Dia kembali
Halaman yang tak begitu luas itu dipenuhi oleh rerumputan hijau tanpa satu pun tanaman tumbuh di sekitarnya. Janu yang tengah duduk di salah satu kursi kayu di teras rumah menghela napas panjang. Dingin udara di musim penghujan kali ini membuat tubuhnya sedikit menggigil. Meski sudah mengenakan sweter, kedua telapak tangan yang kosong sengaja Janu gesekkan hanya untuk memberi rasa hangat pada kedua pipinya-yang mana menjadi tujuan akhir kedua telapak tangan itu mendarat.
Sembari menghabiskan cokelat panas yang tadi sempat diseduhnya, Janu mengamati beberapa bunga milik sang nenek yang tumbuh di dalam pot-diletakkan tepat di pinggiran teras, dengan beberapa tumbuhan menjalar segar yang merambat pada tiang. Pada saat-saat tetesan terakhir, Janu bangkit dari duduknya, membiarkan mug yang tadi dia gunakan tertinggal di atas meja.
"Janu berangkat sekolah dulu, Nek!" pamit Janu sambil lalu meninggalkan teras rumah.
Ketika menginjak perbatasan pintu masuk ke halaman rumah, sepasang mata Janu menangkap sosok gadis yang tak lagi asing dalam indra penglihatnya. Kedua alis tebal itu nyaris tertaut dengan kerutan jelas yang tampak di dahinya-berusaha mempertajam penglihatan-memastikan kalau dugaannya benar.
Tepat saat jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa meter, Janu mengembangkan senyum penuh arti. Tanpa berpikir panjang, ide yang terlintas membuatnya berbalik, berlari ke arah gudang di samping rumah.
"Nek, Janu berangkat! Sepedanya Janu bawa, nggak hilang. Jangan dicariin!" teriak Janu yang tengah mengayuh keluar dari gudang sepeda Hybrid berwarna hitam kesayangannya.
Bunda memang sengaja membawakannya saat mengurus kepindahan sang putra. Lagi pula, tidak akan ada yang memakai kendaraan beroda dua tersebut, karena Papa sudah tidak ada waktu luang untuk menyegarkan pikiran. Sementara itu, Bunda tidak suka, kata beliau betisnya akan terasa pegal, padahal Janu sudah sering kali mengingatkan kalau hal seperti itu sering terjadi karena kurang terbiasa.
Kedua sudut bibir Janu terangkat, mengembang ketika menemukan gadis bersama sepeda Polygon Sierra AX berwarna krim yang dituntun tidak jauh dari tempatnya berpijak sekarang.
Janu berdeham ketika sepeda beroda tebal miliknya bersejajar dengan langkah kaki Sana yang tampak terlewat santai.
"Bawa sepeda kalau nggak dinaiki buat apa?" sindir Janu dengan memicingkan mata. "Bener-bener definisi dari mempersulit hidup!" lanjutnya diakhiri dengkusan serta gelengan kepala.
Gadis dengan rambut dikucir ala ekor kuda itu menoleh, ketika tatapan keduanya bersirobok, dengan cepat-cepat Sana mengalihkannya-lalu menatap lurus ke arah depan dan kembali berjalan cepat. Sementara itu, Janu yang menyadari hal tersebut mengulum senyum dan mendengkus.
Tidak menyerah hanya karena diabaikan, Janu mengayuh sepedanya sedikit lebih cepat-menyusul ketertinggalannya. Kedua bola matanya bergerak mengamati struktur sepeda Sana, mulai dari keranjang yang terpasang hingga di kedua rodanya.
"Ini sepeda lo beneran rusak apa lo yang nggak bisa naik sepeda, sih?" Janu menghela napas panjang sebelum kembali berbicara. "Terus kalau emang lo nggak tau cara gunain tuh sepeda, ngapain harus susah-susah dibawa? Kan lo bisa jalan kaki kayak biasanya. Nambah beban hidup aja, sih, lo!" lanjut Janu yang tak ada habis-habisnya mengoceh di sepanjang perjalanan.
Tidak juga menerima respons, lelaki itu mendekatkan sepedanya, lalu berteriak tepat di sebelah telinga Sana. "Sin!"
Sana menepikan sepeda ke samping trotoar, menghentikan langkah sekaligus menstandarkan kendaraan hadiah dari ulang tahun sebelumnya. Sana meniup kepalan tangan sebelah kanannya, lalu menempelkan tepat di telinga yang baru saja menjadi sasaran suara keras Janu.
Dengan tangan sebelah kiri yang memegangi setang, dan sebelah kanan bertumpu pada dudukan, Sana menatap nyalang lawan bicara yang ikut berhenti di sampingnya. "Jangan berteriak terlalu dekat! Bisa pecah gendang telinga saya," ketusnya. Lalu kembali menatap Janu dengan mengacungkan jari telunjuknya ke hadapan lelaki itu-memberi peringatan. "Dan satu lagi. Nama saya, Sana!" lanjutnya sambil lalu meninggalkan Janu yang masih terdiam di tempat dengan wajah tanpa dosa.
"Jangan berteriak terlalu dekat? Bisa pecah gendang telinga saya. Dan satu lagi, nama saya, Sana!" Janu mengulangi perkataan Sana dengan meniru gaya bicaranya. "Dasar! Cewek aneh!"
Sedikit informasi, letak rumah Sana tidak begitu jauh dengan lokasi sekolah, hanya berjarak kurang lebih 900 meter. Sementara itu, jarak sekolah dengan rumah nenek Janu berkisar 825 meter. Biasanya Sana menempuh perjalanan ke sekolahnya dengan menaiki ojek online, itu pun bisa dihitung oleh jari, karena dia lebih menikmatinya dengan berjalan kaki.
Jalanan yang mereka lewati bukan jalan utama. Jadi, tidak begitu banyak kendaraan yang berlalu lalang di sana. Karena tertinggal, Janu mengayuh sepedanya dengan begitu bersemangat, dan tanpa sengaja menabrak ban belakang sepeda Sana-mengakibatkan keduanya terjatuh.
"Astaga Janu!" pekik Janu histeris ketika melihat Sana yang tersungkur di pembatas trotoar dengan raut wajah meringis menahan sakit. "Sori, Sin. Gue nggak sengaja, seriusan." Lelaki itu mengacungkan telunjuk serta jari tengahnya-tanda bahwa ucapannya 'serius'.
Kedua netra berwarna cokelat terang itu menatap kesal Janu. Kenapa lelaki itu selalu mengusiknya? Menggaggu ketenangannya?
Tanpa mau berepot-repot, Sana bangkit dengan menahan rasa nyeri pada beberapa tempat di tangannya. Sebenarnya tidak ada luka yang terlalu parah, hanya lecet pada bagian siku tangan-sedikit terkelupas karena tergesek permukaan trotoar yang kasar.
"Lain kali, belajar naik sepeda yang bener!" kata Sana sebelum meninggalkan Janu yang masih terduduk di tempat.
***
"Aduh! Sori." Sana berjongkok mengambil buku cetak yang jatuh berserakan di atas lantai karena kecerobohannya.
Lelaki itu tidak menyahut, hanya mengangguk, lalu ikut berjongkok dan membantu Sana membereskan semuanya.
"Makasih, ya," kata Sana yang belum sadar akan siapa sosok yang ditabrak dan membantunya itu.
"Sama-sama."
Suara itu?
Sana mendongak, dan betapa terkejutnya ketika menyadari siapa siswa yang sudah berdiri di depannya. "Lintang?"
Lelaki itu hanya tersenyum, sedikit ragu untuk memulai sebuah percakapan bersama seorang gadis yang sudah cukup lama menghilang dari pandangannya.
Sana mengedarkan arah pandang, mencari keberadaan dua teman Lintang yang sama sekali tidak pernah absen untuk selalu bersama. "Tumben sendirian. Yang lain ke mana?" Setelah menelan saliva dengan susah payah, akhirnya sebuah pertanyaan yang sedari tadi dirangkainya keluar begitu saja.
"Ke kantin," jawab Lintang yang langsung paham akan maksud pertanyaan Sana. Bukan bermaksud irit bicara, hanya saja, Lintang memang sengaja menjaga jarak agar tidak begitu akrab. Daripada membiarkan denyut jantungnya yang berdetak tidak normal, lebih baik dia menyusul dua sahabatnya-Sadan dan Ade. "Aku ke kantin duluan."
"Lintang!" panggil Sana dengan suara sedikit keras, tetapi tidak begitu menyita perhatian para siswi di sekitar karena mereka terlalu fokus dengan obrolan masing-masing.
Lelaki itu berhenti, tak berselang lama, menyerongkan tubuhnya dengan titik fokus terkunci ke arah Sana.
"Terima kasih soal semalam. Dan maaf atas kesalahanku selama ini." Dalam hati, Sana selalu berharap agar dijauhkan dari Lintang tanpa harus terlibat hal sekecil apa pun dengan lelaki itu, tetapi ternyata takdir berkata lain. Meski sudah saling melepas, dan memutuskan untuk tidak saling berhubungan, keduanya masih dan akan tetap berjumpa di dalam kelas.
Lintang tersenyum simpul, hanya beberapa detik saja, setelah itu Sana tidak lagi melihat satu garis lengkung yang terukir dari kedua sudut bibirnya.
"Aku sama sekali nggak bantu apa-apa."
Sana menggeleng, lalu mengayunkan langkah ke tempat lelaki itu berdiri. "Kamu sangat membantuku, Lin," sahut Sana dengan senyum tulus yang merekah-senyum yang sudah cukup lama tidak ditunjukkannya pada siapa pun-hanya kepada Lintang.
"Hanya hal kecil, bukan besar."
"Tapi sangat berarti."
Lintang terdiam, mencoba menghalau rasa gugup yang menyerangnya secara tiba-tiba. Lelaki itu mengedarkan tatapan ke segala arah, dan berhenti saat netranya tidak sengaja melihat siku sebelah kiri Sana yang luka.
"Siku kamu kenapa? Habis jatuh? Kenapa nggak diobatin? Jangan biarin luka sekecil apa pun terbuka," katanya yang tanpa sadar menunjukkan sorot mata kekhawatiran serta suara sedikit bergetar.
Sana tersenyum, kedua matanya sedikit berkaca karena melihat rasa kekhawatiran pada dirinya kembali dalam diri Lintang. "Aku nggak papa, kok. Lagian ini cuma luka kecil." Sana tersenyum lagi, meyakinkan pada Lintang kalau dia baik-baik saja.
"Perlu ke UKS?"
Sana menggeleng. "Enggak. Gini aja nanti sembuh."
Lintang menatap kedua manik mata Sana sedikit ragu.
"Seriusan. Aku berani jamin kalau nanti sore luka ini pasti udah kering." Sana mengacungkan kedua jarinya—telunjuk dan jari tengah—yang berarti perkataannya serius.
"Oke." Lintang mengangguk saja, karena mau sekeras apa pun dia menawarkan diri membawa Sana ke UKS, gadis itu pasti akan tetap menolaknya. "Aku anggap itu janji," lanjutnya setelah mengambil napas panjang sebagai jeda pembicaraan.
Sana mengernyit. "Kenapa janji? Ini luka, kan di tanganku."
"Justru karena itu," sahut Lintang yang langsung melenggang pergi dari hadapannya.
Sana menyingkir ke tepian, membawa tubuhnya lebih dekat ke tembok-menyandarkannya dengan sebelah tangan mendekap buku, dan yang luka tetap pada posisinya-lurus ke bawah karena akan terasa begitu nyeri ketika tertekuk. "Justru karena itu." Sana mengulang perkataan terakhir Lintang yang melintas dalam kepalanya dengan pipi bersemu.
***
Di sepanjang kegiatan belajar mengajarnya di dalam kelas hingga sekarang, lelaki bernama Janu itu tidak henti-hentinya memanggil nama Sana diikuti dengan rentetan berisi permintaan maaf.
"Sana! Ah, elah. Lo beneran nggak mau maafin gue?" kata lelaki itu yang ikut-ikutan menuntun sepedanya di belakang Sana.
Sana memang bisa dibilang kurang kerjaan. Benar kata Janu, hanya menambah beban hidup saja. Buat apa bawa sepeda kalau berujung tetap jalan kaki? Sama sekali tidak ada bedanya!
"Sana!" pekik Janu yang masih tidak mau menyerah. Demi Tuhan, Janu termasuk ke salah satu orang yang mudah overthinking. Dia juga orang yang tidak enak-an-mudah merasa bersalah jika ada tindakan yang dia lakukan mengusik ketenangan lawan bicaranya. "Sana! Maafin gue, dong. Seriusan, gue sekolah pengin cari temen, bukan musuh," terangnya kembali mengulangi sebuah pernyataan yang mana pernah diucapkanya kala itu.
Gadis itu masih terus terpaku ke arah depan, membiarkan Janu menyebut namanya berulang kali dengan benar. Ya, biarkan saja, lelaki itu memang harus membiasakan diri untuk menyebutkan namanya dengan baik dan sesuai susunan abjad.
"Sana Iryani! Masyaallah!"
Sana yang mendengar nada frustrasi dari lelaki itu mengulum senyum.
"Gue bener-bener minta maaf!"
"Saya maafin dengan syarat panggil saya sesuai nama yang diberikan oleh kedua orang tua saya!" balasnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah belakang.
"Dari tadi juga gue panggil nama asli lo!"
"Bukan cuma sekarang tapi seterusnya."
Janu mempercepat langkah kakinya, lalu berjalan bersisian dengan Sana. "Oke. Jadi, maafin gue. Dan berhenti panggil gue dengan sebutan 'Anda'. Asing banget tau nggak!"
Sana mendengkus, menoleh ke lawan bicaranya sembari berkata, "Memang asing!"
~SANA~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro