Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02. Open When It's Your Birthday

P-man P-man Pman

Kupanggil dia P-man suaranya riang

Datanglah oh P-man datanglah ke rumahku

Datanglah oh P-man ke dalam hatiku~

***

Ada yang bisa lanjutin lagunya?

Hello, maaf membuat kalian lama menunggu. Samuderkha kembali, dan ada sebagian nanti di part ini yang merupakan pengulangan dari cerita Rindang, terserah aja mau skip apa enggak. Keep your expectation low on this story, hehe.

***

Selamat ulang tahun, Rendang.

Aku tahu kamu sedang menunggu ucapan ini. Dan aku juga tahu apa yang sedang kamu harapkan. Kamu pikir aku nggak cukup peka waktu kamu nyindir-nyindir set komik yang kamu mau itu? Maaf, kepekaanku nggak kayak kamu, Lilinku.

Tapi, alih-alih satu set komik, aku mau ngasih kamu satu set surat.

Untuk kamu baca saat kamu memerlukannya. Ingat, hanya saat kamu memerlukannya. Jangan curang curang.

Dan bersama surat ini, aku kirimkan foto, agar mengurangi kangen. Tapi satu saja, jangan sampai kangen kamu hilang. Aku kepengin disambut di depan pintu.

Selamat ulang tahun, Rendang. Terimakasih telah berbagi dunia yang sama denganku.

PS: Set komiknya aku simpan di bawah kaktus kamu, coba periksa.

PSS: I love you.

PSSS: So much.

***

Love is ... the weirdest thing ever happened to creatures on earth.

Itu yang pertama kali ia pikirkan ketika melihat gadis itu, sepuluh tahun lalu. Hujan barusaja berhenti, waktu itu. Matahari mengintip sendu melalui celah dedaunan. Komorebi. Gadis itu lewat begitu saja di depan rumahnya, tanpa tahu efek yang akan ia timbulkan di tahun-tahun berikutnya.

Samudera yang saat itu mengeluhkan motor yang rusak harus berdamai dengan sepeda berdebu, mengayuh pedal di belakang gadis itu dan dengan cepat memperpendek jarak di antara mereka.

Tidak ada yang istimewa, awalnya. Rambutnya pendek, sedikit beterbangan tertiup angin. Tubuhnya juga pendek, kecil. Tapi rok seragamnya tidak pendek. Dan ia mengayuh pelan sepeda berkeranjang berwarna hijau.

Samudera terus mengayuh sepeda di belakangnya, di atas permukaan aspal yang masih basah dan sedikit berlubang-lubang dengan genangan landai di sana sini. Pelan. Pelan sekali sampai-sampai ia menduga gadis itu tertidur sambil mengayuh sepeda saking pelannya. Tapi hari itu masih sangat pagi, langit masih remang-remang dan udaranya terlalu bersih untuk dilewatkan, hal yang jarang ditemukan di Jakarta, meski hanya pinggirannya. Jadi ia diam saja, di belakang gadis berambut pendek itu, tersenyum ketika samar-samar telinganya menangkap lagu 'Hey! Baling-baling bambu! La la la. Aku sayang sekali~ Dorkhaemong~'.

Tidak ada yang istimewa, awalnya. Sampai ia menyadari bahwa ia tidak menemukan penampakan tas di manapun. Tidak di punggungnya, tidak di keranjang sepedanya. Tidak dimana-mana. Jadi gadis itu ... ke sekolah, tanpa membawa apa-apa, begitu?

Ia mengernyit bingung tepat ketika mereka tiba di parkiran. Si ... Dorkhaemongia memutuskan untuk memanggil gadis itu demikian, untuk sementaraberlari menuju lorong kelas, lalu kembali dua detik kemudian dengan wajah kebingungan. Panik, ia sepertinya mencari keberadaan tas itu pada keranjang dan setiap bagian sepedanya, seolah sebuah tas berisi buku-buku dan peralatan sekolah bisa diselipkan di sela-sela ban. Tetap tidak ada. Sebegitu bingung wajahnya sampai ia tidak menyadari keberadaan Samudera yang memarkir sepeda tepat di samping sepedanya.

Dasar cewek aneh.

Besoknya, motornya masih belum kembali dari bengkel. Samudera menemukannya lagi lewat di depan rumah. Lagi, mengayuh sepeda di belakang sambil mengira-ngira, apa yang mungkin ketinggalan. Sepatu ada. Tas ada. Baju ... ya, ia pakai. Tapi salah. Seragamnya salah. Hari ini Kamis, harusnya batik, namun ia masih setia dengan putih abu-abu.

Samudera mengulum senyum sepanjang jalan, membayangkan wajah paniknya lagi sesampai di sekolah.

Ajaib.

Esoknya lagi, motornya telah kembali berfungsi. Ia tidak menggunakannya, lagi-lagi mengayuh sepeda dan membuntuti Dorkhaemong, yang anehnya, seperti tidak pernah sadar dengan keberadaannya. Tiap pagi menunggu. Tiap pagi membuntuti. Tiap pagi meneliti, apa yang kira-kira gadis itu lupakan pagi ini.

Kemudian pada satu pagi, ia memberanikan diri menyapa.

"Hai," ujarnya dengan jantung yang meronta-ronta di dalam rusuk, berbanding terbalik dengan cengiran di bibirnya.

Samudera memperlambat laju sepedanya hingga menyamai kecepatan gadis itu, bersisian dengannya, mengambil separuh jalan hingga pengendara di belakang kadang harus membunyikan klakson menyuruh menyingkir. Samudera tidak peduli.

Gadis itu menoleh sedetik, hanya sedetik. Ia tidak mengembalikan senyuman Samudera. Tidak juga sapaannya.

Dia nggak ... berkekurangan pada pendengaran, kan?

"Pagi." Ia mencoba lagi, yang kembali tidak mendapat tanggapan. Kemudian mengulurkan tangan kanan, membiarkan setang dipegang hanya oleh tangan kirinya. "Gue Samudera."

Hening. Gadis itu meneruskan kayuhan sepedanya dan Samudera mulai bertanya-tanya apa yang salah.

Ia juga mencoba mengimbanginya. Ketika gadis itu melambat, ia melakukan hal sama. Ketika gadis itu menambah laju, ia dengan mudah mengejar. Hingga wajah yang hampir setiap waktu terlihat seperti anak hilang itu menunjukkan ketidaksukaannya, Samudera mulai mengerti kenapa.

Ia mencobanya lagi pagi Senin, waktu itu saat upacara bendera. Sengaja tertinggal waktu karena menunggu gadis itu, yang lewat sepuluh menit lebih lambat dari biasanya. Ia mencoba mengajaknya bicara. Sekali lagi, nihil, hasilnya nol besar. Sia-sia. Gadis itu tidak pernah mau meluangkan waktu untuk menatapnya.

Sampai mereka berdiri bersisian di barisan yang berbeda, di samping dewan guru. Sengaja, untuk memamerkan murid-murid terlambat yang tidak patut dicontoh. Dan kehebohan terjadi pagi itu.

"Kok bisa dia mendadak nggak hadir?!" Hardik Pak Rahmadi pada gadis yang Samudera kenali. Kalau tidak salah, dia adalah ketua kelas XI IPA 1? Sasha? Sashi? Sashi, namanya. Pacarnya Rafid.

"Nadine sakit perut katanya Pak. Diare, kebanyakan ngemil nanas pake micin."

Pak Rahmadi mendengkus. "Terus, siapa yang menggantikan?"

Samudera melirik para petugas upacara. Kelas gadis di sampingnya ini, bukan? Ia melihat mereka kemarin-kemarin. Selain Sashi yang berpakaian rapi dan terlihat habis berlari dari depan kelompok paduan suarajadi dirigen, sepertinyaia juga mengenali seorang lagi, berambut panjang lurus seperti Cinta dalam AADC, bedanya, Dian Sastro punya alis tebal.

"Ini aja, Pak," tunjuknya pada gadis berambut pendek di sampingnya bahkan tanpa berpikir dua kali. "Bukannya dia bagian dari kelas itu, ya?"

Seketika, gadis itu menoleh padanya. Sangat cepat sampai Samudera khawatir dengan keadaan lehernya.

"Tunggu!" Sashi buru-buru menyanggah. "Maksudnya, Dia ... harus gantiin Nadine bacain Undang-Undang Dasar?"

"Anggap aja sebagai hukuman, Pak."

Ketika ia menoleh, gadis itu tengah menatapnya dengan mata kecil yang coba dilebar-lebarkan. Dan perlu banyak tenaga ekstra bagi Samudera untuk menahan dirinya di sana, untuk tidak tertawa.

Ia suka ekspresi itu. Ia ingin melihatnya lagi. Setiap hari kalau bisa.

"Siapa nama kamu?" tanya Pak Rahmadi, membuat perhatian gadis itu pada Samudera akhirnya direnggut.

"Rkhindang, Pak. Rkhindang Dawen Kaayat," gumamnya.

"Siapa?!"

"RKHINDANG, PAK!"

Rkhindang?

Apa aneh jika ia senang mendengarnya? Maka ia tersenyum sepanjangan gadis itu berdiri di depan dengan petugas upacara lainnya, dengan lantang membacakan "Undang-Undang Dasarkh Negarkha Rkhepublik Indonesia. Tahun serkhibu sembilan rkhatus empat puluh lima..."

Dan ketika hampir seantero sekolah menahan tawa karena pengucapan itu, gadis itu menatapnya, tajam, seolah berjanji bahwa ia tidak akan pernah melupakan Samudera meski seumur hidup.

Bagus. Pendekatan tercapai. Sekarang ia bukan lagi hanya angin lewat. Dan sepertinya, ia akan terus melakukannya, menjahili gadis itu. Demi tatapan kesalnya. Demi mendengar suaranya dan karat pada huruf R-nya. Demi gadis itu menyadari bahwa ... ia ada.

Samudera tersenyum pada diri sendiri. Jawabannya lebih mudah dari yang ia kira. Membuat gadis itu menyadari keberadaannya, mengingatnya bahkan hingga tahun-tahun berlalu, juga sama mudahnya. Namun untuk membuat Rindang menyadari perasaannya yang sebenarnya? Itu PR besar. Ia hampir meruntuhkan Gunung Bromo demi itu semua.

Rindang tidak banyak berubah. Rambutnya masih pendek, menyentuh bahu adalah rekor rambutnya terpanjang. Hanya dulu lebih polos, lebih kekanakan, dengan wajah yang sedikit menunjukkan sisa-sisa bakaran matahari karena harus pulang sekolah saat matahari masih bersinar cukup terik.

Sekarang gadis itu lebih terawat. Sekarang gadis itu sedikit lebih berisi dari saat pertama ia melihatnya. Sekarang gadis itu adalah miliknya, sedang berada di dapurnya, membuatkan kopi untuknya.

"Yakin kopi aja? Nggak pake cream?" Rindang menoleh, ada jejak kerut samar di antara kedua alisnya.

Tidak terpikir sebelumnya bahwa hal ini nyata. Gadis itu benar-benar nyata. Di dapurnya. Tempat ia pernah menitipkan tulang rusuknya. Maka, ia tidak bisa tidak tersenyum. "Dikit aja."

Samudera melepaskan jaketnya yang berbau parfum mobil lalu menggantungnya, melonggarkan kancing kemeja, melepaskan kaos kaki dan memasukkannya ke dalam keranjang cuci. Keadaan kamar yang rapi membuatnya sedikit tercengang.

"Tadi.... Umai ke sini?" Tebaknya pertama kali. Karena Rindang dan kamar yang teratur tidak berada dalam satu garis lurus. Ia hanya akan membereskannya dalam dua keadaan: Satu saat Umai berkunjung. Kedua, saat kiamat terjadi.

Rindang menoleh padanya, kemudian menyengir. "Iya, kemaren. Sama Kak Idam. Bawain bingka, masih ada setengah di kulkas kalo mau. Tapi Umai baru belajar bikin jadi..., KERKHAS!" Kata terakhir adalah protes yang membuat Samudera kembali tersenyum geli.

Umai tinggal bersama kakak kedua Rindang, mengurus si kembar di sela-sela jadwal pengajian.

"Bagus, deh Umai ke sini. Rumah jadi agak rapian."

Samudera melepaskan kemejanya, yang sudah berkali-kali menyerap keringat. Ia meraih kaus tipis paling atas dari lipatan baju dan memasangnya lewat kepala.

"Hey! Apa maksud anda?!"

Ketika ia menoleh, Rindang sudah menuding-nudingkan sendok padanya. Dengan wajah yang dibuat seram. Ia mengernyit dalam upaya mengapresiasi usaha wanita itu.

"Mau minum kopi campur sianida, ya?!"

Samudera tergelak. Kemudian, dengan rindu yang tertumpuk selama berhari-hari, yang diisi dengan pembukaan York baru di Jogja, rapat, menyeleksi pegawai, rapat lagi, dan sedikit waktu untuk menyadari seberapa banyak ia merindukan wanitanya, ia berjalan mendekat. Tanpa permisi ia mendekap gadis itu dari sisi, memerangkapnya. Untuk selanjutnya menenggelamkan wajah di pucuk kepala Rindang, mengusakkan hidung pada helai rambutnya yang lembut.

"Happy bithday my tiny yellow Bubble,"

Ia merindukan ini, aroma apel dari shampoo-nya. Atau wangi sabunnya. Atau bagaimana Rindang menggeliat minta dilepaskan. Ketika Samudera akhirnya menurut dan melonggarkan kedua lengannya, Rindang melotot.

"Geli, tahu! Martabaknya mana?!"

"Iya, Kanjeng. Bentar, ya. Aku ambilin di mobil."

Seiring langkahnya usai berputar di atas tumit, menuju garasi tempat ia barusaja memarkirkan mobil, ia tidak bisa menahan senyumnya lagi. Ia dapat mengingat dengan sempurna hari-hari yang terlewat, yang membawa mereka berada di titik ini sekarang.

Waktu itu petang, matahari telah bersembunyi. Namun bagi Samudera, berada di atas kepala. Keringat terus mengalir di keningnya, membasahi kedua telapak tangannya, bercucuran di punggungnya. Semua perasaan campur aduk sat itu, saat ia berhadapan dengan setidaknya enam orang yang merupakan keluarga Rindang untuk kali pertama.

"Saya mau melamar anak Ibu."

Semua oang berpandangan. Rindang mencarikan camilan di dapur beberapa saat lalu dan tidak kunjung kembali. Mungkin ia pergi ke Surabaya untuk mencarinya, demi mengulur waktu.

"Siapa?" Umai bertanya kebingungan. "Rinai sudah punya suami dan anak lho, emangnya nggak keliatan? Ridam itu cowok, kamu nggak..."

"Anak terakhir, Bu. Rindang."

Ada jeda sesaat. Bagi sejumlah orang di ruangan itu, waktu seakan terhenti berputar selama beberapa saat, semuanya, tanpa terkecuali perlu waktu untuk mencerna apa yang Samudera masuk. Hingga, Umai mencengkeram dadanya dalam syok.

"Kamu serius? Kok bisa?!" Ia meraih tangan Samudera, menepuk-nepuk punggung tangannya. "Maaf, Umai dulu itu bercanda anggap kamu calon suami Rindang. Kamu jangan merasa terbebani. Rindang itu masak air aja bisa gosong, loh! Sampai pancinya meleleh."

Dalam gugupnya, Samudera terkekeh. Ia mengangkat pandang, menemukan Rindang mengintip di balik lemari hias yang memisahkan ruang tamu dengan tengah. Dalam gugup yang sama, senyum Samudera mengembang.

"Saya serius. Saya mau menikahinya, anak Ibu. Saya tidak meminta apapun, kecuali dirinya. Dan ... saya juga tidak bisa menjanjikan apapun, kecuali... kecuali bahwa saya akan berusaha, menjadi suami yang terbaik untuk Rindang. Yang tidak meminta lebih dari apa yang bisa saya berikan. Yang bersedia membagi beban."

And thats how they ended up. Di depan penghulu dua bulan kemudian. Di atas pelaminan seminggu berikutnya. And as cringe as it sounds, he likes it, no, he loves it. Meskipun, selentingan yang dibagikan Aryasa soal pernikahan sebenarnya yang terjadi setelah masa bulan madu habis akan menjadi mengerikan membuatnya cukup tertekan.

Sambil bersiul, ia melintasi halaman, membuka garasi, lalu kunci mobil. Senyum di bibirnya luntur beberapa menit kemudian. Bungkusan martabak itu... ia tidak dapat menemukannya di manapun.

Shit! Ketinggalan!

Tidak akan sempat mengambilnya sekarang, kemacetan akan memerangkap. Sambil menyugar rambutnya frustrasi, ia mulai memikir alternatif kedua dan berjalan masuk rumah. Mungkin ia membawanya dan meninggalkannya tanpa sadar di salah satu sudut sofa. Atau... ia memanggil delivery order saja.

Sayangnya, sebelum salah satu dari rencana itu terwujud, Rindang sudah berdiri di depannya. Lebih buruk, alisnya mengerut curiga.

"Mana, martabaknya?"

"Oh, itu," Samudera menggaruk rambutnya yang mendadak gatal, otaknya berputar keras. "Duduk aja dulu nanti aku bawain."

"Mana, martabaknya?!" ulang Rindang.

"Bubble—"

"MARKHTABAK!"

"Oke. Ketinggalan, kayaknya. Ini aku mau beli lagi, deh."

Samudera baru akan ke kamar untuk meraih jaketnyanya ketika Rindang berseru dengan tiba-tiba. "Nggak usah!"

Rindang masuk ke kamar, keluar kamar dengan bantal dan selimut yang ia lemparkan ke Samudera.

"Tidurkh di luarkh!"

***

The cringe still continues! Yeah!

Tapi saya masih berharap kalian menyukainya. Saya sudah menyiapkan konflik untuk cerita ini, tidak akan berat, karena tujuan cerita ini adalah untuk menghibur saat kita butuh senyum.

Akan selalu ada surat-surat yang terbongkar satu persatu. So tell me, bab berikutnya mau surat tentanga pa? Komen, ya.

Terakhir, terimakasih atas vote, komen dan dudkungannya. Semoga tidak lelah terus melakukannya. Seperti aku yang tidak akan lelah demi kalian *halah*

Kalau ada waktu luang, mampir juga dong, ke cerita saya yang lain, hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro