BAB 2
by sirhayani
part of zhkansas
__
Biologi.
Sandi sudah pasrah dengan pelajaran itu. Entah kenapa dia selalu remedial sejak semester 1 jika Bu Husni membagikan nilai hasil ulangan di kelas. Dan sebentar lagi, Sandi akan mendengar siapa saja yang lolos di remedial yang sudah berlangsung berapa kali itu. Bu Husni tidak akan berhenti jika belum ada yang mencapai atau melewati standar nilai 75.
Oh, Sandi lupa. Hari ini hari selasa. Setahunya, hari selasa itu adalah pelajaran Sains full ditambah pelajaran olahraga. Oke. Biologi, Penjaskes, Fisika, Matematika, dan Kimia.
Tuhan. Kenapa posisi Matematika jatuh pada jam dua belas lewat?
"Pulpen gue mana?" Pertanyaan Sandi tiba-tiba keluar saat melihat pulpennya raib di atas meja. Padahal dia baru membelinya tadi pagi dan sama sekali belum memakainya. "Ada yang nyuri lagi nih." Entah sejak kapan, insiden pulpen yang hilang sudah mendarah daging pada diri Sandi, lebih tepatnya semua yang menyimpan pulpen di sembarangan tempat.
Mata Sandi melirik Darwin di sampingnya. Darwin pura-pura membaca buku. Ah, sudahlah. Untuk sekarang, Sandi pasrah-pasrah saja. Bagus kalau pulpennya hilang, dia ada alasan untuk tidak mencatat pelajaran Sejarah besok. Besok! Alasannya mungkin sudah kadaluwarsa.
Bu Husni masuk ke dalam kelas. Ketua kelas, Eky, mulai menertibkan anggotanya dan memberi salam kepada Bu Husni. Beberapa tampang siswa-siswi yang remedial mulai was-was, kecuali Sandi yang kelihatan santai.
"Sudah siap dengan hasilnya? Hanya beberapa yang lolos, yang lain masih remedial. Kalian mau disebutkan nilainya saja? Atau tidak?"
"Sebut, Bu."
"Enggak, Bu. Jangan dong!"
"Sebut."
"Enggak!"
"Sebutin, aja."
"Jangan dong! Mentang-mentang lo nggak remedial."
"Ck, ck, ck." Bu Husni menggelengkan kepalanya. Dia memilih untuk menyebutkan yang masih remedial. Semuanya sudah disebut. Di pojokan, Darwin berteriak heboh karena sahabatnya sudah tidak masuk ke dalam daftar remedial Biologi.
Bu Husni lalu menatap Sandi. "Sandi?" panggilnya. Raut kecewa Bu Husni terlihat jelas. "Kamu ini bagaimana? Kamu dapat nol." Beberapa siswa di kelas itu menahan tawa.
"Bu guru sih, saya 'kan udah bilang dulu, soalnya jangan pilihan ganda dong, Bu guru. Karena yang nggak belajar itu cuman dapat dua kemungkinan nilai, tinggi banget atau rendah banget. Nah, saya 'kan dapat yang rendah banget."
"Jadi kamu nggak belajar? Salah siapa?"
Sandi nyengir. Sedangkan Darwin menggeleng dramatis. "Sorry, sob. Gue pikir elo lolos dari hantu reme kali ini."
Sandi balik menatap Darwin sedramatis mungkin. Dia memegang bahu Darwin sambil menunduk. "Iya, gue bakalan berusaha kok untuk bisa melewati nilai tujuh lima. Sampai titik darah penghabisan." Sandi mengerjap. "Kok gue alay?"
"SANDI!" Bu Husni berteriak. "Kamu tadi saya ajak ngomong, 'kan? Kenapa kamu malah ngobrol dengan Darwan di belakang?"
"Maap, Bu guru. Tadi, Darwin yang ngajakin ngobrol duluan."
Bu Husni memegang pelipisnya. Pusing.
"Bu guru kalau masih sakit kenapa ke sekolah? Lebih baik tidur di rumah. 'kan ngadem ngayem gitu di rumah. Nonton serial drama atau sinetron. Wuih, ngilangin setres tuh, Bu guru."
"Setres? Kamu! Berdiri di depan!"
"Ah, kena lagi." Sandi berdiri dengan malas. Dia berjalan dengan lunglai dan berdiri di depan kelas, menghadap teman-temannya yang menahan tawa. Sandi mendengus. "Ini bukan acara tahan tawa."
"Sudah berapa kingdom yang kamu tahu?" tanya Bu Husni, mengingat tugas hafalan Sandi.
"Baru satu, Bu guru." Sandi menjawab pelan. Bu Husni mengangguk-angguk. Baguslah, daripada anak itu tidak tahu sama sekali.
"Coba sebutkan."
"King Kong," jawab Sandi dengan muka polos. Semua di dalam kelas itu tertawa, kecuali Bu Husni yang kemarahannya sudah di ubun-ubun.
"Kamu berdiri di sana. Jangan halangi papan tulis. Taruh buku di atas kepalamu, angkat kaki kirimu, pegang dua telingamu. Sampai pelajaran saya selesai," kata Bu Husni dengan nada datar.
Sandi melirik Bu Husni. Untung Bu Husni baik, tidak suka marah-marah jika menghukum siswanya, tidak seperti Pak Anto, guru Matematika yang suka marah-marah kalau ada kesalahan sedikit saja. Karena itu juga, Sandi kadang-kadang menyuruh Dodot untuk menaruh permen karet bekas kunyahannya di kursi guru saat pembelajaran Matematika akan dimulai. Dodot itu si gendut hitam yang suka makan permen karet dalam kelas.
"Assalamu'alaikum, Bu." Seseorang berdiri di ambang pintu. Safa. Dalam hati Sandi bersyukur, dia belum melakukan perintah Bu Husni. Dia masih berdiri sopan di depan kelas, dan tersenyum sumringah menatap Safa yang melewatinya.
"Wa'alaikumsalam, masuk. Taruh di sini." Bu Husni menunjuk mejanya, lalu merapikan kertas-kertas ulangan kelas X.1 yang dibawa Safa. "Makasih ya?"
"Iya, Bu. Sama-sama. Saya permisi, Bu."
"Iya."
Safa segera keluar dan melewati Sandi yang melemparkan senyumnya.
"Lihat, dia itu salah satu siswi yang pintar. Kamu contohi dia, dong. Dia itu masih kelas sepuluh, baru beberapa bulan di sini dan sudah terkenal dengan kepintarannya. Tapi, dia tidak sombong."
Sandi melirik Bu Husni. Sekelebat ide muncul tiba-tiba di pikirannya. "Dia 'kan pinter biologi nih, Bu guru. Suruh dia aja ngajarin saya, gimana?"
"Yang ada kamu yang ngajarin dia nantinya. Sudah. Cukup saya yang ngurus kelakuan kamu."
Sandi tersenyum kecut. "Kan kesempatan," katanya dalam hati.
μη
"Udah belom?" teriak Sandi di luar kelas. Sudah seperti teriakan permainan petak umpet.
Eky juga teriak-teriak, "Anak cowok juga pengen ganti baju!"
"Bentar...," jawab salah satu cewek di dalam kelas. Eky masih setia bersandar di pintu, tangannya memegang kenop pintu karena ingin cepat-cepat masuk ke dalam kelas.
Memang di SMA Angkasa, ruang ganti baju belum ada. Yang susah itu cewek-cewek, mereka ganti baju kalau bukan di toilet pasti di dalam kelas. Sandi pernah berpikir seandainya dia dan yang lain bisa demo, mereka ingin menuntut pihak sekolah untuk membangun gedung ruang ganti. Ya, gedung. Karena cewek-cewek di SMA Angkasa lebih banyak daripada cowok-cowok. Sedangkan dalam sehari saja tidak hanya satu kelas yang olahraga.
"Aduduh." Eky terdorong. Tangannya lecet gara-gara dorongan pintu dari dalam kelas. "Siapa sih yang dorong? Sadis banget."
"Lo jangan banyak omong. Pak Rizal ngehukum kita lagi kalau lambat." Yudi menarik Eky masuk ke dalam kelas. Di kelas itu hanya ada sepuluh cowok. Bahkan di kelas lain ada yang lima.
Kalau cowok yang ganti baju, mereka tidak ribet. Cukup memakai boxer dan kaos oblong, baju olahraga sudah siap masuk ke dalam badan mereka.
Siswi kelas X.9 pernah heboh, gara-gara Sandi yang hanya memakai boxer dan kaos kaki di dalam kelas saat istirahat setelah pelajaran olahraga. Alasannya, panas dan gerah. Tapi, itu tidak berlangsung lama karena Pak Anto lewat di depan kelas dan menghukum Sandi habis-habisan.
Itu adalah insiden paling keterlaluan yang dibuat Sandi.
"Kumpul woi, kumpul!" teriak Eky. Di depannya, Pak Rizal duduk di tempat Kepala Sekolah biasanya memberikan amanat pada upacara bendera.
"Semua bawa raket?" tanya Pak Rizal. Hari itu adalah olahraga bulutangkis dan untungnya semua membawa raket. Kalau tidak, pasti hukuman lagi.
"Ya sudah, kalian pemanasan dulu. Lari dan senam. Baru main, cari pasangan masing-masing. Nanti saya kasih tahu tekniknya yang benar."
"Iya, Pak guru," teriak Sandi. Paling semangat. Dia baru tahu ternyata kelas X.1 juga olahraga di jam itu.
Siswa-siwi kelas X.9 mulai lari di lapangan sebanyak dua kali putaran, lalu senam. Setelah menuruti dua perintah Pak Rizal, mereka mulai mencari-cari pasangan. Dan yang tidak mendapati pasangan akan mendapatkan teriakan, "Cie, jomblo!" atau "Cie, pasti nanti pasangannya pak Rizal. Cimiwi, suit, suit..."
Tidak seperti yang lain. Sandi justru bergabung dengan kelas X.1, dia berdiri di hadapan Safa. "Hai, main yuk?"
"Mana bisa? Kita 'kan beda kelas," Safa melirik Pak Jodi—guru olahraganya— dengan takut, "nanti kita kena marah juga."
Alis Sandi terangkat. "Masa sih?" tanya Sandi bingung.
"WOI! SANDI LO NGAPAIN DI SITU? LO KELAS X.9, BUKAN KELAS X.1."
Sandi menggeram kesal. Darwin memang selalu mengganggu. "Ya udah. Gue balik ya. Bye?"
"Bye," jawab Safa. Cewek itu tersenyum kaku.
Nabila menyenggol bahunya. "Cie, cie, cie. Di deketin sama Sandi."
"Apaan sih, Bil?"
Afni dan Dias datang, di tangan mereka berdua sudah ada raket. "Kita nggak setuju lo deket-deket sama dia," kata Dias.
"Yap, bener banget." Afni membenarkan.
Safa memutar bola matanya. "Apaan sih? Lagian siapa juga yang deket-deket sama Sandi."
"Tapi, gue setuju-setuju aja kok. Nggak ada yang salah 'kan ya Safa? Biasanya tuh ya, cowok-cowok kayak Sandi itu nggak berani nyakitin hatinya cewek. Kakak gue si Caca, dia pernah cerita tentang cowok-cowok Teknik. Nah, cowok-cowok Teknik itu 'kan biasanya suka demo yah? Penampilannnya urakan, bekas-bekas cowok tukang tawuran waktu SMA. Kak Caca bilang, mereka itu ngelindungin cewek banget. Waktu ada tawuran antar fakultas, cowok-cowok pada ngelarang temen ceweknya keluar dari fakultas. Terus kalau ada yang keluar, cowok-cowok bakalan marah besar. Pokoknya so sweet banget. Aaa, pengen diperhatiin."
Afni terbahak. "Ini nih, kalau cewek yang nggak laku-laku. Pengennya diperhatiin. Tapi nggak ada yang perhatian sama dia."
Nabila mendelik tajam. "Enak aja, kayak elo juga. Lagian ya, syukur alhamdulillah nggak ada yang ngelirik gue. Dosa gue nggak banyak-banyak amat."
Dias menyipitkan matanya. "Safa, kalau Sandi terus deketin elo?" tanya Dias tiba-tiba.
Safa terdiam. Ia lalu menatap Dias. "Gue nggak mau mikir yang nggak atau belum terjadi. Semoga itu nggak bakalan terjadi. Lagian gue nggak mau pacaran."
"Hati-hati, lho. Entar kemakan omongan sendiri," sindir Dias.
"Tapi, elo nggak suka 'kan sama dia?" tanya Nabila.
Safa terdiam mendengar pertanyaan Nabila. Safa masih ingat pertemuan pertama mereka di belakang sekolah.
"Gue denger-denger, Sandi anak olimpiade Fisika? Beneran?" Nabila penasaran setelah mengingat kejadian beberapa minggu lalu, di mana Sandi dan beberapa seangkatannya dan seniornya ikut dipanggil oleh Pak Beni. Setelah melihat siapa saja senior-senior yang ikut, Nabila melihat senior-senior itu adalah anak didik Pak Beni dalam olimpiade Fisika. "Idih, hihi. Badboy berprestasi. Jadi, pengen nyium. Aduh..." Nabila kena tabok dari Afni.
"Katanya, sih. Ah, gue nggak percaya," kata Dias.
"Itu yang pada gosip? KUMPUL!" Teriakan Pak Jodi membuat keempat cewek itu panik. Mereka berlari untuk berbaris di barisan. Dan Safa, pertanyaan Dias masih terngiang di benaknya. Ia menoleh, ke tempat berkumpulnya kelas X.9. Matanya dan mata Sandi saling bertemu. Safa seperti terperangkap, seolah-olah mata cowok itu melemparkan anak panah tepat ke manik matanya dan mengurungnya. Safa meggeleng-geleng.
Kenapa pertemuan mereka tercatat dalam takdir?
μη
Safa menatap tanpa nafsu mie ayam yang kini tergeletak di atas piring yang ada di meja kantin. Pikirannya melayang-layang pada kejadian di hari-hari yang lalu. Hari-hari sebelumnya, Safa tidak se-baper ini. Tetapi, setelah Sandi terus mendekat dan mendekat, dunianya seolah berubah.
Tapi, kenapa Safa harus geer? Kenapa juga Dias dan Afni adalah keluarga Sandi?
"Lo diem aja? Gue makan mie lo?" tanya Dias, pura-pura mengangkat sendoknya lalu mengarahkannya ke atas mangkuk mie ayam Safa.
"Makan aja. Daripada mubasir."
Jawaban Safa membuat mata Dias membelalak. Dia tersenyum senang. "Serius?"
Safa menangguk. Dia benar-benar tidak nafsu makan. Sedangkan Nabila dan Afni hanya bisa menggeleng-geleng melihat Dias yang semakin hari semakin rakus.
"Af?" panggil Dias. Mulutnya masih mengunyah.
"Apaan?" Afni menjawab. Dia berdecak saat melihat sepupu dua kalinya itu. "Kalau makan pelan-pelan dong!"
"Gue mau jodohin adek gue sama adek elo."
Afni berhenti mengunyah. Pipinya terlihat tembem, makanan itu masih ada di mulutnya. Afni menatap Dias dengan pandangan horor. "Lo gila, ya? Abisar dan Airin maksud lo?"
Dias tertawa. "Ya iyalah siapa lagi?"
Afni memutar bola matanya heran melihat Dias yang makin aneh. Dia menelan makanannya dengan dua kali teguk. "Gue bukan emaknya. Sorry. Lagian kenapa sih lo ada rencana gitu? Mereka masih kecil, masih bocah ingusan, Abi masih kelas satu SD dan Airin masih TK. Lo ada-ada aja."
Dias terkikik. "Gue gemes lihat Airin. Kayaknya cocok deh sama Abisar yang cuek."
Safa, Afni, dan Nabila geleng-geleng kepala. Dias korban novel. "Amit-amit kalau Abisar terkontaminasi sama otaknya Sandi. Gue nggak mau Airin deket-deket sama Abi."
"Tuh, 'kan! Sandi selalu aja jadi penghalang." Dias berdecak. Dua mangkuk mie ayam sudah raib di depannya. "Kenyang banget gue."
Aduh sahabatnya itu, Safa terkekeh. Persahabatan memang garing kalau tidak ada yang berbeda sikap dan sifat. Disitulah cobaannya.
Mata Safa tak sengaja menangkap siluet itu. Dia. Safa memalingkan muka saat melihat Sandi berjalan ke arahnya.
"Hai?" sapa Sandi kepada semuanya. Dia datang bersama empat rombongannya. "Ya, kalian semua udah selesai? Tambah lagi, dong!"
"Enak aja!" kata Dias sinis. "Kita semua udah kenyang. Dan kita semua mau balik ke kelas."
Sandi melemparkan senyum mengejek. "Darwin...," kata Sandi pelan dan berhasil membuat muka Dias panik. Dias melirik Darwin yang memandangnya tanpa berkedip. Kebiasaan.
"Lo jauh-jauh dong!" Dias mengayunkan tangannya, mengusir Darwin yang saat ini duduk manis sambil menatapnya. Dias menatap Safa, Afni, dan Nabila dengan muka panik. "Ayo, kita ke kelas!"
Sandi terus memerhatikan Safa. Matanya menyipit, lalu dia berdiri. "Safa, tunggu." Safa berhenti, dia tidak berani menatap Sandi. "Jepitan rambut lo hampir jatoh." Sandi mengambil jepitan rambut Safa dan memberikannya kepada Safa. "Nih, pegang aja. Nanti hilang lagi."
Safa tersenyum gugup. Kenapa dia mendengar suara Sandi melembut? "Thanks."
Dias hanya bisa melengos melihat Sandi yang sok jadi pahlawan, begitupun dengan Afni. Mereka langsung menarik Safa untuk cepat-cepat menghilang dari kantin.
"Aaaa, sooo swiiit," kata Yudi.
Matanya mengerjap-ngerjap bak cewek genit. "Pengen dong diperhatiin."
Sandi berdecak. Sebentar lagi, satu per satu kawannya akan mulai genit seperti Yudi.
"So swit, so swit, so swit."
"Romantis banget, bang. Pengen juga doms."
"Aku meriang, aku meriang."
Sandi hanya bisa mendengus, tetapi ujung-ujungnya cowok itu tertawa juga melihat kehebohan teman-temannya.
μη
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro