Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hujan dan kenangan

Selama Pak Hendra menerangkan materi di depan, Janu merasa ada yang aneh dengan sikap teman sebangkunya itu. Pandangan Sana yang biasanya selalu terarah ke papan tulis utama sejak tadi hanya menunduk dengan tangan sebelah kanan yang terus-menerus mengetukkan pena ke permukaan meja.

Janu hendak menegur, bertanya 'ada apa', tetapi begitu mengingat betapa tidak diterima kehadirannya oleh Sana, dia mengurungkan niatnya. Terhitung sudah sebanyak lima kali Janu melirik Sana, dan arah pandang gadis itu masih setia menatap lembaran putih kosong yang sama sekali belum tergores tinta hitam di atasnya.

Suasana di dalam kelas cukup hening, sangat nyaman untuk memahami penjelasan dari Pak Hendra. Janu mengedarkan arah pandangnya, dia tahu apa yang membuat kelas barunya ini terasa sunyi, yaitu ketidakhadiran Sadan dan kawan-kawannya.

"Jadi, semua yang kita pelajari hari ini tentang turunan fungsi aljabar bisa ditemui di kehidupan sehari-hari." Pak Hendra mulai menjelaskan, dan memutar tubuhnya menjadi 180 derajat menghadap lurus ke arah para murid di depannya.

"Pertama, dan yang paling umum adalah untuk menentukan nilai minimum dan maksimum, percepatan dan kecepatan. Penerapan selanjutnya adalah bagi kalian yang tertarik dalam dunia teknik sipil. Kalian pasti membutuhkan turunan fungsi aljabar dalam membuat kontruksi bangunan. Baik untuk membuat tiang, langit-langit, ruangan, dan lain sebagainya. Begitu pun dalam pembuatan semua kendaraan juga menggunakan turunan. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang bisa kalian cari tau di internet.

"Sebelum belajar mengenai materi integral, kalian harus terlebih dahulu memahami tentang turunan fungsi ini. Jadi, buat yang tidak paham materi hari ini, bisa bertanya, dan apabila ada yang ingin ditanyakan saat kalian berada di rumah, silakan hubungi Bapak, atau meminta bantuan teman kalian yang sudah paham. Mengerti?"

"Mengerti, Pak." Semua murid menjawab kompak, kecuali Sana yang masih diam disibukkan oleh berbagai macam coretannya di atas kertas.

Sampai Pak Hendra mengakhiri kelas, buku Sana masih sama bersihnya sejak lembar buku itu dibuka, yang membedakan hanyalah kumpulan garis bertinta hitam di atasnya.

Janu menoleh, menatap miris buku Sana sembari berujar, "Bentar lagi ganti pelajaran, tulisan di papan tulis bakal dihapus," Janu menutup bukunya, memasukkan ke dalam tas, dan mengambil buku lain dari tempat yang sama, "lo yakin nggak butuh materi dari Pak Hendra?"

Mendengar ocehan dari lelaki di sebelahnya membuat Sana mengembuskan napas gusar. Siapa dia, sok-sokan memedulikannya. Tanpa menatap ke arah Janu, Sana mulai menyalin segala bentuk dan jenis tulisan yang berada di papan tulis utama. Diam-diam Sana mengembuskan napas lega karena selama pengamatan, Pak Hendra sama sekali tidak melihat ke arahnya, dan hal itu sudah menjadi bukti sangat kuat kalau beliau tidak menyadari keberadaan Sana di dalam kelas. Syukurlah.

Guru pelajaran Sejarah mulai memasuki kelas, dan beruntung Sana sudah menyelesaikan tugasnya menyalin materi pelajaran hari ini meski dengan fokus melayang, dan kepala yang berat. Jam terakhir di pelajaran Sejarah berjalan lancar, tidak ada halangan dari luar, meski batinnya terus-menerus merasa resah tak tenang.

"Baik, pelajaran kita hari ini cukup sampai di sini," Guru wanita muda berambut panjang yang dikucir ala ekor kuda itu menata buku paket di atas meja, "dan jangan lupa kerjakan PR. Sampai ketemu di minggu depan."

Bel pulang berbunyi, bersamaan dengan para siswa yang mulai berbenah membereskan peralatan sekolah.

"San, aku pulang duluan, ya!"

Sana mendongak, menatap Yumna dengan wajah datarnya, lalu mengangguk untuk menanggapi perkataan dari gadis itu.

"Lo nggak pulang?" tanya Janu yang bangkit dari duduknya.

Tidak ada jawaban. Janu tersenyum simpul melihat gadis yang kini menatap tas di atas pangkuannya dalam diam.

"Awas kesambet penunggu kelas," kata Janu yang kemudian melenggang pergi keluar kelas.

***

Derit pintu kafe menyadarkan lamunan seorang gadis berwajah pucat yang terduduk lesu sendirian di meja bernomor 39 di sisi kanan jendela. Gadis tersebut mengangkat kepalanya yang terasa berat, mengarahkan arah pandang ke sepasang insan berpakaian trendi yang baru saja memasuki kafe. Gadis berwajah pucat yang tak lain adalah Sana itu mengernyitkan kening ketika menyadari siapa sosok yang datang di tengah rinai hujan turun membasahi bumi.

"Lintang?" gumam Sana yang masih tak percaya.

Sana kira, lelaki itu sakit, atau ada kepentingan khusus yang mengharuskannya absen di sekolah, tetapi nyatanya sekarang? Dia jalan dengan gadis yang bahkan terlihat lebih dewasa darinya!

Tangan sebelah kiri Sana terangkat, menyentuh bagian kening berlagak merapikan poni, padahal berniat untuk bersembunyi—berharap Lintang tidak menyadari keberadaannya karena di mana  ada Lintang, kekesalan Sana pasti akan memuncak sampai ubun-ubun.

Sana mengembuskan napas lega ketika mendapati kedua pasang insan yang nyaris terlihat serasi itu menduduki meja dengan jarak lumayan jauh darinya.

"Bisa-bisanya jalan keluar, tapi nggak sekolah," gumam Sana dengan kepala menggeleng. Sebelum pandangannya beralih menatap rinai hujan lewat kaca jendela besar di samping kanannya, Sana menoleh—ingin melihat gadis cantik yang memasuki kafe bersama Lintang tadi.

Sebuah senyum simpul terbit di bibir mungil milik Sana. Raut wajahnya terlihat berseri. Jujur, dia merasa kagum dengan kecantikan bak dewi dari paras gadis itu. "Nggak salah pilih, sih. Orang cantik," kata Sana yang masih terpana dengan cara diam, dan anggunnya gadis tersebut.

Setelah puas mengamati keduanya, Sana mengubah arah pandanganya menatap tetes-tetes hujan yang berjatuhan tanpa mengeluh, mengaduh, ataupun mengeluarkam suara merintih kesakitan. Senyum tulus yang sudah beberapa jam lenyap dari dirinya itu kembali, bau tanah basah beradu dengan aroma kopi yang belum lama tersaji di depannya.

Biarkanlah seperti ini dulu. Sana ingin rehat, melepas segala penat dengan kesendirian. Tumpukan rumus dengan segala macam paksaan hanya akan membuatnya mati tak berkutik. Berlapis-lapis perkataan tak tahu kondisi hanya akan terus bersarang melemahkan otak, dan berakhir dengan menguras habis energi. Sana lelah, dia ingin bebas, dan menjalani kehidupan sesuai kemauan diri sendiri.

"Apa pun cita-cita Sana. Papa akan selalu dukung!" kata pria pemilik lesung pipi di sebelah kiri. Tangannya terulur, mengusap lembut puncak kepala sang putri.

Sana yang berumur sebelas tahun itu menengadah dari posisinya yang tidur terlentang di pangkuan sang papa. "Kalau semisal Sana pengin jadi astronot?"

Pria berkaus putih yang menyandarkan tubuh di dinding itu tertawa sembari mencubit gemas hidung milik Sana kecil. "Emang Sana mau kalau nanti nggak ketemu Mama sama Papa?" Alis sebelah kanan pria itu terangkat, menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulut anak semata wayangya.

Kalau sudah begini pertanyaannya, Sana tentu saja akan menggeleng sekuat tenaga. Dia tidak ingin hidup berjauhan dengan kedua orang tuanya. Bagi Sana, Papa dan Mama adalah oksigen untuknya, dengan begitu sudah dapat dipastikan kalau Sana tidak akan bisa hidup tanpa mereka.

"Nggak mau. Sana nggak mau jauh-jauh dari Mama sama Papa," rengeknya dengan mata memandang ke plafon ruang tamu.

Papa tersenyum, mengusap lembut bahu anak semata wayangnya. "Sana harus banyak belajar berdiri di kaki sendiri. Karena Mama dan Papa nggak bisa terus-menerus menemani Sana." Papa memandang raut wajah putrinya yang terlihat bingung, seperti menyimpan berbagai macam pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab.

"Papa sama Mama mau ninggalin Sana sendirian?" tanyanya dengan mata yang sengaja sedikit dibelalakkan.

"Nak ... nanti kalau udah gede, Sana pasti ngerti apa yang dimaksud Papa," Papa tersenyum. "jadi, cita-cita Sana apa?" lanjutnya mengalihkan topik obrolan.

Sana masih diam, tampak menimang-nimang cita-cita apa yang ingin dia raih untuk masa depannya. "Mm ... Sana pengin jadi kayak Papa aja, deh."

Lagi-lagi gadis berpipi tembam itu membuatnya tersenyum. "Jalani apa yang Sana sukai. Jangan melulu ikut kata orang, karena semuanya akan kembali pada diri Sana sendiri."

"Kalau semisal Sana nggak punya cita-cita gimana, Pa?" tanya Sana kecil yang mulai meragu akan impiannya karena saat guru menanyakan apa impian para muridnya, maka semua murid akan menjawab serempak ingin menjadi seorang guru.

Senyum hangat yang selalu Sana dapatkan itu merekah pada wajah Papa yang sedikit mulai terlihat kerutan halus di bawah mata. "Semua orang pasti memiliki impian, Nak. Dan terkadang impian itu berubah-ubah. Bisa jadi, Sana sekarang pengin jadi guru, besoknya Sana pengin jadi dokter, dan siapa tau besoknya lagi Sana pengin jadi seorang pembisnis. Nggak ada yang tau."

"Kenapa bisa begitu, Pa?"

"Karena lingkungan, masa, juga pengetahuan yang kamu dapat bakal mengubah cara berpikirmu, Nak. Kelak, Sana akan tau cara menyikapi hambatan-hambatan yang datang dalam langkah Sana menuju kesuksesan."

Sana terdiam, berusaha meresapi setiap kata yang keluar dari bibir sang papa.

"Sana jangan ragu untuk tetap melangkah maju. Ingat, Papa selalu mendukung Sana!"

Air mata Sana memaksa keluar, kepala yang sebelumnya berat, kini menjadi semakin berat. Matanya memanas, sementara tepat di ulu hati dia merasakan nyeri yang terdalam. Kenapa semuanya terlalu mendadak? Kenapa semesta seolah-olah tidak membiarkan Sana bernapas lega, hidup bahagia sesuai kemauannya?

Kedua tangannya menyiku pada permukaan meja, memegangi kepalanya yang nyaris tak tertahankan untuk disangga.

"Sana butuh Papa." Suara lirih itu teredam oleh derasnya hujan yang berjatuhan, bersamaan dengan itu pula air matanya kembali menetes.

Selain rapuh, Sana juga bisa dibilang cengeng. Cuma Papa, satu-satunya orang yang berhasil menenangkannya, membuat dia nyaman, dan merasa aman. Sayangnya, kenyamanan serta rasa aman itu tidak lagi bisa didapatnya. Seperti yang pernah Papa bilang, dia harus bisa berdiri di kakinya sendiri.

~SANA~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro