Kontak baru
Sudah hampir sepuluh menitan Sana memandangi layar ponselnya yang menyala—menampilkan sebuah foto pantai yang hanya terfokus pada warna merah jambu dari pasir pantainya. Perutnya yang terasa melilit terus mengeluarkan bunyi, sedetik diam, lalu beberapa detik kemudian kembali bersuara. Semua ini terjadi karena Sana sama sekali belum memasukkan apa pun ke dalam mulutnya, kecuali segelas air putih.
Tadi, sewaktu kepulangannya, Sana langsung dihadang oleh Mama di ruang tamu, diserang dengan serentetan pertanyaan yang membuat rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. Tidak ada perlawanan walau hanya sekadar beradu argumen. Sepanjang Mama berceloteh, Sana memilih untuk tetap diam karena rasanya akan tetap sama saja kalaupun dia menyanggah pendapat sang mama.
Bunyi notifikasi penanda pesan masuk dari aplikasi hijau yang sering digunakan untuk saling berkirim pesan itu menyita fokusnya. Sana terkesiap ketika mendapati nomor baru yang dia yakini Lintang-lah pemiliknya.
Di tengah kekacauan batinnya saat ini, lelaki itu masih menjadi satu-satunya sosok yang selalu bisa membuat Sana menyunggingkan senyum meski tidak sepenuhnya menyembuhkan rasa sakit yang dirasa.
Oke.
Sana membalasnya hanya dengan satu kata karena isi pesan yang dikirim oleh Lintang kurang lebih tentang perkenalan diri—takut-takut kalau gadis itu mengabaikan pesannya, dan pesan berikutnya menyuruh Sana untuk menyimpan balik nomornya.
"Tante Sandra nggak marahin kamu, kan?"
Lagi, Sana tersenyum dengan air mata yang menetes menuruni pipinya. Lintang memang tahu tentang permasalahan hidup yang tengah Sana hadapi, tetapi setelah beberapa tahun berlalu dan saling memutus kontak, keduanya sama-sama kehilangan informasi, terutama Lintang—yang tertinggal mengenai kehidupan Sana sekarang.
Belum sempat merampungkan rangkaian kata pada papan pesannya, suara ketukan pintu yang terdengar sopan menarik atensi Sana. Siapa orang di balik pintu kamarnya? Mama? Tidak mungkin. Atau mungkin Papa? Ah, Papa bahkan tidak pernah naik ke atas walau hanya sekadar untuk menikmati angin malam melalui teras lantai atas di sisi kanan kamar Sana.
"Sana, buka pintu kamarnya."
Sana mendesah, pertanyaannya terjawab sudah oleh suara khas milik seorang wanita yang beberapa menit lalu panggilannya sengaja tidak dia jawab. Dia sama sekali tidak berminat untuk makan malam bersama. Toh, buat apa? Sana juga yakin kalaupun dia berada di sana, nafsu makannya akan mendadak lenyap karena topik obrolan yang tidak jauh-jauh dari kepergiannya di hari Minggu ini. Atau mungkin menyinggung tentang masa depannya yang masih abu-abu.
Dengan penuh keterpaksaan, Sana bangkit dari tempat, meninggalkan benda canggih yang masih menyala menampilkan ruang obrolannya dengan Lintang.
Ketika pintu terbuka, kedua kelopak mata Sana membeliak begitu pandangannya jatuh pada nampan kayu dalam genggaman tangan Mama. Sana yang baru saja menyapu setiap isi nampan tersebut beralih menatap Mama tak percaya.
"Ngapain bengong? Buruan ambil. Jangan kebiasaan manja. Dikasih tau dikit aja langsung mogok makan."
Sana mengulum saliva dengan susah payah. Sama saja, tidak ada yang berubah. Dengan gerakan tangan perlahan, Sana mengulurkan tangan, mengambil alih nampan yang sudah disodorkan di hadapannya sedari tadi.
"Makasih, Ma." Sana tidak akan pernah melupakan tiga pilar yang mengiringi langkah hidupnya selama ini. Tiga kata yang memiliki makna dalam, pun dampak paling besar.
Tanpa membalas ucapan sang putri, Mama kembali berkata, "Selesai makan langsung dicuci." Mama melangkah pergi, tetapi sesampainya di anak tangga ketiga, beliau berhenti. "Makan di luar, jangan di dalam kamar." Suaranya kali ini terdengar sedikit melunak daripada sebelumnya.
Senyum tipis tersungging di wajah Sana. Entah kehidupan seperti apa yang akan dia jalani beberapa tahun ke depan. Lebih baik, atau sama saja seperti ini.
Kedua mata gadis itu mengerjap setelah embusan napas lelah meluncur lepas dari bibirnya. Sana melangkah masuk berniat mengambil ponsel terlebih dahulu sebelum menyantap makan malamnya di balkon terbuka di sisi kamar.
Sana mengetikkan balasannya yang sempat tertunda sembari berjalan ke tempat tujuan dengan susah payah. Tak perlu waktu lama untuk menunggu balasan karena sekarang ponsel pintarnya sudah kembali bergetar.
"Syukurlah. Jangan lupa makan sama minum."
Sana berdecak. Dengan kepala menggeleng dan senyum mengembang, jari jemarinya aktif di papan tombol.
Tanpa kamu ingetin, aku juga pasti bakal makan sama minum kali, Lin, wkwk.
Tapi, btw, thanks, ya.
Ponsel canggih itu dilepas di atas meja, bersebelahan dengan makanannya yang sama sekali belum disentuh. Sana menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi, lalu disusul embusan napas lega saat sesungging senyum terbit di wajah ayunya.
Tadi, selepas turun dari taksi, Sana langsung disuguhi oleh pemandangan sebuah bangunan berbentuk persegi empat yang menjulang tinggi. Bagian luar dari bangunan itu dihiasi berbagai susunan abjad yang membentuk nama dari mal tersebut. Dengan perpaduan keramik berwarna hitam di bagian paling atas—yang mana melekat pada bentuk persegi panjang paling menonjol—memberi kesan megah, dan wah.
Sana mengedarkan arah pandangannya ke penjuru mal yang mana hampir dua jam ini mereka singgahi.
"Kamu sering ke sini, Yum?" Pertanyaan itu melesat begitu saja ketika rasa takjub akan luasnya mal benar-benar membuatnya geleng-geleng kepala. Apalagi didukung oleh para pengunjung yang membeludak.
Gadis yang memperoleh pertanyaan dari Sana itu mengangguk tersenyum. Tanpa menoleh ke lawan bicara, Yumna membalas, "Ya, lumayan sering, sih, kalau weekend gini."
Mendengar pernyataan Yumna yang seperti itu, spontan Sana menoleh, menatap gadis di sebelahnya dengan mata menyipit. "Kalau udah sering ke sini, ngapain ngajak aku?" Protes Sana karena merasa Yumna telah menyita waktu belajarnya dengan percuma.
Yumna tersenyum tipis, lalu menggeleng kecil. "Pengin aja. Lagian awal kita temenan kamu nggak pernah mau pergi sama aku. Jangankan pergi, aku main ke rumah kamu aja kamu larang." Yumna mendengkus mengingat betapa banyaknya permintaan serta ajakan yang dia tawarkan pada gadis yang belum lama menjadi temannya itu, dan berujung ditolak.
"Coba, deh, kamu inget. Kamu mau nemenin aku, ya, belum lama ini. Itu aja cuma beberapa kali, masih bisa dihitung jari."
Tidak perlu mengingatnya dengan susah payah karena Sana sudah mengetahui jawabannya. Ada alasan juga kenapa Sana berlaku demikian. Sana mau menerima ajakan Yumna pun karena Mama tidak ada di rumah, seperti beberapa hari yang lalu saat dia diminta menemani gadis itu membeli kado untuk sang ayah. Pun saat ini, Mama kebetulan ada kepentingan dengan papanya.
"Maaf. Iya, aku tau. Nggak perlu diingatkan juga." Sana melenggang pergi dari tempat, tidak mau obrolannya merembet ke mana-mana. Toh, mereka baru akan dua tahun ini berteman. Lagi pula, orang lain tidak perlu tahu-menahu tentang keadaan keluarganya, apalagi segala permasalahan yang tengah dihadapinya.
Sana melarang Yumna main ke rumah karena satu alasan—Mama tidak suka jika ada orang yang mengganggu jam belajar putrinya. Kedatangan Yumna ke rumahnya terjadi dua kali ini. Pertama karena Sana yang mengizinkannya saat Mama tidak ada di rumah, dan yang kedua tanpa memberitahu kedatangannya, Yumna dengan seenak jidat menyelonong masuk saat pagar luar serta pintu rumahnya lupa dikunci—setelah kedua orang tuanya pergi.
Langkah kaki dari kedua gadis itu berjalan bersamaan di lantai dua. Sekadar informasi, mal ini terdapat empat lantai di mana lantai dasar merupakan pusat perbelanjaan pakaian, kebutuhan rumah tangga, dan retail. Lantai dua menjadi pusat makanan, dan bookstore. Lantai tiga di mana area timezone berada, dan yang terakhir lantai empat, ruang bioskop.
Perjalanan mereka hari itu berjalan normal sampai Sana bertemu dengan seseorang—Lintang.
"Ndre!"
Yumna yang sudah sangat hafal dengan teman semasa SMP-nya itu menegur, menepuk keras punggung lelaki yang tengah asik memainkan ponselnya. Bukan hanya Andre yang terkejut akan kedatangan mereka berdua, tetapi juga dengan lelaki yang duduk di seberang Andre.
"Eh, ada Lintang!"
Lintang yang kurang suka akan kondisi saat itu terlihat memaksakan senyum.
"Eh, kita boleh gabung nggak, nih?" tanya Yumna menunjuk Sana, dan dirinya bergantian.
"Boleh-boleh aja. Ya, kan, Lin?" Andre menoleh dengan sebelah alis terangkat meminta persetujuan Lintang. Sementara itu, lelaki yang tengah sibuk dengan alam pikirnya hanya mengangguki saja.
"Yum. Aku mau pulang. Katamu cuma sebentar," lirih Sana dengan kedua tangan menahan lengan Yumna.
Yumna mendesah, memutar bola matanya malas. Sana ini benar-benar! Apa dia tidak bisa menikmati hari liburnya dengan perasaan damai dan penuh kebahagiaan?
"San ... makan dulu. Nikmatin weekend kamu. Kek diburu tugas sekolah aja."
Sana menggeleng dengan wajah memberengut.
"Duduk dulu, lah. Kita makan bentar. Kapan lagi coba kita bisa makan bareng kayak gini?" Yumna mengambil alih salah satu kursi di sana, begitu juga dengan Sana yang mengikuti.
"Iya, San. Sekali-kali kamu coba makan bareng sama orang manis kayak aku." Andre ikut menimpali, sementara Lintang yang menundukkan kepala hanya mendengkus geli.
Ada empat orang memang, tetapi yang bersuara hanya dua saja, Yumna dan Andre—si manusia-manusia paling aktif. Sementara itu, Lintang dan Sana hanya diam, dan ikut menyahut seperlunya kalau memang dibutuhkan.
"Kamu kok bisa sampai sini, Yum? Ngapain?"
"Biasa, ke timezone."
"Kebiasaan kamu nggak berubah, ya!"
"Penghilang stres, Ndre! Gimana, sih, kamu!"
Keduanya tertawa tanpa memedulikan adanya kecanggungan di antara Lintang dan Sana.
"Kamu sendiri ngapain ke sini?"
"Tuh!" Andre menunjuk Lintang dengan ujung dagunya. "Si Lintang yang ngajakin keluar. Katanya jenuh dia kalau di rumah."
Merasa namanya disebut, Lintang hanya tersenyum kikuk ke arah gadis yang kini manggut-manggut setelah diberi penjelasan oleh Andre. Lalu setelah pandangan gadis itu beralih kembali, Lintang mencuri-curi pandang ke arah Sana yang asik menautkan jari jemarinya satu sama lain.
"Ikut bentar, yuk, Ndre."
"Ke mana?"
"Cari sesuatu," lirih Yumna berlagak apa yang tengah dia bicarakan itu sangat penting dan rahasia.
"Mereka berdua?" Andre melirik ke arah manusia-manusia yang asik dengan dunianya.
Yumna menoleh, melihat Lintang dan Sana yang hanya saling diam. "Biarin aja mereka tunggu di sini. Pada sibuk juga kayaknya." Gadis itu tersenyum lalu beranjak dari tempat sembari menarik pergelangan tangan lelaki yang sedari tadi diajaknya mengobrol. "Aku tinggal bentar, San," katanya menoleh ke arah Sana yang hanya dibalas dengan anggukan kecil, "Lin, titip, ya!"
Lintang mengangguk singkat, lalu kembali fokus pada benda pipih dalam genggaman tangannya.
"Soal kemarin aku minta maaf, ya."
Sana mengangkat kepalanya. Menatap Lintang yang ternyata sudah lebih dulu melihat ke arahnya.
"Tentang?"
"Di koridor sekolah, keluar dari ruang UKS."
"Oh." Sana mengangguk, mengerti apa maksud lelaki itu. "Nggak ada yang salah, kok. Aku cuma belum siap aja," lanjutnya dengan senyum paksa yang tampak menyedihkan.
"Nggak papa. Semuanya butuh waktu."
Sana mengangguk. Sungguh, lelaki itu tetaplah Lintang yang dulu dia kenal.
"Boleh save nomor kamu?"
"Buat?"
Lintang tersenyum sembari mengedikkan bahu dia membalas, "Kalau boleh."
~SANA~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro