55. Pelarian Gayatri
Rombongan Banyak Seta sampai di Kulawan saat pertempuran masih berlangsung. Mereka berada agak jauh dari arena, di tempat aman yang tidak terdeteksi oleh pasukan Kediri. Dari atas pohon, Banyak Seta, Runi, beserta Sarba dan Kambang menyaksikan bara pertempuran di kejauhan. Agak sulit melihat dengan jelas apa yang terjadi di sana karena rapatnya hutan dan di tengah kegelapan malam, namun setidaknya ia bisa mendeteksi pergerakan pasukan yang tengah berhadapan itu dari bara api dan suara-suara mereka.
"Sarba, Kambang, Runi, kita mendekat ke sana!" perintahnya.
Banyak Seta segera meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya diikuti oleh Runi. Sedangkan Sarba dan Kambang terpaksa turun, lalu berlari sekencang mungkin agar tidak ketinggalan. Luka-luka Banyak Seta masih mengganggu sehingga gerakannya tidak segesit dulu. Beberapa kali ia harus dibantu Runi agar mendarat dengan baik di dahan pohon.
Di sebuah pohon kepuh yang menjulang tinggi, ia bisa melihat lebih jelas arena peperangan walaupun hanya berupa kumpulan cahaya obor di tengah kelamnya malam. Hutan di area itu sebagian terbakar sehingga dari ketinggian tampak berupa pulau-pulau merah menyala.
Runi bergayut ke dahan lain untuk melihat dengan jelas. Sebagai telik sandi Kediri yang punya jaringan kuat di istana Singasari, ia sudah pernah mengintai kamp prajurit sehingga tahu wajah Dyah Wijaya dan beberapa panglimanya. Ia berusaha melihat orang-orang yang bertempur di kejauhan, namun hasilnya nihil.
"Pohon-pohon hutan ini menghalangi pandangan," keluhnya.
"Kita tunggu sebentar, siapa tahu ada pergerakan. Dengan lima ratus pasukan dan dua belas panglima berilmu tinggi, aku yakin Paduka Wijaya bisa meloloskan diri dari kepungan musuh. Kita kawal mereka setelah memisahkan diri dari pertempuran besar."
"Bagaimana kalau Paduka Wijaya tidak berhasil lolos?"
Banyak Seta tidak langsung menjawab. Luka dalamnya tidak memungkinkan untuk mengerahkan jurus pamungkas seperti saat bertempur di dekat Kabalan. Dengan tiga belas orang, di mana tujuh di antaranya hanya punya kemampuan bertempur pas-pasan, ia harus memilih saat yang tepat untuk terjun ke arena. Bila tidak, nyawa mereka akan melayang sia-sia.
"Dengarkan saja suara-suara mereka. Nanti saat teriakan prajurit dan suara senjata beradu berkurang, itulah waktu yang tepat untuk terjun ke sana."
"Ayo ke pohon sebelah sana. Kelihatannya lebih tinggi." Runi segera meloncat ke dahan pohon sebelah, lalu bergayut di batangnya.
Banyak Seta ikut berpindah ke dahan Runi dan berdiri di belakangnya untuk mendapat pandangan yang lebih leluasa. Mereka terpaksa berdiri sangat dekat di dahan itu agar bisa melihat arena pertempuran dengan jelas. Tanpa sadar, punggung Runi sesekali bersentuhan dengan lengannya. Ada gelenyar aneh mengaliri relung hati Banyak Seta sehingga napasnya tersekat beberapa kali. Beruntung ia berada di belakang Runi sehingga ekspresi serba salahnya tidak sampai dilihat oleh gadis itu.
"Kamu mau ke mana kalau besok kita bisa keluar hidup-hidup?" tanya Banyak Seta, asal saja. Karena otaknya membeku sedangkan hatinya tertuju pada gadis ini, hanya kalimat itu yang terlontar saat berusaha menepis gelenyar aneh tadi.
Runi berpaling ke belakang karena keheranan mendapat pertanyaan yang melenceng jauh dari situasi saat ini. Ia lupa mereka berdiri berdekatan. Bahunya menubruk dada Banyak Seta dan membuatnya oleng karena kaget.
"Hati-hati!" Refleks, Banyak Seta menahan bahu Runi dengan tangan. Otomatis, gadis itu terbenam di dadanya.
Runi semakin kaget, sampai rasanya seperti tersengat kalajengking. Saking kalutnya, ia cepat-cepat memeluk batang pohon demi menjauh dari Banyak Seta.
"Mungkin mengikuti saranmu, pulang ke Bakula Pura," jawab Runi, juga asal. Jantungnya masih berlompatan dan nyaris membuatnya gila.
"Oh, perlu jung untuk pergi ke sana." Banyak Seta tidak peduli apa yang keluar dari mulutnya. Sensasi mendekap Runi yang hanya berlangsung selama tiga denyutan jantung telah membuat otaknya mogok bekerja.
Penglihatan Runi mendadak terang benderang ketika mendengar kata jung. "Sejujurnya, aku sering bermimpi berlayar di lautan luas menggunakan jung."
"Kamu pernah naik jung?"
Runi tidak menjawab. Perhatiannya teralihkan pada sesuatu di area pertempuran. "Ada pergerakan!" serunya sambil menunjuk iring-ringan kecil cahaya obor yang bergerak meninggalkan arena pertempuran.
Banyak Seta mengamati dengan cermat cahaya yang bergerak cepat itu. "Mereka ke utara," ucapnya lirih.
"Kalau melihat arah mereka ke utara, aku yakin itu Paduka Wijaya. Jalan ke Terung sudah dikuasai Kediri. Mereka pasti mencari wilayah Jenggala yang aman, sama seperti pemikiran kita," ucap Runi dengan menggebu.
Tanpa membalas apa pun, Banyak Seta langsung turun untuk menemui teman-temannya. Runi yang ditinggalkan di atas pohon hanya bisa manyun.
"Ucapkan sesuatu begitu, bukan asal pergi saja!"
Di bawah, Banyak Seta mengumpulkan rombongannya. "Kita tidak jadi ke Kulawan, tapi langsung ke utara."
"Kita tidak membantu pertempuran di depan itu? Mereka pasti kewalahan." tanya Sarba. Ada nada sedih dalam ucapannya, seperti merasa bersalah bila tidak membantu mereka.
"Tidak! Kita hanya tiga belas orang. Tambahan pasukan sekecil ini akan percuma bila melawan tiga ribu orang. Ingat, tujuan utama kita adalah menyelamatkan Paduka Wijaya," ucap Banyak Seta tegas. Ia tahu sebagai prajurit harus memilih. Walaupun sedih teman-temannya akan berguguran dalam pertempuran di depan sana, ia harus mengabaikan mereka dan memilih yang paling penting untuk dilakukan. "Ayo bergerak! Waktu kita tidak banyak!"
☆☆☆
Gayatri mengeluarkan buli-buli mungil yang terbuat dari keramik dan berhias gambar garuda dari sebuah kantong sutra yang berwarna putih mirip mutiara. Beberapa saat sebelum serbuan pasukan Kediri ke ibukota, ia menemui Mpu Sambi di perpustakaan gaibnya. Mpu itu memberikan buli-buli berisi Sandyasa Lebu dan beberapa benda lain. Percakapan terakhir dengan resi sakti itu masih segar dalam ingatan.
"Paduka Putri, orang-orang Kediri sebentar lagi akan mengambil alih istana. Segeralah Paduka pergi untuk menyelamatkan Sandyasa Lebu ini," pinta sang resi.
Wajah Mpu Sambi yang menyiratkan kekhawatiran tingkat tinggi itu membuat Gayatri percaya malapetaka sedang terjadi.
"Saya harus pergi ke mana, Mpu? Bagaimana dengan Ayahanda Raja? Bagaimana pula dengan kakak-kakak saya? Saya tidak bisa meninggalkan mereka."
"Jangan pikirkan hal apa pun selain membawa Sandyasa Lebu keluar dari istana dengan selamat!" tegas Mpu Sambi. Tidak mudah untuk meyakinkan si bungsu yang kritis ini. "Inilah amanat Baginda Raja yang paling penting kepada Paduka. Resi Nadendra di Tawangalun akan membantu melindungi Paduka."
Gayatri terhenyak. Perjalanan ke karesian di Selat Madura itu tentu sangat berbahaya. Bagaimana mungkin ia pergi sendiri? "Saya akan mengeluarkan Kanda Seta dari penjara untuk menemani saya ke Tawangalun," ucapnya sambil bangkit berdiri.
"Jangan, Paduka!" Mpu Sambi ikut berdiri untuk menahan Gayatri. "Percayalah pada hamba. Begitu Paduka sampai di penjara, segalanya telah terlambat!"
Gayatri merinding akibat perkataan bernada memohon itu. "Mpu, tolong bantu saya," pintanya penuh frustrasi.
Setelah mendengarkan petunjuk Mpu Sambi, Gayatri langsung keluar istana hanya ditemani Ponjol dan dua abdi setianya, Cebluk dan Cupuk. Mereka mengenakan pakaian dari kain tenun kasar dan lusuh seperti milik rakyat jelata. Barang yang dibawa pun tidak banyak. Dalam buntalan kain yang ia gendong hanya terdapat tiga lembar kain, uang secukupnya, sedikit makanan, dan senjata. Keris Banyak Seta ikut dimasukkan dalam buntalan itu.
Perkataan Mpu Sambi terbukti benar. Begitu mereka berhasil melewati dinding pagar istana, terdengar suara pertempuran dari dalam. Antek-antek Jayakatwang yang selama ini diselundupkan di dalam istana telah bertempur melawan orang-orang yang setia kepada Kertanagara. Sementara itu, cakrawala di sisi selatan telah membara dan penduduk berlarian menyelamatkan diri. Gayatri menduga pasukan Kediri telah membobol gerbang selatan ibukota dan membakar semua yang mereka temui.
Firasat melalui mimpi itu sangat tepat. Hal yang sangat ia sesali adalah gagal mencegah Dyah Wijaya berangkat ke utara. Bila pasukan Dyah Wijaya berada di ibukota, ditambah Banyak Seta, kemungkinan mereka akan berhasil mempertahankan istana. Sekarang sangat jelas, betapa Kediri sukses memecah belah kekuatan angkatan perang Singasari sehingga dengan mudah menggulingkan ayahandanya.
Gayatri teringat Banyak Seta. Di mana panglima muda itu saat ini? Mungkinkah masih hidup atau justru gugur di sisi ayahandanya?
Ah, mengingat perangai Banyak Seta, ia yakin pemuda itu akan membobol pintu penjara, kemudian bertempur di sisi ayahandanya. Kalau benar dugaan ini, berarti Banyak Seta akan bertempur sampai ....
Ah, tidak! Aku tidak boleh menangis!
Gayatri mengusap air mata dengan punggung tangan. Ia harus kuat. Harapan masa depan Singasari berada di tangannya. Bila Dyah Wijaya maupun Banyak Seta tidak selamat, ia harus mampu mengemban tanggung jawab memulihkan kejayaan Singasari seorang diri.
Suara-suara orang di hutan membuyarkan lamunan Gayatri. Ia menyimpan kembali buli-buli Sandyasa Lebu ke dalam kantong sutra, lalu memasukkannya ke dalam buntalan kain. Ponjol dan Cupuk mendekat. Mereka kini hanya bertiga setelah kehilangan Cebluk oleh panah pasukan Kediri.
"Mari kita lebih ke dalam, Paduka," ajak Ponjol, selirih mungkin.
"Apakah gua ini aman?" bisik Gayatri.
Ponjol mengangguk. "Mulutnya sangat sempit, Paduka. Orang tidak akan mengira di dalam sini ada gua. Mari masuk ke dalam lagi. Hamba sudah memeriksa, di ujung sana ada ruangan lebih besar yang atapnya terbuka sedikit. Kita bisa membuat api di sana.
Gayatri berusaha bangkit sendiri, namun badannya sangat lemas. Setelah tiga hari bersembunyi dari kejaran pasukan Kediri, mereka kehabisan bekal dan terpaksa memakan apa pun yang ditemukan di hutan. Kemarin, Cupuk mendapat gendon, yaitu ulat pohon kelapa yang gemuk-gemuk dan putih. Mereka langsung memakannya. Rasanya gurih, tapi tak lama kemudian ia pusing, mual-mual, dan seluruh tubuhnya memerah gatal-gatal. Anehnya, Ponjol dan Cupuk sehat-sehat saja. Rupanya, hanya ia sendiri yang tidak tahan makan gendon.
Cupuk memapah Gayatri ke sebuah batu yang agak datar, lalu membantunya duduk. "Paduka, air kelapanya diminum dulu."
Gayatri meminum air segar itu sampai habis separuh, lalu berbaring. Ia tidak tahu kapan penyakit akibat keracunan gendon ini akan pulih.
"Sementara kita gelap-gelapan dulu sampai mereka pergi," ucap Ponjol. Telinganya awas mendeteksi orang-orang yang bergerak di luar gua.
Pasukan Kediri itu berjumlah dua puluh orang, dipimpin oleh Palaka dan Seni. Mereka ditugaskan khusus oleh Kebo Mundarang untuk mencari Gayatri.
"Paduka Gayatriiiii!"
"Padukaaaa!"
"Kami pasukan Singasari hendak menjemput Padukaaaa!"
Orang-orang itu berseru-seru sambil menjelajah setiap jengkal hutan. Hanya saja, mereka melewatkan jurang di mana mulut gua tempat persembunyian Gayatri berada.
"Bagaimana, ada tanda-tanda mereka melewati daerah ini?" tanya Palaka kepada kepala pasukan.
"Ampun, Tuan. Kami belum mendapat petunjuk apa pun."
"Mungkinkah mereka tidak masuk ke hutan ini?" tanya Seni.
"Tidak mungkin. Janda di pondok tadi sebelum pingsan jelas menunjuk ke arah ini," ucap Palaka.
"Kita tidak boleh percaya begitu saja. Siapa tahu dia hanya asal bicara karena anak sulungnya kausiksa sampai mati. Dia tentu tidak ingin kehilangan anak bungsunya pula," bantah Seni.
Palaka mendesah sambil berkacak pinggang dan mengamati sekeliling. Hari sudah mulai gelap dan hutan itu seolah tanpa batas. "Sebaiknya kita istirahat dulu."
Seni setuju. "Kita menunggu bala bantuan dari pasukan Paduka Ardharaja untuk menyisir wilayah ini."
"Tuaaan!" Seorang prajurit Kediri tergopoh datang menghadap.
"Ada apa?" tanya Palaka.
"Tuan, kami menemukan sesuatu di sana!"
Prajurit itu membawa Seni dan Palaka ke sebuah batang pohon besar. Di dekat akarnya terdapat muntahan seseorang.
Palaka berjongkok, meneliti muntahan itu, lalu memandang sekeliling. "Hmm, salah satu dari mereka pasti sakit," gumamnya. "Mereka tidak akan pergi terlalu jauh."
Palaka memerintahkan kepala pasukan untuk memperketat penjagaan di sekitar tempat itu agar setiap gerakan mencurigakan tidak lolos dari pengamatan.
"Kalau melihat tanda-tanda yang kita temukan, sepertinya mereka mengarah ke timur laut," sahut Seni. "Mungkin mereka menuju pelabuhan Pamotan, lalu melarikan diri ke Madura."
Palaka menggeleng. "Saya malah menduga mereka menuju Tawangalun. Pamotan terlalu ramai sehingga keberadaan mereka mudah diketahui."
"Mengapa begitu? Ada apa di Tawangalun?"
"Ada sebuah karesian beraliran Tantrayana di Tawangalun. Bukankah mendiang Baginda Kertanagara menghormati resi di sana, bahkan pernah memberi bantuan untuk membangun tempat pemujaan? Saya yakin, Paduka Gayatri akan meminta perlindungan di tempat itu."
Seni mengangguk. "Kalau begitu, saya akan mengirim kabar kepada Paduka Patih untuk mengirim pasukan guna memeriksa Tawangalun dan Pamotan."[1]
_______________
[1] Mengenai letak Tawangalun dan Pamotan, silakan menengok peta di bab 14."
///////////////////
Author's Note:
Mengenai letak Tawangalun dan Pamotan, silakan menengok peta di bab 14.
Harap meninggalkan jejak berupa follow, vote, komen, dan share. Tindakan kecil bagi Sobat Pembaca, tapi mood booster buat Fura.
Makasiiih 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro