BAB 11
by sirhayani
part of zhkansas
__
Sandi tersenyum tipis saat satu pesan masuk ke ponselnya.
Lagi ngerjain tugas dari Pak Muchlis, entar dikumpul.
Itu balasan pesan dari Safa.
Seandainya kita sekelas, mungkin kita udah ngerjain tugas bareng.
"Wuih, udah lancar banget smsannya." Darwin terkekeh.
"Biasanya itu hape cuma dipake main video game doang. Sekarang udah dipake smsan. Asiik. Udah nggak jomblo sih. Eh, masih jomblo. Nggak diterima ya, Mas?"
Sandi mendengus. Ia menyimpan ponselnya di saku celana setelah mengirimi Safa pesan yang isinya; udah dulu ya sayang. Lo fokus ngerjain tugas dulu, ntar smsan lagi. Eh, nggak deh. Bicara langsung aja. Atau kita main surat-suratan aja kayak remaja jaman dulu?
Yakin, pipi Safa memerah di sana.
"Sandi, lo pernah bilang ke Safa nggak kalau lo cinta sama dia," kata Yudi, dia mulai tertarik dengan pembahasan seputar percintaan. Sebenarnya dia paling anti membahas masalah cinta-cinta.
"Nggak pernah," jawab Sandi. "Cuma pernah bilang kalau gue sayang dan suka sama dia."
"Aseek." Yudi terkekeh.
Mereka bertujuh—termasuk Radit yang belakangan ini ikutan nongkrong dengan cowok-cowok itu— saat ini berada di koridor. Untungnya belum ada guru atau Kepala Sekolah yang mendapati mereka sedang bolos pelajaran. Eky yang paling bermasalah, karena dia meninggalkan tugasnya sebagai Ketua Kelas.
"DASAR! SISWA-SISWA NAKAL!"
"Eh—" Mata Sandi mengerjap-ngerjap saat dia melihat Bu Ros berdiri tak jauh dari enam orang itu. Sandi meringis, akhirnya mereka berenam ketahuan juga. "Ketahuan deh."
"Ternyata selama ini kalian sembunyi di koridor terlarang." Bu Ros menghela napas pasrah. Sedangkan enam cowok itu menatap Bu Ros dengan bingung.
"Koridor terlarang? Aneh banget," kata Sandi pelan, namun Bu Ros masih bisa mendengarnya.
"Iya. Terlarang ya terlarang. Di sini pernah ada siswi yang bunuh diri," kata Bu Ros, bohong.
"Pantesan gue sering ngerasa leher gue di colek-colek gitu," kata Yayat, Yudi terbahak di belakangnya. "Gue yang sering nyolek leher elo. Siapa suruh jadi cowok penakut banget sama hantu."
"Eh, kalian apa-apaan malah ngobrol di sana. Ikut saya! Kalian berenam masuk BK." Bu Ros berjalan lebih dulu. Sandi mengikuti Bu Ros dengan santai. Beda dengan lima orang di belakangnya yang saling pandang.
"Wah, akibat bergaul dengan Sandi nih," kata Yudi dengan jengkel. "Gue bilang juga apa, nggak usah keluar kelas, nggak usah keluar kelas. Kalian dibilangin satu-satu nggak ada yang mau denger. Apa kata nyokap gue dengan masalah ini entar?"
Sandi berbalik badan. Dia menatap Yudi sambil terkekeh. "Santai, man. Cowok itu nggak keren kalau nggak pernah ngerasain hawa dingin AC yang ada di ruang BK." Sandi kembali berbalik dan melanjutkan perjalanannya.
"Gue udah fokus dengerin, ujung-ujungnya bahas AC. Tapi, iya juga, gue lagi gerah," kata Yudi sambil terkekeh sendiri. April dan Eky saling pandang, mereka mengarahkan jari telunjuk mereka ke dahi masing-masing.
"Yudi udah stress."
μη
"Safa!" teriak Nabila. Cewek itu terlihat terburu-buru memasuki kelas. "Sini deh, gue ada kabar buruk tentang cowok lo." Safa menghela napas. Seharusnya Nabila meralat kata-katanya karena sebenarnya Safa belum berpacaran dengan Sandi.
Beberapa cowok di kelas itu berdehem. "Sandi, ya? Pasti dong. Siapa lagi." Itu suara Radit yang beberapa hari ini mengganggunya. Entah apa maksud cowok itu, tetapi yang jelasnya bagi Safa kelakuan Radit terlalu mengurusi hidup orang. Gila urusan.
"Kenapa?" tanya Safa. Dias dan Afni ikut mendekat, mengerumi Nabila yang sekarang terpojok di dinding.
"Jauh-jauh dong, rasanya kok gue kayak dalam suasana dilabrak, gitu."
"To the point, dong!" Dias mendesak karena penasaran.
"Iya, iya," kata Nabila. Ia menatap Safa dengan serius. "Gue denger gosip, katanya Sandi terancam di DO."
"Lo serius? Jangan bercanda, dong!" kata Safa.
"Kan gosip," jawab Nabila. "Eh, eh, Safa lo mau ke mana?" teriak Nabila saat melihat Safa keluar kelas.
Langkahnya cepat-cepat, cewek itu ternyata menuju kelas X.9.
"Tungguin! Gue 'kan juga kepo," teriak Afni saat dirinya ketinggalan. Dia terlalu lambat berjalan.
Entah kenapa, Safa juga bingung dengan apa yang dilakukannya saat ini. Tetapi, yang jelasnya dia ingin bertemu dengan Sandi. Ingin mengkonfirmasi kebenarannya. "Gimana kalau cowok itu beneran di DO, dan nggak sekolah lagi di SMA Angkasa?" Sedetik kemudian, cewek itu berhenti tepat di koridor kelas X.9. Pertanyaan yang barusan hinggap di benaknya membuatnya mematung. Pertanyaan itu juga harusnya tertuju untuknya, tetapi bukan masalah Drop Out dari sekolah, tetapi dengan tujuan pindah sekolah. Safa meringis memikirkan itu, ketidakrelaan muncul tiba-tiba dalam perasaannya yang entah kenapa membuat dirinya hampir saja menangis.
"Kenapa?" tanya Sandi tiba-tiba. Safa mendongak dan mendapati Sandi saat ini berdiri di depannya, tengah memandangnya bingung. "Lo ke sini buat nyari gue 'kan?" Sandi terkekeh pelan.
Safa menghela napas. "Lo terancam DO ya?" tanya Safa. Ia menatap Sandi lekat. "Itu beneran?"
"Siapa bilang? Nggak kok. Tapi, kalau bener, lo nggak rela ya gue di DO?" tanya Sandi, ia tersenyum melihat Safa yang kini menunduk.
"Nggak usah khawatirin gue." Tiba-tiba, Safa merasa tersentak saat tangan Sandi mengacak dengan leluasa rambutnya. Safa mengerjapkan matanya saat melihat Sandi saat ini tengah tersenyum. Safa tak bisa berkata. "Nanti malam, gue ke rumah lo ya? Gue mau diajarin biologi," kata Sandi. "Langsung dari cewek gue sendiri."
Safa menunduk. Semua orang di sekolah itu yang tahu, mungkin mereka pacaran. Tetapi, bagi Safa, Sandi belum memperjelas hubungan itu. Dia takut, Sandi hanya bercanda atau hubungan mereka hanya sebatas hubungan tanpa status. "Ma—maksudnya?" tanya Safa.
"Belajar bareng," jawab Sandi singkat. "Waktu itu 'kan elo udah dateng ke rumah. Kenalan sama nyokap bokap gue. Sama keluarga gue. Anggap dulu itu adalah pendekatan antara lo dengan keluarga gue, dan nanti malam gue mau juga pendekatan sama keluarga lo. Gimana?"
Sandi terlalu berpikir jauh. Itu pikiran Safa saat mendengar penuturan Sandi. Tetapi, tetap saja, Safa tersenyum tipis. "Gue belum tahu. Ntar malem gue hubungi lo, soalnya gue punya Kakak. Dan dia—"
"Nggak tahu kalau adiknya punya cowok?"
Safa mengerjap. "Lo tahu?"
"Tahu," kata Sandi. Cowok itu memegang pergelangan tangan Safa. "Nggak usah dipikirin, nggak penting. Sekarang gue anterin lo balik ke kelas." Sandi segera menarik pergelangan tangan Safa, tak berniat untuk mendengarkan jawaban Safa. Cowok itu berjalan dengan cepat, sedangkan Safa hanya bisa mengikuti langkah Sandi yang lebar.
"Tungguin!" Dias berteriak mengejar langkah Safa dan Sandi. Dia, Nabila, dan Afni sejak tadi menguping di balik bunga yang tertanam di depan kelas.
"Lho, mereka ternyata ada?" tanya Safa bingung.
"Gue udah tahu mereka dari tadi nguping," jawab Sandi. Dia menarik Safa lagi hingga berlari-lari kecil di koridor itu. Safa terkekeh saat ia berbalik, tiga temannya tertinggal jauh di belakang.
μη
Baru saja Safa membaringkan tubuhnya di atas kasur, suara pintu terbuka pelan. Mata Safa yang tadinya tertutup kini terbuka dan menyaksikan mamanya saat ini berdiri di ambang pintu. "Ada tamu, nyariin kamu. Katanya mau belajar bareng," kata Mama. Ia tersenyum penuh arti.
"Mau belajar bareng," nada dari perkataan Safa merendah saat mengingat Sandi. "Kak Ilham mana, Ma?"
"Tadi pergi sama Gilang, katanya ada urusan penting," kata Mama. "Kamu mending keluar, dia nungguin kamu di ruang tengah."
Safa mengangguk. Sedetik kemudian, dia menyadari ada yang berbeda dari Mama. Ditatapnya Mama dari atas sampai bawah, kening Safa mengernyit, lalu sebuah pertanyaan meluncur tiba-tiba dari mulutnya, "Mama mau ke mana?"
Mama yang tadinya ingin keluar dari kamar itu tiba-tiba berhenti berjalan. Dia menatap anaknya, lalu menghela napas. "Keluar sebentar."
"Mau ketemu sama siapa?" tanya Safa pelan. Ditatapnya Mama yang hanya diam tak membalas, Safa meringis lalu bangkit dari ranjang. "Nggak apa-apa Mama keluar, yang penting tujuan Mama nggak ketemu sama laki-laki lain, Safa masih punya Papa, yang sekarang nggak tahu di mana keberadaannya. Mama dan Kak Ilham aja nggak setuju kalau Safa nyari Papa," lanjut Safa dengan suara serak yang tiba-tiba. Tenggorokannya terasa tercekat setelah mengatakan itu. Dia menyibukkan diri dengan mengambil beberapa lembar kertas HVS dan sebuah pulpen yang terletak di atas meja belajarnya.
"Mama jangan lama-lama," sahut Safa tanpa mencium punggung tangan Mama yang merupakan kebiasaannya jika salah satu diantara mereka keluar rumah atau tiba di rumah. "Mama hati-hati." Satu kalimat singkat yang mampu membuat hati Mama terasa teriris, matanya memanas. Dipandanginya punggung anak bungsunya itu yang semakin menjauh.
Safa menghela napas dan ia berhenti sesaat sambil memejamkan matanya yang terasa panas, matanya siap meluruhkan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya. Air matanya mengalir di pipi, Safa menghapusnya cepat-cepat sebelum dia tiba di ruang tengah.
Safa menatap Sandi yang saat ini duduk di sofa. "Lama, ya?" tanya Safa setibanya dia di ruang tengah. "Sorry." Safa duduk di sofa, berhadapan dengan Sandi. Cowok itu sekarang mendongak, menatapnya tanpa mengucapkan sepatahkata pun. "Kenapa?" tanya Safa bingung dengan tatapan tak biasa yang terlihat dari raut muka Sandi.
Sandi menghela napas, ia menatap Safa lekat. "Gilang. Lo kenal dia?" tanya Sandi, tiba-tiba membahas orang lain. Sandi sempat melihat Gilang keluar bersama cowok yang tak lain adalah Ilham. Pemandangan itu membuat tanda tanya besar dalam pikirannya, jika Ilham mengenal Gilang, mungkinkah Safa mengenal Gilang?
"Iya. Dia udah sahabatan dengan Kakak gue dari SMP," jawab Safa.
"Lo kenal dia udah lama?"
"Banget. Sejak gue kelas enam SD. Udah lama banget," kata Safa sambil mengenang masa-masa itu. "Emang kenapa? Kak Gilang 'kan sekolah di SMA Angkasa juga."
"Gue tahu," balas Sandi dengan malas. Kali ini, dia memerhatikan Safa. Matanya menyiratkan entah apa, Safa tak bisa membacanya sama sekali. Sedih kah, atau sebuah harapan yang mendalam? "Tapi, satu yang harus lo hindari, Sa."
Safa terdiam membisu. Ia menatap Sandi, kata-kata cowok itu lirih dan membuat hati Safa terasa tertohok. "Apa?" tanya Safa hati-hati.
"Lo jangan sekali-kali dekat dengan Gilang. Gue nggak mau kecewa untuk yang kedua kalinya karena Gilang lagi."
Safa menatap Sandi dengan bingung. "Untuk yang kedua kalinya? Gue pernah ngecewain elo? Hubungannya dengan Kak Gilang ap—"
"Lupakan," kata Sandi cepat, memotong perkataan Safa yang masih bingung dengan perkataan Sandi. "Nyokap lo mana?"
"Keluar," jawab Safa. "San, maksud lo tadi apa? Gue nggak ngerti."
"Lupakan, Safa!" Sandi menatap Safa lalu ia menghela napas. "Gue nggak mau bahas itu, tujuan gue ke sini bukan untuk bahas itu. Gue mau belajar." Sandi terdiam sesaat. "Jadi, siapa di rumah ini selain kita?"
"Bibi."
"Lo bisa ajak dia ke sini nggak?"
Safa menatap Sandi dengan mimik heran. "Buat?"
"Jadi orang ketiga, supaya orang ketiganya bukan setan." Sandi terkekeh pelan. Safa terlihat kebingungan. "Gue serius deh. Gue paling anti ngeliat cowok dan cewek berdua-duaan, gue nggak mau yang gue nggak suka justru gue alami. Walaupun tujuan kita positif yaitu belajar, tapi setan punya banyak cara ngegoda manusia supaya terperangkap di jebakannya." Sandi tersenyum miring.
Safa menunduk malu. "Bibi..." teriaknya. Hanya beberapa detik setelah teriakannya menggema di ruangan itu, Bibi datang sambil membawa dua gelas sirup di atas nampan.
"Iya, Non." Bibi menaruh nampan yang ia bawa ke atas meja. "Silahkan di minum, Den," kata Bibi sambil tersenyum menatap Sandi.
"Bi, Bibi nggak ada kerjaan 'kan? Bisa tolongin Safa nggak?" tanya Safa dengan kikuk. Cewek itu meremas ujung bajunya. Bibi mengangguk. "Temenin Safa di sini ya, sampai Safa selesai belajarnya."
"Wah, kalau cuman nemenin mah nggak masalah," kata Bibi lalu duduk dengan manis di sofa.
Safa menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Ia lalu duduk di lantai. "Lo mau belajar tentang apa emangnya?" tanya Safa. Matanya menyipit kemudian. "Buku lo mana? Kok nggak ada?"
Sandi tersenyum tipis. Dia ikut duduk di lantai lalu mengambil kertas dan pulpen milik Safa. "Gue nggak bawa, gue udah rekam baik-baik diingatan gue," jawab Sandi sambil menulis sebuah kalimat di kertas itu.
"Ini pertanyaannya," kata Sandi sambil membentangkan kertas itu di hadapan Safa.
Do you love me?
Satu pertanyaan yang membuat Safa membisu. Dia meneguk ludah. Jantungnya berdegup kencang, lalu tatapannya beralih kepada Sandi yang tersenyum. Tersenyum? Sandi berhasil membuat Safa mati kutu.
"Do you love me... Non? Kayaknya saya pernah baca," kata Bibi sambil menyipitkan matanya melihat tulisan itu. Dia mengucapkan tulisan itu dengan aksen Bahasa Indonesia. "Iya, Non. Saya pernah baca. Di tipi," Bibi menerawang. "Oh, iya, kalau nggak salah waktu hari minggu, waktu kita nonton film ya, Non Safa?"
"Nggak! Bukan, Bi!" teriak Safa cepat sebelum Bibi meneruskan kata-katanya. Pipi Safa memerah. Dia melirik Sandi dengan malu-malu. "Jangan bercanda, San. Di sini bukan cuma kita berdua," ucapnya pelan.
Sandi terkekeh. "Gue pikir Bibi nggak tahu, ternyata..." Sandi menggantung kalimatnya dan menatap Safa penuh arti.
"Lo sebenarnya mau belajar atau bercanda sih?" tanya Safa heran.
"Belajar."
"Belajar biologi, 'kan?"
"Iya, tapi belajar hal lain juga."
"Belajar apa?"
"Belajar mencintaimu," jawab Sandi dengan nada pelan agar Bibi tidak mendengarnya. Safa menatap Sandi dengan malu.
"Astaghfirullah, Non, saya tadi lagi masak. Aduh..." Bibi segera berlari kembali ke dapur.
"Sandi! Gue ngantuk..." kata Safa. "Dan gue nggak mau ngebuang-buang waktu gue dengan hal yang nggak penting."
"Gitu?" tanya Sandi. "Nggak penting banget ya?" Safa tergagap. Apa kata-katanya keterlaluan? "Gue sadar, nggak semua perkataan harus dianggap serius. Ada saatnya bercanda. Tapi, menyangkut masalah hati, seseorang seharusnya tidak anggap itu main-main. Selama ini gue selalu bercanda dengan kata-kata gue ke cewek-cewek, dan mereka anggap gue serius. Tapi kenapa justru cewek yang gue sayang yang nggak nganggap perkataan gue dengan serius?"
Cewek yang gue sayang.
Safa mengulang kata-kata itu dalam hati. Tenggorokannya tercekat, terasa kering hingga berulang kali dia membasahi tenggorokannya. "Apa perasaan harus diungkapkan dengan kata-kata?" tanya Safa spontan keluar dari mulutnya.
Sandi tersenyum tipis. "Nggak harus. Apa yang keluar dari mulut bisa berbeda dengan isi hati. Perkataan cuma untuk meyakinkan."
Safa terdiam. Beberapa kejadian yang lalu berputar di benaknya. Lalu sebuah pertanyaan tiba-tiba keluar dari mulutnya, "Lo sayang sama gue?"
"Kalau gue bilang gue sayang sama lo, apa lo percaya?" tanya Sandi. "Selama ini, mungkin aja gue bilang gue sayang sama lo, gue suka sama lo. Tapi..." Sandi menatap Safa yang menunggu kata-kata yang akan dia lontarkan. "Tapi, gue takut kalau semua itu cuma keinginan gue untuk memiliki, bukan karena gue bener-bener sayang sama lo."
Safa menggigit bibirnya. Ia menunduk dalam-dalam. "Jadi, selama ini lo ngasih gue surat tentang perasaan lo, itu semua hanya sebatas tulisan? Bukan karena perasaan?"
Sandi menghela napas. "Setidaknya, gue nulis sesuai yang gue rasain," jawab Sandi. "Lo pernah nggak denger cinta monyet? Menurut gue, itu kata lain dari rasa suka yang dirasain remaja-remaja." Sandi berhenti sejenak. "Apa lo pernah jatuh cinta?" Safa membisu. Beberapa detik berlalu, dia menggeleng.
"Lo mau nggak kita sama-sama belajar saling mencintai? Mulai hari ini, kita jalanin aja sesuai waktu. Dan ada saatnya lo dan gue bener-bener yakin, kalau kita berdua saling mencintai atau nggak sama sekali."
Safa tersenyum lirih. "Kalau nggak berhasil?"
"Kita sama-sama saling melupakan. Melupakan bahwa kita pernah belajar saling mencintai dan melupakan bahwa kita pernah sedekat ini."
μη
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro