Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 4

by sirhayani

part of zhkansas


Nama Lengkap : Sandi Ukail Nugraha Syafi

Nama Panggilan : Sandi aja deh, Sayang juga boleh

TTL                  : Di Bumi, tanggal yang tercantum di bulan Oktober tahun apa aja boleh

Alamat           : Di hatinya si dia, Kota Galaksi Bima Sakti

Hobi                  : 1) Ngintipin bidadari-bidadari lagi mandi di sungai, 2) Mencintaimu, 3) Menyayangimu

Cita-cita              : Memilikimu sepenuh hati
Agama           : 99,99 % Islam,  0,01%-nya bersemayam di jiwa preman

Nilai Semester 1 : E

Golongan darah : CD

Jurusan yang dipilih : Jakarta, Surabaya, bolehkah naik dengan percuma?

Pesan Orangtua : Jagain anak saya baik-baik, Bapak guru, Ibu guru. Jangan sampai bandel!!!!

"Kambing!" teriak Eky frustasi. Dia menatap Sandi yang tersenyum polos, tanpa dosa, tanpa tahu apa kesalahannya. "Aduh gue nggak tahu lagi gimana ngadepin lo, bro. Gue nggak mungkin lagi ke TU buat minta kertas Pemilihan Jurusan. Ini satu orang satu."

Menjadi Ketua Kelas di kelas X.9, itulah yang di rasakan Eky. Dia tahu Sandi adalah kawannya, sahabatnya. Tetapi, apa pun itu Sandi lebih banyak bercandanya. Apalagi mengenai kertas yang harus dengan rela dia minta di Bu Ina, staf Tata Usaha yang terkenal killer. Padahal sebenarnya beliau baik, mereka saja yang menilai dari luar.

"Masih ada satu." Sandi mengangkat lembaran kertas hasil foto kopi dari kertas yang di pegang Eky. Eky bernapas lega. "Elo jadi ketua kelas aja ribet. Gimana bisa jadi Ketua ISIS?"

"OSIS!" ralat Eky.

Sandi terkekeh. "Gue bercanda kali bilangnya."

Eky memang ingin mendaftar menjadi calon Ketua OSIS jika kelas XI nanti. Sebenarnya, dia tahu Selvi bercita-cita untuk lanjut SMA di SMA Angkasa. Selain menjadi Ketua OSIS adalah cita-cita Eky sejak SMP, dia juga ingin menjadi orang terpandang suatu saat nanti. Setidaknya bisa menatap Selvi yang sedang mengikuti masa-masa orientasi siswa. Dan Sandi tahu akal Eky itu.

"CD? Celana dalem maksud lo?" tanya Eky sambil tertawa melihat lembaran itu. Golongan darah dengan dua huruf yaitu C dan D. "Bukan AB, ya?"

"Em, maunya sih golongan darahnya S. Tapi, kata dokter golongan darah S nggak ada," kata Sandi dengan raut seolah-olah berpikir. "Ya udah. Nanti aja deh gue isi lembarannya. Gue mau ke kelas orang dulu." Sandi memberikan kertas itu kepada Eky. "Jagain yah, jangan sampai hilang."

"Ke kelas orang atau ke kelas makhluk ciptaan Tuhan yang paling manis?" tanya Eky, matanya berkedip sebelah.

Sandi tersenyum langsung setelah mendengar teriakan Eky itu. "Tau aja lo."

Sandi berjalan di koridor. Sendiri. Komplotannya tidak ikut. Mereka sedang sibuk mengisi lembaran jurusan yang diinginkan untuk pegangan dan sebagai pertimbangan oleh guru-guru yang berada di bagian Bidang Kesiswaan.
Banyak yang memilih Jurusan IPA. Dari tahun ke tahun, kelas IPA selalu banyak peminat sedangkan kelas IPS hanya seperdua dari banyaknya kelas IPA. Tapi, di IPA kebanyakan perempuan, sedangkan di IPS kebanyakan laki-laki. Itulah SMA Angkasa, mungkin sekolah lain juga. Yap, selalu kenyataannya seperti itu. Mungkin karena itulah kenapa rata-rata cowok IPS mendekati cewek IPA.

Walaupun jurusan yang berbeda, tetapi masih ada mata pelajaran yang sama. Seperti Matematika, yang berbeda hanya Matematika IPS yang dasar, sedangkan Matematika IPA sudah berada di tingkat atas dan materinya bercabang-cabang.  Tetapi di lain situasi, cowok IPS dan cewek IPA pacaran karena saling melengkapi dan saling... menyukai.

Sandi berdiri di ambang pintu kelas X.1. Matanya memandang ke seluruh penjuru kelas dan mendapati Safa sedang duduk di bangku paling belakang, dia seperti sedang menjelaskan kepada teman-temannya entah materi apa.

Sandi berjalan ke arahnya. Senyumnya mengembang saat Safa menatapnya penuh tanya. "Hai?"

Selalu memanggil Safa seperti itu. Safa hanya bisa menunduk. "Duh, Dias, Afni, dan Nabila di mana sih?"  katanya dalam hati. Dia segera mendongak dan kini mendapati Sandi yang duduk di bangku yang ada di depannya. Sandi memerhatikannya.

Mata Safa beralih menatap yang lain. Teman-temannya sudah duduk di bangku masing-masing. Pasti Sandi yang mengusir mereka.

"Ngerjain apaan sih?" tanya Sandi. Kepalanya maju untuk memerhatikan buku catatan Safa. Safa mundur karena takut kepala mereka bertubrukan.

"Santai aja, kali. Nggak usah khawatir. Gue selalu menghitung jarak sebelum deket-deket sama cewek." Duh, Sandi! Pipi Safa memanas gara-gara suara Sandi yang sangat keras dan Safa yakin semua yang ada di kelas itu mendengarnya.

Sandi terus memerhatikan buku Safa. Dia tertawa geli setelah sebuah ide muncul tiba-tiba di benaknya. "Safa?"

"Ya?" Safa menatap Sandi. Cowok itu senang membuat cewek gugup.

"Lo tahu nggak, kenapa natrium punya ion positif dan klorin punya ion negatif?"

Safa menatap Sandi tak percaya. "Karena—"

"Karena NaCl sudah ditakdirkan untuk bersama." Perkataan Sandi berhasil membuat siswa-siswi kelas X.1 bersorak-sorai, beberapa di antara mereka berteriak, "Cie, cie". Sandi berhasil membuat pipi Safa makin merona. Dia malu.

"NaCl adalah dua unsur yang bersatu membentuk senyawa baru. Ibarat manusia. Kalau lo ngeliat perempuan dan laki-laki yang bersanding di pelaminan, mereka adalah sepasang manusia yang sudah ditakdirkan untuk bersama." Sandi tersenyum tipis. "Lo tahu nggak? Kenapa natrium mempunyai satu elekron valensi sedangkan klorin mempunyai tujuh elektron valensi?"

"Asike," kata beberapa siswa yang memerhatikan mereka. Dan siulan-siulan terdengar makin heboh.

"Karena delapan adalah kelengkapan bagi mereka. Ibarat pasangan. Perbedaan dalam sebuah hubungan itu wajar, karena gue tahunya rata-rata pasangan punya kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi." Dia lalu terkekeh. "Ternyata gue tahu juga pelajaran Kimia." Sandi lalu menatap Safa lagi. "Selama ini, gue ngeliat sekitar. Tinggi dengan yang pendek, hitam dengan yang putih, yang cuek dengan yang cerewet, rambut keriting dengan rambut lurus. Walaupun semuanya nggak gitu sih. Tapi, kata guru agama gue, cewek yang baik pasti dapet cowok yang baik."

"Mantap, bro. Tadi gue kayak denger John Dalton lagi ngegombalin ceweknya." Radit, Ketua Kelas X.1, menggeleng-geleng tak percaya.

"Siapa yang ngegombal?" tanya seseorang tiba-tiba. Bu Irawati, guru Kimia yang juga mengajar Sandi di kelasnya. "Kamu? Ngapain di kelas ini? Kembali ke kelasmu sana!"

"Aduh, Bu guru ganggu aja deh." Padahal, Sandi masih mau berlama-lama di depan Safa. "Permisi, Bu." Sandi mencium punggung tangan Bu Irawati hingga terdengar bunyi cup. Dan beberapa saat berikutnya, kepala Sandi dijitak keras.

Sandi mengaduh kesakitan. Dia mengelus bagian kepalanya yang dijitak. "Salah saya apa, Bu?"

"Salah kamu itu... banyak! Jangan sekali-kali kamu kurang ajar sama guru ya! Salah kamu yang lain, kamu masih berdiri di sini sedangkan saya sudah suruh kamu keluar dari tadi." Bu Irawati menyimpan tas laptop dan beberapa buku paket Kimia-nya di atas meja guru.

Sandi menatap Bu Irawati. Guru selalu benar. "Iya deh, Bu. Saya yang salah. Assalamu'alaikum." Salam Sandi dijawab Bu Irawati dan beberapa siswa dan siswi kelas X.1. Sandi keluar dari kelas itu.

Di koridor, Sandi berpapasan dengan Dias yang sudah melayangkan mata melototnya. "Kenapa sih? Nggak baik lo kayak gitu. Entar lo jadi keponakan dorhaka."

Dias pura-pura mau muntah. "Duh, Afni, Bil, kayaknya kita tadi ninggalin Safa sendiri deh." Perkataan Dias seolah-olah menyindir Sandi.

Sebelah alis Sandi terangkat. "Apa lo kangen sama cowok lo? Darwin maksud gue. Iya deh, entar gue salamin. Mau salam apa? Salam kangen? Salam rindu? Salam pengen ketemu? Salam perpisahan? Salam biasa? Salam hormat?"

"SANDI!"

Sandi terkekeh. Dia segera menjauh dari Dias.

μη

Bunyi bel tanda pulang akhirnya berbunyi. Sandi sudah berdiri beberapa menit lalu di koridor kelas X.1. Cowok itu bersandar di dinding. Entah siapa guru yang mengajar sekarang di X.1, yang jelasnya guru itu masih berdiri menjelaskan materi.

"Kamu ngapain di situ?" tanya Bu Irawati tiba-tiba. Bu Irawati baru saja keluar dari kelas setelah memberikan arahan mengenai kelas X.1.

"Eh, Bu guru..." Sandi menampilkan senyum simpul. "Ada deh, Bu guru. Bu guru nggak usah kepo masalah anak muda."

Bu Irawati mendelik. Dia tersinggung. Bagaimana pun, baginya, dirinya juga masih muda. Walaupun umurnya sudah hampir kepala tiga. "Ya sudah. Pulang sana! Jangan ganggu siswi saya lagi."

"Oke deh, Bu guru." Sandi mengangguk patuh. Setelah kepergian Bu Irawati, Sandi melihat rombongan kelas X.1 keluar dari kelas. Tatapan Sandi terhenti di satu orang, Safa. Cowok itu segera berjalan di samping Safa.

"Ayo! Lelet banget sih."

"Eh—" Sandi menatap Safa dengan bingung karena cewek itu saat ini tengah menggenggam tangannya. Senyum Sandi terukir.

"Lo kok tambah berat. Lo tambah gendut ya? Tangan lo kegedean," kata Safa heran. Ia berhenti dan berbalik. Matanya membelalak saat melihat tangan siapa yang saat ini dia genggam. Safa menyentakkannya dengan cepat. "Elo?" Entah bagaimana pipinya saat ini. Safa benar-benar malu.

"Udah berani pegang-pegang," kata Sandi sambil terkekeh geli. "Lo lagi nggak fokus ya? Untungnya yang ditarik gue, bukan cowok lain. Takutnya kalau yang lain entar modus lagi."

Safa salah tingkah. Cewek itu mencari-cari keberadaan Dias.

"Safa! Lo jahat banget sih ninggalin gue. Gue tadi ngomong sendiri di dalam kelas tahu nggak," kata Dias kesal. Dia menoleh ke sampingnya. "Ini lagi! Lo ngapain senyum-senyum di situ?"

"Oh," Sandi menggantungkan kalimatnya. Cowok itu menatap Safa lalu menarik tangannya. "Temen lo gue pinjem, ya?"

"Safa! Katanya lo mau nungguin gue rapat OSIS. Eh, eh..." Darwin tiba-tiba menarik rambut Dias. "Sakit!" Dias mendelik tajam. "Ngapain lo tiba-tiba nongol di sini? Lo sekongkol ya sama Sandi?"

Darwin terkikik. "Tau aja."

Sedangkan Safa dan Sandi, dua orang itu kini berada di parkiran. Safa hanya bisa mengikuti langkah Sandi yang lebar.

"Lo kenapa narik-narik gue sih?" tanya Safa heran.

Sandi menatap Safa. "Gue boleh nggak nyulik lo beberapa jam?" tanya Sandi dan karena pertanyaannya itu berhasil membuat Safa terheran. "Soalnya, lo dicari sama bos gue."

"Bos?"

"Iya, bos. Ayo naik!" seru Sandi.
"Tap—tapi..." Safa tak bisa berkata-kata lagi saat Sandi menarik tangannya hingga membuat dirinya terarah untuk duduk di atas motor Ninja itu. "Tenang aja, bos gue baik kok. Bos gue cewek soalnya." Sandi menyalakan mesin motornya dan meninggalkan pelataran sekolah. Safa hanya bisa mengikut, dalam hati dia yakin bahwa Sandi tidak akan macam-macam.

μη

"Akhirnya kamu datang juga, Nak."
Safa tersenyum tipis mendengar perkataan Mama Sandi. Cewek itu sekarang tengah duduk di sofa yang berada di ruang tengah, duduk di samping Mama dan Sandi yang berada di sofa yang lain. Mama sudah menceritakan kronologi kenapa Sandi bisa membawanya ke rumah itu, ternyata semenjak Mama melihat Safa hari itu, Mama tertarik dengan Safa. Bahkan Mama bilang, mau menyunting Safa sebagai menantu. Dia mengatakan hal itu di depan Sandi dan Safa. Pipi dua orang itu sudah pasti memerah. Tetapi anehnya, Mama bilang, "Jangan pacaran sama Sandi. Sandi itu nakalnya keterlaluan." Dan perkataan itu ditujukan kepada Safa. Bos yang dimaksud Sandi adalah Mama Sandi sendiri. Safa hanya tertawa setelah tahu hal itu.

"Sandi cerita, kalau dia stalk kamu. Saya nggak tahu ya apa itu stalk,tapi—"

"Ma..." Sandi mendesis. Tengkuknya ia garuk karena salah tingkah. Ia lalu melirik Safa yang sedang tersenyum tipis.

"Dia bilang, kamu itu suka buat kue. Gimana kalau hari ini kita buat pancake?" tanya Mama. Dahinya berkerut kemudian. "Atau brownies aja? Kayaknya lebih simpel."

"Cowok itu tahu?" tanya Safa dalam hati.

"Iya, aku pengen buat brownis. Terakhir buat kayaknya dua bulan yang lalu deh Tante," jawab Safa. Dia melirik Sandi yang kini duduk bersandar di sofa, sepertinya cowok itu bosan berada di tengah-tengah perempuan yang sedang berbincang.
"Ma, seragamnya Safa mending diganti dulu deh. Nanti kotor. Sandi ambilin kaos sama—"

"Jangan," Mama menyela. Dia menatap Safa. "Selama ada pakaian perempuan, kamu jangan pakai pakaian bekas laki-laki, Nak. Nggak bagus."

"Mama..."

"Hush, kamu jangan modus ya. Pasti kamu mau nyium-nyium baju bekas Safa pakai itu nanti."

"Eh—" Sandi mengerjap. Dia melirik Safa, pipi cewek itu kini memerah. "Ma, kalau ngomong jangan ceplas ceplos dong. Aku nggak ada niat gitu kok."

"Ya udah. Kamu juga ganti baju sana!" seru Mama. Ia lalu menatap Safa. "Nah, ayo Safa. Tante masih punya baju dan rok waktu Tante masih muda. Untuk ukuran kamu, sudah pasti cocok." Mama berdiri sambil menunggu Safa ikut berdiri. 
Sandi melirik mamanya dengan kesal. Tapi, senyumnya tak urung terlihat. Cowok itu menatap keduanya dengan senang hati. Ia pun beranjak dari sana menuju kamarnya.

Safa berhenti sesaat setelah melihat sebuah foto berbingkai seorang anak laki-laki yang berpakaian polisi. "Cita-cita Sandi emang pengen jadi polisi, ya, Tante?" tanya Safa. "Ini Sandi 'kan Tante?"

"Iya, dia Sandi. Itu diambil waktu dia umur tujuh tahun. Cita-citanya nggak tahu apa. Kalau ditanya cita-citanya apa, dia cuma senyum-senyum nggak jelas. Aneh 'kan?"

Refleks, tawa Safa keluar. "Lucu ya, Tante?" Safa kembali berjalan mengikuti Mama yang membalas pertanyaannya dengan tawa tipis.

"Dia itu nakalnya banyak, bikin pusing," kata Mama sambil mengeluarkan sebuah baju dan rok berwarna biru muda dari dalam lemari di kamar yang baru beberapa detik dia masuki. "Ini kamu pakai ya. Tante tunggu kamu di dapur. Tante mau nyiapin bahan-bahannya."

"Iya, Tante." Safa menatap Mama yang sudah hilang di balik pintu. Cewek itu terkekeh pelan, lalu mulai berganti pakaian.

μη

Tadi adalah momen-momen lucu. Safa tak bisa menyangkalnya. Ia masih ingat, bagaimana Sandi terus-terusan di pojokkan oleh mamanya sendiri. Juga Selvi, adik Sandi yang bercerita tentang pacarnya memberikannya sebuket bunga mawar kepadanya. Tentunya, Selvi bercerita mengenai pacarnya hanya kepada Safa. Karena Mama dan Papa Sandi adalah tipe orangtua yang tidak mengizinkan anak-anaknya pacaran. Lalu tujuan Mama menyuruh Sandi membawa Safa ke rumah? Semua akal-akalan Sandi yang mengatakan bahwa Safa adalah temannya, teman Dias juga. Tetapi ada satu hal yang terasa aneh, kenapa Sandi seperti orang bisu saat papanya ikut berkumpul?

Safa menghela napas panjang. Ia melirik Sandi yang saat ini mengendarai motor. Cowok itu fokus dengan jalanan yang hanya diterangi lampu-lampu jalan, tak berbicara sama sekali. Mungkinkah karena kejadian tadi? Perubahan drastis sebelum dan setelah papanya berada di dekatnya benar-benar terlihat. Dari suasana senang dan diiringi tawa bahagia, lalu berganti dengan wajah kaku dan membalas beberapa pertanyaan yang ditujukan Papa padanya dengan singkat.

"Stop di sini!" seru Safa cepat saat mlihat rumahnya sudah sangat dekat.

Sandi memberhentikan motornya di depan sebuah gerbang besar. Cowok itu menatap Safa di balik kaca helmnya. Dia memerhatikan Safa yang bersiap membuka jaket miliknya. "Nggak usah dibuka!"

Safa terdiam. Gerakannya terhenti setelah mendengar seruan Sandi.
"Kenapa?" tanyanya bingung.

"Lo balikinnya kapan-kapan aja. Ini udah malem. Entar lo masuk angin," kata Sandi penuh perhatian.

Safa terdiam mematung. Dia melirik Sandi, entah apa yang bisa dia katakan selain berterimakasih. "Tapi, udah deket. Lo dari tadi yang cuma pakai baju kaos, nggak kedinginan? Malam, lho."

"Gue cowok. Sedangkan lo cewek. Selama gue masih bisa bertahan, gue harus ngelindungin lo," kata Sandi pelan. "Lo cepetan masuk gih. Mendung."

Safa mendongak untuk menatap langit malam. Tak ada bintang, semuanya tertutup oleh awan. "Ya udah, gue masuk dulu ya?"

Sandi mengangguk. Cewek itu segera membuka gerbangnya yang belum digembok, ia melirik pintu rumahnya dengan gugup. Entah apa yang akan dilontarkan kakaknya nanti karena melihat adik kesayangannya pulang malam-malam begini. Dia benar-benar terbawa suasana tadi, sampai-sampai lupa bahwa ada yang menunggunya di rumah.

Safa menghela napas. Dimasukkannya kedua tangannya di masing-masing kantong jaket milik Sandi, lalu ia mengernyit. "Ini apa?" tanyanya bingung saat tangan kanannya memegang sesuatu mirip kertas. Ia mengambilnya. Memang sebuah kertas yang terlipat. Safa membuka lipatan kertas itu dan mendapati deretan kalimat yang membuat jantungnya malah berdegup kencang.

Gue mau bilang, kalau gue suka sama lo. Gue juga mau bilang, kalau gue bakalan ngebuat lo suka sama gue. Iya, elo, Safa.

"Sandi," kata Safa pelan. Dua sudut bibirnya tertarik ke atas. Tanpa dia sadari, dia meremas kertas itu.

μη


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro