14. Pergi.
Aku selalu sadar kehidupan ini terus berjalan, tapi kumohon jangan biarkan sesuatu itu pergi. Jika bisa kubalik takdir, biar aku saja yang mendahului.
Sandrina_
“Karena dia memang bukan papamu, Sandrina.”
Sandrina terhenyak. Ia masih belum mengerti apa yang diucapkan wanita di dekatnya itu.
“Apa maksud Nyonya? Jelas jelas di akte kelahiranku, papa adalah papaku. Mu-mungkin saja papa hanya kesal karena aku nakal,” tukas Sandrina.
“Sandrina, aku tahu kamu mengerti maksud perkataanku. Karena Vinda pernah cerita kalo kamu tahu bahwa kamu bukanlah anak Haryanto yang sebenarnya.”
“Papa tega sama Sandrina! Papa gak sayang sama Sandrina! Papa selalu bela Maycel!”
“Kamu itu bukan anakku, Sandrina. Jadi jangan coba menyakiti adikmu. Karena bagaimanapun, aku tetap akan membela Maycel daripada kamu!” sergah Haryanto.
“Cukup, Mas!” teriak Vinda sambil berlari mendekap Sandrina.
“Mas sudah janji akan membuat Sandrina bahagia. Mas juga janji anggep Sandrina anak kandung Mas! Lalu mana janji Mas sekarang?”
Vinda terisak lirih sambil terus menciumi wajah Sandrina.
“Aku kesal, Vin! Anakmu itu nakal! Dia bukannya jaga adiknya malah ngebuat Maycel nangis.”
“Tapi Mas harus adil. Maycel juga salah. Dia duluan yang ambil boneka Sandrina, Mas.”
“Oh, jadi sekarang kamu lebih ngebela anak harammu itu daripada anak yang kamu lahirkan dari hasil pernikahan sah bersamaku?”
“Mas! ....”
“Apa lagi?! Kamu mo belain anak haram itu?”
“Sandrina bukan anak haram!”
Sandrina menangis saat bayangan masa lalu pertengkaran orangtuanya berkelebat di ingatannya. Itulah kenapa ia benci menangis. Ia benci air mata. Karena baginya air mata adalah lambang kelemahan.
“Apa yang dikatakan papa dulu itu benar, Nyonya? Memang papa pernah mengatakannya,” ucap Sandrina.
“Iya. Itu benar, Sandrina. Vinda dulu pernah menceritakannya padaku. Dia sempat bertengkar dengan Haryanto soal itu,” jelas Nyonya Amelda.
“Apakah benar aku anak haram?”
Sandrina tertunduk. Sedih melingkupi jiwanya. Terlebih Nyonya Amelda tak menyahut dan hanya menatapnya iba. Kebungkaman wanita itu jelas mengiyakan.
Anak haram? Aku anak haram.
Tapi kemudian Sandrina mengingat sesuatu. Dosen favoritnya pernah mengatakan bahwa tidak ada namanya anak haram. Karena setiap anak yang dilahirkan atas fitrah (suci). Yang salah bukan sang anak, tapi perbuatan orangtuanya. Lalu pertanyaannya sekarang adalah apakah sang mama berbuat zina sampai harus melahirkannya tanpa ikatan sah dan menyebut Sandrina sebagai anak haram?
“Nyonya, apa mama hamil di luar nikah?” tanya Sandrina.
“Vinda selalu bungkam saat aku bertanya hal itu. Dia hanya bilang kalo kamu bukan anak haram, Sandrina,” terang Nyonya Amelda.
Kelegaan sedikit menebar dalam jiwa Sandrina saat dirinya disebut bukan anak haram oleh sang mama. Setidaknya masih ada harapan bahwa mamanya tidak berbuat yang tidak sesuai dengan aturan agama. Jelas, zina itu haram dan termasuk kategori dosa besar dan pelakunya diancam hukuman di dunia dan akhirat.
Lalu kenapa aku sampai disebut anak haram, mama? Dan kenapa aku tidak tahu siapa papaku?
“Lalu siapa papaku kalo begitu, Nyonya?” tanya Sandrina lagi.
“Soal itu aku juga tidak tahu. Mamamu seolah menutup lembar kelam masa lalunya.” Nyonya Amelda menghela napas sejenak. “Yang aku tahu, Vinda adalah wanita cantik yang sangat baik hati.” Ia terdiam dengan mata berkaca-kaca seolah ada sesuatu dalam diri Vinda yang membuatnya terharu.
“Sebaik apa mama, Nyonya?”
Nyonya Amelda menoleh pada Sandrina. “Aku berhutang budi padanya.”
“Aku juga berhutang budi padamu, Nyonya,” kilah Sandrina.
“Itu tidak akan sebanding dengan apa yang sudah dilakukan mamamu, Nak.”
“Lalu di mana mama sekarang?”
Nyonya Amelda tak lantas menjawab, tapi malah mengusap bahu Sandrina dengan beban.
“Sandrina, kamu siap mendengarkan?”
Sandrina mengangguk mantap. Ia sudah harus mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi. Apapun, asal ia tahu tentang keberadaan keluarganya.
“Sandrina, setelah petugas pemadam kebakaran berhasil menyelamatkan mamamu dan membawanya ke rumah sakit, mamamu terselamatkan. Dan begitu pun denganku, walaupun wajahku sedikit terbakar. Aku mengunjungi kamarnya ketika itu. Dia terlihat lemah, namun masih setia dengan senyumnya. Sampai suatu hari ....”
“Ada apa, Sus?” tanya Amelda saat seorang suster menyerahkan selembar kertas yang harus ia tandatangani.
Amelda membaca kertas itu. Ia sungguh-sungguh terkejut. Dengan mata terbelalak dan menutup mulut, wanita itu meneriakkan nama Vinda.
“Gak mungkin, Sus! Gak mungkin!”
Seorang dokter bedah datang turut memasuki kamar rawat Amelda.
“Nyonya Amelda harus segera menandatangani ini. Supaya kami bisa ambil tindakan soal Nyonya Vinda. Berkas ini akan kami serahkan pada Nyonya Vinda.”
“Gak, Dok! Aku gak mau! Biarkan saja aku mati! Tapi aku gak akan pernah mengorbankan sahabatku!” Amelda berteriak histeris.
“Amelda!” panggil Vinda dari depan pintu kamar rawat Amelda. “Dengarkan aku,” ucapnya lemah.
“Vinda?” Amelda terkejut melihat kedatangan sang sahabat dengan kursi roda yang didorong oleh seorang perawat. “Aku gak mau dengar apapun, Vin. Kamu sahabatku. Bahkan kita berteman dari kecil dulu.”
Vinda memandang lemah Amelda. Lalu menoleh pada dokter dan para perawat.
“Saya ingin bicara empat mata dengan Amelda.”
Dokter mengangguk pada Vinda dan mengajak para perawat keluar kamar seketika itu juga.
Vinda yang sudah berada di samping Amelda, menggenggam tangan sang sahabat.
“Dokter sudah memvonisku, Amelda. Cuma keajaiban saja yang bisa menyelamatkanku. Aku mengidap sakit ini sudah lama. Namun setelah menikah dengan Haryanto dan melahirkan maycel, rahimku diangkat. Aku pikir, sakitku sudah sembuh. Ternyata aku salah. Setelah operasi ini, dan aku tak bisa diselamatkan. Aku harap, kamu mau menerima permohonanku. Aku mohon, Amelda. Ijinkan aku tetap hidup dalam tubuhmu.”
Amelda mengangguk lemah. Namun ia tetap berdoa dalam hati berharap kesembuhan sang sahabat.
“Kebakaran itu memang tidak langsung menyerang tubuhnya. Tapi kejadian yang tiba-tiba itu membuat tubuhnya melemah. Dan sistem kekebalan tubuhnya menurun. Bukan hanya soal keterkejutannya saja, setiap hari Vinda menangis memikirkanmu dan Maycel. Ia sempet cerita kalo di hari nahas kebakaran itu, sebelum kebakaran terjadi, ia melihat Haryanto membawa Maycel keluar rumah dan tak mengajak dirimu, Sandrina. Vinda sedih memikirkanmu. Apakah kamu selamat atau tidak, tak ada yang tahu di mana kamu berada malam kebakaran itu.”
“Aku masih ingat. Malam itu, aku melihat api yang besar dan aku dibawa oleh petugas berseragam. Aku dimasukkan ke dalam mobil. Mereka membawaku ke panti asuhan.” Sandrina tertunduk sedih. “Nyonya, berarti mama udah gak ada? Mama udah meninggal?” tanyanya lanjut.
“Tabahkan hatimu, Nak.”
Sandrina mengangguk saat tertunduk. Air mata yang semula ia tahan, tak bisa dibendung lagi. Air matanya mengalir. Sandrina sampai terisak dengan wajah tertunduk. Nyonya Amelda segera memeluknya.
“Berarti mama udah gak ada? Berarti aku udah gak punya harapan ketemu mama? Berarti selamanya aku terpisah dari mama? Kenapa cuma bentar? Kenapa bentar kehidupan aku sama mama, Nyonya? Trus kapan aku bisa ketemu mama lagi?”
Sandrina semakin menangis dan terisak dalam pelukan Nyonya Amelda.
“Yang kuat, Nak,” ucap Nyonya Amelda sembari mengusap punggung Sandrina.
Sandrina melepaskan tautan tubuhnya dari Nyonya Amelda.
“Mama sakit apa, Nyonya?”
“Kanker rahim. Setelah melahirkan Maycel adikmu, ia dioperasi pengangkatan rahim. Vinda sembuh tanpa rahim. Namun mungkin sudah takdir, Vinda mengalami kanker serviks.”
“Vinda tahu aku mengidap jantung koroner keturunan. Padahal aku tak menceritakan padanya. Namun dia sempat melihat foto rontgen-ku saat aku opname dulu. Karena itu, ia memberikan jantungnya padaku sebelum meninggal. Vinda memintaku melakukan transplantasi jantung darinya setelah dia pergi selamanya. Sandrina, semua yang aku lakukan padamu adalah karena permintaan mamamu dulu.”
“Jasadku boleh pergi, Amelda, tapi ijinkan jantung ini masih tetap berdegup demi anakku, Sandrina. Memang hidup mati di tangan Tuhan, tapi aku mohon, tetaplah hidup. Carilah Sandrina. Aku yakin dia masih hidup. Jadikan jantung ini pemompa semangatmu untuk menjaga buah hatiku itu. Kumohon, Amelda. Tetaplah hidup dan jagakan dia untukku.”
Nyonya Amelda mengusap air bening yang hendak jatuh dari sudut matanya. Dalam lirih ia menyebut nama Vinda. Betapa dalam hati wanita itu merasa kehilangan sang sahabat.
“Sandrina, aku melihatmu bagaikan melihat Vinda. Kalian sama-sama wanita tegar di padang gersang. Kau tahu, mamamu juga seorang yatim piatu. Dia tumbuh tanpa orang tua yang membesarkan. Bedanya ia tinggal bersama paman dan bibinya.”
Sandrina terdiam mendengarkan dengan seksama. Kini ia harus belajar menerima kepergian sang mama. Sang mama telah pergi untuk selamanya. Harapannya bertemu mamanya sudah kandas.
“Nyonya, apa mama pernah cerita tentang papaku?”
Nyonya Amelda menggeleng pelan. “Soal itu, Vinda tak pernah membukanya pada siapapun. Dia menutup rapat masa lalunya. Sandrina, jangan merasa sendirian. Aku juga adalah ibumu. Jantung yang berdetak ini adalah milik mamamu dulu yang berarti aku pun adalah mamamu.”
“Terima kasih, Nyonya.”
Sandrina berdiri dengan tatapan kosong. Ia menyelempangkan tasnya ke bahu. Setelah itu, ia pamit pulang tanpa berkata apa-apa lagi. Nyonya Amelda menatap langkah kaki Sandrina semakin menjauh.
Dari dalam lubuk hati Nyonya Amelda terdalam, ia berjanji akan menunaikan amanah sang sahabat yang diberikan padanya.
“Aku hanya bisa berusaha, Vinda. Bagaimana akhirnya, hanya Tuhan Yang Tahu.”
—※★♡★※—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro