Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 8

by sirhayani

part of zhkansas

__

Seperti biasa, lima sekawan itu sedang sibuk bermain PS di rumah Sandi. Malam-malam begini mereka lebih senang bermain PS dibanding di sore hari. Rumah mereka memang berdekatan, jadi pulang malam pun tidak masalah bagi orangtua mereka, sekalipun jam dua dini hari. Mereka juga cowok, bisa jaga diri dan tidak mungkin takut. Kecuali kalau hubungannya sama hantu. Yayat yang penakut. Dia pernah bilang kalau dia lebih berani melawan preman-preman pasar atau para begal, daripada hantu yang suka sembunyi-sembunyi. Tidak menampakkan diri.

"Lo belum nembak Safa?" tanya Darwin. Baru saja dia mendengar curhatan Sandi. Versi cowok-cowok yang sedang curhat mungkin beda dari cewek-cewek yang sedang curhat. "Selama ini lo emang nggak bisa nembak." Darwin menggeleng-geleng tak percaya. "Tapi, udah punya mantan. Aneh."

Sandi terkekeh. "Kalau gue udah suka sama satu cewek, belum tentu gue tembak. Takutnya, Safa berpikir lain dan nggak anggap gue serius."

"Ngapain nunggu lama kalau udah sreg? Entar diambil orang. Ibarat nih ya, seorang pemburu ngapain nunggu lama buat nembak mangsanya? Entar mangsanya lari atau bakalan ada pemburu lain yang nembak lebih dulu," kata Darwin. Tangannya sibuk memainkan stick playstation.

"Elo, mah. Gengsi dikit, kek." Yudi menengahi.

"Ngapain gengsi? Kalau lo gengsi buat nyatain perasaan, lo nggak bakalan bisa bersatu. Apalagi kalau dua-duanya saling gengsi. Gimana bisa bersatu kalau nggak ada yang mau ngelawan ego?" tanya Darwin. Berikutnya, dia terkekeh karena pemikirannya sendiri.

Yudi berdecak. Ini namanya senjata makan tuan. Tadinya dia hanya mau mengolok, tetapi dia malah diserang balik.

"Ganti dong. Gue pengen main smackdown  nih."

"Eit, enggak bakalan." Darwin menggeleng-geleng mendengar keinginan Eky. Jari telunjuknya terarah ke depan muka Eky, lalu bergerak ke kanan dan kiri. "Gue masih pengen main GTA." Darwin lalu senyum-senyum sendiri saat lokasi permainannya berada di dekat pantai. Dia asik bermain game Grand Theft Auto: San Andreas. Yayat sudah molor duluan, Yudi berbaring di kasur, Sandi bersandar di sofa, sedangkan Eky setia di samping Darwin yang menguasai permainan. Di rumah mereka masing-masing juga ada PS, tetapi mereka lebih senang berkumpul seperti ini. Lebih seru katanya.

"Ya udah, kita mainnya barengan. Gue beneran nggak bisa diem kayak gini terus. Ohiya, game black kayaknya lebih seru, tuh." Eky mengambil stick yang lain, tetapi tangannya lebih dulu di halang oleh Darwin. "Kenapa?"

"Gue mau main sendiri."
Di televisi itu terlihat cewek-cewek yang hanya berbikini berlalu lalang di tengah-tengah orangannya yang sedang menembakkan peluru ke para lelaki. Eky sudah selalu memperingati Darwin, "Jaga mata. Jaga hati."

"Mampus, lo!" seru Darwin semangat saat tembakannya tepat mengenai sasaran.

Eky meringis. "Semangat banget lo mainnya." Tatapannya beralih menatap Sandi. "Selvi udah jomblo, ya?"

Sandi mengangguk.

"Lo nggak takut gitu kena karma. Safa punya Kakak cowok, tapi nggak sekolah di SMA Angkasa. Dia di SMA Antariksa. Dan gue denger-denger kakaknya itu punya temen akrab di sekolah kita," kata Yayat, dia ternyata sudah bangun beberapa saat yang lalu. "Siapa tahu aja Safa kenal sama temennya kakaknya. Terus temennya kakaknya juga ada rasa sama Safa."

Karma. Sandi mendesah kecewa. Harusnya dia ingat itu. "Lo tukang gosip ya ternyata?"

"Sialan." Yayat mendelik. "Gue cuman denger dari temen-temennya cewek gue." Yayat membela diri, dia memang baru jadian sama Clara. Gara-gara perkataan Darwin yang mengatainya jomblo, akhirnya sekali Yayat menembak Clara, Clara menerima langsung. Tanpa bilang, "Gue butuh waktu."

Sandi menghela napas. Mendengar kata-kata Yayat dia teringat dengan seniornya yang bernama Clara, pacar baru Yayat, sudah kelas duabelas. Temannya yang satu itu memang lebih senang dengan yang lebih tua. Yayat memang pernah bilang kalau dia berprinsip gugur satu tumbuh seribu. Kalau putus dengan satu cewek, masih banyak yang lain di luar sana dan baginya umur tidak penting. Yayat memang playboy. Padahal cowok itu pernah bilang kalau dia suka sama Feby, mantan gebetannya Sandi. Kata Yayat, Feby memang menor tapi dirinya justru terpikat sama cewek itu. Tapi nyatanya, Yayat malah menembak cewek lain.

  "Yat?" panggil Sandi. Yayat hanya bergumam, sedangkan Sandi menatap Yayat dengan tatapan serius. "Ini malem jumat lho."

Mata Yayat terbuka lebar. "Iya. Ini malem jumat. Dan gue pengen cepat pulang." Yayat segera pulang, sebelumnya dia berpamitan dengan Papa Sandi yang masih menonton di ruang tengah.

"Yayat kenapa, Di?" tanya Darwin penasaran.

Sandi menatap Darwin dengan malas. "Dia baru inget ini malam jumat. Dia mau jaga lilin."

Darwin mengerutkan kening. Oke, Sandi hanya bercanda.

μη

Setidaknya Sandi berhasil menyimpan motornya dengan aman di halaman kos-kosan yang letaknya tak jauh dari sekolah. Hari itu hari jumat. Seperti biasa, Sandi tidak membawa tas. Hanya satu buku dan pulpen yang sudah terselip di saku celana. Dia berjalan dengan santai. Tak lama lagi, bel tanda Bakti Sosial telah selesai dan semua kelas yang bertugas di luar sekolah akan kembali masuk ke sekolah.

Ini salah satu taktik yang dilakukan beberapa siswa yang sengaja lambat ke sekolah pada hari jumat karena saat bel tanda BakSos telah usai, mereka akan menyelip diantara siswa-siswi yang tangannya sudah kotor usai mencabuti rumput-rumput liar atau daun yang berguguran dari pohon yang tertanam di depan sekolah, di pinggir jalan. Satpam tidak akan tahu kecuali jika ada yang membawa tas, maka mereka akan di tahan di pos satpam.

"Halo." Sandi singgah di area X.1. Cowok itu dengan santai bersandar di pohon, dia lelah. "Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?" tanya Sandi pada Dias.

"Lo ngapain di sini?" tanya Dias sinis.

"Mau apelin cewek gue," kata Sandi dan karena kata-katanya itu berhasil membuat pipi Safa memerah.  Safa menggerutu dalam hati, kenapa justru dia yang blushing?

Cowok itu segera menatap Dias. "Gue bercanda. Istirahat bentar doang. Gue nggak berniat buang sampah, kok," jawab Sandi, pura-pura memelankan suaranya. Lalu tersenyum tipis saat Safa melihatnya lagi. Ah, dia terlalu banyak senyum setiap melihat cewek itu.

Bu Irawati, wali kelas X.1 sekaligus guru Kimia yang mengajar di seluruh kelas X , datang untuk melihat kerja siswa-siswinya. Cepat-cepat, Sandi membuka kancing baju berwarna cokelatnya dan memasukkan satu-satunya buku yang ia bawa ke dalam sana.

"Sandi? Ngapain kamu di sini?" tanya Bu Irawati dengan tatapan curiga. "Mau ngegombalin siswi Ibu lagi?"

Sandi terkekeh. "Bu guru tahu aja."
Bu Irawati berdecak. "Kamu kenapa nggak kerja? Kembali ke tempatmu!"
"Bu guru tahu nggak bedanya Fisika sama Kimia?"

Bu Irawati melotot. "Anak ini!"
Tapi, Sandi tidak menghiraukan. Dia melanjutkan kata-katanya sambil senyum-senyum. "Kalau Fisika itu tentang segala sesuatu yang dapat dirasa oleh indera. Sedangkan kimia adalah reaksi dari sifat fisika itu sendiri." Sandi menatap Bu Irawati dengan serius. "Ralat Bu kalau saya salah."

Cowok-cowok bersiul-siul. Bu Irawati mulai pusing.

"Tapi, Bu guru tahu nggak persamaannya apa?" Sandi berhenti sejenak, lalu menatap Bu Irawati sambil nyengir. "Fisika dan kimia sama-sama pernah kita pelajari. Seperti bagaimana masing-masing diantara kita menjalani kehidupan, ya, Bu guru?"

"Wuih, lo gombal mulu, Di. Asik...," teriak salah seorang cowok kelas X.1.
Sandi tersenyum penuh arti. "Dari Fisika, lalu Kimia. Ibarat nih ya Bu guru, dari mata turun ke hati. Bu guru pasti pernah dong ngerasainnya atau Bu guru sedang ngerasainnya?" Alis Sandi naik turun. Ia juga menekan kata sedang dalam kalimat yang ia katakan.

"Kamu ini! Berani ngatain saya? Siswa durhaka!"

Semua juga tahu, Bu Irawati saat ini terkena panah asmara dengan guru Bahasa Inggris di sekolah itu. 

Sandi segera lari sebelum Bu Irawati marah besar.

Di tempatnya, Safa tersenyum. Baru menyadari bagaimana cowok itu sebenarnya.

Sandi dengan tanpa dosa menyelip di tengah-tengah siswa kelas X.9. Di sampingnya ternyata ada April, teman sekomplotannya yang beberapa hari ini tidak muncul di dalam kelas dan namanya mengotori absen kelas. Sakit, sakit, sakit, dan seterusnya.

"Lo ke mana aja selama ini?" tanya Sandi setibanya dia di koridor. Dia baru saja melangkahkan kakinya di ambang pintu, tetapi teriakan seorang cewek terdengar heboh. "GUE BARU UDAH NGEPEL. BUKA SEPATU LO KALAU MAU MASUK!"

"Idih, si Nadia galak banget." April meringis saat melihat tampang Nadia yang emosi.

"DIEM LO!"

"Udah deh ayang, nggak usah pake urat kalau marah. Kayak bakso aja."

"Sialan!" Nadia berdecak kesal di dalam kelas. Untung sepatunya berada jauh darinya, jadi dia hanya bisa menatap April dengan tatapan sebal. "Lihat aja entar, lo dapet balasannya. Awas lo! Awas!"

"Sandi? Si Nadia lagi PMS yah? Galak bener."

Sandi terkekeh, dia memilih duduk di lorong yang berada di depan kelasnya. Di lorong itu terdapat tembok yang bisa mereka duduki. Biasanya siswa-siswi jadikan sebagai tempat nongkrong di waktu istirahat. Karena melihat komplotan Sandi duduk di sana, siswi-siswi memilih untuk stay di koridor.

"Woi, bro. Ke mana aja lo selama ini?" Darwin bertos ria dengan April.
"Gue mencret-mencret. Untung nggak muntaber." Jawaban April membuat beberapa yang mendangarnya tertawa lebar. "Wah, kalian ngetawain gue? Gue sumpahin lo pada mencret-mencret biar tahu rasa."

Yudi mendelik. "Jangan dong!"

"Lo nggak ngerasain sih gimana tersiksanya di rumah. Gue kayak kambing congek yang lagi mencret-mencret. Tersiksa banget gue. Gue pengen ke sekolah tapi gue juga mikir kali, kalau gue keluar masuk WC sekolah gimana? Kan nggak lucu cowok ganteng kayak gue ngalamin hal kayak gitu."

Sandi menatap kelasnya lalu menatap Nadia yang berdiri di ambang pintu sambil bersidekap. "Lama banget keringnya?"

"Gue 'kan udah bilang, kalau mau masuk harus buka sepatu. Di sepatu lo pada pasti banyak tanahnya."

Sandi menatap Nadia dengan senyum penuh arti. "Kalau Bu Ros nanti masuk, gue suruh buka sepatu, ah."

Nadia berdecak. "Lo emang pantas diberi gelar sebagai siswa nonteladan!"

"Ih, lama banget sih. Gue kepanasan nih, ah..." Sandi meringis. Tak jauh darinya berdiri seorang siswa yang sedang memegang kipas yang terbuat dari plastik. "Duh, panasnya..."

"Woi, ada yang ngondek," Yudi teriak-teriak, membuat siswa-siswi yang berada tak jauh darinya menoleh.

"Siapa yang ngondek?" tanya Eky tiba-tiba.

"Itu, si Alex. Temen sekelasnya Yayat. Namanya maco, kok jasadnya kayak cewek."

"Jasad, jasad... lo kayak ngomongin kematian aja."

Alex menatap sekomplotan itu yang membicarakan dirinya. Dia membuang muka, lalu mendengus.
Sandi terkekeh. Kayaknya setiap tahun selalu saja ada siswa yang berperilaku seperti cewek. Buktinya, Alex kelas X, ada juga dua orang di kelas XI, dan satu orang lagi di kelas XII. Waktu Sandi SMP, dia juga selalu melihat hal yang sama. Dan tentunya, rata-rata siswa seperti itu bergaul dengan siswi-siswi. Cara bergosipnya heboh seperti cewek-cewek, bahkan lebih heboh.

"Lo mau ke mana?" teriak April saat dilihatnya Sandi malah menjauh.

Darwin menatap April. "Lo nggak tahu masalah sih. Si Sandi mau ke kelas X.1. Ada yang nyuri hatinya Sandi."

"Hati?"

"Ya, hati. Udah lebih seminggu Sandi ke mana-mana nggak sama hatinya."
April mengerutkan keningnya karena bingung. "Lo ngomongin apa sih? Nggak jelas bener."

Darwin melemparkan senyum menawan lalu dengan santai ia melangkah untuk masuk ke kelas. April bergidik ngeri melihat Nadia berdiri di ambang pintu.

"LANTAINYA BELUM KERING, DARWAN!"

μη

"Lihat deh, ih, gue udah muak ngeliat enam cowok jail, tau-taunya ditambah satu orang lagi. Dasar!" Afni menggerutu pelan saat melihat kehebohan di kelas ujung. Kelas mana lagi kalau bukan kelas X.9. "Bayangin deh gaes, lo semua bakalan berhadapan sama tujuh cowok resek. Termasuk itu tuh," Dias menunjuk Radit dengan telunjuknya, "si Radit."

"Nggak seru ah kalau nggak ada mereka. Di sekolah, lo bakalan berhadapan dengan orang-orang yang berbeda. Bandel, pinter, kalem, cupu, cerewet, ganteng, famous, dan...." Nabila mengetuk dagunya. "Apalagi ya? Banyak deh pokoknya. Ada lagi. Jomblo, cowok cewek yang pedekatean, cowok cewek yang pacaran." Nabila terkikik.

Safa memerhatikan Sandi dari jauh. Dia cepat-cepat masuk ke dalam kelas sebelum Sandi menangkap basah ia sedang melihat cowok itu. "Gue ke kelas duluan, udah mau bel masuk."

"Ya, ya, tapi gue 'kan masih pengen lihat-lihat Kak Leo," bisik Dias cepat.
"Dasar modus! Pantesan lo dari tadi cengengesan sambil ngeliatin lantai dua," kata Nabila. "Dilabrak ceweknya baru tahu rasa lo."

"Dias Astisa Syahrul mah nggak bakalan dilabrak sama senior." Dias terkekeh. "Yang ada itu, Dias yang ngelabrak hatinya Kak Leo."

Afni meringis. "Lo ketularan sama Sandi deh kayaknya."

Bel berbunyi nyaring, tanda masuk pelajaran pertama dimulai. Safa memutar bola matanya dengan kesal. "Jadi belajar nggak? Udah bel, lho."

"Ayo!" Dias merangkul lengan Safa. "Gue seneng banget, tadi Kak Leo ngeliatin gue dari sana," katanya senang.

"Iya aja deh."

μη


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro