Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 12

by sirhayani

part of zhkansas

__

Pagi itu, tak seperti pagi-pagi seperti biasa, Sandi memilih untuk tidak membuat onar di kelas. Dia bersandar di dinding. Di telinganya terlihat earphone berwarna putih. Darwin bisa mendengar lagu apa yang sedang Sandi dengar sekarang.

"Buset! Keras banget suaranya." Darwin menggeleng-geleng dan heran melihat Sandi. "Kelewat seneng udah nggak jomblo lagi, Mas? Lo emang nggak setia kawan. Ninggalin gue yang masih setia dengan status kejombloan gue?" cerocosnya. Dia sama sekali tidak menghiraukan Bu Irawati yang sedang menjelaskan Oktet dan Duplet di depan sana.

Sandi terkekeh. "Gue denger lo," kata Sandi pelan.

"Gue kira enggak." Perhatian Darwin lalu tertuju pada Bu Ros yang baru saja masuk. Di belakangnya ikut seorang cewek, memakai seragam SMA. Darwin tidak bisa melihatnya langsung, hanya melihat cewek itu dari samping. "Wih, anak baru. Cakep bener." Mata Darwin tiba-tiba membulat. Walaupun kenyataannya Darwin belum melihat cewek itu dengan jelas, Darwin hanya melihat hidung mancung cewek itu.

"Ck, lo ganggu tidur gue aja. Masa bodo ah. Gue 'kan udah ada yang punya." Sandi terkekeh geli. Geli dengan kata-katanya barusan, sedangkan Darwin mendengus.

Mulut Darwin terbuka setelah melihat cewek itu. Dia meneguk ludahnya. Getir. Berusaha mulutnya dia tutup rapat-rapat, sebelum dia sendiri yang membangunkan Sandi di sampingnya.

Darwin memilih untuk mendengarkan kata pengantar Bu Ros, mempersilahkan siswi baru itu memperkenalkan dirinya. "Silahkan, Nak."

"Perkenalkan nama saya Mira Ardani Salsabila."

Pemilik mata yang tadinya tertutup kini terbuka lebar-lebar. Baru satu kata yang ia dengar dari suara itu membuat ingatannya kembali ke masa lalu. Seperti terhempas lewat lorong waktu, seolah-olah kejadian itu kembali ia rasakan.

"Bisa kalian panggil, Mira."

Dengan napas tak beraturan, jantung yang berdetak tak karuan, pikiran yang berkecamuk terus menerus, Sandi memberanikan diri menatap siswi baru itu. Senyum yang pertama kali Sandi lihat, lalu beralih menuju rambut yang panjang terurai.

Dia masih ingat dengan jelas, seorang yang dia sayangi, yang dia cintai, mengkhianatinya. Hal yang paling Sandi benci adalah pengkhianatan dan kebohongan. Dan ketika dua hal itu berada dalam satu kesalahan yang sama, Sandi benar-benar susah untuk memaafkan.

Siapa yang tidak marah jika diduakan? Siapa yang tidak marah jika orang ketiga itu adalah musuh sendiri? Bahkan saat ini Sandi masih merasakan sakit di hatinya saat cewek itu tersenyum tanpa beban. Seolah-olah tersenyum melihat penderitaannya selama ini, derita dari menahan emosi yang belum pernah tertuntaskan.

Bukan hanya rasa benci yang bisa menjadi cinta dan sayang, tetapi cinta dan sayang juga bisa berubah menjadi benci.

"Silahkan duduk, itu satu-satunya bangku yang kosong." Bu Ros menunjuk sebuah bangku yang letaknya tak jauh dari Sandi. Sandi menghela napas berat.

"Iya, Bu." Cewek itu melangkah. Mata bertemu mata. Sandi dan Mira saling bertatapan. Saat melihat senyum canggung cewek itu, Sandi mendengus lalu memalingkan muka. "Ck, kenapa Tuhan harus naroh takdir tuh cewek di kelas ini?" Sandi menggerutu pelan, membuat Darwin prihatin. Dia tahu bagaimana perasaan Sandi sekarang.

Lagi-lagi pertanyaan itu muncul, kenapa mereka harus kembali dipertemukan di saat yang tidak tepat?

"Satu hal yang belum lo tahu kebenarannya sampai sekarang." Sandi memejamkan mata saat mengingat pertandingan basket beberapa hari yang lalu. Apa kebenaran yang belum dia ketahui sampai sekarang? Kalimat itu terus terngiang di benaknya.

"Sialan!"

μη

"Mie ayamnya lama banget..." Dias sudah tidak sabar dengan pesanannya. "Lama banget sih Nabila."

Saat ini kantin ramai, seperti kemarin-kemarin. Kalau yang namanya kantin tidak ada yang namanya tempat paling strategis, yang penting perut terisi. Itu yang selalu Dias junjung tinggi-tinggi. Dia memang sayang sama perutnya. "Gimana hubungan lo sejauh ini dengan Om nyebelin itu?"

Safa terkekeh. "Lo kepo," bisiknya pelan.

Bibir Dias mencibir lalu beralih menatap Afni yang sibuk melihat sesuatu. "Eh, ngeliatin apaan sih?"

Afni meringis. Dagunya terarah pada satu sosok. Saat itulah Dias mengerti. Dia tahu bagaimana masa lalu Sandi, apalagi dengan seorang siswi baru yang saat ini dia lihat. Dia memang mendengar kehebohan pagi tadi. Sekolah memang heboh setiap kali ada yang baru, ada yang unik, atau ada yang ramai. Dan saat Dias mendengar nama Mira disebut-sebut, dia jadi ingat dengan nama mantan Sandi itu. Ah, sudah tepat kah dikatakan mantan? Dias meringis.

Tetapi, Safa. Dias melirik sahabatnya itu.

"Masa lalu..., biarlah masa lalu..." Dias memutar bola matanya dengan kesal saat dilihatnya Darwin memasuki kantin sambil bernyanyi dengan cara berjalannya yang seperti melompat-lompat. Cowok itu sudah jelas sengaja ingin memancing emosi Sandi. Beberapa cewek di kantin itu melihat Darwin sambil meringis, Dias bisa mendengar perkataan seseorang yang ada di belakangnya, "Ganteng-ganteng, tapi keliatan sinting." Dan Dias mendengus, "Ganteng dari mana?"

"Hai, lagi pengen makan yah?" tanya Darwin.

"Iya lah, lo pikir ke kantin itu buat apa? Lama-lama kantin bakalan jadi WC."

"Galak amat, Neng. Kamar lo aja yang dijadiin sarang kecoa dan lipan."

"Lo nyebelin, ih." Dias memukul bahu Darwin dengan gemas. "Rasain lo. Rasain! Mampus!"

Sandi menghela napas melihat pertengkaran itu. Dia menatap Safa. "Jangan sampai kita kayak pasangan itu, ya?" Sandi menunjuk Darwin dan Dias dengan dagunya.

Safa mengangguk. Tak sedikitpun menoleh pada Sandi. Cewek itu masih mengingat kejadian semalam. Safa insomnia. Hal yang paling ia benci dalam hidupnya. Semua karena kata-kata Sandi yang membuatnya merenung. Safa menghela napas, seperti yang Sandi katakan. Waktu.

"Gue boleh duduk di sini nggak?"

Suara itu. Seandainya kemarahan bisa terlihat walau dari jarak jauh, mungkin Sandi sudah seperti bara yang masih terbakar. Panas. Cowok itu mendesis, menatap cewek itu dengan tatapan tajamnya.

"Boleh, kok, boleh." Safa mengangguk sambil tersenyum. Tetapi yang tidak Safa sangka, cewek itu duduk di antara dia dan Sandi, seperti menjadi penghalang.

"Nggak apa-apa, 'kan?" tanya Mira. "Soalnya di sini gue lebih ngerasa nyaman."

Safa tersenyum tipis. "Enggak kok, biasa aja."

Waktu istirahat itu penuh dengan keributan kantin. Tetapi, Sandi seolah-olah tidak mendengar semua keributan itu. Hanya suara-suara dari hatinya yang berteriak, emosi.

Mira menoleh ke kanan, menatap Sandi yang menatapnya kesal. "Hai, lama nggak ketemu, ya. Tadi di kelas gue nggak sempet deketin elo."

Sandi mendengus. Sedangkan dalam hati Safa bertanya-tanya, siapa gadis di sampingnya itu? Huh, sudah jelas-jelas cewek itu sedang mengobrol dengan Sandi.

"Oh, iya. Katanya Safa ini pacar lo, ya?" tanya Mira lagi.

"Emang kenapa? Harusnya juga elo enggak duduk di antara gue dan Safa. Masih banyak tempat kosong 'kan selain di sini?"

Mira tersenyum tipis. "Gue udah bilang tadi, gue pengen duduk di sini karena gue lebih nyaman." Lagi, Sandi tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Emosi di dalam dirinya kembali tertahan. Bertumpuk. Dan entah sampai kapan akan selalu seperti itu.

"Ayo!" Tiba-tiba Sandi berdiri, menarik tangan Safa dan meninggalkan kantin itu. Teman-teman Sandi maupun Safa hanya bisa memandang kepergian dua orang itu dengan pandangan bingung. Sedang Mira, dia memandang keduanya dengan pandangan tak terbaca.

"Sandi! Kita mau ke mana?" tanya Safa di tengah-tengah perjalanan mereka. Safa berhenti mendadak dengan pemikiran yang tiba-tiba muncul di benaknya tentang cewek tadi. Ia sedikit tertarik ke depan karena Sandi yang masih terus berjalan. "Lo kenal sama anak baru itu?" tanya Safa. Mata mereka berdua saling bertatapan. "Kenapa cewek itu nyaman di antara kita, bukan tanpa alasan 'kan? Atau dia masa lalu lo?"

Sandi menghela napas dan mempererat genggamannya di tangan Safa. "Nggak usah dibahas."

Safa berdecak kesal. Dia berusaha melepas genggaman tangan Sandi, tetapi gagal. "Lo nggak mungkin semarah ini," kata Safa dengan suara pelan. "Kalau lo punya masalah dengan dia, harusnya lo selesaiin. Bukan dengan lari dari masalah."

"Lo nggak tahu apa-apa," Sandi membalas dengan dingin. "Karena itu bukan urusan lo."

Safa mematung. Bukan urusannya memang. Tetapi, kenapa ungkapan itu terdengar menyakitkan?

"Kita ke kantin Bu Ida," kata Sandi. Safa masih diam. Dia kembali berjalan di belakang Sandi. Kali ini beda, Sandi tidak menggenggam tangannya lagi. "Dan gue harap, lo nggak bahas orang lain di depan gue. Gue nggak suka," kata Sandi lagi.

Mereka berjalan tak beriringan. Sandi di depan Safa, Safa di belakang Sandi. Safa diam dan lebih memilih untuk bergulat dengan pikiran-pikiran yang muncul tiba-tiba dalam benaknya.

"Asik. Mau kencan di kantin, ya?" goda Edo. Safa melirik sekilas. Cewek itu meringis saat dilihatnya beberapa siswa kelas dua belas itu tengah merokok di depan kantin.

Sandi melihat ke dalam kantin yang penuh. Dia lalu menatap Safa yang mengibaskan tangannya, berusaha menghindari asap rokok. "Eh, rokok kalian matiin dong. Ada cewek nih mau duduk di sana."

"Wuih, oke, bos." Edo, Haris, Leo, dan beberapa siswa yang merokok itu mematikan rokoknya dan membuangnya ke tempat sampah. "Alhamdulillah. Untung rokoknya udah mati." Edo mengurut dadanya setelah melihat Bu Arum yang tidak lama lagi akan melewati kantin itu.

"Lo duduk dulu, lo mau pesen apa?" tanya Sandi. Safa saat ini sudah duduk di bangku panjang yang berada di depan kantin.

"Samain lo aja," jawab Safa. Baru kali ini cewek itu jajan di kantin Bu Ida.

"Oke." Sandi mengangguk. Sebelum dia masuk ke dalam kantin, dia menatap senior-seniornya dan mengatakan perihal yang membuat pipi Safa memerah. "Jagain cewek gue ya. Kasih tahu gue kalau ada yang berani ngegombalin dia."

μη

"Sandi!"

Sandi mengerutkan kening. Suara itu. "Sialan!" Sandi mendesis saat sadar siapa yang memanggilnya. Dia berusaha tidak peduli dan kembali berjalan setelah beberapa saat dia berhenti.

"Sandi gue ada perlu."

Sandi berhenti. Dia menghela napas dengan berat lalu berbalik. Ditatapnya cewek yang memanggilnya tadi dengan tatapan datar. "Perlu apa?"

Mira, cewek itu hanya menunduk, berusaha meredam kegugupannya yang datang tiba-tiba ketika ia sadar saat ini dia benar-benar berhadapan dengan Sandi, hanya berdua. "Gue..." Mira tidak tahu harus mengatakan apa. Kata-kata yang sudah dia susun sejak tadi malah ia lupa. "Gue mau ngejelasin semuanya ke lo. Tentang kebenaran dulu."

Sandi mengangkat sebelah alisnya. "Lo tahu? Ada banyak tipe orang-orang dalam menanggapi hal seperti itu, dan gue adalah tipe orang yang nggak suka mengungkit masa lalu. Ngerti?"

Mira mendongak. "Sekarang gue tanya, apa lo punya masalah di masa lalu? Kalau iya, berarti lo nggak mau menyelesaikan masalah itu. Gue tahu apa yang ada di pikiran lo, Sandi. Tapi—"

"Lo urus hal lain yang lebih penting." Sandi berdecak kesal. Dia segera berbalik, tak ingin berlama-lama berdiri di hadapan cewek itu. Walaupun mereka dipertemukan kembali di kelas.

"Ini yang lebih penting, Sandi. Ini yang paling penting sekarang," kata Mira dengan suara serak, tetapi Sandi masih tetap menjauh darinya. "Gue masih sayang sama lo." Sandi sudah tidak mendengar kata-kata Mira yang makin pelan. Cewek itu hanya bisa menatap punggung Sandi yang makin menjauh hingga hilang dari pandangannya.

Sandi merenung. Lalu sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul dalam dirinya, apakah dia masih menyayangi Mira? Sandi menggeleng. Tidak mungkin, karena kenyatannya sekarang adalah Safa yang ada di pikirannya. Bukan masa lalu itu.

"Berengsek!" Sandi menatap seseorang yang berdiri di tengah lapangan basket. Senyum setan itu membuatnya mendengus.

"Sorry, tulang belakang lo nggak sampai patah 'kan?"

Sandi tahu, Gilang sengaja melemparinya dengan bola basket. Cowok itu selalu punya cara untuk memanas-manasinya supaya dia mendapatkan hukuman setimpal dengan apa yang pernah dia lakukan pada Gilang.

Gilang.

Seniornya di SMP ternyata menjadi seniornya juga di SMA. Mereka adalah dua cowok yang bermusuhan. Semua berawal semenjak insiden perkelahian saat Sandi masih duduk di bangku kelas VII SMP. Perkelahian yang membuat Sandi babak belur dan Gilang harus menerima dirinya di keluarkan dari keanggotaan OSIS karena sikapnya yang melebihi batas.

Apalagi, Gilang tahu Sandi bergaul dengan Leo, Haris, dan Edo, musuh-musuh Gilang juga.

"Lo mau cari masalah?" Teriak Sandi di luar lapangan. Gilang berjalan untuk mengambil bola basketnya yang berhenti tepat di pinggir lapangan basket.

"Lo bisa lihat sendiri. Emang gue rela posisi kapten jatuh di tangan lo?"

Oh, jadi itu masalahnya. "Lo cowok pendendam ternyata."

"Jadi," Gilang mengangkat sebelah alisnya. "Lo bakalan ngehantam gue?" Gilang terkekeh.

Sandi mendengus. "Lo mau mancing? Di sungai. Bukan di sekolah tempatnya."

"Wah, berengsek! Lo masih kelas satu udah belagu." Gilang menatap kepergian Sandi dengan rahang mengeras. "Masih sama kayak dulu. Nggak berubah."

Sandi seolah-olah menulikan telinganya.

μη


 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro