Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 18

by sirhayani

part of zhkansas

__

"Thanks buat hari ini. Walaupun lo cepet pengen pulang sih, ya nggak apalah," kata Sandi saat Safa membuka steatbel. "Tapi lain kali, lo mau gue ajak 'kan?"

Safa hanya mengangguk sebagai balasan dari pertanyaan Sandi.

"Besok sore, ada pertandingan bola basket. Gue jemput lo di rumah lo."

Safa baru saja ingin membuka pintu mobil, tetapi ia urungkan untuk menatap Sandi. "Tandingnya di mana?"

"Di sekolah doang. Pertandingan sahabat antar sekolah. Gue harap sih lo mau nonton. Setahu gue, lo males kalau ada di tempat ramai. Ajakin temen-temen lo gih, supaya lo nggak sendiri."

Safa menggigit pipi bagian dalamnya. "Iya, gue usahain," balas Safa. Dia kemudian menatap Sandi. "Ya udah, gue masuk dulu."

"Oke." Sandi terus memerhatikan Safa hingga Safa masuk ke dalam rumah.

Ponselnya yang terletak di dashboard berdering. Dia mengambil ponselnya dan melihat nama Mira tertera di layar. Sandi menggeser layar hijau dengan cepat. "Hallo?"

"San, lo besok ikutan lomba 'kan?"

"Iya, emang kenapa?" tanya Sandi sambil menjalankan mesin mobil.

"Enggak. Gue pengen nonton aja. Kangen gue ngelihat lo nge-shoot kayak waktu SMP," kata Mira dengan semangat. Dia tidak sabar menunggu hari esok.

"Oh," balas Sandi singkat.

Di seberang sana, Mira yang tadinya tersenyum senang kini menjadi murung. Cewek itu meneguk ludahnya, lalu kembali bersuara setelah ia merasa Sandi belum juga menjawab. "Ya udah. Gue cuma pengen bilang itu."

"Oh, ya udah, gue matiin ya?"

"Iya."

Lalu, sambungan itu diputuskan oleh Sandi. Mira hanya bisa menatap lantai kamarnya dengan nanar. Perlahan dia membaringkan tubuhnya di atas kasur dan menatap langit-langit kamar. "Lo udah beneran nggak punya rasa sama gue, San," katanya dengan suara pelan sambil memejamkan matanya.

μη

Safa mendekatkan ponselnyadi telinga. "Halo, Nab? Jadi ke sekolah nggak?" tanya Safa pada Nabila lewat telepon. Tetapi, jawaban dari Nabila di seberang sana membuat Safa melengos. "Ya udah deh. Bye..."

Safa memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ketiga temannya tidak ada satu pun yang bisa datang. Saat ini dia berada tak jauh dari lapangan. Dia menonton anak-anak basket sedang bertanding di lapangan. Dia sekarang hanya sendiri, sedikit menjauh dari sekumpulan siswi SMA Angkasa yang berpakaian biasa. Sama dengannya yang hanya memakai kemeja biru dan rok putih semata kaki.

Dia memerhatikan Sandi yang sedang bertanding di lapangan. Cowok itu menjadi shooting guard. Dan pandangannya beralih menatap Gilang, cowok itu sendiri berada di posisi point guard.

"Aduh." Safa meringis. Perutnya tiba-tiba keram. Beberapa detik ia berusaha menahan sakit itu dengan mnekan perutnya, tetapi tetap saja. Bibirnya terlihat pucat sekarang. Pikiran Safa berkelana pada penyebab kenapa perutnya bisa sesakit ini.

Mata Safa mengerjap saat sadar ini adalah akhir bulan. "Aduh, nggak tepat banget sih situasinya," kata Safa pelan. Safa meringis lagi. Ia rasa, rok bagian belakangnya sudah basah. Safa meneguk ludah saat sadar dia memakai rok berwarna putih. "Mampus!" Safa menepuk jidatnya pelan. Ia menunduk dalam-dalam. Jika dia berdiri, ini bisa saja menjadi pengalaman yang paling memalukan dalam hidupnya.

PRIT...

Bunyi sumpritan terdengar, tanda babak pertama dalam berlombaan berakhir. Sandi berjalan menuju pinggir lapangan untuk membasahi tenggorokannya yang kering dengan air mineral.

Sandi beralih menatap Safa. Sandi heran melihat Safa yang sepertinya kesakitan di tempatnya. "Pak?" panggil Sandi pada Pak Jodi. Kedua lengannya ia angkat hingga berbentuk silang. "Saya diganti dulu, Pak."

Tanpa menunggu persetujuan Pak Jodi, Sandi berlari kecil menuju Safa. Cewek itu menunduk sambil meringis. "Lo sakit?" tanya Sandi prihatin. Safa tidak menjawab, dia masih menunduk dan memegang perutnya yang terasa kram.

"Safa! Kalau lo diem terus, gue mana tahu lo kenapa. Perut lo sakit?" Sandi mendekat. Dia duduk di samping Safa.

"Gue..." Safa menggigit bibir bawahnya. "Perut gue sakit."

"Gue anterin pulang, ya? Ayo!" Sandi memegang lengan Safa, bersiap untuk menarik cewek itu.

"Jangan!" seru Safa dengan cepat. "Jangan tarik gue. Gue nggak mungkin berdiri dalam keadaan kayak gini."

Sandi mengangkat kedua alisnya. "Emang lo kenapa?"

Safa menunduk dalam-dalam. "Gue..." Bahkan jantung cewek itu berdegup kencang. Dia gugup. "Gue tembus."

"Hah?" Sandi melongo. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanannya, untungnya penonton lain berada jauh dari mereka. "Tungguin gue di sini!" seru Sandi lalu berlari untuk mengambil jaketnya.

Bibir Safa makin pucat. Nafasnya tak beraturan karena berusaha untuk tenang. Dia kembali mendongak. Pertandingan berikutnya sudah dimulai, tetapi Sandi tidak ikut bertanding. Dia melihat Sandi datang membawa jaket berwarna cokelat.

"Pake ini!" Sandi berdiri di depannya dan mengikat kedua lengan jaketnya di perut Safa. "Berdiri," kata Sandi pelan.

"Tapi, jaket lo entar kotor. Ini darah, lho," kata Safa. Dia tidak berani menatap Sandi karena malu.

"Nggak apa-apa kok. Daripada lo jadi pusat perhatian dalam keadaan kayak gini, mau?" tanya Sandi. "Gue nggak rela, lho."

"Sweet banget mereka. Ngalahin kita-kita, nih." Edo tiba-tiba menceletuk. Safa meringis, dia takut jika saja Edo dan teman-temannya mendengar percakapannya dengan Sandi tadi.

"Yang jomblo dilarang bicara!" seru Darwin diantara hebohnya tepuk tangan yang terdengar di dekatnya. Suaranya tenggelam, dan dia mendengus karena tidak dihiraukan.

"Ayo!" Sandi mengulurkan tangannya dan disambut cepat oleh Safa. Tangan kanan Safa memegang jaket Sandi, takut jika saja nanti ikatan jaket di pinggangnya terlepas dan orang-orang bisa melihat noda merah di bagian belakang rok putihnya. Safa mengeleng-geleng. Jangan sampai itu terjadi!

"Bu Ida kayaknya udah pulang. Semua kantin tutup. Lo tunggu di sini aja ya? Gue mau beliin lo itu di toko dulu," kata Sandi saat dia tiba di dekat mobil. Dia menekankan kata itu dan membuat Safa menunduk malu. "Masuk dulu ke dalem."

"Iya." Safa mengangguk. Dia masuk ke dalam mobil dan memerhatikan Sandi yang sedang menyeberang jalan.

Sandi melihat-lihat jenis pembalut di toko itu. Dia bingung, baru kali ini dia membeli barang khusus untuk perempuan. Dua siswi berseragam SMA di toko itu tertawa melihat cowok yang memakai baju basket sedang memilih-milih pembalut. Kesannya, gimana gitu... Kelihatannya lucu memang jika melihat cowok ABG sedang membeli barang itu.

Sandi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lalu pandangannya beralih menatap dua siswi di sampingnya. "Yang banyak dipake cewek merek yang mana ya?" tanya Sandi yang berhasil membuat salah satu cewek itu malu.

"Itu, gue biasanya pake yang itu," jawab salah satu diantaranya dengan canggung sambil menunjuk ke arah rak bagian tengah.

"Oke, thanks," kata Sandi lalu dengan santai dia membawa barang itu ke kasir.

"Ini buat adeknya, ya?" Mbak kasir itu tersenyum-senyum.

"Bukan, ini buat pacar," jawab Sandi. Mbak kasir itu tak kuasa menahan senyumnya. Ternyata masih ada cowok yang rela menjadi pusat perhatian sesaat di toko demi membeli sebuah barang yang kesannya 'terlalu' untuk dipegang oleh laki-laki.

μη

Kram pada perut Safa sudah mereda, walaupun sesekali kram itu terasa. Safa menyandarkan punggungnya di kursi penumpang. Pandangannya tertuju pada gerbang sekolah dan melihat seorang cewek berambut panjang sedang menyendiri.

Dia, Mira.

Safa tidak tahu apa kehendak hatinya, tetapi yang terjadi sekarang adalah dia keluar dari mobil. Dia berjalan menuju gerbang sekolah untuk menghampiri Mira.

"Lo kenapa sendiri di sini?"

Mira sedikit tersentak saat mendengar suara seseorang di dekatnya. Cewek itu menatap Safa setelah sebelumnya dia memerhatikan pertandingan basket. "Pengen sendiri aja," jawab Mira saat dia kembali menatap ke arah lapangan basket.

"Lo tadi nonton Sandi lagi tanding, 'kan?" Safa tidak tahu kenapa dia mengungkit-ungkit Sandi di depan Mira saat ini, tetapi dia terlanjur mengatakan hal itu.

"Salah?" tanya Mira sambil menaikkan alisnya. "Nggak salah 'kan? Dia temen gue." Mira menghela napas dengan berat. "Lagian, gue juga nggak ada maksud buat deketin dia. Karena gue sadar, dia udah punya cewek."

Entah kenapa, mendengar kata-kata yang dilontarkan Mira membuat Safa menjadi serba salah. Cewek itu menggigit bibir, kebiasaannya jika sedang gelisah.

"Jaket Sandi, ya?" Mira memerhatikan jaket yang dipakai Safa. Sudah jelas itu jaket Sandi karena Mira juga sempat melihat Sandi mengikat pinggang Safa dengan jaket itu.

Safa mengangguk pelan. "Iya," balasnya.

Mira sudah tidak tahan. Sejak tadi dia memikirkan Sandi dan Safa. Jujur, dia cemburu. Dia masih cemburu jika melihat Sandi dan cewek lain berduaan. Dan itu artinya, dia benar-benar masih sayang?

"Safa?" panggil Mira setelah beberapa saat dia dan Safa saling terdiam. Dia bisa melihat Safa menatapnya. Lalu, kata-kata yang sejak tadi berkeliaran di benaknya siap ia utarakan. "Lo percaya 'kan kalau cinta pertama itu nggak bisa dilupain?"

Safa merasa ada yang aneh dari pertanyaan Mira. Dia menatap Mira penuh heran. "Gue nggak tahu," balas Safa jujur.

Mira tersenyum tipis. "Gue dan dia sama-sama cinta pertama."

Safa menatap Mira dengan heran. "Dia siapa?"

Mira menoleh untuk menatap Safa di sampingnya. "Sandi."

Dan Safa merasa hatinya sakit.

μη


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro