Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 7

by sirhayani

part of zhkansas

__

Dengan helaan nafas panjang, Bu Arum memasuki kelas X.9 yang saat ini benar-benar ribut. "Selamat Pagi."

"Pagi, Bu..." Semua yang ada di dalam kelas itu kompak menjawab. Mereka segera duduk di bangku masing-masing dan kelas itu mulai tenang.

Bu Arum duduk di bangku. "Hari ini saya menggantikan Bu Ros yang berhalangan hadir. Sebelumnya, perkenalkan nama saya—"

"Bu Arum 'kan, Bu guru?" Bu Arum melotot tajam melihat seorang siswa yang duduk di pojokan sambil cengar-cengir. "Ketemu lagi."

Bu Arum menggeleng-geleng. "Ya sudah. Sesuai dengan materi, kata Bu Ros hari ini adalah materi puisi."

"Ya, nggak seru tuh Bu guru. Padahal saya udah nyiapin cerita. Judulnya Maling Kutang. Keren tuh Bu guru, tentang sekelompok siswa SMA yang butuh banget duit, akhirnya mereka berinisiatif buat maling kutang tetangga-tetangganya terus di jual di pasar terdekat." Semua yang mendengarnya terbahak, terutama Nadia yang sempat melihat ekspresi Sandi. Bu Arum sendiri berusaha menahan tawanya, dia memasang muka datar walaupun tawanya sudah hampir menyembul.

"Eaaak," teriak Darwin, diikuti teriakan-teriakan siswa berikutnya. "Kita kita ya jadi tokoh utama dalam cerita."

"Sudah, sudah. Kalau ada yang ketawa lagi, saya pukul mulut kalian pakai mistar itu." Bu Arum menunjuk mistar besi panjang berukuran 100 sentimeter yang menggantung di dinding. Beberapa saat kemudian hening. Takut, jangan sampai Bu Arum tidak main-main.

"Bu guru?" Sandi berdiri sambil mengangkat tangannya.

Bu Arum menghela napas. "Apa lagi?"

"Mau ke toilet, Bu guru. Pipis."

"Alesan. Duduk kembali! Saya tidak akan pernah percaya dengan siswa jenis kamu."

"Bu guru. Kebelet, nih. Beneran. Saya pipis celana di depan Bu guru, mau?"

Bu Arum melotot kaget. "KAMU! Keluar cepat. Lima menit kamu sudah ada di kelas."

"Yaelah, Bu guru. Lima menit mana cukup? Perjalanan Bu guru, mana saya harus buka kancing, terus pipis, masang kancing lagi. Belum lagi jalan menuju kelas kembali."

Kepala Bu Arum sudah berdenyut-denyut. "Cepat keluar! Katanya kebelet. Bicaranya panjang lebar." Kali ini, suara Bu Arum merendah. Dia capek teriak-teriak.

"Ya udah Bu guru. Jangan sakiti teman-teman saya ya Bu guru, 'kan kasian mereka." Sandi keluar dari kelas itu dengan santai.

"Dasar!" Bu Arum mendesis. Ia lalu menatap semua siswa yang ada di kelas itu. "Ada lagi manusia jenis dia di kelas ini? Maju! Biar kalian nanti sama-sama saya hukum kalau buat ulah lagi."

Beberapa siswi melirik Darwin, Yudi, dan Eky yang kini mengunci bibirnya rapat-rapat.

μη

Hanya suara guru yang terdengar menjelaskan di kelas X.1. Semua karena satu hal, gurunya kejam. Tatapannya benar-benar membuat siswa-siswi di kelas itu diam tanpa suara. Hanya menjawab sesekali pertanyaan Pak Muchlis. Masalahnya, Pak Muchlis itu adalah guru Matematika. Dapat guru yang killer di pelajaran yang tidak tepat benar-benar mendebar-debarkan jantung di hari yang terdapat jadwal mata pelajaran Matematika.

"Ya, Dias kerjakan nomor satu."

Dias melotot. Dia mendekati Safa. "Mampus gue. Kalau gue lihat-lihat, contoh soal dan soal yang di buat Pak Muchlis nggak sama. Safa, bantuin gue," bisik Dias. Jantungnya sudah deg-degan tak karuan.

Di samping, Safa meneguk ludah. "Orang yang tahu aja jadi nggak tahu harus nulis apa karena gemeteran," balasnya.

"Kalian berdua! Kalau mau curhat-curhat di luar. Jangan di sini." Pak Muchlis memang tahu kalau mereka berdua itu sedang membahas dirinya. Dias segera ke depan, sebelum Safa juga di hukum karenanya. "Safa kerja nomor dua!"

"Eh—" Mata Safa mengerjap-ngerjap, "Pak, saya—"

"Sekalian kamu kerjakan nomor tiga."

Safa mengutuk dirinya dalam hati. Inilah resiko kalau membantah sekali saja pada Pak Muchlis. "Iya, Pak. Aduh." Safa meringis saat sebuah kertas yang sudah teremas membentuk bola tepat jatuh mengenai kepalanya. Kertas itu berasal dari luar jendela.

"Siapa itu?" Pak Muchlis mengintip ke jendela. Tidak ada siapa-siapa. Pak Muchlis mengambil kertas itu dan membukanya. Ia menatap Safa. "Ini dari siapa?"

"Saya nggak tahu, Pak. Memangnya tulisannya apa, Pak?" tanya Safa penasaran.

Pak Muchlis meletakkan kertas itu di atas meja Safa. Safa yang baru saja membacanya terbelalak. Mampus!

Itu Pak Muchlis, ya? Galak bener. Untung nggak ngajar di kelas gue. Tips kalau ngadepin guru macam Pak Muchlis: bertutur kata lembut dan jadi anak yang penurut, supaya Pak Muchlis luluh. Oh, iya. Hampir lupa. Gue mau bilang, kalau gue sayang sama lo. Tapi, bilangnya nggak sekarang. Secara langsung boleh?

"Ini ditujukan ke siapa? Atau kamu tahu siapa orang yang tulis ini?" tanya Pak Muchlis dengan tatapan tajamnya.

"Saya nggak tahu, Pak. Beneran," jawab Safa bohong. Tapi, kalau melihat tulisannya, itu pasti Sandi. Beberapa orang di kelas itu berdehem, sudah bisa menebak siapa pelakunya.

Pak Muchlis masih melirik kertas itu, dalam hati dia mau mencari pelakunya. "Ya sudah. Kembali kerjakan nomor dua dan tiga."

Sebelum mengambil spidol di meja guru, Safa melihat lagi sekilas kertas itu. Senyumnya mengembang. Entah kenapa, perlakuan itu membuatnya tersenyum.

μη

Safa mendelik saat dilihatnya sekumpulan siswa sedang nongkrong di koridor dekat laboratorium Bahasa. Siapa lagi kalau bukan Sandi dkk? Safa tak habis pikir, karena selama ini Safa melihat siswa-siswa kelas XII lah yang sering berkumpul di situ.

"Tuh, banyak tingkah banget," kata Dias jengkel. Terlebih saat ia melihat Darwin. "Bikin kesel aja."

"Sini, sini!" seru Nabila cepat sambil menarik lengan Safa. "Itu tuh, Sandi ngeliatin lo dari tadi. Ih, gemesin."

Safa menatap ke arah sana, di mana enam siswa sedang melakukan aksinya. Dia bisa melihat Yayat sedang melirik cewek-cewek yang lewat, terutama senior yang most wanted di SMA Angkasa. Walaupun selalu mendapat penolakan, tetapi tujuan Yayat hanya bercanda. Tidak lebih.

Ada juga Yudi yang suka mengikuti cewek cantik dari belakang. Lalu berakting seperti sinetron-sinetron yang tayang di televisi. Insiden menjatuhkan buku sampai tabrakan. Sudah menjadi candaan bagi Yudi.

Tetapi, tidak dengan Eky. Dia menjaga hati dan pendengarannya. Butuh waktu setahun lebih untuk melancarkan aksinya. Dia hanya menunggu seseorang. Sedangkan Darwin hanya senang mengganggu Dias.

Sandi mulai pensiun dari pekerjaannya memerhatikan cewek-cewek, seperti yang dilakukan Yayat. Tapi, Sandi tidak segenit Yayat. Yayat terlalu berlebihan. Jangan sampai dia membuat hati cewek patah.

"Halo, Kakak manis," teriak Yayat sambil bersiul.

Sandi melirik Yayat dengan malas. "Dari tadi mulut dan mata lo nggak diem. Capek gue."

"Iya deh. Maap," kata Yayat, cowok itu mulai diam.

"Makanya jangan jomblo. Yang digodain cewek orang mulu." Darwin merespon skakmat. Membuat Yayat diam seribu bahasa.
Sandi memerhatikan Safa dari jauh. Cewek itu berjalan sambil bercerita dan kadang-kadang tertawa. Hal itu berhasil membuat Sandi tersenyum. Dia belum pernah memerhatikan cewek sebegininya.

"San. Bibir lo doer."

"Sialan," kata Sandi tak terima konsentrasinya diganggu.

Sedangkan Darwin terkekeh. "Gue bercanda. Sumpah!" Darwin mengunjuk jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.

Sandi kembali memerhatikan Safa yang makin dekat dan tidak lama lagi akan melewatinya. Sandi berdiri berniat menghampiri Safa. Dan Yayat mulai berteriak heboh, "Cie, ada yang lagi kasmaran."

"Kalau orang yang lagi jatuh cinta, temennya dilupain gitu aja. Di ajak jatuh cinta aja nggak manggil-manggil."

"Baper banget sih lo." Yudi mendorong kepala Darwin ke tembok. Darwin meringis kesakitan saat kepalanya membentur tembok bercat putih itu.

"Lo ngapain di sini?" tanya Afni sinis. "Sejak kapan lo kumpul sama mereka?"

"Mau tau aja atau mau tau banget, nih?" tanya Radit. "Emang kenapa kalau gue di sini? Salah? Cie, perhatian."

Nabila meringis. Cewek itu berbisik pada Afni, "Lo kenapa nanya-nanya? Lo akhir-akhir ini sensi banget sama dia."

"Iya. Masalahnya, adek gue juga namanya Radit. Tapi, kelakuannya seratus delapan puluh derajat dengan Radit yang itu tuh," bisik Afni. Nabila bisa menatap Afni dengan heran. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Hubungannya apa?"

"Eh, ada cewek-cewek," teriak Darwin. "Gue mau nyanyi nih, buat elo dari seseorang."

Sandi mendengus. Sandi saat ini berpapasan dengan Safa. Dia menarik Safa untuk menjauh dari keributan itu. Tak peduli dengan Dias yang melotot karena sahabatnya di curi oleh om-om macam Sandi. Nabila, Afni, dan Dias hanya berdiri sambil melirik kehebohan yang entah apalagi yang akan dilakukan Darwin.

"Yudiii... menjanjikan kemenangan. Yudiii.. menjanjikan kekayaan. Bohooong.. kalaupun kau... Aduduh." Darwin meringis karena Yudi kembali mendorong kepalanya ke tembok. Padahal dia sudah asik menyanyikan lagu Judi-nya Rhoma Irama dengan mengganti kata judi dengan nama Yudi sambil memegang sapu yang tertinggal di koridor. Dia hanya menatap Darwin dengan kesal. "Lo berisik!"

Sandi berdecak setelah melihat apa yang teman-temannya lakukan. Dia menatap Safa. Tatapannya lembut, membuat Safa merasa seperti ada yang aneh dalam dirinya saat melihat tatapan itu. "Kenapa?"

"Pulang sekolah nanti, gue ke kelas lo yah. Ada yang pengen gue omongin."

"Tembak aja tembak. Langsung aja, bro. Nggak usah lama-lama."

Darwin! Geram Sandi dalam hati. Selalunya cowok itu mengganggu suasana.

"Bisa 'kan?" tanya Sandi. Ada rasa khawatir dalam dirinya. Senyumnya mengembang saat melihat Safa perlahan mengangguk. "Thanks."

"Gue pergi dulu."

"Mau ke mana?" tanya Sandi penasaran. Safa menunjuk ke arah kanannya, langsung ke arah musolah. Sandi "Jangan lupa berdoa, semoga kita jodoh."

Safa mengerjap. Detik berikutnya dia berbalik dan menarik teman-temannya pergi dari tempat itu. Sandi tersenyum memerhatikan kepergian Safa.

Di tempatnya, Yayat meringis. "Katanya kalau orang yang lagi jatuh cinta itu mukanya bakalan bercahaya gitu. Wih, aseek."

Sandi hanya bisa tersenyum tipis.

μη

Bel pulang sekolah berbunyi. Semua siswa dan siswi mulai berhamburan keluar kelas. Terkecuali Safa yang masih setia dengan janjinya. Tak berapa lama, setelah kelas itu benar-benar sepi, Safa melihat kedatangan Sandi. Cowok itu datang dengan cengirannya.

"Hai?"

Safa akan selalu mengingat kekhasan cowok yang saat ini berdiri di hadapannya. "Mau ngomong apa?"

"Boleh minjem hape lo enggak?"

Safa terlihat gugup. Dia menyodorkan ponselnya kepada Sandi. Diperhatikannya Sandi dalam sekejap, lalu dia membuang muka.

"Nih." Sandi memberikan kembali ponsel Safa. "Thanks."

"Iya," jawab Safa, ia lalu menunduk.

Sandi tampak berpikir. Dia bersandar di meja paling depan dengan kaku. Di tatapnya Safa dalam, lalu ia tersenyum tipis. "Oh, lo naik apa kalau pulang? Gue anterin yah?"

Safa mengangguk dengan cepat. Tetapi, sedetik kemudian cewek itu mematung. Tadi dia mengangguk?

"Ayo." Sandi berjalan di depan sambil tangannya menggenggam tangan Safa. Sandi bisa merasakan cewek itu sedang gugup sekarang. "Santai aja."

"Hah?" Safa tidak mendengar perkataan Sandi. Sandi hanya berbalik dan melemparkan senyumnya. Belakangan ini, Safa selalu melihat Sandi tersenyum.
Sandi membawa Safa ke parkiran. Dia naik ke motornya dan menyuruh Safa naik. Mereka meninggalkan pelataran sekolah. Di belakang, Safa masih gugup. Tidak biasanya.

Sandi memerhatikan Safa lewat kaca spion. "Safa!" panggil Sandi sambil tersenyum.

"Apa?" teriak Safa, tidak mendengar kata-kata Sandi karena motor itu melaju kencang. Karena itu juga Safa takut dan berpegangan pada tas ransel Sandi. Tas ransel yang memisahkan mereka. Setidaknya ada penghalang yang menghalangi mereka, jika tidak ada mungkin Safa sudah deg-degan tak karuan.

Setelah perjalanan selama hampir setengah jam, akhirnya Safa menyuruh Sandi berhenti di depan sebuah rumah. Safa segera turun dari motor. "Makasih udah nganterin gue sampai di sini," kata Safa kikuk. Walaupun dia tidak tahu apa maksud cowok itu mengantarnya pulang.

Sandi tersenyum simpul. "Sama-sama. Gue duluan, ya. Jangan lupa makan, sholat, dan mandi. Bye."

Safa tersenyum malu-malu. "Bye." Safa sebenarnya ingin menyuruh Sandi masuk ke dalam rumahnya, tetapi cowok itu cepat-cepat melajukan motornya. Bukannya ini lebih baik daripada Sandi harus masuk ke dalam rumahnya dan bertemu dengan ... mamanya? Safa menghela napas. Lalu ia segera melangkah masuk menuju rumah.

"Siang, Non," sapa Pak satpam. Dibalasnya senyum Pak satpam yang baru saja membuka gerbang rumahnya, lalu dia masuk ke dalam rumah dengan lunglai.

Suara manja seseorang membuat Safa tak kuasa menahan perih di dadanya. Cewek itu segera melangkah dan berdiri di depan Mama dengan senyum getir.

"Tunggu dulu, sayang." Mama mematikan ponselnya. Kata sayang yang baru di dengar Safa, bukan ditujukan untuknya.

"Sini, anak Mama sudah gadis." Mama mencium pipi Safa, penuh sayang. Ya, dia juga demikian. "Bagaimana dengan sekolahmu? Tahun ini kamu ikut olimpiade, 'kan?"

Safa mengangguk sambil tersenyum. "Safa ke kamar dulu, Ma."

"Oh, iya. Jangan lupa makan. Di meja udah ada makanan yang udah disiapin Bibi."

Lagi-lagi, Safa hanya mengangguk. Tak berapa lama dia melangkah, kembali dia mendengar mamanya berbicara.

"Iya, sayang. Anak aku." Mama tertawa, manja. "Tiga puluh juta? Kamu butuh banget ya? Iya. Nanti sore kita ketemu. Di mana?"

Sakit. Mamanya hancur. Entah pantas untuk diposisikan di mana mamanya saat ini, apakah Mama yang mempermainkan laki-laki itu atau mamanya yang dipermainkan oleh lak-laki itu?

Tak ingin lama mendengar lebih jauh, Safa melangkah menuju kamarnya yang luas. Dia menjatuhkan dirinya di atas kasur. Matanya berkaca-kaca saat menatap sebuah foto. Foto di mana dia sedang bersama dengan seorang lelaki paruh baya. Ayahnya. "Safa kangen, Pa. Papa di mana sekarang?"

μη


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro