Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 5

by sirhayani

part of zhkansas

__

"Suit, suit." Terdengar suara siulan tak jauh dari Bu Arum. Bu Arum berbalik, tak ada siapa pun. "Bu guru, di atas sini." Mata Bu Arum melotot saat memandang ke atas, di atas terlihat seseorang sedang duduk di ranting pohon mangga.

"Bu Arum ya?" tanya cowok berseragam SMA itu.

"Berani-beraninya kamu di situ. Ngapain di sana? Ini masih jadwal mengajar. Harusnya kamu di kelas belajar. Turun enggak!"
"Enggak deh, Bu guru. Saya lagi ngambil mangga. Lumayan buat di makan bareng temen-temen sekelas. Kebetulan juga si Yudi bawa pisau."
Mata Bu Arum lagi-lagi melotot. "Ada yang bawa pisau tajam? Berani-beraninya bawa ke sekolah!"
"Pisau mainan doang."

"Kamu ini! Siapa sih?" Bu Arum memerhatikan lambang kelas siswa itu. "Baru juga kelas sepuluh sudah berani."

Cowok itu duduk-duduk di ranting sambil memegang dahan yang sudah ia patahkan, dahan itu tempat bergantung beberapa mangga. "Oh iya, Bu guru mau? Denger-denger Bu guru lagi ngidam ya? Anak ke berapa? Di bagian atas kayaknya ada mangga yang masih muda deh. Entar saya ambilin."

"Siapa bilang saya ngidam?" Bu Arum mendelik tajam.

"Oh, jadi enggak? Saya salah guru dong. Tapi, Bu guru pasti mau 'kan mangga ini?"

Bu Arum berdecak kesal. "Enggak!"

"Wih, bilang aja Bu guru mau. Nyatanya pasti Bu Arum gengsi-gengsi kucing."

Bu Arum mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bu Arum juga sudah capek mendongak. Tapi, kenyataannya dia sendiri tidak memilih untuk meninggalkan siswa itu. "Turun kamu! Lama-lama saya lempari kamu dengan sepatu!"

"Yah, Bu guru. Padahal tadi saya juga mau mempraktekan ilmu alam. Bu guru?" Cowok itu mengambil satu buah mangga dan memperlihatkannya pada Bu Arum sambil senyum-senyum. "Lihat deh. Mangga ini 'kan kalau saya jatuhkan punya kecepatan awal sama dengan nol meter per sekon. Kalau mangga ini tingginya 400 senti meter di atas tanah, berapa ya Bu guru waktu yang diperlukan mangga ini untuk bersentuhan dengan tanah? Nggak sampai sepuluh detik ya Bu guru?" Cowok itu menaik turunkan alisnya.

"Saya nggak tahu. Saya bukan guru Fisika saya guru Bahasa Indonesia." Bu Arum berkacak pinggang. "Turun kamu!"

"Tapi, Bu guru tahu 'kan tahu dikitlah tentang Fisika? Bukannya Bu guru waktu SMA jurusannya di ilmu alam juga? Wih, Bu guru boong nih."

"Dari mana kamu tahu?"

"Dari meja guru Bu guru. Bu guru 'kan suka nyantumin latar belakang sekolah Bu guru. Tugas Ketos sih buat tahu semua guru-guru di sekolah ini. Terus guru yang ngidam siapa, ya? Saya lupa."

Bu Arum memegang kepalanya. Pusing. "Sekarang kamu turun! Daripada saya manggil Pak Joko buat narik kamu!"

Cowok itu terkekeh. Dia tidak peduli. Palingan kalau cowok itu ketemu Pak Joko, Pak Joko malah menagih janji Sandi untuk bermain catur di pos satpam.

"Iya deh, Bu guru. Mangganya nggak usah buat Bu guru yah? Soalnya temen-temen saya banyak." Cowok itu melompat dari ketinggian sekitar empat meter. "Ya udah deh, Bu guru. Saya duluan." Cowok itu melemparkan senyumnya lalu pergi dari tempat itu menuju kelas.

Bu Arum berkacak pinggang. "Benar-benar. Sepertinya banyak kejadian di sekolah ini selama saya cuti melahirkan." Bu Arum geleng-geleng kepala.

"Bu? Kok tadi teriak-teriak? Kedengaran sampai di kelas saya mengajar soalnya." Bu Ros datang. Dia memerhatikan Bu Arum yang berdiri di dekat pohon mangga. Pohon mangga itu letaknya di taman sekolah bagian depan. Memang ada beberapa pohon mangga yang sudah berbuah. "Ibu mau ngambil mangga, ya?" tanya Bu Ros sambil tersenyum penuh arti.

Bu Arum mendesah panjang. "Ros! Kamu jangan bikin saya tambah jengkel."

Bu Ros mengerjap. "Emang kenapa, Bu?"

"Tadi ada siswa manjat pohon itu. Nggak masalah sih untuk ambil mangga, mangga umum kok untuk warga sekolah. Tapi, ini jam pelajaran. Dia bolos tuh. Benar-benar! Seumur-umur saya mengajar di sini, baru kali ini saya dapat siswa seperti dia." Bu Arum menghela napas.

Mata Bu Ros menyipit. "Orangnya tinggi, rambutnya gondrong dikit, cara pakaiannya nggak memenuhi aturan sekolah? Apa siswanya kayak gitu?"

"Iya, benar." Bu Arum terdiam sesaat lalu menatap Bu Ros heran. "Kamu tahu? Dia siapa?"

"Dia itu memang suka bikin ulah dari awal masuk sekolah. Namanya Sandi. Tapi, satu kata buat anak itu deh Bu."

"Apa?"

"Ajaib."

μη

Safa mendesah kecewa. Ini memang takdir. Tak ada jalan lain selain ke kantin Bu Ida— kantin tempat para siswa kelas XII biasanya nongkrong—  untuk membeli sebuah pulpen karena tinta pulpennya habis di saat Bu Arum menjelaskan materi Bahasa Indonesia. Safa tidak bisa tanpa pulpen, sambil mendengarkan Bu Arum menjelaskan dia pasti menulis hal-hal penting. Entah ini sial atau tidak, semua di dalam kelas itu tidak membawa pulpen lebih, Bu Arum lupa membawa pulpen. Jadinya, Safa tidak bisa meminjam pulpen orang.

Safa sudah meminta Dias untuk menemaninya, tetapi Bu Arum tidak mengizinkan siapa pun yang keluar kelas tanpa keperluan juga. Bu Arum hanya boleh mengizinkan dua siswi keluar kelas jika tujuannya ke toilet. Takutnya, ada cowok-cowok nakal yang mengintip. Sedangkan untuk siswa, tetap satu per satu.

"Oh... Itu yang namanya Safa?" tanya Leo.

Safa mendengarnya. Ia baru saja tiba di kantin. Dia meringis saat melihat sekumpulan siswa kelas XII sedang merokok di dalam kantin itu. Mata cewek itu tertuju pada Sandi. Sandi juga ada di sana. Sedang duduk bersama beberapa teman sekelasnya dan senior-senior. Tetapi, dia sedang tidak memegang sebatang rokok. Dia hanya sibuk tertawa mendengar celotehan teman-temannya.

Cewek itu terlihat ambigu. Antara meneruskan jalannya untuk ke kantin atau berbalik dan kembali ke kelasnya.

"Siapa yang bilang dia cantik? Nggak cantik tuh. Dia lebih cocok di bilang manis. Nggak ngebosenin kalau dilihat-lihat. Pengen daftar dong." Leo, cowok dengan iris mata berwarna coklat itu memandang Safa sambil menghembuskan asap rokoknya. "Nggak jadi deh. Entar gue digorok sama orang." Leo melirik Sandi penuh arti.

"Safa berani ya keluar kelas sendiri. Nggak takut dirampok," teriak Yudi, membuat Bu Ida hanya bisa geleng-geleng kepala. Anak-anak itu selalu diberi perhitungan dari Bu Ros karena sering bolos pelajaran dan malah nongkrong di kantin Bu Ida. Tetapi, mereka tetap tidak kapok. Jadinya, Bu Ida juga dapat nasehat terus untuk menyuruh siswa-siswa itu kembali ke kelas masing-masing. Memang dasarnya mereka semua keras kepala.

"Ya, Sandi udah duluan ngambil ancang-ancang sih. Jadinya 'kan nggak tega kalau ngerebutin satu cewek." Haris tertawa tipis. Cowok itu melirik Sandi.

Sandi mendengus. Dia menatap Safa yang sudah memutar badannya seratus delapan puluh derajat. "Lo mau apa? Siapa tahu gue bisa bantu. Nggak usah takut sama mereka, cowok-cowok sebleng ini bukan vampir kok. Semuanya manusia normal."

Safa menghembuskan napas. Ia menggigit bibirnya dengan gemas lalu kembali berbalik. "Nggak kok. Nggak jadi."

"Mau beli pulpen ya? Biasanya anak-anak kayak elo itu ke kantin buat beli pulpen atau buku. Atau, lo lagi tembus? Pengen beli pembalut?" tanya Sandi dengan polosnya. Bu Ida malah ketawa di balik meja.

Pipi Safa memanas. "Enggak, kok! Siapa bilang?"

"Ih, marah. Lo sih Sandi. Kalau sama cewek tuh nggak boleh bahas hal-hal yang khusus cewek. Mereka punya rahasia sendiri. Cowok juga punya rahasia sendiri sih," Darwin menjawab sambil ketawa.

"Yee. Rahasia cewek bakalan cowok tahu juga kok kalau udah sah."

"Asik. Udah main sah-sahan aja." Darwin terkekeh.

"Nggak usah diperpanjang!" Sandi lalu kembali menatap Safa. Cewek itu masih berdiri di tempatnya. "Nggak capek berdiri di sana? Panas juga lho. Lo butuh apa sih sebenernya?"

"Pulpen," jawab Safa dengan suara pelan, tetapi Sandi sudah bisa mengerti. Cowok itu mendatangi Bu Ida.

"Bu kantin, pulpennya dua."

"Ini. Mau dikasih dua-duanya ya?" Bu Ida tersenyum penuh arti sambil memberikan dua buah polpen kepada Sandi.

"Enggak. Untuk saya satu. Pulpen saya hilang lagi soalnya."

"He he he." Bu Ida ketawa. Dia kira dua pulpen itu untuk Safa.

Cowok itu keluar dari kantin. Dia berdiri di depan Safa. "Ambil aja." Sandi mengulurkan pulpen itu. Safa langsung mengambilnya dan tidak mengatakan apa-apa, takutnya, jika cewek itu mau membayar harganya ujung-ujungnya pasti Sandi mempertahankan maunya. Daripada harus berselisih di depan cowok-cowok itu. "Bilang apa?"

Safa menatap Sandi dengan bingung. Setelah sadar maksud Sandi, cewek itu tersenyum canggung. "Makasih."

"Sama-sama," jawab Sandi sambil tersenyum tipis. Dia masih berdiri sambil menatap Safa yang berjalan dengan cepat. "Safa, hati-hati! Entar kesandung rumput."

"Idih, rumput zaman sekarang emangnya udah sekeras batu?" teriak Edo dari dalam kantin.

Sandi terkekeh.  Dia kembali masuk ke kantin dan kembali sibuk.

"Lo tadi 'kan mau nyoba?" tanya Leo pada Darwin sambil memberikan sepuntung rokok yang belum dibakar.

"Lo mau coba?" kata Sandi.

"Nggak jadi deh," kata Darwin sambil cemberut. "Entar gue batuk-batuk kayak dulu. Rasa rokoknya asin-asin manis gimana gitu..." Darwin terkekeh pelan.

"Gue keinget sama kata-kata ini, ngerokok mati, nggak ngerokok mati. Mending ngerokok sampai mati," kata Yudi sambil ketawa.

"Ya udah. Ngerokok aja sampe mati."
Yudi terdiam. Tujuannya 'kan hanya bercanda. Tapi melihat tatapan Sandi, Yudi tidak berani membalasnya lagi.

μη

"BEDAK GUE MANA?" Feby teriak-teriak saat ia melihat tidak ada tanda-tanda barang yang ia bawa sehari-hari itu di dalam tasnya. "Eyeliner gue juga ilang." Feby mendesah kecewa saat barang-barang itu raib. "Ada yang ngambil nih. Yayat! Lo pasti yang ngambil?"
Teriakan Feby membahana di dalam kelas itu. Untung dia teriak di waktu istirahat sehingga tidak masalah jika terdengar di telinga para guru, apalagi Bu Kepala Sekolah yang terkenal killer, yang penting Feby tidak berteriak sambil mengucapkan seperangkat alat make up itu. Karena jika sampai ke telinga Bu Kepsek, barang-barang itu bisa ditahan.

"Lo pasti yang ngambil? Udah berani nyuri barang-barang gue lo." Feby menuduh-nuduh Yayat yang baru saja masuk ke kelas X.9. Yayat jadi bingung.

"Enak aja! Gue mau ambil buat apa juga?" tanya Yayat sewot. "Punya adek cewek aja masih kecil-kecil. Kakak gue? Dia orangnya suka yang alami-alami. Nggak kayak elo. Nyokap gue? Huh, dia nggak suka pake gituan."

"Ah, serah lo deh. Balikin nggak!" Feby masih bersikukuh dengan tuduhannya.

"Nggak! Gue bukan yang ngambil! Di bilangin juga. Mending lo pergi noh ke kantin udah waktunya makan."

"Cie, perhatian," teriak Eky tiba-tiba.
Feby menatap Eky penuh emosi. "Atau elo yang ngambil? Yang ngambil siapa sih. Lo pikir barang itu harganya cuma seribu doang?"

"Salahin aja semuanya." Eky mendengus. "Tuh, gue ngaku. Tapi, eyeliner lo Sandi yang nyulik. Darwan sama Yudi katanya sekali-kali pengen nyoba pake gituan."

"APA?!" Feby sudah hampir menangis. "Kalian jahat! Jahat banget! Sini balikin!" Feby berjalan ke belakang sambil menghentak-hentakkan kakinya. Yudi saat ini sedang menutup mata sambil terkekeh karena Darwin tengah memakaikannya eyeliner itu. Sedangkan Sandi duduk di bangkunya. Cowok itu terkekeh tak bersalah.

"Aduh, geli Wan." Yudi terkikik saat Darwin memegang dagunya yang ditumbuhi janggut yang jumlahnya sedikit dan masih pendek-pendek. Mereka berdua menikmati suasana, tanpa pusing dengan kebradaan Feby yang saat ini berdiri  tak jauh dari mereka dan menatap mereka penuh emosi.

"Ih, justru tangan gue yang geli. Sumpah gue merinding. Gue tadi refleks megang dagu lo. Amit-amit ya, gue nggak ada maksud apa-apa." Darwin bergidik. Dia terkekeh melihat hasil jerih payahnya. "Wih, saking semangatnya, masa semua kelopak mata lo jadi item." Darwin tertawa kencang.

"Wah, pantesan kelopak mata gue kayak berat gitu."

"DARWAN! YUDI! DASAR KURANG AJAR! NGGAK TAHU DIRI!" Feby memukuli Darwin dan Yudi dengan sepatunya. "Balikin punya gue!" Feby memukul lengan Darwin dengan semangat. "Balikin nggak! Balikin!"

"Aduh! Mata gue susah di buka. Jangan sakitin gue dong! Gue kayak orang yang teraniaya aja." Yudi berusaha menghindari pukulan Feby yang membabi buta. "Kok kita aja sih yang dipukulin? Sandi yang nyulik, kita yang kena imbasnya." Yudi berdiri lalu membuka kelopak matanya dengan perlahan. "Woi, ada yang punya tissue nggak? Tissue basah kalau ada. Pinjem dong tissuenya! Entar gue balikin deh."

"Iya, mentang-mentang pernah di gebet sama Sandi. Jadi, lebih ngebelain dia," Darwin bersungut-sungut, tetapi karena perkataannya lah sehingga berhasil membuat Feby terdiam. "Jahahah, mantan gebetan. Gebetan yang nggak sampe tahap pacaran." Darwin tersenyum penuh arti sambil mengolok-olok Feby. Sandi hanya bisa mendengus di tempatnya.

"Sini!" Feby merampas eyeliner itu dari tangan Darwin. "Awas lo ya kalau berani macam-macam lagi. Awas aja!" Feby kembali ke tempatnya dan memasukkan barang-barang miliknya itu. Teringat sesuatu, Feby berbalik, "Bedak gue mana?"

"Nih." Darwin memberikan bedak padat itu kepada Feby. "Belum dipake. Kapan-kapan aja." Feby melotot mendengar kata-kata Darwin.

Nadia mendengus mendengar keributan itu. Dia juga pernah jadi korban. Dia memilih untuk keluar kelas menuju kantin karena saat ini perutnya benar-benar lapar. Dia berhenti sesaat, lalu pandangannya menatap Sandi dkk satu per satu. "Awas ya kalau kejadian Feby kejadian juga ke gue! Awas!" Nadia mengangkat kepalan tangannya membentuk sebuah tinju. Ia segera keluar dari kelas.

"Si Nadia galak bener. Banyak banget cewek galak di kehidupan gue." Darwin menatap kepergian Nadia penuh dendam. Cowok itu pernah jadi sasaran hantaman Nadia. Nadia orangnya memang tomboy, ikut karate di SMA Angkasa, tetapi kalau masalah kecantikan, dia tidak kalah dari Feby. "Jangan bilang istri gue juga entar galak. Nggak deh, nggak! Jangan sampe ya Allah." Darwin menggeleng dramatis.

"Aw, tatut," kata Sandi setelah Nadia benar-benar tidak terlihat. Cowok itu malah mendapatkan tatapan heran dari Darwin. "Kenapa?"

"Heran aja. Baru kali ini gue denger elo bilang tatut. Biasanya bilang atut." Sandi terkekeh. Tidak penting, tapi kedengaran lucu. 

"Sandi? Elo dicariin Kak Putri," teriak salah seorang siswi kelas X.9. Padahal, Sandi baru saja ingin keluar dari kelas itu, tetapi Putri sudah masuk ke dalam kelas. Sandi bisa melihat di luar kelas itu ada senior-senior kelas XII, satu geng dengan Putri, anggota marchind band. Mereka semua menjadi panitia MOS beberapa bulan yang lalu dan mereka semua mengenal Sandi karena aksinya yang bernyanyi di depan orang banyak. Nada gitarnya memang oke, tetapi suaranya pas-pasan. Gara-gara waktu itu ada permainan. Setiap gugus harus mengutus satu orang untuk membawakan sebuah lagu yang sudah di lot dan setiap gugus membawakan lagu-lagu yang berbeda. Ada lagu daerah, lagu wajib, lagu korea bahkan ada. Dan semuanya harus beda di setiap gugus yang jumlahnya sebanyak delapan belas.

Sandi harus terpaksa tampil karena Darwin— yang kebetulan satu gugus dengannya—membocorkan bahwa Sandi bisa menyanyi lagu India, gugus Sandi harus menyanyikan lagu India. Dan pada akhirnya, Sandi menyanyikan lagu Tum Hi Ho-nya Arijit Singh. Setelah bernyanyi,  Putri iseng-iseng bertanya, "Makna lagunya apa?" Dan Sandi menjawab dengan enteng, "Tentang kamu, sayang." Semua peserta dan panitia MOS terkekeh, bahkan beberapa cewek tersenyum geli. Saat itulah Putri bawa perasaan dan menganggap Sandi itu sweet banget.

"Kita duluan, ya? Kelamaan!" teriak Haikal. Putri mengangguk. Akhirnya, teman-teman Putri memilih untuk ke kantin lebih dulu. Teman-teman Putri yaitu Haikal yang paling tinggi, dia adalah mayor dan menjadi Kakak Kelas Terganteng saat MOS. Lalu Widya yang kelihatan imut, menjadi Kakak Kelas Termanis. Sofi, Kakak Kelas tergalak. Arfan, Kakak Kelas Terkeren, dan tentunya Putri menjadi Kakak Kelas Tercantik.

Mereka semua memang aktif di sekolah. Awal masuk sekolah, geng Putri dan Sandi dkk kebetulan ada di kantin yang sama. Kantin di SMA Angkasa memang lebih dari satu. Lalu, Sofi dengan sengaja menyuruh Sandi untuk membelikannya satu botol air mineral dan semangkuk bakso dengan uang seribu rupiah. Sandi menyanggupi. Tetapi, yang membuat Sofi kesal adalah saat Sandi membawakannya air mineral yang isinya hanya seperlima dari besarnya botol itu dan sepotong bakso yang berada di mangkuk. "Balikin mangkoknya. Jangan di makan juga. Oh, iya, sesuai harga 'kan? Segini emang pas kalau duitnya cuman seribu." Itu kata Sandi yang membuat Sofi bersungut-sungut. Niatnya mau ngerjain Sandi, tetapi dia malah dikerjain balik.

"Kenapa?" tanya Sandi saat melihat gerak-gerik Putri yang seperti ingin duduk di bangku Darwin, di samping bangkunya. Darwin mengerti, dengan senyum kecut cowok itu berpindah tempat ke kursi guru.

Putri duduk di bangku. "Heran aja. Lo udah jarang ada di lapangan kalau gue latihan. Biasanya juga nongkrong bareng Pak Joko dan temen-temen lo juga di pos satpam. Ke mana aja sih?"

Sandi mengangkat alisnya. "Lho, emang kenapa?"

Putri terdiam. Cowok di depannya tidak peka. "Biasanya lo pasti datang. Biasanya. Ooh, iya, entar sore lo bisa anterin gue ke sekolah nggak? Gue mau latihan nih. Mobil gue masih di bengkel soalnya. Kalau lo nggak sibuk sih."

"Gue udah ada janji," kata Sandi bohong.

"Janji? Sama siapa?" tanya Putri penasaran.

"Safa."

Putri mengerutkan kening. "Safa itu siapa?"

Sandi tersenyum tipis. "Pacar gue."

Feby tersedak. Dia baru saja meminum air mineralnya dan mendapatkan kabar seperti itu. Dia mendesah kecewa.

Sedangkan Putri terdiam. Pipinya memerah karena kenyataannya dia sedang mengajak pacar orang untuk keluar bersama. Padahal, mereka dalam tahap PDKT. Menurutnya.

"Oh." Putri meringis. Dalam hati, dia bersungut-sungut. Dia seperti ingin memberikan pelajaran kepada cewek itu. Tapi, Putri harus menerima kenyataan itu. "Udah pacaran kapan?"

"Dua minggu yang lalu."

"Ya udah. Gue pengen balik." Putri beranjak dari tempat itu karena malu. Dia benar-benar malu meminta Sandi untuk mengantarnya ke sekolah. Apalagi Sandi menolak dengan halus.

"Buset dah. Semuanya digebet. Nggak temen sekelas, tetangga kelas, kakak-kakak kelas pula. Lama-lama Bu Ros jadi sasaran," Darwin menyelutuk lalu terkekeh di kursi guru.

"Nggaklah, Bu Ros itu guru, dan guru adalah orangtua kedua setelah mama dan papa," kata Sandi, sok bijak.

Darwin terkekeh. "Tapi, hatinya Sandi kayaknya udah nyangkut di hati seseorang deh. Nggak bisa ke mana-mana lagi."

Sandi senyum-senyum di tempatnya. "Iya nih, hati gue udah dicuri sama satu cewek."

μη

"Dasar emang tuh cowok!" Dias bersungut setelah mendengar cerita Safa tentang kejadian di kantin tadi. "Gue bisa bayangin gimana malunya elo pas Sandi nyebut-nyebut pembalut! Kalau gue jadi elo, gue malu banget. Maluuu banget sumpah. Apalagi ada Kak Leo, hah, pujaan hati gue."

Safa meringis mendengar celotehan Dias. "Kak Leo 'kan udah punya cewek."

Senyuman Dias berubah menjadi kecut. Dias berdecak. "Ah, elo ganggu aja. Gue juga tahu kali. Biarin aja Kak Leo jadi pacar khayalan gue." Dias terkekeh. Ia mengambil minumannya dan meneguknya. Mereka memang bisa bercerita bebas, karena kelas sekarang sangat sepi. Hanya ada beberapa teman ceweknya. Semua cowok-cowok di kelas itu ke kantin bersama. Mereka bilang ingin menunjukkan solidoritas yang dijunjung tinggi-tinggi di kelas X.1. Beberapa cewek juga tadi ikut ke kantin. Tidak dengan Safa, Dias, dan Afni karena mereka membawa bekal dari rumah. Ujung-ujungnya makanan mereka juga jadi santapan Nabila yang memang paling malas bawa bekal.

"BERITA HEBOH!"

Dias tersentak mendengar teriakan Nabila yang tiba-tiba. Dias menatap cewek itu dengan kesal. "Apaan sih teriak-teriak? Keselek itu bisa-bisa ngebuat orang mati! Kalau gue mati di tempat gimana?"

Nabila malah terkekeh. "Nyatanya elo sekarang masih hidupkan?" Nabila duduk di bangkunya. Dia baru saja dari toilet ditemani Afni. "Gue tadi denger Kak Putri cerita-cerita sama Kak Widya dan Kak Sofi. Tentang Sandi. Bahkan Kak Sofi ngehasut Kak Putri buat ngelabrak lo. Terus, Kak Putri bilang gini, 'Ngapain gue ngelabrak anak orang? Biarin aja. Itu pilihan Sandi kok.' Wih, Kak Putri emang the best. Enggak egois." Nabila lalu menghela napas. "Andaikan dulu gue diterima jadi anggota marchind band pasti gue bisa jadi cewek gaul juga. Eeaak. Jadi, salah satu cewek famous deh. Siapa tahu gue bisa jadi mayoret pengganti Kak Putri setelah Kak putri lulus. Hi hi hi."

"Dasar. Makan tuh kata famous." Afni mencibir. "Kalau nyatanya lo udah nggak diterima, nggak usah berandai-andai jadi mayoret selanjutnya."

Nabila mendengus. "Banyak banget sih yang daftar. Itu tuh salah satu penyebab kenapa gue nggak diterima. Sebenarnya karena gue kaku, sih."

"Iya, banyak yang lebih bagus yang lebih cantik dari lo. Lo ditaro' di bagian drum juga nggak bakalan diterima. Nada lo nanti yang ke mana-mana."

"Berhenti pojokin gue dong!" seru Nabila dengan sebal. Mata Nabila menyipit, cewek itu kemudian menatap Safa penuh selidik. "Elo pacaran nggak bilang-bilang, ya!"

"Pacaran? Gue masih seratus persen jomblo. Enak aja nuduh-nuduh gue pacaran," kata Safa. Nadanya meninggi karena dituduh yang tidak-tidak. "Emang gue pacaran sama siapa?" tanya Safa yang memang tidak begitu mendengarkan cerita Nabila.

"Sandi."

"APA?" Safa berteriak heboh. "Eh, nembak aja enggak. Gimana ceitanya bisa pacaran?" Safa terdiam kemudian. Tiba-tiba ingatannya kembali di hari itu, hari di mana Sandi bilang ingin  menyuliknya beberapa jam.

Nabila mengangkat bahunya. "Mana gue tahu? Tadi gue denger langsung dari Kak Putri kok."

Dias memutar bola matanya. "Sandi itu emang tukang boong. Ceritanya suka asal-asalan. Oh, gue inget. Dulu, masa adek gue pernah di kasih tahu sama Sandi kalau orang nelan biji itu beneran bakalan tumbuh pohon di dalam perut. Kurang ajar banget 'kan? Sampe adek gue nangis-nangis karena dia kiranya nggak lama lagi bakalan tumbuh pohon dalam perutnya gara-gara dia udah nelan biji semangka."

"Wih, bahaya banget sih Sandi." Nabila bergidik. "Tapi, lucu deh kalau ngeliatin cowok main ama bocah-bocah. Gemesin!" Mata Dias melotot. Nabila cemberut. "Iya, deh, iya, nggak gemesin."

"Udah deh. Nggak usah bahas Sandi lagi," kata Afni menengahi. "Mending makan ayam goreng spesial buatan gue."

"Enak nih kayaknya. Tapi, gue males kalau pegang-pegang ayam. Ribet ke kamar mandi buat cuci tangan doang." Dias mendesah kecewa.

"Ya udah kalau nggak mau." Afni menggeser bekalnya.

"Eh, iya, iya, gue mau." Dias merampas bekal itu.

μη


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro