Kali kedua
"Kamu beneran nggak ikut?"
Gadis yang tengah meringkuk membelakangi wanita berpenampilan rapi itu hanya menggeleng menahan rasa kram pada perutnya. Di setiap kali pergerakan dari tubuh sang mama menguar aroma khas yang menyebar ke seluruh penjuru ruang kamar. Tanpa menoleh pun, Sana tahu kalau mamanya pasti sudah tampil begitu cantik seperti biasa.
Kurang lebih sudah tiga tahun Sana tidak merasakan dinginnya udara malam bersama keluarga—menikmati setiap hidangan yang tersaji di atas meja, meski bisa dibilang sangat sederhana. Membakar jagung manis di atas bara api sekalipun dia sendiri tidak bisa menikmatinya karena tidak suka.
Suara ketukan yang dihasilkan dari langkah kaki beralaskan sepatu dengan hak tinggi itu menggema. "Mau titip buku apa?" tanya Mama yang terdengar lebih dekat berada di belakang punggungnya.
Orang tua mana pun kalau mau pergi yang ditawarkan pasti oleh-oleh berupa makanan, atau barang yang diinginkan sang anak, tidak melulu buku seperti mama Sana ini. Benar-benar kelewatan.
"Enggak ada, Ma," balas Sana yang terdengar begitu sayu.
"Kamu kenapa? Sakit?"
Sana menggeleng. Lagi pula untuk apa dia mengatakan perutnya kram? Toh ini memang sering dia rasakan.
"Ya udah kalau gitu, Mama sama Papa pergi dulu. Jangan lupa kunci pintu. Di rumah aja, jangan keluyuran!"
Sana menggumam menanggapi ucapan sang mama. Terkadang, di sela-sela Mama yang terlihat seperti tidak peduli, dan selalu bertindak otoriter kepadanya, beliau tetap mempunyai sifat keibuan—rasa kasih sayang penuh—yang mungkin selalu dipendam, tidak begitu ditunjukkan, atau hanya cara penyampaiannya yang berbeda dengan orang tua kebanyakan.
"Satu lagi," Mama berbalik, menatap punggung Sana, "jangan terlalu akrab dengan Hendra. Jaga jarak!"
Detik berikutnya, derit suara pintu ditutup terdengar, Sana mencengkeram perutnya dengan kuat, berharap bisa menghilangkan rasa nyeri yang kerap hadir ketika kedatangan tamu. Sana ingin melontarkan sebuah argumen pada Mama untuk perintah terakhir yang beliau sampaikan. Akan tetapi, mendadak niat itu diurungkan mengingat betapa tidak bertenaganya dia saat ini.
Tepat dua tahun lalu, sebuah kilas balik tak mengenakkan kembali terlintas dalam bayang ingatannya. Sana menarik tubuhnya menjadi terlentang dengan kedua kaki lurus. Sementara itu, netra berwarna cokelat terang miliknya menatap ke langit-langit kamar dengan sorot mata kosong—membiarkan pikiran menyelami masa di mana ada hal yang akan membuatnya bangkit.
"Kamu tau apa yang terbaik buat diri kamu, San," lirihnya seiring dengan air mata yang mulai mengalir membasahi pipi.
Sana tersenyum tipis. Kepalanya langsung terangkat ketika merasa ada sesuatu yang mengusiknya. Matanya melebar sedikit berkaca ketika melihat bayang seorang pria berkacamata dengan kedua tangan terlentang berdiri di depan pintu kamar—siap memberi kehangatan dalam bentuk pelukan.
"Papa?"
Pria yang dipanggil dengan sebutan 'Papa' oleh Sana itu tersenyum, lalu mengangguk sembari menggerak-gerakkan kedua tangannya yang terbuka lebar.
"Maafin, Sana, Pa." Hanya satu kalimat itu yang bisa Sana ucapkan, berkali-kali dalam beberapa minggu terakhir. Banyak luka yang mungkin tertanam di dasar hati sang papa karena dirinya. Sana ingin meminta maaf, bahkan mengulang segala hal yang seharusnya dia rasakan seperti anak putri lain kepada cinta pertamanya.
Setelah Sana mengucapkan satu kalimat yang membuat perasaannya sedikit jauh lebih tenang, dan melupakan rasa nyeri pada perut, pria berkacamata itu menghilang—meninggalkan Sana yang masih berusaha memaksakan senyum—yang hampir memudar.
"Sana janji bakal jadi yang lebih baik dari sebelumnya, Pa," kata Sana yang kemudian membawa pikirannya ke alam sadar. Sana beranjak dari posisinya, mendudukkan diri dengan bersandar ke dinding kamar.
Seperti biasa, meski malam ini hujan tidak turun, suhu udara dingin khas Bandung tetap membuat tubuh Sana sedikit menggigil dan berujung dengan membungkus tubuh menggunakan selimut tebal berwarna biru berkarakter kartun Stitch.
Sana masih bertahan dalam kuapannya, berusaha terjaga sampai Mama dan Papa tiba di rumah. Sampai jam dinding di kamar menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit, Sana masih setia pada posisi duduk meringkuk memeluk lutut, tidak ada aktivitas lain yang dia lakukan selain menggulir beranda dari akun sosial media miliknya.
Kurang dari lima menit kemudian, deru beserta suara klakson mobil terdengar. Kedua mata Sana yang sebelumnya meredup, mendadak menjadi terang seperti baru terisi daya beberapa watt. Dengan sigap, Sana bangkit dari duduknya meninggalkan ponsel dengan layar dipenuhi tampilan profil akun seseorang.
Ketika pintu utama terbuka, dengan tiba-tiba Sana dikejutkan oleh sekantung plastik di depan matanya, yang mana berisi satu kotak martabak telur—makanan kesukaan Sana. Dengan ragu-ragu, Sana mengambil alih pegangan pada plastik yang disodorkan oleh Mama.
"Martabak telur kesukaan kamu. Dimakan terus tidur. Jangan lupa minum obat penurun panas!" kata Mama yang terdengar seperti perintah.
Sana mengerjapkan mata berulang kali, berusaha menyadarkan diri kalau ini hanyalah mimpi. Namun, derap langkah dari sepatu hak tinggi Mama menginterupsi fokusnya. Masih dengan tatapan tak percaya, Sana memandang tubuh wanita yang masih terlihat segar itu menjauh darinya.
Apa kata Mama tadi? Makan, lalu tidur? Sana hampir saja terlonjak saking senangnya mendengar Mama begitu mengkhawatirkannya. Jujur saja, ini kali pertama Mama memperhatikannya, kembali.
***
Janu yang kini berada tepat di belakang Sana hanya bisa tersenyum masam—mengingat akan panggilan apa yang diperolehnya nanti setelah kejadian kemarin. Entah panggilan yang akan tetap terdengar asing, atau akrab, dia juga tidak tahu.
Gadis itu mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang, tidak lagi seperti kemarin—yang mana hanya dituntun, dan entah kenapa, menunggu Sana sekarang menjadi satu-satunya bagian dari segala kegiatan yang Janu jadwalkan.
Sepeda berwarna krim itu semakin melambat ketika akan memasuki gerbang sekolah. Dengan tiba-tiba suara gadis kecil yang tidak lagi asing dalam indra pendengar Janu, membuatnya menoleh.
"Kak Janu!" sapa gadis kecil itu yang tak lain adalah Rara. Gadis manis yang sudah cukup lama tidak menampakkan batang hidung di tempat di mana mereka berdua pertama kali bertemu.
Janu membalas lambaian tangan Rara sembari berseru, "Halo Rara. Apa kab—"
Belum sempat menyelesaikan sapaannya, Janu sudah terlebih dahulu tersungkur di jalan di depan warung-warung yang berjajar—tempat para murid menghabiskan uang saku mereka di pagi hari. Janu mengaduh kesakitan, pasalnya siku sebelah kiri miliknya menjadi tumpuan badan, tetapi di lain sisi dia ikut meringis ketika melihat sebagian tubuh Sana yang tertimpa badan sepeda.
"Mampus lo Janu!" umpat Janu pada dirinya sendiri. Baru kemarin dia meminta maaf, dan sekarang dia mengulangi kesalahan yang sama!
Beberapa murid SMA Mahardika yang berlalu lalang menghentikan langkah, datang mengerumuni Janu dan Sana. Benar-benar norak! Kurang kerjaan! Ini hanya kecelakaan kecil, kenapa mereka sekepo itu?
Janu mendengkus melihat banyak pasang mata yang menatap ke arahnya, lalu berganti ke arah Sana. Kedatangan mereka sama sekali tidak ada manfaatnya, selain menambah siswa lain penasaran dan ikut bergabung, mereka juga menciptakan sebuah lingkaran yang membuat Janu kesulitan bergerak.
Bukannya membantu mengangkatkan sepeda atau mengulurkan tangan, mereka malah cuma menonton sambil berbisik-bisik tentang Janu yang notabenenya masih dibilang murid baru.
"Ya Allah, si Eneng!" seru salah satu pedagang yang memang mengenal Sana sebagai pembeli langganannya. Pedangan tersebut berlari, menghampiri Sana dan membantu gadis itu bangkit dari sepeda yang menimpanya. Sebenarnya Sana bisa bangun sendiri, toh, cuma sepeda, bukan kendaraan dalam kapasitas dalam beban yang berat. "Si Neng teh nggak apa-apa?"
Sana mengangguk, meraih uluran tangan dari pria berpenampilan sederhana dengan topi khas untuk menaungi rambutnya yang sudah sedikit memutih. "Nggak apa-apa, Pak. Hatur nuhun," jawab Sana sedikit menunduk.
"Sami-sami, Neng."
Sebelum beranjak meninggalkan tempat, Sana menatap Janu sekilas. Bukannya meminta maaf, lelaki itu malah diam dengan sorot mata takut-takut menatap ke arahnya. Namun, tak ingin suasana hati bertambah buruk, Sana membawa sepeda miliknya itu keluar dari kumpulan para manusia kepo di sana.
"Si Ujang teh nggak apa-apa?" tanya pedagang tadi ketika melihat Janu yang dengan gerakan perlahan bangkit bersama sepedanya.
Janu tersenyum, lalu menyahut, "Nggak papa, Pak."
"Kalau begitu punten, si Bapak mau lanjut ngerapihkeun dagangan." Pria itu tersenyum, memberitahukan kesibukan yang belum terselesaikan.
"Iya, Pak, silakan."
Seiring dengan kepergian pedagang tersebut, para murid yang sebelumnya berkerumun ikut bubar, membuat Janu mengembuskan napas lega dengan memutar bola mata malas.
"Kak Janu, Kak Janu." Rara si gadis kecil itu berlarian dengan sebuah buku tebal yang entah berisi tentang apa—berada dalam dekapannya. "Kak Janu nggak papa?"
Janu tersenyum, sedikit membungkuk, lalu mengusap rambut hitam lembut milik Rara yang tergerai indah dengan sebuah bando berwarna biru sebagai hiasannya. "Kak Janu baik-baik aja Rara." Janu mengedarkan arah pandangnya, menelusuri area bawah pohon yang selalu digunakan Rara untuk berteduh. "Sendirian lagi?"
Gadis kecil itu mengangguk. "Iya, Kak. Rara udah lama nggak main ke sini karena sibuk ngerjain tugas sekolah."
Mata belok gadis kecil itu berbinar, menunjukkan sorot kebahagiaan yang sangat menenangkan bagi Janu. Sementara itu, kedua sudut dari bibir mungilnya terangkat, membentuk garis lengkung di sana.
"Wah, Rara udah sekolah lagi?"
Gadis itu manggut-manggut saja. "Iya, Kak Janu. Tapi sekolahannya bukan kayak sekolah Rara yang dulu. Berangkatnya juga nggak tentu. Tempat belajarnya juga."
Janu tersenyum lagi, mengerti akan sekolah gratis yang dimaksud oleh gadis mungil di depannya. Dengan tubuh sedikit merendah, Janu berjongkok, sementara tangan sebelah kanannya menyangga sepeda. Lelaki itu kemudian berkata, "Nggak papa, Rara. Di mana pun Rara sekolah itu sama aja. Sama-sama belajar. Jadi, yang terpenting sekarang Rara tetep bisa belajar sama kayak temen-temen Rara."
Gadis kecil itu menunduk, tidak memberi respons apa pun atas perkataan Janu.
"Ra ...."
"Iya, Kak Janu. Makasih banyak, berkat kotak nasi dari Kak Janu, Rara jadi punya tempat buat bekal ke sekolah." Gadis itu menyengir, menampilkan gigi putihnya yang sehat terawat.
"Sama-sama Rara cantik." Janu mengedarkan pandangan ke sekitar. Lingkungan sekolah mendadak sepi, begitu juga dengan area parkir kendaraan para siswa. "Rara, Kak Janu masuk dulu, ya. Rara langsung pulang, jangan main jauh-jauh. Jangan lupa juga belajar, ya."
Rara mengangguk sembari mengikuti pergerakan tubuh Janu yang kembali berdiri tegap ke posisi semula.
"Dah, Rara ...."
"Dadah Kak Janu."
~SANA~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro