( SN - 4. Sampai Hilang Akal )
"Lo nggak minum?"
Siku Arky bertumpu pada puncak sandaran sofa. Dagunya ditopang dengan tangan. Netra pemuda itu tertuju pada Aara di sampingnya; menatap si gadis lekat-lekat dengan sisa kesadaran yang ia punya. Meskipun lampu remang-remang dan pandangan yang sudah tak terlalu fokus, kejelitaan Aara tertangkap cukup jelas di bingkai penglihatan Arky.
Kendati sudah lewat lima tahun, mata lebar yang berkolaborasi dengan hidung bangir dan bibir tebal itu masih memanjakan Arky. Surai panjang dan lurus yang ia punya seolah menyempurnakan keanggunannya. Seolah ada magnet pemikat yang terkandung di sana, sudut bibir Arky bahkan sedikit terangkat kala menikmati keindahan yang disuguhkan di depan indra penglihatannya.
"Gue, kan, emang nggak minum." Aara memiringkan posisi tubuh, memberi tanda bahwa ia menaruh seluruh atensi untuk lelaki tersebut. "Lo, tuh. Kenapa jadi kuat minum-minum gini, sih?"
Kurvaan bibir Arky melebar. Kali ini terlihat lepas, tidak seperti beberapa jam lalu yang hanya berperan sebagai formalitas. Tembok tinggi yang menjulang di antara mereka seakan runtuh. Mengakibatkan dada Aara spontan menghangat. Walaupun sadar betul bahwa landasan perubahan sikap itu dikarenakan alkohol yang dikonsumsi pemuda tersebut.
Namun, meski begitu, Aara tidak keberatan. Bahkan sama sekali tak berpikir untuk meninggalkan Arky sendirian. Dara itu tak tahu pasti, apa yang mendasari gejolak Arky untuk menemaninya yang sedang menangis di belakang kantin sekolah dulu. Akan tetapi, Aara tahu, ia ingin melakukan hal yang sama untuk laki-laki tersebut sekarang.
"Biar nggak pusing, Ra," sahut Arky yang kemudian menghela napas dalam-dalam, masih dengan cengiran yang bertengger di wajahnya.
"Alesan!" cibir Aara sembari merotasi bola matanya. "Dulu, waktu kepergok ngerokok di belakang kantin, lo juga bilang gitu."
"Emang bener kok." Sunggingan Arky menghilang ketika mimiknya dibuat seserius mungkin. "Kalau lagi ada masalah kayak gini, minuman sama rokok tuh bikin kepala jadi lebih ringan."
"Sekarang sih iya, ringan. Besoknya tuh baru deh bikin makin pusing," omel Aara, tak bisa menerima sedikit pun kilahan Arky. "Lagian lo ada masalah apa, sih? Lo nggak mau cerita lagi sama gue?"
Alih-alih memberi jawaban, lelaki itu malah menutup mulut rapat-rapat. Tatapan penuh intesitas yang ia aplikasikan kini bertambah kuat, bukan hanya untuk sekadar meyakinkan Aara agar membenarkan argumennya.
Aara menunduk, mulai tak nyaman. Kehangatan yang sempat memeluk dadanya pelan-pelan pamit pergi. Walaupun karena pengaruh alkohol, gelagat yang ditunjukkan Arky sudah cukup membuat Aara merasa kembali diterima.
Namun, ternyata, dugaan Aara salah. Sepertinya, ia sudah benar-benar terhapus dari daftar orang terdekat Arky.
"Gue ...."
Suara berat yang tiba-tiba mengisi relung telinganya mengakibatkan Aara mendongak cepat. Netra perempuan itu sontak berbinar tatkala mendengar Arky yang mulai mengeluarkan keluh kesahnya. Bahkan ia harus mati-matian menahan senyum yang memberontak ingin unjuk gigi, demi menghargai curahan hati Arky.
"Pak Tua sialan itu nggak nyisain apa-apa, Ra. Dia ambil semuanya," tandas Arky dengan wajah memerah. Segenap emosi dapat terlihat terkurung di dalam sana.
Aara bergeser mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Tangan gadis tersebut bergerak mengelus punggung pemuda di depannya. Getir yang sedang Arky rasakan seolah juga ikut ia cicipi setelah mendengar semuanya.
"Jadi, habis ini lo mau ke mana, Ky?" tanya Aara dengan suara penuh perhatian.
"Nggak tahu." Arky menampilkan senyum pahit yang berhasil menyebabkan hati Aara mencelus. "Gue nggak sudi pulang, tapi gue juga nggak tahu mau ke mana. Gue nggak ada pegangan sama sekali, cukup buat makan doang beberapa hari ke depan. Tadi buat beli baju aja, gue minjem uang Deon karena kartu gue diblokir."
Aara menggigit bibir bawahnya. Tak ada satu pun ide yang terlintas di otak dara itu, kecuali menyarankan, "Mungkin, lo ... pulang aja, Ky."
Sorot Arky nanar saat merespons, "Dibilang gue nggak sudi pulang. Bahkan kalau Pak Tua itu mati, gue nggak akan nginjekin kaki di sana lagi."
"Heh, Ky! Jangan gitu ngomongnya!"
"Nggak peduli, Ra. Biarin, gue udah nggak peduli apa-apa lagi."
"Ky ...."
"Lagian kenapa dia nggak mati aja sih? Serangan jantung atau jatuh di—"
"Ky!" sentak Aara menyela ocehan Arky. Tangan mungilnya yang tadi bergerak mengelus punggung Arky, sekarang beralih untuk menggenggam bahu laki-laki tersebut.
Tatapan Arky masih sama, penuh gusar tak terkira. Namun, ada satu lagi yang bisa Aara deteksi di sana, yaitu nelangsa. Wajah yang semakin merah padam dengan mata yang mulai berkaca-kaca tak dapat lagi menyembunyikan perasaan lelaki itu. Membuat hati Aara tergerak membawa tubuh Arky ke dalam dekapannya.
Jari-jari langsing Aara kembali mengusap punggung Arky, berusaha menyalurkan ketenangan dari sana. Ia kira, akal yang sedikit hilang masih dapat menjaga ketinggian harga diri pemuda tersebut. Akan tetapi, setelah beberapa menit berlalu, isakan terdengar tepat di samping telinga Aara. Bahunya yang perlahan-lahan mulai basah seolah membantu perempuan itu untuk yakin bahwa dugaannya tak salah.
"Kenapa malah Bunda yang pergi duluan, Ra?"
Aara sudah pernah mendengar pertanyaan itu sebelumnya. Namun, rintik tetap kembali membasahi pipi gadis tersebut untuk kedua kalinya.
Di tengah dentuman musik yang keras, di antara orang-orang yang sedang menikmati pesta, dan diterangi pencahayaan yang setengah sirna, kedua jiwa itu kembali berserah. Menjangkitkan energi yang ada agar saling mengisi retak di antara mereka.
Kemudian, ketika semua sudah tersalurkan, bahu Aara mulai terasa berat. Perlahan-lahan dara itu menoleh ke arah si pemuda hanya untuk mendapatinya terpejam tenang dengan bekas bulir dari matanya.
Pemandangan tersebut menyebabkan Aara impuls tersenyum. Tanpa sadar, pelukannya mengerat. Lantas dengan saksama, ia menyusuri tempat mereka berada menggunakan tatapannya. Lalu melambai-lambai pada David yang berada di sisi lain ruangan.
Beberapa detik setelahnya, David datang dengan tanda tanya besar di wajah. Akan tetapi, hanya Aara balas dengan kurvaan bibir yang canggung.
"Vid, tolong bawa Arky ke mobil gue dong."
Arky menganga. Penjelasan Aara berhasil membuat ia terperangah. Sedikit tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan perempuan tersebut. Akan tetapi, setiap detailnya sungguh nyata. Bahkan seakan ikut-ikutan membenarkan, kepala Arky samar-samar mengilas balik kejadian itu semua.
"Gue beneran kayak gitu?" tanya Arky, tetap tak ingin yakin tentang yang terjadi kemarin malam.
"Iya."
"Gue ceritain semuanya?"
"Iya."
"Jadi, lo udah tahu semuanya sekarang?"
"Iya, dong."
Napas Arky terhela dalam-dalam, sebelum ia keluarkan dengan desahan gundah. Gengsi yang tadi malam terkurung akibat alkohol, kini kembali bebas. Melayang-layang di sekitar Arky dan menyiksanya dengan rasa jengah yang datang membabi buta.
Sementara Aara mengulum senyum. Untuk menyegani harga diri yang sedang menghukum Arky, ia tetap berkutat dengan nasi goreng yang hampir siap. Hanya perlu diaduk beberapa kali, lalu kompor ia matikan.
Dengan hati-hati gadis itu memindahkan hidangan ke dalam piring, menyajikan porsi yang sama. Tak lupa juga menambahkan beberapa jenis sayuran yang sudah dipotong-potong sebelumnya. Kemudian, barulah ia membalikkan tubuh; menemukan Arky bersandar di dinding dengan kepala tertunduk.
"Nggak ada yang lihat kok," ucap Aara seraya menaruh kedua piring di atas meja makan. "Cuma gue doang."
"Sama aja," cicit Arky dengan arah wajah yang masih ke bawah, tak menunjukkan semangat sama sekali.
Kaki Aara melangkah menuju kulkas untuk mengambil sekotak susu dan sebotol air mineral. "Sama aja gimana?"
Hening. Tak ada jawaban yang mengudara di antara mereka. Arky tetap diam seribu bahasa, bahkan tanpa melakukan pergerakan apa pun. Mengakibatkan Aara—yang sudah selesai menyiapkan sarapan—geleng-geleng kepala. Namun, dengan ringan menggerakkan tungkainya menuju laki-laki tersebut.
Ia berhenti tepat di depan Arky yang langsung menengadah karena kehadirannya. Mereka saling bertukar pandang sejenak. Lalu dara itu kembali melayangkan kalimat interogatif, "Sama aja gimana, Ky?"
Masih tak ada tanggapan. Mulut Arky tetap tertutup rapat-rapat, walaupun sekarang indra penglihatannya terarah lurus pada Aara. Ekspresi yang ia tampilkan tak terbaca, menyebabkan Aara hanyut di lautan bingung. Akan tetapi, perempuan itu tak kehilangan motivasi untuk membujuk.
"Ini cuma gue doang, Ky." Tangan Aara terangkat dan mendarat di atas bahu Arky. Jari-jemari lentiknya kembali bergerak mengusap laki-laki tersebut, seperti tadi malam. "Jangan kayak sama siapa gitu deh."
Semangat Aara memang tak sirna. Tidur tadi sudah cukup mengisi ulang semuanya. Namun, dengan stok itu, bukan berarti emosi gadis tersebut tak bisa bangkit jika Arky tak kunjung membuka suara. Mimiknya yang tenang kini berubah menjadi cemberut. Bibir Aara pun mengerucut saat tangannya terbang memukul pelan dada Arky.
"Gini doang lo gengsi? Kayak nggak pernah ngapa-ngapain aja sama gue!" omelnya yang berhasil membuat mata Arky membulat lebar. Mulut lelaki itu akhirnya terbuka, siap melantunkan sesuatu.
( SN - 4. Sampai Hilang Akal )
The simple but weird,
MaaLjs.
6 Maret 2025 | 11:27
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro