Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 28

by sirhayani

part of zhkansas

__

Seperti apa yang dikatakan Nabila, pagi ini dia sudah berada di kamar Safa sambil mendengarkan Safa bercerita tentang kejadian kemarin. Nabila bertopang dagu sambil telungkup, sedangkan Safa duduk bersila.

"Tapi..." Nabila menggantungkan kalimatnya. "Dia nggak bilang I love you. Iya?"

Safa mengangguk. "Gue nggak mikirin itu." Safa lalu tersenyum tipis. "Menurut lo, apa gue juga harus bilang kalau gue suka sama dia?" Safa lalu menggelengkan kepalanya. "Ah, nggak deh. Nggak. Entar gue dikira cewek apa."

"Iya lebih baik lo jangan bilang-bilang gitu. Lo 'kan cewek. Tapi, terserah lo sih."

Dering telepon terdengar. Safa mengambil ponselnya di atas nakas lalu membuka sebuah pesan masuk.

"Dari siapa?" tanya Nabila penasaran. "Sandi ya?" Dia segera duduk dan memajukan kepalanya untuk melihat isi pesan di ponsel itu. Safa dengan cepat menjauhkan ponselnya dari jangkauan Nabila. "Ih, pelit banget sih. Lihat bentar kek."

Safa menghela napas. Kalau berurusan dengan Nabila pasti selalu membuatnya kesal setengah mati. "Sandi ngajakin gue ketemuan di—"

"Di mana?"

"Gue belum ngomong sih lo potong segala. Sandi ngajakin gue ketemuan di lapangan indoor besok. Katanya ada yang pengen dia omong—"

"Masalah apa?"

Safa menatap Nabila dengan kesal. "Mana gue tahu."

"Pasti dia pengen nyatain cinta, cie..." Nabila menyenggol bahu Safa. "Oh iya, gue mikir ya, si Mira itu bener-bener PHO."

Safa turun dari ranjangnya. "Apaan sih, Bil. Jangan ngomongin orang deh. Nggak baik." Dia berjalan menuju meja belajar dan membuka laptopnya yang berada di atas meja.

"Sok alim lo."

"Nah." Safa berdecak. "Gue 'kan cuma ngomong, ih lo itu temen yang paling nyebelin."

Nabila terkekeh. Ia berbaring sambil menatap langit-langit kamar. "Sa?"

"Hem?"

"Udah tahu belum?"

"Apaan?"

Nabila terkekeh pelan. "Kak Ilham nembak gue."

Safa langsung berbalik untuk menatap Nabila. "Lo seriusan? Jangan bercanda ah, Kak Ilham nggak mungkin mau pacaran," kata Safa heran. "Dia sendiri yang bilang."

Safa melihat Nabila tertawa. "Salah, salah. Yang bener itu, gue nembak Kak Ilham."

Safa mendelik. "Seriusan?"

Nabila mengangguk polos. "Dan gue ditolak."

"Ya jelas lah," balas Safa jengkel. Dia kembali sibuk dengan laptopnya. "Lo ngapain sih nembak Kak Ilham? Gue 'kan udah bilang dia nggak mau pacaran. Lo nggak malu ke sini? Kalau lo ke sini sama aja lo bakalan ketemu sama Kak Ilham."

"Sebenarnya nggak ada yang nembak sih. Gue bercanda. Piss.." Nabila nyengir sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.

Safa berdecak kesal. "Berurusan sama lo bikin gue pusing. Serius!" Dan Nabila hanya tertawa.

μη

"Mau ke mana?"

Pertanyaan itu membuat Mira menghentikan langkahnya. Dia menatap Gilang yang baru saja memelankan suara dari televisi. "Mau ke rumah Sandi."

"Dengan alasan lo mau kerja kelompok lagi?"

Skakmat!

Mira tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya diam hingga Gilang kembali bersuara.

"Besok, lebih baik lo bilang yang sebenarnya ke Sandi. Daripada lo sendiri yang kesiksa." Gilang menghela napas. Dia mematikan televisi lalu berjalan menuju Mira yang berdiri kaku. Tangannya terulur, mengacak rambut gadis itu yang masih terdiam karena pikirannya, lalu sebuah kalimat yang keluar dari mulut Gilang membuat Mira mau tak mau menatapnya dengan tatapan nanar, "Lo nggak mungkin selamanya nutupin kenyataan itu, karena hal yang bakalan ngebuat lo lega adalah ngungkapin yang sebenarnya ke dia."

Mira mengangguk. Matanya terpejam sesaat, lalu akhirnya sebuah pertanyaan ia ajukan juga ke Gilang. "Lo suka sama Safa, Kak?"

Suara tawa terdengar. Jelas itu adalah tawa Gilang. "Suka, tapi nggak lebih dari nganggap dia sebagai adik. Gue kenal dia udah lama dan gue sayang dia sebagai adik gue sendiri." Gilang memegang kedua bahu Mira. "Gue, udah nggak mikir permusuhan gue dengan Sandi lagi. Yang gue mikirin sekarang, gimana adik gue yang cantik ini bisa nyelesaiin masalahnya sendiri." Gilang lalu menatap Mira dengan pandangan yang serius. "Ingat, nggak salah kalau lo suka sama cowok. Tapi jangan sampai karena keegoisan lo itu, lo malah ngerusak hubungan cowok itu dengan pacarnya."

Mira menghela napas. "Gue bakalan usahain, Kak."

"Janji?"

Mira mengangguk, tatapannya nanar, dan suaranya seperti tercekat. "Janji."

μη

Bel tanda istirahat telah berbunyi sepuluh menit yang lalu, tetapi Safa masih berada di dalam kelas. Dia menatap jam di dinding kelas dengan gelisah, sesekali dia melihat ke depan, ke arah Ketua OSIS dan anggota-anggotanya yang sedang memberitahukan entah apa. Bahkan Safa tidak fokus dengan pembicaraan beberapa orang di depannya.

"Sa?" bisik Nabila dari belakang. Safa tidak merespon, tangannya bergerak ke depan untuk mencolek bahu Safa. "Safa!"

"Apa sih?" tanya Safa dengan suara pelan. Dia menatap Nabila dengan raut bingung.

"Izin aja, susah banget."

"Astaga!" Safa menepuk jidatnya. Dia kemudian mengangkat tangan kanannya. "Kak?"

"Yap?" Ketua OSIS SMA Angkasa menatap Safa. "Kenapa, Dek?"

"Boleh izin keluar nggak?" tanya Safa terbata. "Saya ada urusan."

"Urusan sama guru?"

"Iya, Kak," celetuk Nabila di belakang Dias. Safa hanya bisa heran, lalu Ketua OSIS itu menyuruh Safa segera keluar.

Di depan sana, Safa mengangkat jempolnya pada Nabila. Nabila mengangkat jempolnya juga. Lalu, Safa segera berlari menuju lapangan indoor.

μη

"San?"

Sandi membuka matanya. Ditariknya earphone yang sejak lima menit lalu ia gunakan, lalu beralih menatap seseorang yang berdiri di hadapannya. Ia pikir itu Safa, tetapi jelas bukan Safa karena suara yang memanggilnya barusan bukan suara Safa.

"Kenapa?" tanya Sandi sambil mendongak. Saat ini dia duduk di bangku penonton karena sedang menunggu kedatangan Safa.

Mira duduk di samping Sandi. Cewek itu menghela napas. "Lo lagi nungguin Siapa? Nggak biasanya lo nongkrong di sini."

Sandi mengangguk. Dia lalu menatap Mira. "Lo kenapa ke sini?" tanya Sandi, tak menghiraukan pertanyaan dari Mira yang ditujukan kepadanya.

"Soal dulu."

Sandi tertawa pelan. "Masalah Gilang yang pacaran sama lo, dan gue yang di duain sama lo?" tanya Sandi. Mira menganggukkan kepalanya, mengiyakan. "Udah gue lupain. Serius."

Mira terdiam sejenak memikirkan kata-kata Sandi. Kemungkinan terbesar ia melupakan kejadian itu adalah karena hari-hari Sandi telah di isi oleh Safa. Ya, itu bukan alasan yang tidak masuk akal.

"Sebenarnya..." Mira menggantungkan kalimatnya. Dia menjilat bibirnya yang terasa kering. Pandangannya yang baru beberapa detik menatap ke depan, kini beralih untuk menatap Sandi di sampingnya. "Sebenarnya gue dan Kak Gilang nggak pernah pacaran."

Sandi menatap Mira tak percaya. "Lo jangan main-main, Ra!"

"Gue nggak bisa apa-apa, San." Mira berkata lirih. "Gue tahu maksud Kak Gilang itu buat ngelindungin gue dari anak-anak cowok. Karena gue adiknya. Adik kandungnya."

Kali ini, Sandi tidak tahu harus merespon apa. Dia memandang Mira, penuh luka. Ia bisa membayangkan bagaimana dulu dia menyukai gadis di sampingnya itu. Jika orang lain mengatakan bahwa cinta pertama itu ada, maka Sandi pikir Mira lah cinta pertamanya.

Mira tersenyum tipis. Kepalanya menengadah, mencoba menahan cairan bening yang sudah hampir jatuh dari pelupuk matanya. "Tapi, gue masih sayang sama lo. Gimana perasaan lo sama gue?"

Sandi bimbang. Sejujurnya dia masih punya perasaan pada gadis di sampingnya ini. Walau sedikit. "Kalau gue jawab iya, itu nggak berarti sepenuhnya gue sayang sama lo. Karena jujur, gue emang sayang sama lo, tapi nggak kayak dulu lagi."

Tak jauh dari dua orang yang sedang berbncang itu, Safa menutup mulutnya. Kalimat yang baru saja dia dengar dari Sandi membuat hatinya sesak.

Sebagaimana pun perkataan Sandi, tetap saja terasa menusuk saat Safa mendengarnya. Safa mencoba menahan air matanya. Segera ia berbalik, namun untuk kedua kalinya dia terjatuh saat berlari dari apa yang dilihatnya. Seperti hari itu.

"Safa!"

Panggilan itu membuat Safa kembali bangkit. Sekilas dia melihat ikatan tali sepatunya yang terlepas. Ingatannya melayang-layang pada kejadian di mana Sandi mengikat tali sepatu itu.

"Safa!"

"Jangan ikutin gue!" seru Safa dengan suara serak. Tangannya bergerak ke belakang. Lalu ia berdiri dan kembali melangkah.

"Lo salah paham, Sa!" Ditariknya lengan Safa hingga gadis itu tak bisa lari lagi. "Gue bisa jelasin semuanya."

"Gue nggak mau lagi. Gue beneran udah nggak mau lagi denger apa-apa. Lupain perjanjian itu karena gue nggak cinta sama lo. Apa yang gue rasain selama berada di samping lo itu cuma suka sesaat. Nggak lebih."

"Apa lo nggak mau dengerin penjelasan gue?" tanya Sandi. Matanya menyiratkan sorot permohonan.

"Please, San!" Suara Safa terdengar pelan dan lirih. Kali ini, dia tidak mau terbawa emosi. Ia memegang tangan Sandi dan menyingkirkan tangan itu dari lengannya. "Gue nggak mau lagi terikat dengan hubungan yang cuma nyakitin hati gue, San. Gue nggak mau terikat hubungan lagi sama lo. Dan gue mau kita beneran putus, nggak ada balikan lagi."

Sandi paham apa yang dirasakan Safa. Tatapannya lurus menatap manik mata Safa. "Oke." Singkat. Tetapi justru membuat sebuah penyesalan tiba-tiba menelusup pada diri Safa.

"Ya udah, gue pergi." Safa membalas dengan suara pelan, nyaris berbisik. Dia melangkah menjauhi Sandi.

Kali ini, Sandi benar-benar tidak mengejarnya lagi.

μη


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro