31. Kejutan di Penjara
Dyah Wijaya mengamati iparnya yang tersenyum penuh percaya diri. Sosok Ardharaja sangat mirip dengan ayahandanya, Jayakatwang. Wajahnya bulat dan memiliki pipi yang padat, serta tulang rahang yang tidak menonjol. Matanya khas keluarga raja-raja Kediri; besar dan lebar, serta dinaungi bulu mata lentik nan panjang. Kulitnya sawo matang, berbeda dengan keluarga Dyah Wijaya yang kebanyakan kuning langsat. Wijaya masih mengingat masa kecil lelaki itu. Ardharaja adalah anak yang menggemaskan. Pipinya kerap menjadi sasaran cubitan para kerabat raja.
Ardharaja dipersilakan duduk di balai-balai bersama Dyah Wijaya. Sekarang, ia bisa menegakkan tubuh saat berhadapan dengan iparnya. Jabatan baru telah membuat Ardharaja tidak ragu mengangkat dagu di hadapan calon pewaris tahta Singasari itu. Ia bahkan tidak merasa perlu lagi untuk menghaturkan sembah. Bukankah posisi mereka sekarang sama-sama pucuk pimpinan pasukan tempur Singasari?
"Kanda Wijaya, maafkan perangai saya yang agak abai," sapa Ardharaja. Tidak ada rasa sungkan tersirat dalam sikapnya. Padahal, secara garis keturunan, Ardharaja menikahi adik Tribhuwana dari selir, sehingga Wijaya lebih tua baik secara posisi maupun usia.
Wijaya mengangkat alis dan tersenyum lebar. Ia masih bisa bersikap santai walaupun hatinya memanas melihat adik ipar yang mendadak berubah pongah. "Oh, apakah yang membuatmu berpikir seperti itu, Dinda?"
"Saya baru sempat mengunjungi Kanda setelah dua hari Kanda kembali ke istana ini," ucap Ardharaja.
"Saya tidak sepenting itu untuk kaukunjungi," balas Wijaya, sengaja merendah.
"Ah, jangan membuat saya semakin tidak enak hati. Sudah kewajiban saya untuk menghadap Kanda setelah mendapat amanat baru dari Baginda Raja. Tapi, dua hari ini saya terlalu sibuk membenahi pasukan sehingga baru malam ini sempat menemui Kanda." Ardharaja sengaja pamer jabatan barunya.
"Wah, pasti Paduka Raja sangat bangga memiliki menantu berbakat seperti Dinda," puji Wijaya. "Barangkali kesetiaan Dinda selama bertahun-tahun mengurus para dayang, makanan, serta selokan istana telah membuat Paduka Raja terkesan."
Wijaya kembali tersenyum lebar saat menemukan wajah Ardharaja berubah kecut. Lelaki itu pasti tahu Wijaya tengah mengejeknya karena menggunakan pengaruh Jayakatwang untuk mendapatkan posisi tinggi di pasukan tempur.
"Benar, Kanda. Untuk itulah saya datang kemari agar mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari Kanda Wijaya, pemimpin pasukan Singasari yang ditakuti di seluruh dwipantara."
Wijaya tergelak. Matanya membentuk bulan sabit yang lucu sekali. "Dinda sangat pintar membuat saya senang," sindirnya. "Sekarang katakan apa yang membuatmu datang kemari?"
Ardharaja menggeser posisi duduk mendekati Wijaya. "Saya ingin membahas tentang Banyak Seta dan ayahnya. Saya dengar, mereka menumpuk kekayaan dengan menjual senjata istana."
Wijaya mulai merasa tidak nyaman karena persoalan Banyak Seta berada dalam wewenangnya, bukan Ardharaja. "Masalah itu sedang saya selidiki. Mengapa Dinda menanyakannya?"
"Saya ingin ikut dalam persidangan besok, Kanda. Saya dengar, Banyak Seta memfitnah ayah saya untuk menutupi perbuatannya."
Alis Wijaya terangkat. Sampai saat ini, semua hal yang menyangkut pengkhianatan Banyak Seta adalah rahasia yang hanya diketahui orang-orangnya. Bagaimana mungkin masalah itu sampai bocor ke orang luar?
"Wah, saya baru mendengarnya! Dari mana Dinda mendapat kabar tidak benar itu?"
Wajah Ardharaja langsung terlihat serba salah. Untuk sesaat, ia tidak bisa menjawab. Salah satu anak buah Ardharaja yang bernama Kebo Wungu dengan sigap bertindak melindungi junjungannya dengan membisikkan sesuatu. Pasti sebuah alasan masuk akal agar Wijaya tidak curiga.
"Oh, maksud saya begini Kanda," sahut Ardharaja, sedikit tersendat. "Saya hanya ingin mencari kebenaran atas desas-desus yang beredar di dalam istana."
"Tidak ada masalah seperti itu, Dinda. Banyak Seta ditangkap karena berkelahi dan membunuh sesama anggota pasukan elite. Itu saja." Tentu saja, Wijaya juga tidak ingin nama Gayatri disebut-sebut.
Ardharaja belum puas. Ia tahu Dyah Wijaya berbohong. "Lantas, mengapa ada penjaga penjara ini meninggal, Kanda? Siapa yang menyerang mereka?"
Wijaya menggeleng kecil dan berusaha menampilkan wajah tenang. "Dari hasil pemeriksaan Nambi dan Gajah Pagon, mereka keracunan makanan."
"Oh, begitu?" Ardharaja semakin tak percaya.
Wijaya kemudian bangkit dan mengajak iparnya melihat jenazah yang ditidurkan berjajar di bawah pohon beringin. Malam yang kelam dan cahaya obor yang tidak seberapa terang sanggup menutupi bekas tusukan anak sumpitan.
"Lihatlah, mereka tidak terluka sama sekali. Hanya keluar buih dan liur dari mulut," ucap Wijaya.
Ardharaja hanya mengangguk, lalu tak berani bertanya lagi karena takut Wijaya semakin curiga. Selain itu, Kebo Wungu beberapa kali memberi kode agar mereka segera meninggalkan tempat itu. Agaknya, ada hal penting yang akan disampaikannya.
"Oh, baiklah. Saya minta maaf telah salah menyangka yang bukan-bukan. Akan tetapi, bolehkah saya hadir dalam persidangan Banyak Seta? Kanda tahu sendiri saya masih baru dalam hal memimpin pasukan. Saya ingin belajar dari Kanda Wijaya yang termasyur akan kebijaksanaannya," rayu Ardharaja dengan mulutnya yang manis.
Wijaya terkekeh, "Ah, Dinda terlalu merendah. Bukankah Paman Jayakatwang selalu membanggakan Dinda sebagai seorang yang piawai memimpin pasukan saat di Kediri?"
"Kanda terlalu memuji. Seberapalah arti pasukan Kediri dibandingkan besarnya pasukan Singasari yang Kanda pimpin. Kediri hanya punya prajurit darat yang kerap gagap bila diminta berlaga di sungai. Sedangkan Kanda menguasai armada tempur laut yang ditakuti semua orang di Laut Jawa."
Wijaya manggut-manggut sambil tersenyum. "Maafkan kandamu ini. Untuk permintaan yang satu itu, saya tidak bisa memenuhinya."
Walau diucapkan dengan lembut, namun perkataan Wijaya bagai sabda pendeta yang tidak bisa dilawan. Ardharaja pun kecewa.
"Baiklah Kanda. Saya tidak bisa memaksa."
Wijaya menepuk bahu sang ipar, lalu berusaha menghiburnya. "Dinda bisa datang di latihan berkuda akhir bulan ini. Saya punya kuda baru hasil peranakan kuda Jawa dengan kuda Jambudwipa[1]. Badannya tinggi dan sangat kuat. Dinda bisa memiliki satu bila suka."
"Jangan, Kanda. Hadiah itu terlalu berlebihan," sahut Ardharaja. Tentu saja ia hanya menolak demi sopan santun. Apalah arti sebuah kuda bagi Dyah Wijaya yang kekayaannya hanya bisa ditandingi oleh Kertanagara?
"Ah, jangan menolak. Hati saya nanti menjadi sedih dan sulit makan." Wijaya tergelak kembali.
☆☆☆
Sementara para pangeran berbicara, di dalam sel penjara, Banyak Seta dan kedua abdinya mencermati percakapan itu.
"Tuan, saya akhirnya ingat siapa orang berambut ikal yang dibawa oleh Paduka Ardharaja," bisik Sarba.
"Siapa?" tanya Banyak Seta. Cedera kepalanya sudah tidak nyeri, namun ia kesulitan mengingat beberapa hal yang telah lampau, termasuk nama lelaki yang rautnya terasa tidak asing itu.
"Kita melihatnya saat mengintai di desa pandai besi dekat Turus," sahut Sarba.
Mata Banyak Seta melebar. "Oh, dia Kebo Wungu, putra Patih Kediri Kebo Mundarang!"
Ketiga orang itu mengamati kembali dengan lebih cermat. Mereka semakin khawatir.
"Tuan, di sebelahnya itu, yang hidungnya agak bengkok, adalah Kebo Wungkul. Dia masih sepupu dengan Kebo Wungu," bisik Sarba lagi.
"Saya tahu yang duduk paling belakang. Namanya Kebo Sumurup. Dia adik tiri Kebo Wungu." Kambang ikut mengamati walaupun matanya hanya bisa terbuka sebelah.
Banyak Seta mengembuskan napas berat dan berpikir keras. "Aku rasa Paduka Ardharaja telah menyusupkan banyak orang Kediri ke pasukan utama istana. Bahkan bukan hanya itu. Jangan-jangan, seluruh istana telah disusupi oleh mereka."
Banyak Seta belum lupa bahwa Ardharaja bertahun-tahun menjabat sebagai pengurus rumah tangga istana. Semua dayang dan pesuruh adalah bawahan lelaki itu. Setiap jengkal bangunan dan sudut istana berada dalam pengawasannya. Pantas saja ada emban palsu yang membawa surat Gayatri. Jangan-jangan, mereka sudah menyusup ke kediaman sang putri.
"Mungkinkah sejauh itu, Tuan?" bisik Kambang.
Banyak Seta mengangguk dengan sedih. "Posisi mereka pasti sudah kuat sehingga sekarang Paduka Ardharaja minta dipindah ke pasukan tempur. Aku rasa sebentar lagi ...."
Banyak Seta tidak tega mengucapkan dugaan mengerikan itu. Namun Sarba dan Kambang yang tahu isi pikiran atasannya langsung mendesis panik.
"Bahaya!"
"Kurang ajar!"
"Aku akan mencoba berbicara dengan Paduka Wijaya setelah Paduka Ardharaja pulang," ucap Banyak Seta untuk menenangkan kedua orang itu.
Akan tetapi, harapan itu tidak terpenuhi. Ardharaja memang pulang tak lama kemudian dan Banyak Seta sudah berteriak memanggil penjaga agar diizinkan berbicara dengan junjungannya. Namun, terjadi hal di luar dugaan. Seorang penjaga gerbang penjara berlari menjumpai Dyah Wijaya.
"Ampun, Paduka. Paduka Gayatri memaksa untuk masuk ke penjara," lapor pemuda itu.
"Jangan! Katakan padanya saya tidak mengizinkan wanita masuk ke tempat ini," jawab Wijaya.
Prajurit itu masih bertahan sujud di tempatnya. "Ampun, Paduka. Hamba sudah meminta Paduka Gayatri untuk kembali ke keputren, namun beliau malah bersimpuh di depan gerbang dan mengancam tidak akan ke mana-mana bila tidak diizinkan masuk dan menemui Paduka."
Wijaya mendengkus. "Gayatri ingin menemuiku atau Seta?"
Prajurit itu kontan tidak bisa menjawab. Tidak mungkin ia jujur bahwa Gayatri sebenarnya ingin menjumpai Banyak Seta. Melihat anak buahnya mendadak gagu, Wijaya pun paham.
"Ya sudah, antarkan Putri Gayatri kemari!"
____________
[1] Jambudwipa adalah sebutan untuk India.
Author's Note:
Soal penampilan fisik keluarga raja-raja Kediri dan kuda blasteran Jawa-India adalah mutlak halunya Fura karena tidak ditemukan dalam catatan sejarah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro