BAB 26
by sirhayani
part of zhkansas
__
Dua orang itu saling diam, saling pandang, hingga salah satu diantara mereka tertawa pelan.
Safa yang tertawa. Dia memerhatikan Sandi yang mengangkat sebelah alisnya karena bingung. "Lo kenapa ketawa?"
Sementara Safa menggeleng. "Heran aja, dari tadi lo diam mulu, nungguin gue masuk rumah lagi?"
"Geer," jawab Sandi iseng. "Iya, deh," lanjut Sandi karena melihat raut Safa yang kembali bete. "Pangeran Matahari pengen mastiin Puteri Malu sampai di singgasananya dengan selamat."
"Gombal." Safa berkata kesal. "Jangan gombal-gombal gue lagi deh. Apaan juga tuh, Pangeran Matahari, Puteri Malu, dapat kata dari mana coba? Yang gue tahu itu Dewa Matahari."
Sandi tertawa. "Kita berdua lah. Siapa lagi?"
"Lebay deh." Safa tertawa pelan. Dia melihat ke belakang, gerbang rumahnya sudah di buka oleh satpam. "Gue masuk dulu, ya?"
Sandi mengangguk. "Kalau lo udah sampai di kamar, lihat ke jendela ya!" seru Sandi. Saat ini, dia duduk bersandar di motornya. Berhadapan dengan Safa.
"Ngapain?" tanya Safa bingung.
"Gue mau mastiin kalau lo udah beneran sampai."
"Dasar!" Rasanya, Safa lebih ceria hari ini. "Ya udah, bye..." Safa melambaikan tangan. Dia segera berbalik badan dan tersenyum tipis.
"Safa?"
Safa terdiam sejenak. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar Sandi memanggilnya. Lalu, dalam hatinya bertanya-tanya, mungkinkah dia akan mengatakan sesuatu hal yang penting?
Tentang perasaan, misalnya.
"Apa?" tanya Safa saat berbalik. Dia menatap Sandi yang terkekeh di sana.
"Itu..." Sandi menunjuk benda yang ada di kepala Safa. "Helm."
"Oh." Safa kikuk. Dia melepaskan helm yang ternyata tak pernah ia lepaskan sejak ia turun dari motor. "Nih, gue lupa," lanjut Safa sambil memberikan helm itu. Dia benar-benar malu. "Gue..." Safa jadi canggung. "Balik." Tangannya terarah ke belakang, lalu detik berikutnya dia berlari-lari kecil hingga tiba di rumahnya.
Dia tidak pernah lagi menengok ke belakang hingga tiba di kamarnya. Cepat-cepat, cewek itu berlari memasuki kamarnya dan membuka jendelanya lebar-lebar. Dia melihat Sandi yang melambaikan tangan ke arahnya.
Dan Safa membalasnya.
Cewek itu tersenyum tipis saat Sandi mulai menjalankan motornya, lalu ucapan selamat tinggal dari Sandi masih bisa Safa dengar.
Safa tersenyum mengingat hari ini.
"Safa?" Panggilan dari luar kamarnya membuat Safa segera menutup jendelanya. Dia melihat Mama masuk ke kamar. "Cokelat yang ada di dapur itu punya kamu? Ilham katanya mau makan cokelatnya."
"Hah!" Safa kaget. Dia teringat dengan cokelat pemberian Sandi waktu itu. "Kak Ilham udah makan? Itu punya Safa, Ma."
"Belum dia makan," jawab Mama cepat. Dia menarik anak bungsunya itu untuk keluar kamar. "Ilham, cokelatnya jangan di makan. Itu punya Safa."
"Siapa juga yang mau makan cokelat?" Terdengar teriakan dari dapur. Itu suara Ilham, Safa terkekeh mendengarnya.
Sekarang, Mama sudah mulai berubah. Dia sudah tidak sering teleponan dengan laki-laki yang bahkan Safa dan Ilham tidak tahu siapa dia. Sholat Mama juga sudah tidak bolong-bolong seperti di awal-awal Papa pergi tiba-tiba dari rumah. Tanpa pamit kepada istri dan anak-anaknya.
"Ma, kalau Safa simpan cokelat ini di kamar, bakalan dikerumunin semut nggak?" Safa mengambil cokelat yang entah sejak kapan berada di atas meja makan.
"Enggak. Asalkan bungkusannya belum dibuka," jawab Mama lalu dia duduk di kursi. Di sampingnya sudah ada Ilham yang sedang makan.
"Sejak kapan lo suka cokelat?"
Safa menatap Ilham yang sedang menatapnya dengan heran. Karena selama ini, Ilham tahu Safa tidak suka cokelat.
"Pengen beli aja."
Ilham menaikkan sebelah alisnya. "Jawaban lo nggak nyambung," balas Ilham. Dia mulai menatap Safa curiga. "Atau jangan-jangan—"
"Safa naik ke atas dulu." Safa segera berlari menuju kamarnya sebelum Ilham meneruskan perkataannya, walaupun Safa tidak yakin seratus persen bahwa kakaknya itu tidak akan mengatakan kecurigaannya kepada Mama.
Safa menyimpan cokelat itu di sebuah kotak yang juga berisi pesawat kertas berwarna hijau tosca.
μη
Bel tanda istirahat akhirnya berdering. Siswa-siswi yang tadinya lemah lesu akhirnya menjadi ceria dan semangat. Mereka sudah tak sabar menuju kantin untuk mengisi perut yang kosong akibat terkuras karena berpikir selama lebih dari tiga jam di dalam kelas sambil mendengarkan guru-guru menjelaskan materi. Walaupun yang masuk ke otak hanya segelintir.
"Tadi malam gue lihat Sandi baru pulang, abis dari mana yaa..."
Safa berdecih. Dia melihat lirikan mata Dias yang seolah-olah mengatakan bahwa semalam Sandi ke rumah Safa.
"Lo kenapa?" tanya Safa.
"Bener 'kan?" Dias bertanya juga. Senyum usilnya terpampang nyata.
"Lo udah berani jalan bareng sama Sandi ternyata." Nabila terkikik.
"Terserah Safa sih, tapi gue ingetin ya Sa, nggak baik jalan sama cowok. Apalagi lo sama dia cuma berdua. Entar yang ketiganya setan."
Nabila menatap Afni. "Yang ketiga itu bukannya setan, tapi Mira."
"Orang ketiga maksud lo?" tanya Afni bingung.
"Uda deh, ini ngapain pada bahas ginian sih?" Safa tidak mau membahas hal-hal yang berkaitan dengan dirinya lagi. Apalagi jika itu bersangkutan dengan Mira.
"Panjang umur," kata Dias. Safa memandang Dias bingung. Seolah mengerti, Dias menunjuk seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Safa melihat Mira berjalan di koridor dan berhenti di koridor kelas X.8. Entah dia membicarakan apa dengan salah seorang siswi di kelas itu.
"Safa!" Seseorang memanggil Safa. Safa melihat siswi yang bahkan baru kali ini menyapa Safa selama mereka bersekolah di SMA Angkasa. "Sini deh, ada yang gue pengen omongin."
Safa menghampiri cewek itu bersama Dias, Afni, dan Nabila. Sekarang di hadapan Safa adalah seorang siswi kelas X.7 dengan seragam serba ketat yang dipakainya. Rambut gelombang yang dia semir karena mendapat teguran dari BK, karena di pertengahan semester ganjil rambut cewek itu ia cat dengan warna cokelat. Lalu tinggi badan yang benar-benar ideal. Sebelas dua belas dengan Mira.
"Mau ngomongin apa?" tanya Safa heran melihat cewek yang ia tahu brnama Bella, ada juga dua teman Bella tetapi Safa lupa nama mereka.
"Denger-denger, lo balikan sama Sandi?" tanya Bella.
Safa menghela napas. Diliriknya Dias yang sedang berbincang-bincang dengan salah satu siswi kelas X.7. Safa lalu menatap Bella. "Iya."
"Cepet amat ya?"
Safa merasa, Bella tipe cewek gila urusan.
"Eh, Mira katanya mantan Sandi ya?"
Saf mulai kesal saat cewek di depannya itu bnar-benar banyak tanya. Safa mengangguk cepat. Lalu, saat dia ingin memanggil Dias, dia malah didahului oleh Bella yang memanggil orang lain. "Mira!"
Mira yang mendengar itu langsung melambaikan tangannya. Dengan riang, cewek itu berlari kecil menuju Bella. "Apa, Bel?" tanya Mira. Pandangannya beralih pada seseorang yang berdiri tepat di depan Bella. "Oh, hai, Sa?"
"Hai," balas Safa dengan canggung.
Mira kembali menatap Bella. "Eh, entar sore jangan lupa latihan, ya?" Mira mengingatkan kepada Bella untuk latihan marchind band sore nanti.
Safa menghela napas. Ditatapnya Dias, Nabila, dan Afni penuh kode, untuk segera pergi dari tempat itu dan kembali meneruskan perjalanannya menuju kantin.
"Safa, hari minggu lo jadi ke dufan 'kan sama Sandi?" Suara keras Nabila membuat Safa melotot padanya. Nabila melemparkan senyum penuh arti. Sedangkan Safa sudah tidak tahu harus mengatakan apalagi.
Sesaat, dia melihat raut Mira yang berubah drastis. Lalu Safa segera meninggalkan tempat itu tanpa pamit bersama dengan teman-temannya.
Benar saja, tanpa Safa tahu, Mira merasa sakit hati.
μη
Mira menghela napas kasar. Ditatapnya pantulan dirinya di cermin. Wajahnya basah karena baru saja ia membasuhnya. Dia menghela napas lagi. Dia mengambil tasnya dan keluar dari toilet itu.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi lebih dari sejam yang lalu. Mira belum berniat segera pulang. Dia berjalan menuju mading sekolah untuk sekadar melihat-lihat tema minggu ini yang diangkat oleh anggota Jurnalistik.
Dia menatap ke arah mading. Seorang siswi berdiri di depan mading, hanya sendiri. Di tangannya terdapat roti. Sedangkan matanya terfokus pada tulisan-tulisan yang tertera di mading.
Mira tahu siapa dia. Segera ia berjalan menghampiri cewek itu. Dia berdiri di sampingnya.
Dan siswi itu adalah Safa.
Safa menggigit sedikit roti yang ada di genggamannya saat melihat pantulan Mira di kaca mading.
"Lo belum pulang?" Mira bertanya. Dan itu membuat Safa merasakan kecanggungan.
"Belum. Gue ada tugas kelompok dan nanti sore gue ada bimbingan."
"Oh," balas Mira singkat. Ditatapnya Safa sesaat lalu Mira kembali menghadap ke depan. "Lo pernah nggak sih saki hati?"
Safa terdiam mendengar pertanyaan itu. Tetapi tak mau terlalu terbawa suasana, akhirnya dia mengangguk. "Semua orang pernah ngerasain sakit hati, bukan?"
"Ya." Mira lalu tertawa. "Dan semua orang berhak bahagia."
"Bener banget." Safa merespon baik.
Safa mendengar Mira tertawa pelan. Dia melihat Mira tersenyum tipis sambil memandang ke depan. Safa yakin, Mira sedang berpikir. "Orang yang berani jatuh cinta itu harus berani sakit hati. Bener nggak?" Mira menoleh untuk menatap Safa. "Karena yang namanya jatuh, pasti bakalan sakit. Dan gue udah ngerasain itu. Gue jatuh cinta, gue sakit hati, dan gue bener-bener nggak bisa lepas dari yang namanya cinta."
Safa merasa benar-benar canggung pada Mira. "Manusia memang udah ditakdirkan untuk mencintai." Safa baru tersadar bahwa Mira meluapkan isi hatinya tentang Sandi. Hal itu membuat Safa merasa aneh membahas tentang cinta bersama Mira.
Mira tak sengaja menoleh ke kiri, dipandangannya kini terlihat seseorang berjalan ke arahnya dan Safa. "Gue duluan," kata Mira lalu segera melangkah menjauh. Sebelum Sandi mendapatinya sedang berdiri bersama Safa.
Karena dia belum bisa melupakan cinta masa lalunya itu.
μη
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro