Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lagi

Sana mengabaikan ponsel miliknya yang terus-menerus berteriak meminta untuk diangkat. Dia tahu siapa orang di balik nada dering panggilannya tersebut berbunyi, jelas sang mama. Siapa lagi? Beliau pasti sudah mengetahui kalau Sana tidak berada di rumah di sore menjelang petang ini.

"Ma, kenapa, sih, nggak pernah sekali aja ngertiin, Sana?" tanya Sana dengan suara lirih menatap layar ponselnya yang sudah padam—kembali menampilkan layar gelap tanpa penerangan. "Dokter dan dokter! Selalu kata 'dokter' yang keluar dari bibir Mama. Kenapa nggak Mama aja yang jadi dokter? Kenapa harus Sana? Kenapa Sana harus mengorbankan mimpi Sana hanya untuk mewujudkan mimpi Mama?" lanjutnya yang merasa belum puas mengeluarkan unek-unek dalam diri.

Jika ditanya apakah Sana kecewa, tentu saja dia sangat kecewa. Bagaimana tidak, ini mimpi Sana, dan Mama yang seharusnya berperan sebagai pendukung malah menjatuhkannya—memaksa agar mengikuti kemauan beliau dengan embel-embel "kalau nurut sama Mama, masa depan kamu pasti cerah". Dengan jaminan itu. Sana percaya, kok, hanya saja dia masih belum bisa menerimanya.

Menjalani suatu profesi yang begitu penting dengan setengah hati tidak akan mungkin bisa berjalan lurus, dan selalu baik-baik saja, kan?

Ponsel berukuran lima inci yang sebelumnya hanya menampilkan layar gelap itu menyala. Lagu berjudul "Night changes" karya One Direction itu mengalun indah. Sana mendesah, menatap kesal ke arah benda pipihnya yang akhir-akhir ini dia abaikan.

Kalau ditanya apakah Sana tidak terlebih dahulu izin untuk keluar kepada sang mama, maka jawabannya adalah tidak. Akan tetapi, semua itu terjadi bukan tanpa alasan. Tadi, sewaktu Sana merasa suntuk di dalam kamar, dan muak akan tumpukan buku yang tidak enak dipandang mata, dia memilih untuk pergi keluar. Lagi pula, dia merindukan nuansa kafe serta aroma kopi yang selalu berhasil menstabilkan suasana hatinya.

Hari sudah mulai gelap. Langit yang sebelumnya berwarna kelabu perlahan memunculkan semburat jingga. Hujan sudah mulai mereda, membuat Sana kembali menyesap kopinya yang sudah dingin sedikit terburu-buru karena takut kalau sewaktu-waktu hujan akan kembali turun sebelum dia sampai rumah.

Saat ingin beranjak dari tempat, Sana bergeming di tempat untuk beberapa menit. Netranya dikunci oleh kepergian Lintang bersama dengan remaja perempuan yang sempat membuatnya kagum beberapa waktu lalu. Keduanya memang terlihat serasi, tetapi sesuai pengamatan Sana, mereka berjalan seperti orang bermusuhan—sama sekali tidak menggamit jemari satu sama lain.

Sana tersenyum miris ketika suatu hal yang tidak seharusnya kembali muncul itu malah mengusik isi pikirannya. "Mikirin apaan, sih, kamu, San?" tegurnya pada diri sendiri sembari menggeleng-gelengkan kepala—menolak kejadian yang dirasanya aneh kembali singgah di memori kepala.

***

Sana masih diam sejak beberapa waktu lalu. Tatapannya kosong, sementara tangan yang menggelantung di atas meja seperti tidak bertenaga. Perkataan Mama yang menyambutnya seusai pulang dari kafe tadi masih menggema di telinganya.

Kenapa sulit sekali bagi Sana untuk menikmati dunia miliknya?

Sebuah benda yang terdiri atas satu perangkat mencangkup papan tombol, dan layar tampilan itu menyala di atas meja kayu berwarna putih. Meja yang digunakan Sana tidak begitu lebar, pun tidak terlalu tinggi. Selain kalender duduk, lampu belajar, serta beberapa buku tebal, Sana juga meletakkan lemari kecil di mana dia gunakan untuk menyimpan buku diari, notes, dan beberapa benda lainnya, seperti earphone, kabel cas, dan airpods.

Embusan napas gusar keluar dari bibir Sana. Tubuh yang sebelumnya lebih condong menatap layar laptop itu kini beralih menjadi tegak. Manik matanya menatap lelah ke arah papan berukuran kecil yang penuh dengan kertas berisikan jadwal belajar, janji kepada diri sendiri, dan beberapa kata penyemangat lainnya.

Kamar Sana tidak terlihat begitu sepi karena banyak sekali ornamen yang melekat di dinding, termasuk rak kayu yang digunakan sebagai tempat buku-buku bacaan, dan satu bingkai foto—yang mana terdapat potret sebuah keluarga kecil.

"Oke. Jadi, sampai di sini turunan fungsi aljabar, sampai bertemu di video berikutnya."

Sana mendengkus, menyadari kalau sedari tadi dia mengabaikan suara dari video yang terputar sampai habis.

Badan yang sebelumnya terasa seperti terhimpit beton kini perlahan diregangkan. Sana membenarkan cara duduknya menjadi lebih tegap dari sebelumnya. Matanya yang masih terang benderang layaknya sorot matahari yang menyinari bumi saat siang hari itu menatap ke arah pintu kaca pembatas antara balkon kamar.

Tanpa perlu melihat jam yang menggantung di dinding, Sana sudah dapat menebak kalau sekarang sudah pasti menunjukkan pukul setengah satu pagi. Entah, berapa lama dia berada di depan laptop. Selalu begini, dia pasti akan terjaga sampai jam dua pagi. Tujuannya sudah sangat jelas untuk belajar, tetapi kenapa ruang di kepalanya selalu berujung kekosongan?

"Apa mungkin, Sana bisa menggapai semuanya, Pa?" katanya sembari menatap langit malam yang bertabur bintang lewat pintu pembatas.

"Kalau pun kamu nggak bisa meraih apa yang kamu kejar, setidaknya kamu sudah berusaha sebaik mungkin. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali." Kata-kata pengingat itu kembali melintas dalam benaknya. Selalu seperti ini. Sana selalu menemukan kedamaian dalam diri sendiri yang tidak pernah dia dapatkan dari orang-orang tersayang di sekitarnya.

Senyum manis itu merekah, lewat tatapannya yang masih terlihat rapuh, dia menyapu sekilas bingkai foto keluarga di atas rak kayu di depannya. "Papa selalu bersama Sana," katanya penuh dengan keyakinan. "Maafin Sana, Pa. Maaf," lirihnya yang terdengar begitu memilukan.

***

Jam beker berbunyi nyaring, melenyapkan rangkaian peristiwa dalam dunia mimpi Janu. Tangannya meraba-raba lantai di sebelah kanan, sementara kedua matanya masih memejam—terasa berat untuk membukanya.

"Nunu ...."

Janu sama sekali tidak mengeluarkan suara, tangan yang sebelumnya mencari keberadaan benda itu kini beralih menahan bantal guna menutupi gendang telinganya.

"Eta alarm maneh teu hayang eureun."¹

Suara Nenek terdengar serak di indra pendengar Janu. Buru-buru Janu bangkit dari tidur, dengan mata mengerjap dia berusaha meraih benda yang selalu menemani tidurnya. "Ah, iya, maaf, Nek," kata Janu yang baru sadar kalau bunyi berisik dari jam beker miliknya bisa membangunkan tidur nyenyak sang nenek.

Letak kamar Janu dengan Nenek memang berdekatan, sama sekali tidak ada jarak. Maklum saja, rumah nenek Janu bisa dibilang minimalis, hanya terdapat dua kamar itu pun bersebelahan. Luas kamar yang ditempati oleh Janu hanya berkisar 2x2, tetapi Janu bisa dibilang paling lihai dalam menyiasati ruangan berukuran mungil tersebut. Terbukti dengan ruangan yang seharusnya terlihat sesak itu menjadi lebih luas karena jumlah furnitur yang tidak begitu banyak berada di sana—hanya beberapa yang menjadi pokok.

Hening. Setelah benda berbentuk bulat yang memiliki dua telinga itu berhenti berteriak, suasana kembali menjadi sunyi karena masih terbilang sangat pagi. Janu terduduk dengan kaki bersila dan kedua tangan yang mana memegangi benda tersebut.

"Ayo bangun Janu! Belajar! Sebentar lagi pagi datang."

Janu langsung beranjak dari kasur lantainya ketika perkataan itu menggema di ruang kepalanya.

Tidak seperti saat dirinya duduk di bangku SMP, kini Janu lebih banyak berubah. Bunda mengirim Janu ke rumah sang nenek bukan tanpa alasan, selain untuk menemani beliau yang memang tinggal sendirian, Bunda ingin Janu hidup lebih mandiri dengan uang seadanya, tanpa meminta tambahan lagi seperti dulu saat dia tinggal di Jakarta.

Setelah beberapa menit bernegoisasi dengan diri, Janu yang sebelumnya masih mematung di tempat kini berjalan ke arah kamar mandi yang berada di luar kamar. Ya, kamar mandi di dalam rumah Nenek hanya ada satu dan itu terletak sebelum dapur.

Janu selalu seperti ini, pintar dalam membagi waktu. Tepat pada pukul dua pagi, dia akan bangun untuk mempelajari suatu materi yang sudah dibahas atau pun yang belum. Mewanti-wanti diri kalau ada guru yang suka mengadakan ulangan mendadak seperti Pak Riyan, guru Matematika di sekolahnya dulu.

Tidak ada balkon kamar atau pun jalan raya yang dipenuhi oleh kendaraan bernomor genap ganjil berlalu-lalang. Letak rumah Nenek tidak terletak di jalan utama. Pun kedua kamar di dalam rumahnya hanya dilengkapi oleh masing-masing jendela yang terbuat dari kayu klasik tanpa kaca. Janu menguap beberapa kali, tetapi sebisa mungkin rasa kantuknya dia tahan dengan meminum air putih.

Rasanya baru beberapa menit Janu mendudukkan diri pada karpet lantainya, tetapi pagi dengan cepat datang. Janu tersenyum, ini adalah hari ketiga dirinya berada di sekolah, dan sudah satu minggu dia berada di rumah Nenek.

"Eh, si kasep atos gugah?"²

Suara ringan sang nenek menyambut paginya. Janu tersenyum, menampakkan lesung pipi yang menambah tingkat ketampanannya. "Udah, Nek. Nenek teh masak apa?" Janu menilik wajan penggorengan berisi kuah dengan berbagai macam rempah-rempah yang sudah dicampur oleh sang nenek.

"Ieu tutut. Kareuseup anjeun, leres?"³

Janu mengangguk tersenyum, beringsut, dan memejamkan mata ketika indra penghirupnya mengendus aroma yang keluar dari masakan sang nenek.

"Hm ... baunya enak, Nek."

Spontan sang nenek memukul bahu Janu, membuat sang pemilik pura-pura mengaduh.

"­Buru-buru ibak, kasep engke kabeurangan!" peringat Nenek yang langsung dipatuhi oleh sang cucu.

Tepat saat makanannya habis, jam yang melingkar di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul setengah tujuh di mana dia harus segera bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

"Udah jam setengah tujuh, Nek. Nunu tinggal siap-siap dulu, ya?" pamit Janu sebelum beranjak dari tempat.

Nenek yang baru saja menjejalkan satu suapan ke dalam mulut itu mengangguk. "Tong hilap nyandak tuang."

"Kotak bekalnya, kan nggak ada, Nek," sahut Janu dari dalam kamar, mengingat kotak nasi berbenuk hati berwarna merah muda yang dia berikan untuk Rara.

"Aya."

Janu keluar dari kamar, menghampiri sang nenek yang masih senantiasa menunggunya di meja makan. Tangannya terulur, menggeser sebuah kotak nasi dengan bentuk yang sama seperti sebelumnya dengan warna berbeda—ungu.

"Lagi?" batin Janu ketika menangkap wadah bekal di depannya. Kalau wadah untuk bekal bermacam-macam bentuk, kenapa hanya memiliki satu nama—kotak nasi?

~SANA~

Noted:
¹Eta alarm maneh teu hayang eureun: itu alarm kamu nggak mau berhenti.

²Eh, si kasep atos gugah?: eh, si ganteng udah bangun?

³Ieu tutut. Kareuseup anjeun, leres?: itu tutut. Kesukaan kamu, kan?

⁴Buru-buru ibak, kasep engke kabeurangan!: cepetan mandi, nanti kamu telat!

⁵Tong hilap nyandak tuang: jangan lupa bawa bekal.

⁶Aya: ada.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro