Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sana sini

Senin siang terasa begitu melelahkan bagi Sana. Gadis yang belum lama memotong rambut lebat berwarna hitam menjadi sebahu itu membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran king size, atau yang sering dikenal dengan ukuran kasur nomor satu. Kedua matanya terbuka, menatap langit-langit kamar yang hanya disinggahi satu buah bohlam dengan daya 15 watt sebagai penerangan. Rasa kesal, marah, dan lelah menjadi satu. Bukan tanpa alasan suasana hati Sana mendadak berganti menjadi awan kelabu, semua ini sudah jelas karena ulah siswa baru di kelasnya.

Sana suka kesendirian dan tanpa mengucapkan kata ‘permisi’ hanya untuk sekadar meminta izin, siswa berpenampilan rapi itu tanpa aba-aba langsung mendudukkan diri di kursi kosong sebelahnya. Sana memang duduk seorang diri, tetapi bukan berarti dia menerima siapa pun untuk menjadi bagian dari teman semejanya.

“Sana Iryani?” Siswa baru itu membaca susunan dua kata yang melekat pada name tag Sana. Alis sebelah dari lelaki yang sekarang menjadi teman sebangku Sana itu terangkat. “Dipanggil Sana, atau Sini?”

Benda berbentuk bulat panjang dengan isian kapuk itu terjatuh dari atas kasur akibat depakan Sana. Kilas balik sewaktu di sekolah tadi kembali terputar dalam ingatannya. Mama dan papanya sudah bersusah payah mencarikan nama terbaik dari yang paling baik untuk dirinya, dan sekarang dengan seenak jidat lelaki sok kenal sok dekat itu membelokkan namanya seolah-olah petunjuk arah.

Siapa yang memberi izin lelaki itu untuk membaca name tag-nya? Benar-benar lancang! Sana tidak suka itu. Nasib buruk kini telah menimpanya, mungkin semua kejadian hari ini adalah akibat dari dirinya yang gemar menggerutu ketika Mama berbicara memberi nasihat. Dengan wajah kusutnya, Sana bangkit dari posisi semula, bergerak turun dari kasur untuk mengambil guling yang sempat terjatuh.

Mengingat hari semakin sore, daripada terus-menerus meratapi hari buruknya, Sana memilih untuk menyegarkan badan sebelum rasa malas menguasai dirinya. Saat beranjak dari kasur, benda pipih yang tergeletak di atas nakas itu bergetar, mengeluarkan suara samar dari nada dering ponselnya. Nama ‘mama’ terpampang jelas di layar berukuran enam koma satu inci tersebut. Bukan lagi hal ganjil yang kemudian menciptakan sebuah pertanyaan dalam kepalanya, karena memang itulah kebiasaan sang mama, selalu menelepon meski berada di dalam rumah.

Sebelum menekan tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan dari Mama, Sana menarik tubuh, mendekatkannya ke kepala ranjang agar bisa bersandar. Kedua indra penglihatnya menatap layar ponsel beberapa saat, hanya diam—tidak bersuara—sedikit pun.

“Iya, Ma?” Sana bersuara ketika benda pipih itu sudah menempel di telinga kanannya.

Kamu ngapain masih di kamar?” Suara khas dari sang mama merasuk ke dalam gendang telinga Sana, membuat gadis itu mengembuskan napas lelah. “Buruan keluar. Bantu Mama angkat jemuran.”

Sana mengangguk, menanggapi ucapan Mama yang terdengar seperti perintah. Bukan. Bukan seperti, melainkan memang sebuah perintah untuknya.

Panggilan terputus, padahal Sana belum mengeluarkan satu patah kata pun sebagai tanda persetujuan, ataupun penolakan. Baiklah, rencana Sana ingin menyegarkan diri beserta pikiran hanyalah sebuah wacana.

Benda berlapiskan pelindung berwarna biru tua itu dikembalikan ke atas nakas di sisi ranjang. Sana melangkah gontai, melupakan kalau seragam sekolah masih melekat di tubuhnya.

“Ya ampun ini anak!”

Sana tersentak ketika suara menggelegar dengan tatapan tajam tertuju padanya. Selang beberapa detik kemudian dia baru menyadari—dia belum mengganti pakaiannya. Pandangannya merendah, menatap miris dirinya yang sebentar lagi mungkin akan memperoleh ceramah panjang kali lebar.

Belum sepenuhnya kepala Sana terangkat, dengan tiba-tiba rentetan dari susunan kalimat yang terangkai dalam pikiran Mama menyerbunya. “Kamu itu kalau jadi anak gadis yang rajin dong. Mama kan udah berkali-kali bilang, ganti baju sepulang sekolah!” kata Mama dengan suara lantang, sementara Sana mengurungkan niat awalnya—mengangkat kepala. Wanita dengan rambut berpotongan bob itu membalikkan badan, mengambil beberapa baju yang dijemur, dan memindahkannya ke keranjang pakaian. “Jangan dijadiin kebiasaan, deh, hal-hal buruk kayak gitu!”

Sana mengangguk dengan terus menggamit jemarinya yang terasa dingin. “Iya, Ma.”

Setelah selesai membantu pekerjaan rumah, Sana kembali masuk ke ruangan berukuran 3x4 meter yang menyuguhkan beberapa interior menarik serta permainan gradasi warna cantik dari cat dindingnya. Gadis itu beranjak dari tempat, lalu membawa langkah kakinya menuju kamar mandi. Bersamaan dengan pintu kamar mandi tertutup, Sana menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya gusar. Kepalanya menengadah, dengan mata terpejam gadis itu mengadu, “Ya Tuhan ... kenapa, sih, hidup Sana harus banyak aturan?”

Selesai membersihkan diri, Sana kembali bergelut dengan buku-buku tulis yang dipenuhi beberapa rumus—sama sekali tidak ada yang menetap di dalam memorinya—hanya singgah seperti rasa, atau lewat bagaikan angin lalu.

Langit yang sebelumnya memancarkan semburat warna oranye itu kini berganti dengan warna gelap yang mungkin ditakuti oleh sebagian orang jika tidak ada penerangan. Menurut Sana tidak ada yang membedakan antara pagi ataupun malam, keduanya sama saja—sama-sama indah, dan Sana tetap menikmatinya. Namun, ada satu hal yang sangat Sana benci ketika malam datang, obrolan di ruang makan.

“Gimana? Kamu udah dapet perguruan tinggi mana yang bakal kamu tuju?”

Sendok yang sebelumnya sibuk beradu dengan garpu di atas piring itu terhenti. Suasana hati Sana sebelumnya memang tidak baik-baik saja, dia membenci makan malam, kegiatan rutin seperti ini hanya akan membuatnya mati dengan cepat. Apalagi setiap topik yang diangkat selalu merujuk ke dirinya. Memang benar, dia hanya anak tunggal, satu-satunya anak yang mereka miliki, tetapi apa mereka tidak bisa sehari saja berhenti mengangkat topik yang sangat mengganggu ketenangannya?

Sana mengendurkan pegangannya pada alat makan dalam genggaman tangan masing-masing. “Ma ... Sana masih kelas dua. Kenaikan kelas tiga juga masih lama,” kata Sana mencoba memberi pengertian agar sang mama sedikit bisa memahami dan berhenti bertindak otoriter padanya.

Mama menghentikan kegiatannya, kedua tangannya melepas sendok serta garpu ke atas piring yang masih berisikan separuh dari porsi sebelumnya. Dengan kedua tangan terkepal di atas meja, Mama menatap Sana dengan sorot mata tajam mengintimidasi. “Kamu mau bikin aturan sendiri?”

“Ma ... Ma, udah.” Pria yang duduk di samping Mama di hadapan Sana itu bersuara sembari menggelengkan kepala, mencegah adanya percikan api dari korek yang mungkin akan membakar suasana di ruang makan tersebut.

Mama menoleh, menatap sang suami dengan wajah kesalnya. “Berhenti belain, Pa! Masa depan itu penting, dan Sana harus bisa mempersiapkan semuanya dengan matang.”

“Tapi ini keterlaluan, Ma. Masih ada waktu panjang.” Papa menyela, membuat Mama naik pitam.

“Sana anakku. Jadi, aku berhak mendidiknya sesuai ajaranku,” hardik Mama dengan tatapan nyalang.

Tidak ada lagi perkataan yang keluar dari bibir tebal pria tersebut. Dua kata dalam satu kalimat yang meluncur dari bibir sang istri cukup membungkam mulutnya.

Sana yang melihat kejadian itu mendengkus, meletakkan sendok serta garpunya ke atas piring dengan keras hingga menimbulkan suara dentingan yang terdengar nyaring.

“Mau ke mana kamu?”

“Kamar,” balas Sana datar sembari menaiki anak tangga dengan ritme cepat.

“Duduk, makan dulu!” titah Mama dengan suara lantang.

Sana memperlambat langkahnya saat kakinya sudah berhasil menjejak di lantai dua tepat di mana kamarnya berada. “Udah kenyang.”

Adanya balkon kamar bukan semata-mata Sana gunakan hanya untuk pajangan. Tempat tersebut menjadi satu-satunya spot untuknya menghabiskan waktu sendiri, melepas penat, dan semua kekesalan yang berkecamuk dalam diri. Sana menarik salah satu kursi kayu yang terletak di sudut dan mendudukinya. Kedua tangannya bertopang pada permukaan meja bundar di depan, sementara indra penglihatnya sibuk menjelajah hamparan langit malam berisi berbagai macam benda langit.

Meski banyak tumbuhan hijau yang tertanam di sana, entah itu digantung, atau di dalam pot besar yang diletakkan di atas lantai, dada Sana tetap terasa sesak. Pasokan oksigen yang dihasilkan tumbuhan Aloe Vera pun tidak berdampak apa-apa. Kedua tangannya terkepal, bersamaan dengan itu air mata jatuh tanpa meminta persetujuan. Sana lelah, Sana ingin pulang ke rumah awal, atau mungkin rumah masa depannya.

***

“Nunu ... si kasep¹.”

Lelaki pemilik tatapan teduh itu menoleh, tersenyum kepada perempuan lanjut usia yang tengah duduk di sofa sebelahnya. “Iya, Nek?”

“Hari pertama sekolah teh² bagaimana? Lancar?” Perempuan tua campuran Sunda–Jawa yang kini dipenuhi oleh kerutan halus di seluruh permukaan kulitnya itu tersenyum, mengusap lembut bahu dari cucu kesayangannya.

Lesung pipi di sebelah kanan yang selalu tampak ketika kedua sudut bibir tertarik ke atas itu kini terbit, memberi keuntungan pada sang pemilik mengenai ekspresi wajah yang terlihat lebih jelas. Lelaki bernama lengkap Janu Egi Saputra itu menggeser tubuhnya, mendekatkan diri pada perempuan tua yang selalu memanjakannya sejak kecil. “Alhamdulillah lancar, Nek.”

Tos gaduh rencang?”³

Anggukan mantap mengiringi senyum lebar dari sosok Janu. “Udah, Nek.”

Mendengar pertanyaan dari sang nenek, sekelebat kejadian di dalam ruang kelas barunya kembali terputar.

“Dipanggil Sana atau Sini?”

Janu kira teman sebangkunya itu memiliki selera humor yang sama dengannya, tetapi ternyata salah. Gadis itu justru memasang wajah masam, kesal, seperti tidak menerima kehadirannya.

Gadis berambut hitam tergerai dengan poni yang menutupi jidat itu menatap name tag­-nya dengan sinis. “Janu atau Jalu?”

Spontan Janu menenggakkan tubuhnya dari sandaran kursi, menatap gadis ber-name tag ‘Sana Iryani’ dengan kening berkerut samar. “Janu! J-A-N-U. Not, Jalu! Perasaan udah jelas di papan nama gue,” tekan Janu yang tidak terima dengan penyimpangan nama miliknya.

Bukan Sana namanya kalau tidak balik menyinggung lawan bicaranya. Gadis itu mendengkus, tertawa ringan—tawa meremehkan. “Itu kalimat cocoknya buat Anda sendiri!”

Janu mengernyit, tidak mengerti akan perkataan yang dilontarkan oleh gadis di sebelah kirinya. Setelah mengatakan itu, Sana memusatkan tubuhnya untuk menghadap lurus ke arah depan ke buku tebal yang senantiasa terjaga dalam genggaman tangannya.

“Cewek aneh,” gumam Janu yang tanpa sadar terdengar oleh sang nenek.

Saha eta teh?”⁴

Janu tergagap mendengar pertanyaan yang dilontarkan untuk dirinya. Tangan sebelah kanannya terangkat, mengusap tengkuk leher yang mendadak meremang tanpa alasan. Tidak mau bertemu tatap dengan manik mata sang nenek yang terasa seperti mengintimidasi, Janu mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang tamu sembari menjawab, “Bukan siapa-siapa, Nek.” Janu menyengir, merasa bodoh akan isi kepalanya barusan. 


~SANA~


Note:
¹Kasep: Tampan
²Teh: partikel penegas
³Tos gaduh rencang?: sudah dapat teman?
Saha eta teh?: siapa itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro