BAB 22
by sirhayani
part of zhkansas
__
"Di luar kenapa heboh?" Safa melihat keluar jendela. Beberapa guru berjalan tergesa keluar kelas. Bahkan Bu Irawati yang baru saja masuk ke dalam kelas X.1 kembali keluar dari kelas itu karena mendengar suara deru motor yang terdengar banyak di depan sekolah.
Benar saja, suara teriakan-teriakan dari luar disertai deru motor membuat siswa-siswi SMA Angkasa khawatir dengan apa yang akan terjadi. Beberapa siswa mulai berlari keluar dari area sekolah untuk melakukan aksi tawuran lagi.
"Astaga, anak Gerilya, Sa," kata Dias dengan panik. Safa ikut berlari ke keridor saat mendengar Dias berteriak dari sana.
"Jangan ada yang di luar. Masuk ke kelas semua," teriak Pak Rizal. Tetapi tidak ada yang menghiraukan. Aksi nekat yang dilakukan oleh siswa-siswa SMA Gerilya benar-benar mampu mengalihkan perhatian warga SMA Angkasa.
"SEKOLAH CURANG!" teriakan itu terdengar tepat di depan gerbang sekolah. Beberapa siswa SMA Gerilya menendang, memukul, bahkan mendorong-dorong gerbang SMA Angkasa. "MANA LO SEMUA?" Teriakan itu makin keras diiringi bunyi klakson motor beserta deru knalpot motor. Mereka semua melempar batu ke dalam area SMA Angkasa dan itu membuat guru-guru begitu waspada saat ingin menghentikan kericuhan.
Tetapi tidak dengan siswa-siswa yang sudah menjadi lawan tawuran SMA Gerilya seperti kejadian penyerangan SMA Angkasa waktu itu.
Dan yang membuat Leo marah adalah kericuhan lawan sekolahnya itu tidak separah ini. Lawannya itu melawan tidak dengan tangan kosong. "Sialan!" Leo berdecak kesal saat mendengar suara pecahan kaca yang berasal dari Laboratorium Biologi. "Mereka parah!" Leo segera berlari melompati pagar sekolah bagian depan. Diikuti teman-temannya yang lain. Hal itu tentunya membuat beberapa guru perempuan berteriak.
Di depan sekolah, beberapa siswa SMA Gerilya dihakimi habis-habisan. Bahkan tukang-tukang ojek yang selalu di depan sekolah itu ikut memukuli salah satu siswa Gerilya yang jatuh bersama motornya di jalan.
Safa melihat kericuhan demi kericuhan yang terus terjadi. Dia tiba-tiba memikirkan Sandi. Safa tahu, Sandi tak pernah absen jika keadaannya seperti ini.
"Sa, Sandi!" teriak Nabila yang berhasil membuat perhatian Safa yang tadinya tertuju pada gerbang sekolah, kini beralih menatap seorang siswa yang berlari di lapangan menuju pagar. Siswa itu bergerak cepat menaiki pagar depan sekolah dan melompatinya. Setelah itu, Sandi benar-benar ikut memukuli siswa-siswa musuh sekolahnya.
"Sandi ngapain sih ke sana?" tanya Safa panik. Sedikit kesal juga. Dia melihat beberapa motor polisi sudah terparkir tak jauh dari sekolah.
"Safa! Lo mau ke mana?" teriak Dias. Entah dari dorongan mana, Safa berlari. Dias dan yang lain kaget dengan reaksi Safa, sahabatnya itu menuju gerbang samping.
Gerbang samping tidak terkunci. Safa panik sendiri saat melihat rombongan bermotor berlalu lalang di jalan. Apalagi lemparan batu masih saja tertuju ke area sekolah.
"Sandi berhenti!" Ini hal paling bahaya selama Safa melakukan hal-hal nekat yang lainnya. Sekarang dia berada di trotoar dan menatap Sandi yang terus-terusan memukuli siswa SMA Gerilya.
"Cewek lu?"
Sandi menoleh menatap musuh bebuyutannya itu dengan sengit. "Bukan," jawab Sandi cepat. Dia mengarahkan tangannya siap meninju siswa itu lagi.
"Sandi gue bilang berhenti!"
Sandi berdecak kesal saat mendengar seruan dari Safa. Sialan! Dia segera berlari menuju Safa yang berdiri tak jauh darinya. "Lo ngapain sih di sini? Ini area berbahaya buat lo!" Sandi sudah tidak tahu lagi dia sedang berteriak sekarang. "Lo mendin—Argh. Sialan!" Sandi memegang kepalanya. Sebuah batu yang baru saja mendarat di kepala bagian belakang kepalanya membuat kepalanya terasa berdenyut. Dia menatap Safa dan dengan gerakan cepat, dia menarik pergelangn Safa untuk menjauh dari sana.
"San?" panggil Safa saat Sandi berhenti di belakang kelas. Cowok itu kembali memegang kepalanya yang terasa sakit. Safa melirik pergelangan tangannya. "Kepala lo berdarah."
Sandi berdecak. Dia meringis palan saat merasakan sakit di kepalanya. "Harusnya tadi lo nggak ke sana!" bentak Sandi. "Lo mau apa di sana? Mau ngehentiin gue? Semua juga tahu lo itu cewek, lo nggak ada apa-apanya dibanding mereka yang bisa aja nyelakain elo."
Safa menunduk dalam. Dia dibentak. Hal yang membuat hatinya terasa diremuk.
Sandi memejamkan mata. Dia melihat tangannya yang memerah karena darah. Lalu pandangannya beralih menatap Safa yang menunduk. Dia menghela napas pelan. "Sorry kalau gue ngebentak lo. Gue cuma takut lo kenapa-kenapa."
Safa hanya diam. Dia masih takut karena baru kali ini dia mendengar Sandi benar-benar marah.
"Lo balik ke kelas, sekarang!" seru Sandi. "Gue nggak mau tahu."
Dan Safa melihat Sandi meninggalkannya di sana.
μη
"Gue nggak tahu kenapa Sandi ngejauhin gue, As."
Dias menghela napas pelan. Kepalanya menggeleng-geleng. Sejak kejadian penyerangan yang dilakukan oleh siswa-siswa SMA Gerilya, Sandi tidak pernah ke sekolah. Padahal dia tidak tercatat sedang di skorsing. "Mungkin dia ada alasan kenapa dia kayak gitu." Dias mulai mengira-ngira. "Ah, tahu deh tuh anak." Dias melengos.
"Tapi, temen-temennya masih sering ke rumah Sandi. Kemarin gue ngelihat Radit ke rumahnya Sandi. Lo nggak mau gitu ke rumahnya?" tanya Afni. Pilihan yang bisa saja membuat Safa tidak terlalu memikirkan itu. "Daripada lo kepikiran terus, mending lo ke rumahnya deh. Bentar lagi lo kan lomba, entar kepala lo isinya Sandi mulu," kata Afni.
"Dah, lo udah pinter nasehatin anak orang ternyata." Nabila terkekeh pelan mendengar penuturan Afni. Pandangannya lalu beralih menatap Safa. "Emang Sandi nggak pernah hubungi elo?"
Safa menggeleng-geleng. "Enggak," jawab Safa pelan. Dia menghela napas panjang. "Sandi itu susah ditebak. Kayak namanya, penuh dengan rahasia." Dia lalu berdiri. Beberapa menit lagi waktu istirahat kedua habis, dia ingin membasuh wajahnya untuk menghilangkan kantuk.
"Lo mau ke mana?" tanya Nabila.
"Toilet," jawab Safa. Cewek itu menghela napas berat. Sudah tiga hari tak ada kabar dari Sandi langsung. Dia hanya mendengar keadaan Sandi lewat Dias. Yang Safa dengar dari Dias, kepala Sandi diperban.
Semua itu karena Safa. Safa menyesal, seandainya saat itu dia tidak nekat menghentikan Sandi, mungkin Sandi tidak akan seperti itu.
Perhatian Safa tertuju pada gerombolan siswi yang berdiri di koridor. Mereka sedang bergosip ria. Kebiasaan siswi-siswi jika sedang tidak ada kerjaan.
"Eh, Safa!"
Safa menoleh dan menatap salah seorang siswi di gerombolan itu. Siswi itu adalah salah satu teman segugus Safa saat MOS, tetapi Safa lupa namanya siapa.
"Denger-denger, lo putus ya sama Sandi?"
Alis Safa bertaut. Dia berbalik badan hingga berhadapan langsung dengan siswi itu. "Siapa yang bilang?"
"Gue denger dari anak kelas sepuluh sembilan. Itu gosip bener ya?"
Sepertinya, siswi itu benar-benar kepo dengan berita itu. Safa mengedikkan bahunya, benar-benar tidak tahu dengan hal itu. Dia berbalik dan meninggalkan siswi-siswi itu yang masih penasaran.
Siapa yang bilang Sandi dan dirinya putus? Safa bahkan tidak pernah membahas masalah itu dengan Sandi. Sepersekian detik Safa memandang dirinya di depan cermin. Dia lalu mendengus. Tangannya menerima air yang mengalir dari keran.
"Hai."
Safa mengusap wajahnya. Dia tampak kaget saat melihat Mira lewat cermin. "Oh, hai," balas Safa. Teringat dengan keberadaan kelas Mira, membuat Safa menoleh pada cewek itu. "Lo kelas sepuluh sembilan, 'kan?"
Mira terkekeh pelan. "Ya iyalah. Selama ini lo tahunya gue di mana emang?" tanya Mira sambil membuka jam tangannya.
Safa kikuk. Dia penasaran dengan gosip itu. Tetapi lucu juga, Safa yang pacaran dengan Sandi kenapa justru tidak tahu hubungannya sendiri. Tetapi sejauh ini, Safa benar-benar belum putus dengan Sandi. "Katanya, ada kabar gue putus sama Sandi?"
Gerakan Mira yang tadinya sedang mengikat rambut dengan cepat menjadi berhenti. Dia menurunkan tangannya. Kepalanya bergerak ke kiri dan kanan untuk mengecek ikatan rambutnya, sejujurnya dia pura-pura menanggapi pertanyaan itu dengan santai. "Iya, itu yang gue denger."
Lalu, senyum Safa hilang. Tetapi beberapa detik setelahnya, dia berpikiran untuk mengkonfirmasi kebenaran itu. "Gosipnya salah, gue belum putus tuh sama Sandi."
Mira mendengus. Dia benci berada di samping Safa. "Tapi, Sandi sendiri yang bilang kalau lo berdua udah putus," jawab Mira. Air muka Safa berubah drastis. Mira menatapnya dengan santai. "Lo nggak tahu sih Sandi itu gimana, dia itu nggak pernah bilang putus." Safa merasa mendengar Mira berkata penuh penekanan. "Karena menjauhnya dia dari orang adalah tanda kalau dia udah nggak suka lagi sama orang itu."
Safa terdiam kaku. Dia tidak melihat lagi Mira yang sudah keluar dari toilet dan tidak mendengar lagi perkataan setelah perkataan yang begitu menyakitkan itu.
Safa memandang pantulan dirinya di cermin. "Jadi..." Safa menggantungkan kalimatnya. Tenggorokannya terasa tercekat saat ingin mengeluarkan kata-kata. "Ini cara lo mutusin gue, San?"
μη
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro