Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

64. Sumenep

Gayatri tiba di kediaman Arya Wiraraja keesokan hari, menjelang petang. Kedatangannya disambut isak tangis Tribhuwana, Dyah Duhita, dan Prajna Paramita yang langsung membawa sang adik beristirahat di keputren. Dyah Wijaya yang selama hujan tangis itu hanya tersenyum-senyum, mengajak Panji Patipati dan Banyak Seta ke pendopo untuk mengikuti rapat bersama para panglima.

"Kita selesaikan kesepakatan penting dulu, setelah itu kalian bisa beristirahat," ucap sang pangeran.

Bersama Arya Wiraraja, ketiganya menuju pendopo di tengah kompleks kediaman sang bupati. Tempat itu dijaga oleh pengawal Arya Wiraraja untuk menjamin pembicaraan mereka tidak akan didengar oleh orang luar.

Melihat dua juniornya datang dalam keadaan hidup dan masih bisa berjalan tegak, Gajah Pagon dan Nambi turun dari pendopo dan langsung memeluk Banyak Seta dan Panji Patipati.

"Syukurlah kalian selamat!" ucap Nambi.

"Ayo segera ke pendopo. Kalian pasti haus dan lapar. Di sana ada air kelapa muda dan wajik buatan Paduka Tribhuwana dan adik-adiknya," imbuh Gajah Pagon.

Suasana pendopo sejenak menjadi ramai karena kedatangan Banyak Seta dan Panji Patipati. Dari balai-balai tempatnya duduk, Dyah Wijaya membiarkan para panglima itu melepas kekhawatiran dengan bercanda dan tertawa lepas. Apalagi yang bisa ia berikan selain kelonggaran sederhana ini?

"Patipati, bagaimana kalian bisa menemukan Paduka Gayatri secepat itu?" bisik Gajah Pagon.

Panji Patipati hanya meringis, lalu menunjuk Banyak Seta dengan ibu jari. "Silakan Raka bertanya pada beliau."

"Sudah kuduga!" seru Gajah Pagon, yang langsung disambut tawa geli para panglima yang lain.

"Itu hanya keberuntungan, Raka." Banyak Seta mengakui dengan jujur sambil salah tingkah. Semesta telah memudahkan mereka untuk berjumpa.

"Hubungan batin memang tiada duanya!" celetuk Nambi, membuat wajah Banyak Seta semakin merah padam.

Dyah Wijaya membiarkan mereka menyantap wajik dan pisang kukus sampai dirasa cukup untuk melepas ketegangan.

"Baiklah, kita lanjutkan pembicaraan tadi. Sampai di mana kita, Nambi?"

Para panglima serentak memasang wajah serius. Nambi berpindah duduk ke depan agar lebih mudah menjawab. "Sampai pada rencana untuk mengunjungi Kediri, Paduka."

Dyah Wijaya mengibaskan tangan sambil tersenyum lebar. "Berkunjung? Halus sekali perkataanmu, seolah-olah aku akan pergi berwisata. Pakailah bahasa lugas saja."

"Ehm, baik, Paduka. Pembicaraan kita tadi tentang menyatakan takluk pada Kediri." Nambi mengoreksi kalimatnya dengan agak ragu. Jujur, bibirnya kebas saat mengucapkannya.

"Seta, kamu satu-satunya yang baru mendengar rencana itu. Semua panglima di sini sudah menyampaikan pendapatnya. Aku juga ingin mendengar pendapatmu," ucap Dyah Wijaya.

"Ampun, sejujurnya hamba cukup kaget, Paduka," sahut Banyak Seta sambil menunduk hormat.

"Mengapa kaget? Kamu berpikir kita berkumpul di sini untuk membangun pasukan tempur?"

"Benar, Paduka. Maafkan hamba yang bodoh ini."

"Berperang merebut kekuasaan Kediri adalah salah satu pilihan yang sempat kupikirkan," sahut Dyah Wijaya dengan suara lembut yang justru memancarkan kewibawaannya. "Akan tetapi, perlu waktu bertahun-tahun dan biaya besar untuk membangun angkatan perang yang bisa menandingi mereka."

"Ada rencana apakah di balik pengakuan takluk itu?" Banyak Seta mulai menduga-duga isi pikiran junjungannya.

Melihat perubahan mimik muka anak buahnya, Dyah Wijaya girang. "Nah! Wajahmu berseri, Seta. Apakah kamu sepemikiran denganku?"

Banyak Seta mengangguk. "Paduka akan menguasai hal-hal yang tidak dimiliki Kediri, yaitu perdagangan manca dan hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di mandala dwipantara," tebak Banyak Seta.

"Tepat sekali!" Dyah Wijaya menjentik jari dengan penuh kepercayaan diri. "Kediri tidak punya kendali atas pelabuhan-pelabuhan laut. Kambang Putih, Gresik, Sedayu, dan Hujung Galuh, semua masih setia pada Ayahanda Kertanagara. Selain itu, Kediri tidak dikenal oleh pedagang-pedagang manca. Mereka hanya tahu kita, orang-orang Singasari."

Para panglima termasuk Banyak Seta mengangguk-angguk kecil. Semangat yang semula remuk seiring kehancuran Singasari, mulai membengkak kembali.

"Intinya adalah membuat Kediri tetap menjadi negara kecil di pedalaman. Kita cegah mereka berkembang ke pesisir," ucap Dyah Wijaya.[1]

"Hamba mohon izin usul. Menurut hemat hamba, Paduka juga perlu menghadang kekuatan Kediri di Sungai Brantas sebab satu-satunya penghubung Kediri dan dunia luar adalah Sungai Brantas," ucap Banyak Seta setelah memeras otak cukup lama.

"Kamu benar, Seta. Aku ingin meminta daerah yang bagus untuk pusat perdagangan baru di aliran Sungai Brantas. Kita mulai dengan membangun desa kecil yang subur untuk bertani sekaligus mudah untuk berdagang," lanjut sang pangeran. "Tempat itu harus di sebelah hulu Kembangsri, tapi cukup jauh dari ibukota Kediri, Daha."

Dyah Wijaya memastikan orang-orang terdekatnya memahami misi besar itu. Dan, ia senang mendapati dada-dada yang membusung oleh semangat baru.

"Harus ada orang yang menjual hasil bumi di desa baru itu, dan sebaliknya harus pula ada orang luar datang membawa barang-barang dari manca dan mengambil hasil bumi dari sana," lanjut Dyah Wijaya.

Banyak Seta merinding membayangkan betapa dahsyat rencana Dyah Wijaya. Misi baru itu akan membuat musuh mereka kerdil dan tetap terkucil di pedalaman. Sungguh langkah yang sangat cerdik.

"Sudah adakah yang bersedia menggerakkan masyarakat untuk menjual hasil bumi di desa baru itu?" tanya Banyak Seta lagi.

Dyah Wijaya mengedarkan pandangan ke seluruh peserta rapat. "Nah, kalian mendengar apa kata Seta. Siapa yang mau menjadi penggerak?" tantangnya.

Para panglima beserta Arya Wiraraja dan para pembantunya serentak mengajukan diri. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Madura dan Jawadwipa. Koneksi dan pengaruh mereka masih bisa diandalkan untuk mengajak orang mendatangi desa baru itu.

Banyak Seta pun mendadak mendapat siraman ide dari langit. Semesta seolah menunjukkan perannya dengan sangat gamblang. "Hamba akan menggerakkan orang-orang manca dari seluruh kepulauan dwipantara untuk berdagang di desa baru itu, Paduka."

Dyah Wijaya semakin senang. "Aha! Aku baru ingat kamu dilahirkan di kampung halaman para pelaut."

"Benar, Paduka. Bapa hamba adalah pembuat jung untuk armada laut Singasari dan jung untuk berdagang. Laut adalah masa kecil hamba."

"Aku tahu kamu selalu merindukan laut. Seharusnya, sejak dulu kutugaskan kamu di pasukan tempur laut. Tapi, aku terlalu serakah, tidak rela orang berbakat sepertimu jauh dari istana. Maafkan aku yang telah memenjarakanmu di daratan, Seta."

"Janganlah merasa bersalah, Paduka. Semua waktu yang hamba habiskan bersama Paduka adalah anugerah yang tiada taranya," sahut Seta dengan hati yang tulus.

"Baiklah, Seta. Aku bergantung padamu untuk wilayah lautan."

"Siap laksanakan!" sahut Banyak Seta.

"Apakah Paduka Jayakatwang tidak akan menghukum Paduka?" Lembu Sora tiba-tiba melempar keraguan. Peserta rapat yang semula diam, mendadak saling berbicara antar mereka sehingga ruangan itu menjadi gaduh.

Arya Wiraraja mengangkat tangan, memberi isyarat peserta rapat untuk tenang. "Jangan khawatir soal itu. Paduka Jayakatwang pasti lebih suka Paduka Wijaya takluk daripada harus mengerahkan pasukan untuk menghancurkan semua kekuatannya. Aku bisa menjamin hal itu. Lagi pula, beliau membutuhkan pernyataan takluk keluarga kerajaan Singasari agar kerajaan-kerajaan lain dalam bekas mandala Singasari serta-merta mengakui kekuasaan Kediri."

Pernyataan sesepuh yang disegani baik oleh Kertanagara maupun Jayakatwang itu membuat kegamangan para panglima sirna.

☆☆☆

Malam hari, saat Banyak Seta telah selesai membersihkan diri, makan malam, dan akan naik ke pembaringan, Panji Patipati mengajak bertemu Dyah Wijaya secara diam-diam. Ternyata, ada satu hal yang hanya boleh diketahui mereka berdua.

Kedua pemuda mengendap keluar dari wisma tamu tempat para panglima tidur, lalu melangkah perlahan di antara bangunan-bangunan di dalam kompleks kediaman Arya Wiraraja yang luas dan dikelilingi tembok bata merah. Setelah menyusup dengan hati-hati, mereka naik ke wisma tempat Dyah Wijaya tinggal.

Begitu membuka pintu, mereka disambut senyum Dyah Wijaya yang duduk seorang diri di balai-balai. Kulitnya yang kuning langsat menjadi kontras dengan dinding kayu yang membatasi ruang tengah dengan bilik. Walaupun balai-balai dan dinding ruangan dihiasi ukiran, namun tetap terlihat terlalu sederhana bagi seorang Dyah Wijaya. Pemandangan itu membuat Panji Patipati dan Banyak Seta nelangsa.

Setelah menerima sembah kedua abdinya, sang pangeran mulai membuka suara. Wajahnya sangat serius sehingga Banyak Seta berdebar.

"Kalian aku panggil malam ini karena hanya kalian yang benar-benar kupercaya. Kita akan mengumpulkan kekuatan diam-diam sambil menunggu kedatangan pasukan Mongol."

Banyak Seta mulai menebak isi pikiran sang pangeran. "Paduka hendak memanfaatkan pasukan Mongol yang akan datang untuk menghukum mendiang Baginda Kertanagara buat menggempur Kediri?"

"Ya! Mereka tidak tahu Baginda Kertanagara sudah wafat."

"Kira-kira kapan waktu kedatangan mereka?" tanya Panji Patipati.

"Saat ini, Kubilai Khan sedang sibuk melebarkan wilayah ke barat. Aku yakin mereka akan mengumpulkan pasukan dari Tiongkok bagian selatan dan Campa. Mengingat membentuk pasukan, menyiapkan perbekalan, dan membuat kapal perang tidak bisa cepat, aku perkirakan butuh waktu satu tahun lebih hanya untuk persiapan.

"Setelah itu, mereka harus menunggu angin barat agar bisa berlayar ke selatan. Kira-kira enam bulan lamanya. Jadi, sekitar dua tahun lagi mereka baru tiba di tanah Jawa. Dua tahun cukup untuk membangun desa perdagangan, asal dibantu oleh semua orang." Dyah Wijaya menyampaikannya dengan suara sangat pelan.

"Hamba setuju, Paduka," sahut Banyak Seta. "Sebab membangun angkatan perang yang besar pasti akan membuat Kediri curiga, lalu cepat-cepat menggagalkan rencana kita."

"Benar sekali. Biarpun begitu, kita tetap harus membentuk pasukan tempur. Bisakah kamu membuat pusat pelatihan rahasia di Kudadu dan Sukamerta, Patipati?"

"Hamba dan Kakang Macan Kuping siap membantu Paduka!" janji Panji Patipati.

"Dan kamu Seta, kutugaskan mengawasi gerak-gerik pasukan Mongol di sekitar Campa dan Laut Tiongkok Selatan. Lakukan dengan diam-diam."

"Siap, Paduka!"

Banyak Seta baru sadar pralaya Singasari yang memilukan itu justru mendatangkan kesempatan untuk memenuhi hasrat terpendamnya mengarungi lautan.

☆☆☆

Keesokan hari, Dyah Wijaya meminta Banyak Seta untuk menemani sarapan di wismanya. Banyak Seta pun memenuhi titah itu dengan seribu pertanyaan berkelindan di kepala. Gara-gara resah, nasi gurih, telur dadar, opor ayam, serta oseng tempe terasa hambar di lidah. Celakanya, Dyah Wijaya menunggu sampai selesai makan baru memulai pembicaraan.

"Kamu akan ke mana, Seta?" tanya sang pangeran sambil menuang air dari kendi.

"Bila Paduka mengizinkan, sebelum membangun jung, hamba ingin mencari bapa dan paman hamba yang hilang selama pralaya Singasari. Hamba juga berjanji pada Kakang Piyung untuk mengantarkan keris pusakanya kepada orang tuanya di Desa Tarik." Banyak Seta sengaja tidak menceritakan tentang rencana mempersunting Nari karena merasa hal itu tidak sesuai dengan topik pembicaraan kali ini.

"Aku tidak ingin mencegahmu, tapi apakah keadaan Singasari sudah aman?"

"Hamba akan berhati-hati, Paduka."

"Ah, aku lupa kalau kamu adalah telik sandi paling ditakuti di Singasari. Dengan siapa kamu akan pergi?"

"Bila Paduka mengizinkan, hamba ingin membawa Sarba dan Kambang. Mereka telah bersama-sama hamba sejak lama dan hutang budi hamba sudah tak terhitung jumlahnya. Bila ada kesempatan, hamba ingin membalasnya dengan menjamin hidup mereka seterusnya."

"Maafkan, aku belum bisa menjamin hidupmu saat ini." Mata Dyah Wijaya mendadak meredup saat teringat beban untuk mengembalikan kejayaan Wangsa Rajasa yang kini berada di pundaknya.

"Kebaikan Paduka-lah yang telah membesarkan hamba hingga menjadi seperti sekarang. Hidup hamba akan selalu dibaktikan bagi Paduka."

Dyah Wijaya mengangguk. "Hanya Sarba dan Kambang sajakah yang ingin kauajak serta?"

Banyak Seta mendongak. Dyah Wijaya saat ini tersenyum, namun isi hatinya sulit diselami. "Adakah orang lain yang akan Paduka utus untuk menjelajah wilayah laut?"

Dyah Wijaya menggeleng. "Tidak ada. Aku membutuhkan Panji Patipati dan semua panglima di darat. Aku hanya bertanya-tanya apakah kamu tidak ingin membawa serta belahan jiwamu?"

Napas Banyak Seta kontan tersekat. Pasti Gayatri-lah orang yang dimaksud sang pangeran. Kontan saja ia bersujud. "Ampun, Paduka. Semoga apa yang Paduka pikirkan bukan seperti dugaan hamba."

"Bangkitlah," titah Dyah Wijaya. "Aku tidak marah atau kecewa padamu, jadi jangan memohon ampun lagi."

Dengan wajah merona merah, Banyak Seta kembali duduk tegak, namun tidak berani menatap junjungannya.

"Kamu tidak salah duga. Gayatri sangat mencintaimu. Begitu pula sebaliknya, bukan?"

"Hamba tidak ... tidak ...."

"Seta, jangan merasa segan mengakui isi hati. Bibirmu mungkin menolak, tapi jiwamu tidak bisa berbohong. Bila tidak cinta, bagaimana mungkin kamu memanggil-manggil nama Gayatri selama tak sadarkan diri?"

Banyak Seta ingin mengerang. Rasa malu mendera sangat dalam hingga tulang-tulangnya serasa dicabuti. Mulutnya kelu, tidak sanggup berucap apa pun.

Dyah Wijaya tersenyum lembut. "Bila kamu memang mencintai Gayatri, bawalah dia bersamamu. Tentu saja, sebelumnya kita harus meresmikan perkawinan kalian."

Banyak Seta seperti dihadapkan pada persimpangan jalan. Permintaan siapa yang harus ia turuti, kakak seperguruan atau junjungannya?

"Bagaimana, Seta?"

"Paduka ...."

"Kenapa Seta?" Tidak menemukan mimik bahagia di wajah panglima muda itu, Dyah Wijaya keheranan. "Ah, benar. Kamu harus bertemu Gayatri dan membicarakannya berdua, bukan? Baiklah, aku beri waktu dua hari untuk membuat keputusan."

Banyak Seta terdiam sejenak, kemudian memberanikan diri mendongak. "Paduka, izinkan hamba menanyakan sesuatu yang pribadi."

Alis Dyah Wijaya terangkat. "Aduhai! Semoga pertanyaanmu tidak sesulit tes kelulusan Mpu Nadajna. Tentu boleh. Tanyakan saja, apa pun itu."

"Paduka merelakan tunangan yang paling dikasihi. Hamba jadi bertanya-tanya mengapa Paduka melakukannya?"

Senyum lembut Dyah Wijaya kembali terulas. "Karena aku menghargai Gayatri, aku ingin dia memilih jalan hidup sesuai keinginannya. Dan karena kamu akan pergi jauh dalam waktu lama, aku ingin memberi kepastian bagi kalian berdua."

_____________

[1] Taktik inilah yang digunakan VOC untuk mengerdilkan Mataram. Mereka menguasai Laut Jawa dan pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro