
BAB 10
by sirhayani
part of zhkansas
__
Safa tidak bisa tidur.
Dia melirik jam dinding di kamarnya, sudah hampir jam sebelas malam. Ia tidur menyamping, memandangi sebuah foto berbingkai yang terletak di meja samping kasurnya.
Kejadian di waktu istirahat di sekolah tadi masih berseliweran di benaknya. Dia juga mengingat pesan Sandi yang tidak ia balas tadi. Panggilan cowok itu kepadanya adalah bidadari. Sebenarnya Safa risih, tapi entah kenapa dia malah tersenyum.
"Pa?" panggil Safa pelan sambil terus memandangi foto itu, foto di mana dirinya saat masih kecil. Foto Papa yang sedang memangkunya kala itu.
Bunyi ponsel terdengar. Safa membuka selimut dan berdiri untuk mengambil ponselnya di meja belajar. Dia menatap ponselnya itu. Satu pesan masuk.
From: My Lovely Sandi
Udah tidur?
Mata Safa mengerjap-ngerjap. "Sandi?" ucapnya dengan suara pelan. Segera dia membalas ponsel itu.
Belum. Kenapa?
Safa memencet tombol send. Lalu pesan masuk lagi setelah beberapa detik.
Gue boleh nelpon lo gak?
Suara Safa tertahan. Baru kali ini jantungnya berdetak cepat saat membaca sebuah pesan.
Oh, iya. Boleh.
Safa lari. Dia bersandar di ranjang, selimutnya dia tarik sampai pinggangnya. Dan di tengah-tengah aktivitasnya itu, nama My Lovely Sandi tertera di layar ponselnya. Dengan cepat dia menggeser warna hijau di layar.
"Halo?" sapa Sandi di seberang sana.
"Halo," balas Safa, kata-katanya terasa spontan keluar. Senyumnya kontan mengembang.
Safa mendengar suara kekehan Sandi. "Lo kenapa? Kayak seneng banget, gitu."
"Masa sih? Enggak kok, biasa aja," elaknya.
"Oh." Sandi menghela napas lalu terdengar suara lain yang di sana, "Gool. Yes, gue lagi yang suapin lo, makan nih jengkol campur nasi. Ha ha ha," itu suara Darwin.
"Lo berdua berisik! Gue dari tadi nyuruh lo berdua pulang. Pulang nggak!" Kali ini, suara Sandi terdengar jauh. Cowok itu menjauhi ponselnya saat berbicara.
"Bentar, sampai gue bisa ngalahin Darwan," kata Eky.
Safa hanya tersenyum tipis saat mendengar kehebohan itu. "Halo?"
"Ya?" Safa kembali tertidur miring, ingin menatap foto itu lagi.
"Sebenarnya gue pengen omongin ini langsung, tapi nggak tahu kenapa gue kepikiran terus. Lo punya cowok?" Pipi Safa terasa panas. Entah kenapa, mendengar kata-kata itu langsung dari Sandi membuatnya seperti tak berpijak di Bumi.
"En-nggak punya," jawab Safa dengan gugup.
"Oh." Lalu, Sandi menghela napas. Sudah tidak ada keributan yang Safa dengar. Mungkin cowok itu pindah ke ruangan yang lain.
"Besok, lo cek deh laci meja lo di kelas. Ada sesuatu di sana." Safa terdiam mematung. Matanya mengerjap-ngerjap. Ia membasahi bibirnya yang terasa kering. "Safa?" panggil Sandi. "Lo belum tidur 'kan?"
Safa mengangguk. Ia lupa saat ini dia tidak berhadapan dengan cowok itu. "Iya," jawab Safa. Dia mengambil bingkai di meja itu dan menaruhnya di atas kasur.
"Ya udah, lo tidur gih, jangan terlalu tidur larut malam. Nggak baik buat kesehatan lo."
Pipi Safa memerah. Senyumnya tercetak sempurna. "Oke, em... gue tidur. Ya udah, bye."
"Have a nice dream."
Sambungan lalu terputus. Safa menyimpan ponselnya ke atas meja, dia kembali menatap foto itu. "Pa, di sini," Safa memegang dadanya. "Papa pernah bilang tanda-tanda seseorang sedang jatuh cinta menurut Papa. Dan apa yang pernah Papa bilang aku alami sekarang. Tapi, aku takut jatuh cinta, Pa. Semua orang bilang kalau jatuh cinta itu sakit. Mama juga pernah bilang seperti itu seminggu nggak lama setelah Papa memilih pergi." Safa tersenyum tipis. "Good night, Pa. Di mana pun dan sama siapapun Papa sekarang. Semoga Papa baik-baik di sana." Safa menaruh bingkai itu kembali. Cewek itu menarik selimutnya untuk membungkus tubuhnya sampai leher.
Dia tidak sabar dengan hari esok.
μη
Sekolah agak sepi sekarang, hanya beberapa yang bertugas piket di kelas berinisiatif untuk datang cepat. Tidak dengan Safa. Perjuangannya menyuruh Ilham untuk ke sekolah pagi-pagi dengan serba alasan yang tentunya ia buat-buat, karena biasanya Safa tidak ke sekolah sepagi ini.
Safa tiba di kelas. Kelas itu masih kosong. Dia segera melewati ambang pintu dan berjalan dengan cepat menuju bangkunya yang berada di barisan depan. Dia menunduk sedikit lalu mendapatkan sebuah amplop berwarna biru muda.
Safa tersenyum. "Maksudnya dia ini?" tanyanya pada diri sendiri. Cewek itu membuka surat itu dan mendapati beberapa kalimat yang membuat jantungnya berdegup kencang.
Itu, surat cinta kah?
Safa menggeleng, ia tersenyum tipis.
Untuk Bidadari Hati.
Gue pengen bahas masalah hati.
Lo tau hati 'kan? Gue baru tau tentang hati sejak gue kelas delapan. Saat seseorang merasakan perasaan, hatilah yang berperan.
Hati yang gue maksud bukanlah salah satu organ tubuh manusia, bukan. Tetapi, hati dengan nama lain yaitu qalbu.
Ya, qalbu.
Gue baru tau. Pantesan gue dulu selalu mikir, kenapa saat seseorang sedang sakit hati, mereka megang dada, padahal di dada ada jantung, bukan hati.
Ternyata selama ini, hati itu adalah qalbu. Hati itu tidak berbentuk, tidak dapat di belah, tidak dapat dilihat, dan tidak dapat disentuh. Tapi, hati mempunyai fungsi yaitu merasakan. Merasakan cinta, sayang, suka, senang, sedih, perih, pedih, dan sakit.
Dan pemilik hati yang menulis kata demi kata ini ingin mengatakan bahwa hati ini telah merasakan sayang kepada seseorang yang bernama Safa Aulia, sang Bidadari Hati. Pemilik hati ini juga ingin bertanya, "Lo mau nggak jadi cewek gue?"
Senyum di bibir Safa tidak pernah lepas saat terus membaca kata demi kata yang tertera di kertas itu. Dan saat dirinya membaca sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya, dia tidak bisa berkata apa-apa selain diam memandang kertas itu.
Sandi menembaknya lewat surat ini?
Sandi melakukannya? Sandi yang terkenal gaduh itu benar-benar melakukannya? Tetapi Safa pikir, semua orang bisa melakukan apa yang mereka sukai.
"Safa?" panggilan itu membuat Safa segera menyembunyikan surat yang dipegangnya. "Lo dari tadi senyum-senyum gaje. Kenapa sih?" tanya Nabila heran. Senyumnya kemudian tercetak saat melihat sebuah kertas yang Safa pegang. "Oh, gue tahu, pasti surat dari Sandi lagi 'kan?"
Safa terdiam. Dia menatap Nabila yang berjalan ke arahnya sambil cengengesan.
"Ih, pipinya merah gitu. Bener 'kan dugaan gue?" tanya Nabila sambil menyimpan tasnya di meja. Safa baru ingat, ini hari Nabila piket. Tak berapa lama, beberapa siswa dan siswi kelas X.1 mulai berdatangan.
"Apaan sih? Boleh gue baca nggak?" Nabila duduk di bangku Dias. "Lo di tembak ya? Mau gue bantu nulis surat balasan?" Nabila terkikik melihat Safa memangku kertas itu.
"Jangan!" Safa tiba-tiba bersuara setelah lama dia diam mendengarkan. "Gue rasa, gue ngomong langsung aja. Sumpah, gue nggak tahu gimana nantinya. Pasti canggung banget."
Nabila menegakkan badannya. Tatapannya lurus ke manik mata Safa, menatapnya serius. "Lo jangan bertindak lambat. Entar ada cewek yang justru ngejar dia gimana? Zaman sekarang udah gitu lho, nggak jarang cewek yang justru ngejar-ngejar cowok."
Safa terdiam. Kata-kata yang baru saja dilontarkan Nabila membuatnya menghela napas. Dia merasa tak rela, dan mungkinkah karena ketidakrelaannya itu, dia benar-benar suka dan sayang kepada Sandi atau yang lebih jauh lagi. Cinta.
"Gue keluar bentar," kata Safa lalu dengan cepat cewek tiu menyimpan surat yang ia baca tadi ke dalam tasnya. Safa menatap Nabila, penuh intimidasi. "Surat itu privasi. Jadi, lo jangan sekali-kali nyuri surat ini untuk baca kalau kepo lo kambuh lagi."
Nabila hanya terkekeh. Dia membiarkan Safa keluar dari kelas entah mau ke mana. Safa sendiri bingung. Dia mau ke mana? Oh, apa yang harus dia katakan nantinya jika Sandi membahas masalah surat itu? Safa memegang kedua pipinya.
"Safa?"
Mata Safa mengerjap. Dia segera berbalik dan saat ini ia berhadapan dengan Gilang, Kapten basket SMA Angkasa yang merupakan siswa kelas XII IPS 3. Gilang juga adalah sahabat dari Kakak Safa, Ilham.
"Kenapa, Kak?" tanya Safa heran. Tak biasanya Gilang mendatanginya.
"Ini," kata Gilang sambil memberikan Safa sebuah buku bersampul warna biru muda. "Kata Ilham, lo lupa. Tadi ketinggalan di meja ruang tamu, jadinya dia nitip ke gue."
"Oh, makasih Kak." Safa mengambil buku itu. "Maaf ngerepotin."
Gilang tersenyum tipis. "Nggak masalah sih."
"Ya udah, Kak, saya masuk ke kelas dulu, ya." Safa menunjuk ke arah kelasnya yang tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Ia sedikit gugup melihat cowok jangkung itu tersenyum padanya. Terlihat beda.
"Safa?" panggil Gilang cepat, sebelum Safa makin menjauh.
Safa berbalik, dia menatap Gilang dengan bingung. "Iya, Kak?"
"Minggu nanti, lo sibuk nggak?"
Safa menggeleng pelan. "Nggak sih, emang kenapa Kak?"
"Gue mau-"
"Siapa bilang lo nggak sibuk?" tanya Sandi tiba-tiba. Safa hanya bisa menahan napas mendengar suara yang terdengar tepat di sampingnya. "Lo lupa dengan janji kita? Hem?" Kali ini, Sandi menatap Safa lurus ke mata cewek itu. Tatapan itu... tatapan untuk menyuruh Safa mengiyakan saja apa yang Sandi akan katakan.
Gilang mendengus. "Yang gue tanya bukan lo, tapi Safa."
"Emang iya. Tapi, dari cara lo bertanya lo itu seolah-olah pengen ngajakin Safa jalan. Padahal Safa udah janjian sama gue, sama pacarnya sendiri."
Safa mengerjap. Dia memandangi Sandi dengan raut bingung.
"Pacar?" tanya Gilang heran. Kali ini dia menatap Safa yang terpaku di tempatnya. "Oh," Gilang menggantungkan kalimatnya dan menatap Sandi sambil mendengus. Dia menatap Sandi penuh arti yang membuat Sandi muak dengan tatapan itu. "Selamat kalau gitu, tapi ngajakin pacar orang nge-date nggak salah 'kan selama yang diajak mau-mau aja?" Gilang tersenyum puas melihat kemarahan Sandi. Gilang lalu menatap Safa. "Ya udah, gue tunggu kabar aja kalau kalian berdua putus. Karena bagi gue, suka sama orang yang udah punya pacar itu nggak salah kok."
Perkataan Gilang membuat Safa bertanya-tanya dalam hati. Cewek itu hanya bisa menatap kepergian Gilang tanpa berkata apa-apa.
Sandi menatap Safa. "Gue setuju dengan kalimat terakhirnya dia. Tapi gue tambahin, selama orang itu nggak ganggu hubungan orang lain."
"Tadi lo bilang kita pacaran?" Safa terdengar bertanya. Cewek itu melihat Sandi tersenyum.
"Nggak boleh ya? Tapi gimana kalau gue suka sama lo dan pengen lo jadi cewek gue, gimana dong?"
Safa tiba-tiba gugup. Cewek itu segera berbalik. "Gue ke kelas dulu, ada... ada tugas yang belum gue selesaiin," kata Safa bohong.
Sandi hanya tertawa melihat kelakuan Safa. Lucu.
μη
Safa heran melihat beberapa siswi berlari di sepanjang koridor menuju lapangan basket. Keningnya makin berkerut saat dilihatnya Nabila kembali ke koridor depan kelas X.1. "Lo kenapa?" tanya Safa heran.
"Itu Kak Galang sama Sandi tanding basket. Nggak mau nonton ya? Seru lho, apalagi yang main Sandi dkk. Gue baru tahu dia jago basket." Nabila segera menarik lengannya. "Tadi dia jago banget waktu pemanasan sama temen-temennya." Nabila menatap Safa. "Lo tahu nggak? Di sana, anak basket ngelwanan Sandi dkk. Kelas duabelas ngelawan kelas sepuluh. Keren tuh."
Safa tiba di dekat lapangan. Ramai. Rata-rata yang menonton adalah siswi. Safa menutup kedua telinganya saat mendengar teriakan demi teriakan yang tedengar nyaring di telinga. "Duh, males ah. Gue nggak bisa ada di tengah-tengah keramaian kayak gini. Milih waktu mainnya kok di siang bolong sih?"
"Lo ini!" Nabila berdecak. Dia kembali menarik Safa untuk ikut menerobos kerumunan hingga ujung sepatu mereka berada tepat di garis lapangan. "Tampang lo tadi datar-datar aja sih denger Sandi dan Kak Gilang mau tanding?"
"GO SANDI GO SANDI GO! AYO SANDI SEMANGAT! BUKTIIN KALAU JUNIOR JUGA BISA NGALAHIN SENIOR! YUHUU...."
Safa meringis saat mendengar teriakan cempreng di sampingnya. Mata Safa melirik ke arah pemilik suara itu, matanya menyipit, cewek itu adalah cewek yang membawa cokelat dari Sandi beberapa hari yang lalu.
"Dias dan Afni mana?" tanya Safa heran karena tumben dua orang itu tidak ada di saat yang lain heboh.
"Itu tuh, di bagian sana. Katanya dia mau deket-deket sama Kak Leo." Nabila menunjuk ke arah seberang. Di sana Safa bisa melihat Dias kegirangan saat Leo di dekatnya. "Kak Leo yang jadi wasit. Wih, keren."
Safa memerhatikan siswa-siswa yang ada di lapangan itu. Ada dua pakaian berbeda, siswa kelas XII dan XI memakai pakaian basket sedangkan siswa-siswa kelas X memakai celana tranining dan baju kaos. "Tanding basket dalam rangka apa sih?" tanya Safa bingung.
"Gue denger-denger, Pak Rizal nyaranin Tim basket biar masukin Sandi ke Tim. Karena dia katanya jago. Jadi, anak-anak basket pengen lihat sampai mana kemampuan calon anggota baru."
"Oh." Safa mengangguk mengerti. Diperhatikannya Sandi dengan serius yang sedang memantulkan bola sambil berlari.
Shoot
Three Point
"Wuih, keren!" Nabila bertepuk tangan saat Sandi berhasil mencetak poin. Nabila sebenarnya tidak tahu mengapa anak-anak lain berteriak heboh sambil berteriak, "Three point! Keren banget!" Tetapi, Nabila hanya melihat Sandi melempar bola di garis terluar daerah lawan. Dan tentunya, jaraknya tempat cowok itu berdiri lumayan jauh dari ring.
Safa sendiri tersenyum tipis saat dilihatnya Sandi begitu serius kali ini.
"Tuh, 'kan, senyum-senyum sendiri." Nabila terkekeh pelan. Senyum Safa menghilang cepat saat tertangkap basah. Cewek itu kembali melihat ke lapangan dan mendapati papan skor dengan angka seri yang tertera.
14-14
PRIT
Pertanda permainan telah usai. Dengan persetujuan pertandingan itu hanya dilakukan satu babak, maka tidak ada babak kedua.
"Gimana?" tanya Sandi sambil melemparkan senyum miring ke arah Gilang. "Diterima, Pak Kapten?"
Gilang mendengus. "Sebagaimana perjanjian. Kalau seri, itu menunjukkan kalau lo dan teman-teman lo udah setara dengan gue dan anak basket yang lain. Dalam bermain, tentunya."
Sandi tertawa tipis. Beberapa temannya memilih untuk cepat duduk di bawah pohon untuk membasahi tenggorokan mereka yang terasa kering dengan sebotol air mineral. Sandi mengambil bola basket yang tak jauh darinya lalu ia berjalan ke arah Gilang sambil memantulkan bola basket itu. Dua cowok itu sama sekali tidak peduli dengan hawa panas matahari yang terasa menyengat kulit di siang bolong. Sudah biasa. "Lo kenal Safa?" tanya Sandi. Tatapannya serius menatap Gilang.
Gilang terkekeh pelan. "Takut kejadian yang sama terulang lagi?" tanyanya.
"Biasa aja," jawab Sandi. Entah faktor apa, kali ini mereka berdua berbicara dengan santai. Tanpa emosi sedikitpun.
"Berarti lo nggak marah dong, gue deket sama Safa."
Sandi menatap Gilang dengan heran. Ia melempar bola basket itu ke luar lapangan. "Maksud lo?"
"Sebenarnya gue kasihan sama lo." Gilang menatap Sandi dengan tatapan serius. "Dulu lo terlalu cepat mengambil keputusan dengan ngejauhin Mira. Lo ngiranya Mira dan gue beneran pacaran. Lo ngira Mira ngeduain lo. Tetapi satu hal yang belum lo tahu kebenarannya sampai sekarang. Dan gue nggak pengen kasih tahu itu ke lo secara langsung, biar Mira aja yang langsung berhadapan sama elo."
"Maksud lo?" tanya Sandi sekali lagi. Perkataan Gilang makin membuatnya bingung.
"Anggap kali ini gue lagi males ribut sama lo." Gilang terkekeh pelan. "Beberapa hari lagi, Mira bakalan sekolah di sini."
Sandi tidak tahu lagi harus berkata dan melakukan apa selain diam di tempatnya. Dia mematung. Dia memandangi Gilang yang menjauh darinya.
"Woi, nggak haus lo?" teriak Darwin di pinggir lapangan. "Nih gue beliin minuman."
Sandi menghela napas. Dia segera berjalan ke arah teman-temannya. Dia berhenti sesaat saat ia melihat Safa berdiri di dekat teman-temannya. "Belum pulang?" tanya Sandi, lurus menatap Safa yang berdiri kaku di tempatnya. Dia lalu duduk dan mengambil sebotol air mineral di tangan Darwin.
"Tadi sebenarnya udah mau, tapi kata Darwan lo pengen ngomongin sesuatu," jawab Safa dengan gugup. Sandi mendengus, lalu terkekeh detik berikutnya. Dia menatap Darwin. Bagus, sob! Seolah-olah itu arti tatapannya. Darwin tersenyum bangga.
"Gue cuma pengen anterin lo pulang." Sandi berdiri dan mengambil tasnya. Dia berjalan menuju parkiran diikuti oleh Safa di belakangnya.
Entah hanya sekadar perasaan atau kenyataan, Safa merasa Sandi tak seperti biasanya. "Gue bisa pulang sendiri, kok."
Sandi berhenti mendadak hingga Safa terbentur oleh punggung cowok itu yang basah karena keringat. Sandi memerhatikan Safa. "Lo marah?"
"Hah?" Mata Safa mengerjap-ngerjap. "Gue?"
Sandi mengangguk. "Lo mungkin heran kenapa gue mendadak agak ngirit ngomong. Gue harap lo nggak ambil hati. Gue lagi ada pikiran." Sandi berdiri di samping Safa. "Lo pacar gue sekarang. Kita coba saling ngerti keadaan ya?" Sandi tersenyum tipis sambil menatap Safa yang terdiam membisu mendengar perkataan Sandi.
Pacar?
"Sejak kapan kita pacaran?" tanya Safa bingung. Dia bahkan belum menjawab permintaan itu.
Sandi tersenyu tipis. "Sejak gue ngeliat nggak ada reaksi dan ciri-ciri penolakan dari lo. Jadi, gue anggap lo sebenarnya mau. Ayo!" Sandi menarik lengan cewek itu. Dan Safa membiarkan itu terjadi.
Mulai saat ini, Sandi menganggap Safa adalah pacarnya.
μη
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro