Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Memori usang

“Hei, Yum! Dari mana?”

Sana yang sebelumnya fokus pada deretan huruf di layar benda berbentuk pipih itu mendongak—penasaran akan suara siapa yang tiba-tiba menyerang gendang telinganya.

“Eh, Ndre. Cari kado buat Ayah. Kamu sendiri dari mana? Sama siapa?”

Lelaki dengan kacamata yang bertengger di batang hidung itu melihat ke sekeliling. “Sama Lintang tadi, tapi nggak tau tuh anak ngilang ke mana.”

Lintang? Sana ikut mengedarkan arah pandang, mencari di mana keberadaan lelaki yang sudah cukup lama tidak bertutur sapa dengannya itu.

Astaga, Sana! Orang yang namanya Lintang nggak cuma satu, kali!” Sana merutuki kebodohan dirinya saat ini.

“Biasa, sih, kan anak cowok suka keluar malam cari angin gitu,” lanjut lelaki itu cengar-cengir, lalu beralih menatap Sana dengan kedua alis yang nyaris bertaut—merasa tidak asing dengan wajah gadis di depannya.

“Maaf, saya merasa terganggu dengan tatapan Anda,” ungkap Sana jujur, lalu mengeratkan tas selempangnya yang berada di atas pangkuan. Jujur saja, dia tidak suka ditatap, apalagi oleh orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Jadi, jangan salahkan Sana kalau bahasa yang dia gunakan begitu formal.

Menyadari sikapnya yang mungkin terkesan berlebihan bagi gadis di depannya, buru-buru Andre meluruskan. “Oh, maaf, nggak bermaksud apa pun. Aku cuma ngerasa wajah kamu cukup familier. Apa kita pernah bertemu?” tanya lelaki itu yang tampak mencoba mengingat di mana pertemuan pertama kali mereka.

Refleks Sana menundukkan sedikit pandangannya. “Maaf,” kata Sana mengawali apologia, “tapi saya tidak mengenal Anda. Kita juga baru pertama kali bertemu.”

Di tengah kecanggungan yang terjadi, Yumna dengan tiba-tiba saja tertawa renyah. “Baru juga ketemu. Si Andre ngada-ngada, nih. Ya, kali muka Sana pasaran!” katanya yang kembali tertawa—hanya dirinya—tidak dengan Andre dan Sana.

“Oh, iya. Kenalin, San, ini Andre, temen SMP-ku,” Yumna beralih menatap ke arah lelaki yang saat ini tersenyum hangat ke arah Sana, “dan ini Sana, Ndre. Temenku.” Kini tangan Yumna terulur memegang pergelangan tangan Sana.

“Hai Sana, salam kenal,” kata lelaki itu sembari membenarkan letak gagang kacamatanya.

“Salam kenal juga.”

Yumna yang berada di tengah-tengah menatap Andre dan Sana secara bergantian. Setelah sesi perkenalan yang hanya berlangsung beberapa menit lalu, kini keduanya tampak saling diam, mengunci mulut masing-masing.

Yumna berdeham, menghilangkan kecanggungan yang menyelimuti sekitar. “Jadi, gimana sekolahmu, Ndre? Lancar?” Gadis dengan rambut dikucir ala ekor kuda itu membuka suara.

“Lumayan. Kalau kamu gimana? Masih nyabet juara umum nggak?” Lelaki itu balik melempar pertanyaan dengan sedikit sindiran.

Beberapa saat sebelum menjawab, Yumna mendengkus, merasa kalau Andre begitu meremehkan kemampuannya. “Masih. Kalau aku niat tapi.” Lalu suara tawa keluar begitu saja, membuat suasana yang sebelumnya hening menjadi sedikit ramai dan asik bagi mereka, terkecuali Sana yang hanya bisa termangu di tempat—memperhatikan dan mendengar obrolan kedua insan di hadapannya.

“Jadi? Nyabet atau enggak?”

“Enggak!” Gelak tawa menghiasi meja bundar yang mereka tempati. “Nggak tau kenapa, akhir-akhir ini semangat belajarku menurun. Kemarin aja mau minta sontekan ke Sana.”

Sana yang mendapat tatapan serta senyuman dari Yumna ikut tersenyum sekilas, lalu kembali ke ekspresi semula.

“Payah! Kukira makin ambis.”

Tawa Yumna meledak, tetapi hanya berlangsung beberapa menit saja karena suara Sana yang menarik atensinya.

“Yum, aku ke toilet sebentar, ya?”

Yumna tersenyum, mengangguk. “Iya. Mau ditemenin atau sendiri?”

“Sendiri aja.”

“Oke. Hati-hati.”

***


Pandangan matanya melayang, menatap hamparan langit malam yang kelam—sama sekali tidak ada satu titik pun cahaya di sana, mungkin karena terhalang oleh sekumpulan awan abu yang siap menumpahkan derai tangisnya.

“Ayah emang nggak banyak bicara, dan mungkin lebih terkesan nggak peduli dibanding sikap hangat yang ditunjukkan Ibu. Tapi, sebenarnya Ayah sama seperti Ibu, peduli, dan sayang pada anaknya.”

Yumna tersenyum memandang langit dengan perasaan lega dan bahagia. “Kamu tau nggak, San? Aku pernah bertengkar hebat sama Ayah karena masalah jurusan yang bakal aku ambil, dan rasa bersalah itu masih aku rasain sampai sekarang.” Gadis itu tersenyum getir, kepingan memori yang tak perlu tersimpan itu kembali terputar ulang di kepala.

Sana hanya diam, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.

“Terkadang ada ego yang membuat kita berusaha keras mempertahankan pendapat, melupakan lawan bicara yang mempunyai hati begitu rapuh,” kedua matanya mulai terlapisi cairan bening, “kata nenekku, mau seburuk apa pun orang tua kita, yang namanya anak harus tetap menghormatinya.”

Sana menarik napas panjang, memberi ruang pada dadanya yang terasa sedikit sesak. Entah kenapa. Yang pasti dia sedikit tidak bisa jika harus membahas mengenai seorang ayah.

“Kalau semisal,” Sana memperlambat langkah kakinya, “ada hal yang terjadi di kehidupan kamu. Salah satu di antara mereka memilih menyerah, tanpa mencoba mempertahankan ikatannya. Apa kamu akan tetap menghargai keduanya? Kesal nggak, sih, Yum saat kamu melihat lelaki yang seharusnya kuat, berpendirian, menjadi lemah, hancur tak tentu arah, dan berakhir menyerah?”

Yumna menoleh ikut memperlambat langkah kakinya, menarik napas panjang menikmati dinginnya udara. Pun keheningan malam di dalam perjalanannya menuju rumah Sana.

Yumna tahu apa maksud dari kata ‘menyerah’ yang tengah gadis itu bicarakan. “Rasa kesal, kecewa, hancur, patah-sepatah-patahnya, itu pasti ada. Terlepas seperti apa hubungan mereka, takdirlah yang berbicara, San, dan kita sebagai anak harus tetap menghargainya. Karena kita nggak tau ketika mereka meratap, dipenuhi dengan segala penyesalan, dan kata perandaian.”

Sana terdiam, mencerna baik-baik perkataan dari gadis yang berjalan bersisian dengannya. Dadanya terasa sesak, bahkan rasa sesal dalam hati semakin menjadi-jadi.

Btw, kenapa kamu tiba-tiba tanya gitu?” Yumna menoleh ke arah Sana yang memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong.

“Udah, sampai, Yum. Makasih, ya. Maaf ngerepotin pakai acara suruh anter sampai rumah. Maaf juga nggak nyuruh mampir karena udah malam,” katanya diikuti dengan embusan napas lega karena tidak perlu berepot-repot membalas pertanyaan Yumna.

Gadis itu tersenyum hangat, memegang kedua bahu Sana, dan mengusapnya dengan lembut. “Nggak papa, San. Aku juga butuh waktu buat cepet sampai rumah karena lumayan jauh.” Yumna tersenyum, lalu kembali berkata, “Makasih, ya, udah mau nemenin aku cari kado buat Ayah.”

Sana mengangguk, lalu melambai sebagai tanda perpisahan.

Di bawah langit-langit kamar dengan penerangan lampu berdaya 15 watt itu Sana terduduk di lantai dengan tubuh menyandar pada kerangka tempat tidur.

Lelaki itu tersenyum, sangat sopan dengan sorot mata teduhnya yang memancarkan kehangatan. “Aku udah denger kemarin dari Janu kalau beliau ada di sini. Beliau ada di sekitar kita,” lelaki itu menarik napas, menatap Sana lekat-lekat, “aku yakin kamu bisa memperbaiki semuanya. Ini, kan yang kamu tunggu dari dulu?

Kedua tangan Sana meremas rambut dengan begitu kuat ketika perkataan lelaki yang ditemuinya di kafe tadi kembali menggema dalam ingatannya. Selama lost contact, mereka lama tidak saling sapa meski berada dalam satu ruang lingkup, dan baru kali ini tutur kata lembut berupa penyemangat serta keyakinan akan diri kembali Sana dapatkan dari lelaki itu.

Memang seperti ini yang dulu Sana inginkan—dulu—bukan sekarang.

Terlepas seperti apa hubungan mereka, takdirlah yang berbicara, San, dan kita sebagai anak harus tetap menghargainya.” Perkataan Yumna kembali terputar ulang dalam kepala.

“Saya ingin menemui Papa saya,” kata Sana ketika mendapat pertanyaan apa yang sedang dilakukannya di depan bangunan minimalis—yang sebenarnya pantas untuk disebut gudang karena ukurannya sangat kecil jika digunakan sebagai tempat tinggal.

Di depan teras itu, Sana yang sebelumnya sangat bersemangat dengan sebuah tumbler berwarna biru langit dalam genggaman tangan mendadak lemas ketika sang ibu pemilik indekos mengatakan kalau sosok yang sebelumnya meninggali tempat tersebut sudah pergi sejak kemarin petang.

Kedua bahu Sana merosot saat kenangan itu kembali menyembul dari balik memori-memori usang dalam dirinya. Pada saat itu juga, Sana kehilangan segala informasi mengenai beliau—semuanya. Kalau saja waktu itu Sana mempunyai gadget. Kalau saja waktu itu Sana tahu, dia pasti akan mencegahnya. Kalau saja semua ini tidak terjadi, dan pada saat itu-lah alam bawah sadarnya dipenuhi oleh kata perandaian penuh penyesalan yang amat menyesakkan.

“Nggak ada yang benar-benar bisa gantiin Papa di kehidupan Sana. Nggak ada, Pa ...,” lirihnya dengan sorot mata melemah.

***

Sana mencoba untuk tetap bersikap tenang setelah mendudukkan diri pada salah satu kursi di meja makan keluarga. Diam-diam dia melirik ke sosok pria yang duduk berseberangan dengannya. Garis rahang yang begitu tegas tampak mengeras—menatap ponsel yang memiliki ukuran lebih panjang dan lebar dari miliknya—mungkin pria tersebut tengah membaca laporan dari kantor.

“Gimana, San?”

Suara khas dari sosok wanita yang tak lain adalah Mama itu menarik atensinya. Sana mencoba tersenyum sebaik mungkin karena setelah semalam penuh, dia berjanji pada diri sendiri untuk berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.

“Udah ada beberapa pilihan, Ma. Tapi nanti Sana pilih dulu mana yang lebih cocok untuk Sana,” kata Sana tenang, sangat berbeda dengan tanggapan-tanggapan yang sebelumnya selalu dia pakai saat berbalas argumen dengan sang mama.

Mama mengangguk sembari meletakkan dua piring yang berisi menu untuk sarapan mereka.

Papa yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, kini menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Lalu memandang sang putri yang duduk di hadapannya. “Kamu udah yakin sama jurusan yang kamu ambil?”

Sana tersenyum, lalu mengangguk menanggapi ucapan dari sang papa. “Udah, Pa.”

“Seriusan, yakin?” Papa bertanya lagi sedikit skeptis.

“Iya.”

“Kamu itu bisa, San. Nilai kamu aja lebih tinggi dari anak tetangga kita dulu. Nggak mungkin juga kalau kamu tertolak untuk masuk fakultas kedokteran, kan?” Mama menimpali meski masih disibukkan oleh kegiatannya yang ke sana-kemari membawa peralatan makan.

Papa yang mendengar celotehan istrinya di pagi hari ini hanya bisa mengembuskan napas gusar, merasa perlu membelikan sebuah buku tentang bagaimana peran orang tua sebagai pendukung anaknya. Sementara itu, Sana hanya bisa mengangguk dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Mulai hari ini, Sana mau naik sepeda aja,” kata Sana tiba-tiba yang menarik perhatian sang papa, tidak dengan Mama yang baru terfokus pada nasi di atas piringnya.

“Jangan Sana. Nanti kamu capek. Bareng Papa aja, atau naik ojek online,” usul Papa, terdengar kekhawatiran dalam nada bicaranya.

Sana menggeleng. “Enggak, Pa. Sana naik sepeda aja.”

Mama yang merasa terusik akan obrolan yang sebenarnya bisa cepat diakhiri itu ikut angkat bicara. “Udahlah, Pa. Kalau Sana mau naik sepeda, ya, udah, biarin aja. Kok kamu repot banget pakai acara ngelarang-ngelarang segala.”

Sana tertegun mendengar respons yang diberikan oleh Mama. Entah kenapa, Sana merasa begitu sakit ketika mendengarnya. “Sana ketemu Pak Hendra, Ma,” katanya dengan suara bergetar menahan sesak mendalam. Lalu dengan mata yang mulai berkaca, dan jantung berdetak cepat, Sana meninggalkan meja makan, membiarkan Mama dan Papa terpaku di tempat.

~SANA~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro