Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

65. Pertama dan Terakhir


Mempersunting Gayatri?

Darah Banyak Seta berdesir. Jantungnya menderap kencang seperti kuda perang. Sungguh anugerah tak terkira bagi rakyat jelata dari desa kecil di pesisir tanah Jawa. Gayatri adalah gadis pertama yang menggetarkan hatinya. Bintang terang yang menyinari langit masa remaja, serta mimpi-mimpi liar yang menghiasi malam-malam sepi. Namun, sudah lama getaran itu ia benamkan jauh-jauh di dasar hati. Bukan hanya karena perbedaan status, melainkan akibat teriakan hati kecil yang mengingatkan bahwa keinginan itu tidak pantas bagi seorang prajurit.

Selama ini, hidupnya terasa mengalir dan mudah karena ia tidak pernah berkelahi dengan takdir. Apa yang diberikan semesta, dijalani dengan sungguh-sungguh dan sebaik mungkin. Saat harus berpisah dengan kedua orang tua, teman-teman bermain, serta laut untuk belajar di lereng Gunung Pawitra, ia menerimanya dengan ikhlas dan berusaha menjadi murid yang baik. Kemudian, saat mimpinya harus pupus karena gagal menjadi prajurit laut, ia juga tidak berlama-lama tenggelam dalam kekecewaan dan menerima suratan nasib menjadi pasukan elite Dyah Wijaya hingga akhirnya menjadi panglima muda yang paling disegani. Bahkan ketika dirinya harus mendekam di penjara karena dituduh berkhianat dan berbuat melanggar susila, jiwanya menerima dengan ikhlas. Semua itu berkat suara hati nurani yang selalu mengarahkannya pada kebaikan sekalipun dalam hitung-hitungan duniawi dirinya tengah merugi. Saat ini pun suara yang sama terus-menerus mengingatkan bahwa tidak pantas seorang kesatria membatalkan janji, apalagi janji itu adalah amanat terakhir seseorang sebelum meninggal.

Sebaliknya, Dyah Wijaya tidak mengerti mengapa Banyak Seta justru tidak terlihat bahagia setelah mendengar tawaran itu. "Mengapa wajahmu malah tegang? Apa yang kamu takutkan? Tawaranku tulus, Seta, tidak mengujimu seperti malam itu."

Dyah Wijaya terpaksa mengakui perbuatannya berpura-pura menjadi Gayatri dulu. Toh ia sangat yakin Banyak Seta mengetahui penyamarannya. "Maafkan aku. Waktu itu semua orang curiga pada kedekatan kalian sehingga aku terpaksa mengujinya sendiri."

"Duh, Paduka. Hamba sama sekali tidak berpikir Paduka tengah memberi ujian. Bukan itu yang mengganggu pikiran hamba."

"Lantas apa?"

"Hamba sudah telanjur membuat janji pada seseorang ...." Banyak Seta tahu akan mengecewakan sang pangeran, namun itulah yang diperintahkan oleh hati nuraninya. Ia tidak boleh mengecewakan Nari yang telah menunggu sangat lama.

"Janji pada siapa?"

"Ampun, Paduka. Hamba sudah menerima perjodohan dengan adik Kakang Piyung dan akan meminangnya setelah kembali ke Jawadwipa."

Dyah Wijaya tidak dapat berkata-kata untuk beberapa saat. Bayangkan saja, seorang putri raja kalah bersaing dengan gadis desa biasa. Keganjilan apa pula ini?

"Cantikkah gadis itu?"

"Menurut kakaknya, dia cantik dan budi pekertinya tidak mengecewakan."

Alis Dyah Wijaya tertaut. "Menurut kakaknya? Kamu belum pernah bertemu gadis itu?"

"Belum, Paduka."

"Jadi, kamu tidak mencintainya?"

"Belum, Paduka."

"Kamu baru akan belajar mencintai setelah meminangnya?" Dyah Wijaya menggeleng-geleng, tidak percaya pada keterangan itu. "Wah, Seta. Kamu sangat cerdas di medan laga, tapi tidak tahu apa-apa soal wanita. Sepertinya, Gayatri akan patah hati."

"Ampun, Paduka."

Dyah Wijaya memandang dalam-dalam wajah Banyak Seta yang tidak berani membalas tatapannya. Penolakan itu sangat tidak masuk akal, lebih mirip alasan yang dibuat-buat untuk menutupi penyebab sesungguhnya, yaitu tidak ingin merebut tunangan sang atasan, atau rasa rendah diri karena berbeda kasta. Jangan-jangan, gadis itu pun tidak benar-benar ada.

"Baiklah, Seta. Selama dua hari ini, pikirkan baik-baik. Bicarakan juga dengan Gayatri. Aku harap, kamu tidak melukai hatinya."

☆☆☆

"Kandaaa!" Lengkingan Gayatri membelah ketenangan siang.

Ia syok setelah diberitahu Dyah Duhita dan Prajna Paramita bahwa Dyah Wijaya akan memberikan dirinya kepada Banyak Seta. Tahu Dyah Wijaya sedang rehat di sela-sela kesibukannya membuat pertemuan dengan banyak orang, Gayatri yang tidak sabaran berlari melintasi taman keputren, memutari kolam yang permukaannya ditumbuhi teratai, lalu muncul begitu saja di pintu wisma kediaman sang pangeran. Tentu saja, ulah itu sangat "Gayatri" sekali. Dyah Wijaya dan Tribhuwana yang sedang duduk di depan meja kecil di balai-balai, sampai terjingkat.

Dyah Wijaya bergaya mengelus dada. "Wah, jantungku nyaris jatuh!" Kemudian, ia mengelus perut Tribhuwana sambil menyindir, "Sssh, tenang ya, Nak. Tabahkan hatimu karena kamu akan sering mendengarnya."

Gayatri masuk dan langsung bersimpuh di lantai. Ia sudah melupakan tata cara menghadap sang pangeran. Toh mereka bukan lagi bangsawan keraton, melainkan pengungsi perang.

"Ada apa, Dinda? Jangan diam saja di situ. Ayo, naik. Cicipi bubur ketan ini. Lihat, di atasnya diberi gula merah buatan Sumenep yang rasanya sangat enak."

"Bisa-bisanya Kanda membicarakan bubur di saat genting seperti ini," gerundel Gayatri, namun ia menurut juga, naik ke balai-balai.

"Dinda, bubur ini pemberian rakyat Sumenep. Berkat cinta dan pengabdian merekalah kita bisa mencicipi anugerah ini." Dyah Wijaya menunjuk mangkuk besar di tengah meja.

Gayatri cuma bisa mencibir. Seperti biasa, ia kalah kata-kata dengan Dyah Wijaya.

Tribhuwana mengambil cawan, lalu mengisinya dengan bubur. "Ayo, turuti perkataan kakandamu."

Gayatri menerima cawan itu, tapi tidak langsung menyantap isinya. Ia masih geregetan oleh ulah Dyah Wijaya sehingga kehilangan selera makan.

Tribhuwana yang tahu gelagat Gayatri, segera undur diri. "Kanda, sebaiknya saya tinggalkan Kanda berdua dengan Dinda Gayatri," pamitnya.

Begitu sang kakak meninggalkan ruangan, Gayatri langsung memulai aksi protesnya. "Mengapa Kanda menginginkan saya ikut dengan Kakang Banyak Seta?"

"Jangan malu-malu. Sebut saja Kanda Seta seperti biasa Dinda lakukan."

Wajah Gayatri memerah. "Bukan itu yang terpenting saat ini!"

"Lantas, apa yang paling penting?"

Gayatri yang gelisah menggigit bibir tanpa sengaja. "Kanda ... Kanda tidak menginginkan saya lagi?" Ia langsung tertunduk dengan bahu berguncang dan air mata berguguran. Kedua tangannya bergulat di atas pangkuan.

"Mengapa salah paham begini, Dinda? Aku berniat baik." Terus terang, Dyah Wijaya kebingungan melihat gadis kesayangan itu menangis.

"Berniat baik, tapi dengan membuang saya, begitukah Kanda?"

"Mengapa malah marah? Bukankah Dinda mencintai Banyak Seta?"

"Dari mana Kanda tahu?"

"Semua orang yang pernah melihat kalian berdua tahu itu."

"Tapi, selama ini saya tunangan Kanda. Mengapa Kanda melepas saya?"

"Aku bukan orang kejam yang tidak punya hati. Dinda salah paham lagi. Dinda dan Banyak Seta adalah orang-orang yang berharga. Karena itu, aku memberi kalian kebebasan untuk memilih."

"Kanda ... Kanda tidak mencintai saya lagi?"

Dyah Wijaya tersenyum, lalu meraih tangan Gayatri. "Justru sebaliknya, Dinda. Aku terlalu menyayangimu sampai-sampai keserakahanku luntur karenanya."

Entah dengan cara apa, perkataan itu menggetarkan kisi-kisi hati Gayatri sehingga ia kehilangan kata-kata. "Saya tidak tahu harus menjawab apa. Saya harus membicarakannya dengan Kanda Seta."

"Seta merasa sangat tidak pantas untuk mendampingi Dinda. Kamu tahu, bukan? Seorang prajurit seperti dia akan merasa berkhianat bila menginginkan milik junjungannya. Tapi, semua tergantung keputusan Dinda. Seta pasti luluh oleh keteguhan hatimu."

Gayatri hanya menunduk sambil mengaduk-aduk bubur ketannya. Dyah Wijaya menangkap kegalauan itu dan segera memberinya pegangan.

"Bila tidak ingin pergi, tinggallah bersamaku. Aku akan sangat bahagia, Dinda."

Perkataan Dyah Wijaya mau tak mau membuat Gayatri tercenung. Sepanjang siang itu, ia gelisah dan mondar-mandir di keputren. Akhirnya saat sore datang, ia memutuskan untuk mencari Banyak Seta.

☆☆☆

Banyak Seta dan Gayatri menyusuri pantai Sumenep. Cakrawala mulai redup dan bersemburat jingga. Awan putih halus membentuk gumpalan seperti kapas yang bagian bawahnya juga berwarna jingga. Pemandangan itu mengingatkan Gayatri pada langit sore di alun-alun ibukota, tempat ia dilatih mengendarai kuda oleh Banyak Seta.

"Kanda selalu menemukan bentuk-bentuk binatang pada awan-awan jingga itu," ucap Gayatri. Senyum yang terulas sepenuhnya karena kenangan manis yang selalu segar dalam ingatan. Hanya saja, Banyak Seta tampak tidak terlalu menikmati. Wajahnya tegang, seperti menyimpan beban.

"Ah, benar," sahut pemuda itu, singkat.

Gayatri kecewa karena Banyak Seta terus saja membuat jarak. "Kapan Kanda berangkat?"

"Lusa."

Gayatri menunduk dan memainkan pasir dengan ujung jari kaki. "Semoga ayah Kanda cepat ditemukan."

"Terima kasih. Ada satu hal yang ingin hamba tanyakan."

Gayatri menoleh. Lumayan, kalimat Banyak Seta sedikit lebih panjang. Sedari tadi, pemuda ini selalu menjawab singkat-singkat seperti, ya, tidak, oh benar, hamba juga, dan sebagainya.

"Apa itu, Kanda?"

"Bagaimana keris hamba bisa kembali pada hamba malam itu? Apakah Paduka sendiri yang mengirimnya?"

"Kanda yakin saya punya kesaktian sebesar itu? Tentu saja tidak. Saya dibantu ayah Kanda, Paman Wiskira dan temannya, pedagang dari Bakula Pura itu."

Gayatri pernah berjumpa dengan Wiskira saat menjenguk Banyak Seta di penjara. Walau malam itu mereka tidak sempat berbicara banyak, namun ia mengenali Wiskira dan temannya.

Mata Banyak Seta melebar. "Kalau begitu, Paduka orang terakhir yang melihat bapa hamba?"

Gayatri belum lupa gentingnya situasi malam itu, ketika ia melihat dengan mata kepala sendiri Ni Cebluk tersungkur oleh panah musuh.

"Maafkan saya. Kami dikejar-kejar pasukan Kediri. Ayah Kanda dan temannya bertempur untuk memperlambat gerak mereka. Kami bersama Ni Cupuk dan Ponjol berhasil lolos, tapi saya kehilangan Ni Cebluk. Saya tidak tahu bagaimana akhir pertempuran ayah Kanda."

"Berapa banyak pasukan yang mengejar Paduka saat itu?"

Gayatri menggeleng beberapa kali sambil menggigit bibir. "Puluhan," bisiknya.

Banyak Seta seketika lemas. Hampir dipastikan ayahnya tidak selamat. "Di mana terakhir kali Paduka melihat bapa hamba?"

"Di sebelah timur ibukota, kira-kira dua ribu tombak jauhnya. Jangan berkecil hati dulu, Kanda. Siapa tahu Dewata melindungi ayahanda."

Bayak Seta mengangguk. Gayatri menggamit lengannya, lalu mengajak pemuda itu menyusuri batas air. Sesekali air laut menyapu hingga membenamkan mata kaki mereka. Ketika gelombang itu surut, tinggallah rasa kosong yang mendamba untuk disapu lagi.

"Apakah cinta bagi Kanda seperti gelombang ini, singgah sebentar di kaki, lalu pergi, dan meninggalkan rasa rindu?" gumam Gayatri, tanpa menoleh pada Banyak Seta yang berdiri di sisinya.

Banyak Seta menoleh, mendapati wajah muram yang tertunduk. Jangan-jangan, Dyah Wijaya sudah memberi tahu tentang penolakan itu.

"Seperti gelombang yang datang, pergi, datang, lalu pergi lagi? Tidak, Paduka. Cinta bagi hamba tidak seperti itu."

"Seperti apa cinta menurut Kanda?"

Banyak Seta memeras otak sebentar, berusaha mencari ungkapan yang paling tepat. "Cinta bagi hamba selalu ada, pasti, tidak perlu dipertanyakan, tidak perlu diragukan, walaupun keberadaannya kadang tidak disadari."

"Seperti udara?" Gayatri menoleh.

"Ya, seperti udara." Itulah cinta yang dihayati Banyak Seta dari kedua orang tuanya, dari Runi, dan terutama dari semesta. Cinta mereka selalu ada, setia, dan tak pernah sekali pun meninggalkannya.

Gayatri memutar tubuh hingga mereka berhadapan. "Udara itu seperti Kanda. Selalu ada, selalu melingkupi. Tidak perlu diminta untuk datang, tapi selalu hadir. Tidak perlu dipertanyakan karena selalu memberi kepastian."

Banyak Seta mengangguk sambil merasakan udara yang mengelus pipi dan menggoyang ujung-ujung rambut. Ya, dirinya mungkin seperti udara yang bisa bergerak ke mana saja sesuai keinginan semesta.

"Perumpamaan itu menyedihkan sekali, Kanda," cetus Gayatri.

"Mengapa begitu?"

"Karena Kanda hanya akan mencintai diam-diam, tanpa memiliki. Itukah yang ingin Kanda sampaikan?"

Banyak Seta tidak sanggup menjawab. Agaknya, ia sudah melukai Gayatri.

"Celakanya, sayalah orang yang akan membuat Kanda seperti itu," lanjut Gayatri. Suaranya lirih dan bergetar.

Banyak Seta tidak mengerti mengapa arah pembicaraan menjadi seperti ini. "Apa maksud Paduka?"

Gayatri tidak menjawab, malah meraih tangan Banyak Seta dan meremasnya dengan kalut sambil terisak-isak.

"Paduka, mengapa menangis?"

"Sebentar lagi, saya pasti menjadi orang yang paling jahat bagi Kanda."

"Katakan saja ada apa, Paduka. Bukankah saya seperti udara? Udara tidak pernah membawa beban. Bila terlalu berat, udara akan menjatuhkan beban itu sebagai hujan."

Gayatri berusaha berhenti menangis dan menyeka air matanya. "Andai saya gadis biasa, dengan senang hati saya akan ikut ke mana pun Kanda pergi. Namun, hidup seorang putri raja adalah untuk kemuliaan negeri. Saya harus meninggalkan kesenangan pribadi. Apakah Kanda memahaminya?"

Banyak Seta mengangguk. Semesta telah memudahkan langkahnya. Sejak tadi, ia galau bagaimana menolak cinta Gayatri, namun ternyata gadis itu justru memulainya.

"Hamba sangat mengerti, Paduka. Perkataan Paduka Wijaya tadi sempat membuat harapan hamba tumbuh. Pasti akan menjadi anugerah surga bila hamba bisa mendampingi Paduka ...."

Kalimat itu menggantung dan Gayatri bisa menduga rangkaian kata yang tidak terucap. Keduanya terdiam sejenak, membiarkan percakapan mereka digantikan oleh suara deburan ombak.

"Apakah Kanda merelakan saya?" tanya Gayatri, setelah berhasil menenangkan hati.

"Hamba tidak merelakan apa pun. Paduka Putri bukan milik hamba sedari semula."

"Tapi ... tapi mengapa saya merasa sangat bersalah? Mengapa saya seperti menikam jantung Kanda dengan keris?"

"Paduka tidak salah. Paduka harus memilih yang paling penting, yaitu pengabdian kepada negeri dan para leluhur Singasari. Bukankah begitu?"

Gayatri mengangguk. "Ada tugas yang hanya bisa saya tuntaskan bila saya berada di sisi Kanda Wijaya. Maaf bila perkataan ini terkesan mengecilkan arti Kanda. Saya ... saya jahat sekali, bukan?"

Tangis Gayatri kembali pecah. Kali ini, ia bahkan sangat malu sehingga menutupi wajah dengan kedua tangan. Banyak Seta berusaha tersenyum, namun malah menjadi aneh karena pipinya telah dihujani air mata. Entah, air mata apa ini, kesedihan atau haru? Ia buru-buru menyekanya agar Gayatri tidak tahu.

"Jangan menangis, Paduka. Hamba akan mengawasi dan menjaga Paduka dari kejauhan."

Perlahan, Gayatri memeluk Banyak Seta dan merebahkan kepala di dadanya yang bidang. "Biarkan saya mengenang Kanda seperti ini ...."

Banyak Seta membalas pelukan itu dan membiarkan Gayatri menghabiskan tangis. Perlu puluhan tarikan napas sebelum sedu sedan itu reda.

"Saya akan membawakan bekal dendeng daging kambing muda, dan bila ada, dendeng rusa juga," janji Gayatri tanpa melepaskan Banyak Seta. Tangisnya telah berhenti, namun ia belum rela membiarkan kehangatan itu pergi.

"Hamba berjanji akan menghabiskannya sendiri."

Gayatri mendongak sambil terus bergayut pada tubuh Banyak Seta. "Jangan kikir, Kanda! Bagilah dengan Kakang Sarba dan Kakang Kambang."

Ucapan manja dan pandangan berbinar yang begitu dekat itu seketika meletupkan rasa sayang Banyak Seta. Tanpa sadar, tangannya merengkuh pinggang Gayatri lebih erat. Agaknya, badai yang sama juga melanda Gayatri. Gadis itu memberanikan diri berjinjit, lalu mengecup lembut pipi Banyak Seta. Lelaki itu langsung membalasnya. Itulah ciuman pertama dan terakhir mereka.

Hangat ...,

lembut ...,

serta banjir air mata.


☆-Bersambung-☆

Yuhuuu tersisa 2 bab lagi, ya. Djadoelers, beri Fura emot api2 yuk, biar semangat nulisnya 😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro