada Sa'ad perang Uhud berlangsung kala itu, "Lepaskanlah panahmu, wahai Sa'ad! Tebusanmu adalah ayah dan ibuku!". Atas restu sang Rasulullah, Sa'ad memberanikan diri sampai berderai air mata karena takut jika anak panahnya salah sasaran. Kemudian Rasulullah berdoa pada Allah yang ditujukan pada Sa'ad. "Ya Allah, tepatkanlah lemparan panahnya dan kabulkanlah doanya." Dan alhasil apa yang terjadi? Sejak saat itu, anak panah Sa'ad selalu tepat sasaran mengenai musuh Islam. Begitu pula dengan doa Sa'ad yang selalu dikabulkan Allah SWT dan Rasulullah mengangumi keberanian Sa'ad di medan perang. Beliau selalu berdoa untuk Sa'ad, bahkan pernah di hadapan para sahabat, Rasulullah juga menyebut Sa'ad adalah sebagai penghuni surga kelak."

Terlihat Azmi tidak berkedip menatap Randi, ia begitu antusias mendengar cerita tentang Sa'ad. "Pelajaran apa yang bisa dipetik dalam kisah Sa'ad ini? Kamu tahu?"

Azmi mengangguk, sepanjang ia mendengarkan cerita ia tidak hanya sekadar mendengarkan tapi juga ikut berpikir di sana. "Apa pelajaran yang bisa kamu ambil?" tanya Randi lagi.

"Ini tentang anak panah, doa, dan surga. Sa'ad memanah dengan memohon restu dari Rasulullah dan meminta pertolongan pada Allah. Dan Rasulullah memberinya restu sampai mendoakan Sa'ad di setiap perang melawan musuh. Cara Sa'ad memenangkan hati Rasulullah dengan mengumpulkan keberanian di medan perang agar menang melawan musuh Islam. Dan pada akhirnya, Sa'ad salah satu yang dijanjikan surga oleh Allah karena ia menolong agama Allah," jelas Azmi sangat teliti.

Randi tersenyum lebar di sana melihat Azmi yang sangat cerdas menjawab pertanyaannya. Mereka seperti saling melempar tatapan kagum satu sama lain. "Maasya Allah, jawaban kamu tepat. Semua berawal dari keberanian, untuk memulainya, Sa'ad selalu menyertakan Allah dan Rasulullah. Itulah kenapa setiap ia memanah, selalu tepat sasaran."

"Nggih, Kak Randi. Betul sekali, semua karena keberanian seorang Sa'ad pada masa itu, sehingga anak panah dan doanya dan doa Rasulullah padanya membawanya ke Syurganya allah." Azmi tidak henti-hentinya tersenyum semangat, ia begitu terkesima dengan cerita Sa'ad yang telah Randi bagikan padanya.

"Kisah ini sungguh menggugah bukan? Jadi, masih punya mimpi untuk ahli memanah?" tanya Randi pada Azmi.

"Insya Allah, Kak."

"Modalnya cukup dengan berani, dan sertakan Allah dan Rasulullah di setiap kamu ingin membidik sasaran."

Azmi mengangguk paham, kemudian senyumnya pelan-pelan menyusut. Dalam hati ia bertanya, "Randi Pangestu? Mmm ... namanya sepeti tidak asing, tapi ... di mana ya aku pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya selain kemarin? Ia sangat tahu kisah sahabat Rasulullah, sepertinya aku pernah berada di acara yang ia juga hadir di sana menceritakan Sirah Nabawiyah. Tapi ... kapan dan di mana, ya?"

Kembali, pikiran Azmi dipenuhi tanda tanya oleh siapa gerangan atlet laki-laki yang ada di hadapannya sekarang. Bukan Azmi jika tidak penasaran, dan ia akan mencari tahu jawabannya.

***

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro