Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 19

by sirhayani

part of zhkansas

__

"Kok lo bawa gue ke rumah lo sih?" tanya Safa heran. Sandi hanya tersenyum tipis. "San, kalau keadaannya kayak gini, gue butuh rumah gue."

Sandi seolah tak menghiraukannya. Cowok itu membuka pintu mobilnya lalu berjalan menuju pintu mobil lain. "Ayo, masuk! Nyokap gue nyariin lo lagi."

"Nyariin gue?" tanya Safa sambil menunjuk dirinya sendiri. Safa segera turun dari mobil. Ia mempererat jaket Sandi yang terikat di pinggangnya lalu berjalan mengikuti Sandi.

"Mama!" panggil Sandi dengan suara keras. Bahkan dia tidak mengucapkan salam setibanya dia di rumah. "Minjem rok Mama lagi, dong!"

Mama keluar dari kamar. "Kamu mau pakai rok?" tanya Mama heran.

"Dih, enggak lah, Ma." Sandi mengelak. Sedang dibayangan Safa sekarang adalah Sandi yang sedang memakai rok. Cewek itu tidak tahan untuk tidak tertawa. "Itu Safa. Roknya kotor."

Mama menatap Safa sambil tersenyum."Oh, sini, Nak!" seru Mama.

"Iya, Tante." Safa menunduk sopan. Ia mengikuti langkah Mama menuju kamar.

Setelah Safa mengganti roknya, Mama mengajak Safa menuju dapur. Bagi Mama Sandi, duet memasak dengan gadis remaja membuatnya seperti kembali ke masa muda.

"Kamu suka masak makanan berat nggak?"

Safa menggeleng malu-malu. "Enggak bisa, Tante. Saya biasanya bikin kue, nggak pernah berurusan sama bumbu dapur kayak bawang-bawang gitu."

"Makanan kesukaan kamu apa?"

"Nasi goreng, mie goreng, pokoknya yang digoreng-goreng," jawab Safa lalu tertawa.

"Ya udah, kita bikin nasi goreng aja, ya?"

"Ma, ini 'kan udah sore, masa mau bikin nasi goreng?" tanya Sandi yang muncul di ambang pintu dapur. Baju basketnya sudah berganti dengan baju kaos, tetapi dia masih memakai celana basket.

"Kamu itu, ganti baju dulu. Mandi sana!" seru Mama. Tangannya sibuk mengambil bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Mama lalu menatap Safa. "Nggak usah pakai bumbu nasi goreng, ya? Kita pakai bumbu dapur gimana?"

"Boleh," jawab Safa dengan riang.

Sandi tersenyum senang saat melihat dua perempuan yang sedang berkutat di dapur. Dua perempuan yang sama-sama mengisi hatinya. "Aku bantuin," kata Sandi. Dia melangkah menuju Safa yang tengah mengiris bawang. Keningnya berkerut saat melihat Safa mengedip-ngedipkan matanya. "Lo kenapa?"

Safa menaruh pisau yang dipegangnya. Dia mengerjapkan mata karena perihnya bawang merah yang baru saja dia iris.

"Jangan dipegang!" seru Sandi saat melihat Safa mengarahkan tangannya pada kelopak mata. "Nanti tambah pedes." Sandi lalu terkekeh, dia memegang ujung mata Safa yang air matanya keluar. "Kentara banget lo nggak biasa masak makanan."

"Aduduh, perih, ati-ati dong!" Safa menjauhkan tangan Sandi dari ujung matanya.

Sedangkan Mama yang baru sadar apa yang sedang terjadi, dia menatap Sandi sambil berdecak. "Sandi! Jangan modusin anak orang, Nak!" Suara Mama pelan, namun penuh peringatan.

Sandi mendengus. "Mama nggak bisa bedain mana nolongin orang, mana modusin orang."

"Sudah! Dari tadi Mama suruh kamu mandi, kamu nggak mandi-mandi. Kayak anak kecil aja disuruh Mama baru mau."

"Iya deh, Ma." Sandi tersenyum-senyum sambil menatap Safa. "Udah nggak pedih lagi 'kan?"

Safa menggeleng-geleng. "Udah mendingan," jawab Safa.

Sandi lalu pergi dari dapur itu. Tinggal Mama dan Safa yang sibuk berkutat di dapur. Mama menatap Safa. "Kamu kenal Mira, Nak?"

Safa terdiam. Pertanyaan dari Mama membuat Safa heran. "Kenal, dia anak baru di sekolah, Tante."

"Dia juga sering ke sini, lho, waktu masih SMP." Mama menuangkan minyak di wajan. "Sering masak juga, tapi bedanya sama kamu, dia itu nggak bisa bikin kue. Kamu bisa."

Tangan Safa yang terarah pada bawang putih kini tergantung di udara. Walau hanya sesaat, tetapi itu membuktikan dia merasa... cemburu? Safa menghela napas. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya dan mengobrol dengan Mama dengan pembahasan lain.

μη

"SANDI BERHENTI NGGAK!"

Teriakan Dias menggema di koridor. Dia baru saja keluar dari kelasnya untuk melihat kehebihan yang terjadi. Beberapa siswi yang takut dengan keberadaan petasan membuat mereka lari terbirit-birit sambil berteriak dengan suara khas mereka yang cempreng.

Sandi dkk bikin ulah lagi. Mereka dengan usil menyalakan petasan dari kelas X.9 sampai kelas X.1. Entah dari mana mereka mendapatkan petasan itu, yang jelasnya bulan Ramadan sudah lewat beberapa bulan yang lalu.

Sekarang, mereka beraksi di koridor kelas X.2. Darwin menyalakan petasan yang biasanya disebut petasan batu, ia menggelindingkan petasan itu ke dalam kelas X.2 hingga terdengar bunyi keras yang mengagetkan semua siswi yang ada di kelas itu.

"Berhenti nggak! Kalau ada yang serangan jantung entar lo semua baru nyesel," kata salah seorang siswi kelas X.2. Dia nyaris menangis sambil memegang dadanya yang berdetak kencang, gara-gara kaget mendengar suara dari petasan.

"Masih ada banyak petasan nih. Petasan disko-disko mau? Biar kita semua ajeb-ajeb di kelas," kata Sandi sambil nyengir.

Cewek itu memasang tampang kesal. "Gue aduin lo ke Safa. Diputusin baru tahu rasa lo!"

Sambil memasang tampang polos. "Iya deh, sekarang gue khilaf. Jangan diaduin ya? Entar gue diputusin beneran, lho."

Tetapi tidak sampai di situ, dengan penuh keisengan, Yayat mengambil satu petasan lagi dengan jenis petasan korek dari saku bajunya. Dia menyalakan petasan itu dan mulai beraksi. Terdengar bunyi ledakan keras yang bisa membuat jantung copot.

"Berhenti! Gue bilang berhenti!" Salah satu siswi di kelas X.2 sudah menangis. Siswi itu menelungkupkan kepalanya di atas meja.

April menyenggol bahu Yayat. "Lo sih, Yat," katanya. "Tanggung jawab lo ih, nangis tuh anak orang."

"Yah, gue 'kan cuma iseng! Enggak ah. Nanti cewek gue cemburu. Dia 'kan cemburuan."

"WOI! DIA ITU JANTUNGAN TAUK!" teriak salah satu siswi yang menenangkan cewek yang sedang menangis itu.

"Iya deh, iya." Yayat mendengus pelan. "Kalau cewek ditenangin biasanya mau apa ya?" tanya Yayat. "Oh, beliin apa yang dia suka aja. Tapi, entar dia minta yang makanan yang banyak lagi. Secara, dari postur badannya udah ketebak tuh."

"MAKSUD LO APA NGATAIN GUE KAYAK GITU?" teriak siswi itu yang berhasil membuat Yayat tersentak. Yayat menggaruk tengkuknya sambil terkekeh pelan.

Walaupun belum ada guru yang mendatangi kehebohan itu, tetapi Sandi yakin nanti mereka—paling tidak Bu Ros—yang akan datang menjewer telinga mereka atau membawa mereka ke ruang BK.

Sebentar lagi bel tanda istirahat telah usai, Sandi meninggalkan teman-temannya yang berupaya menghabiskan petasan yang mereka bawa ke sekolah. Dia berjalan menuju kelas X.1, siapa lagi yang ingin dia hampiri kalau bukan Safa.

Cowok itu duduk di bangku Dias, di samping Safa. Pemilik bangku yang dia duduki sibuk meneriaki teman-temannya untuk berhenti buat ulah.

"Kenapa lo murung gitu?"

Pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulut Sandi, membuat Safa kembali ke alam bawah sadarnya. "Nggak kok," jawab Safa dengan suara pelan.

Jujur, Safa masih memikirkan perkataan Mira kemarin sore. Perkataan itu berdampak pada dirinya. Ditambah lagi dengan perkataan Mama Sandi yang membuatnya cemburu.

Cemburu tanda sayang.

Kalimat itu tiba-tiba hinggap di benaknya. Cewek itu tersenyum malu-malu.

"Kenapa senyum-senyum gitu?"

"Eh—" Safa mengerjap. Dia menatap Sandi di sampingnya. "Enggak, kok."

"Ya udah, kita ke kantin yuk!" ajak Sandi.

Safa memandang Sandi dengan heran. "Tapi 'kan, nggak lama lagi bel."

"Bolos sekali-kali nggak apa 'kan?" Sandi menaikkan sebelah alisnya.

"Tapi..." Safa menggantungkan kalimatnya. "Enggak, ah. Nggak mau."

Tanpa Safa duga, Sandi menepuk kepalanya dua kali. Membuat Safa mematung. "Pinter, jadi cewek yang baik kayak gini nih, nggak mudah terpengaruh sama hal-hal yang negatif." Sandi tersenyum tipis. "Gue balik ya?" tanya Sandi, meminta persetujuan dari Safa.

Safa mengangguk pelan. "Iya" jawabnya.

Setelah Sandi pergi, Safa mulai berpikir, tadi Sandi sedang mengujinya?

Tak urung, karena hal itu, kembali membuat Safa tersenyum.

μη 


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro