( SN - 3. Sampai Lupa Diri )
"Kamu jangan macam-macam, Arky!"
Indra penglihatan Arky bergulir. Hal pertama yang mendapatkan fokusnya adalah Alby—si anak tengah—yang duduk di sofa ruang keluarga dengan kepala menunduk dalam. Wajah pria itu tersembunyi, tak terlihat barang sedikit pun. Arky tak mengerti kenapa. Namun, otak pemuda tersebut cepat-cepat menduga bahwa kakak laki-lakinya itu sedang mendorong kilasan masa lalu, di mana ia yang menjadi pemeran utama.
Lalu sorot Arky beralih pada Andy, si sulung, yang kontradiktif. Ekspresi pria tersebut tampak tegas dengan tubuh tegap, siapa pun yang melihat langsung bisa menebak profesi yang ditekuninya.
Tepat di sebelah Andy, ada pria paruh baya dengan rambut putih yang hampir memenuhi kepalanya. Dia adalah Ilham, ayah ketiga anak laki-laki itu. Matanya mencorong si bungsu dengan tatapan bengis. Walaupun keriput sudah mulai tercipta di wajahnya, garis rahang Ilham terlihat jelas saat giginya menggeletuk menahan geram.
"Macam-macam gimana maksudnya?" Arky akhirnya menyahut dengan suara tenang. "Aku cuma kerja."
Ilham mendengus keras. "Kamu tahu, bukan itu masalahnya."
"Aku capek, Yah," ungkap Arky sambil memutuskan kontak mata dengan sang ayah.
Di atas kakinya, Ilham tak puas dengan jawaban Arky. Ia kian murka dan dengan langkah mantap, pria itu mendekat ke si bungsu. Mendorongnya dengan sekuat tenaga hingga sedikit tersungkur. Mengakibatkan punggung pemuda tersebut membentur dinding, disertakan dengan kerah kaus yang ditarik paksa.
"Capek kamu bilang?! Apanya yang capek, hah?! Apanya yang capek?!" Ilham berteriak tepat di depan murka Arky. "Jawab!"
Gusar itu tersalur. Dengan sekuat tenaga, Arky melepas tangan Ilham yang membuatnya sesak. Lalu menepisnya dengan kasar. Ia kembali menegapkan tubuh sambil bergeser dengan tatapan sengit yang mulai diaplikasikan. Kini ayah dan anak tersebut terlihat sangat mirip sekali.
"Capek disetir Ayah! Capek diatur-atur Ayah!" Suara Arky keluar, sama nyaring dengan milik Ilham beberapa detik yang lalu. "Aku udah bilang dari dulu! Aku nggak mau kuliah! Aku capek!"
"Terus kamu kira kerja nggak bikin capek, apa?!" seru Ilham tak mau kalah. "Kamu cuma disuruh belajar yang bener, masih aja banyak ngeluhnya! Banyak-banyak bersyukur kamu, Arky! Udah bagus Ayah sekolahin tinggi-tinggi, biar jadi orang, biar jadi dokter yang—"
"Emangnya siapa yang bilang mau jadi dokter, hah?! Siapa yang bilang?! Nggak ada! Itu maunya Ayah!" Tatapan nanar Arky tertuju lurus pada mata Ilham, menandakan tak ada kegentaran sama sekali di dalam dirinya. "Ayah aja yang jadi dokter sana! Kenapa dulu malah milih jadi ten—"
Belum sempat Arky menyelesaikan kalimat, Ilham yang tak terima kembali menerjang. Menyebabkan Arky hilang keseimbangan. Laki-laki itu hampir terbaring di lantai jika sikunya tak cepat-cepat mengambil tumpuan.
"Kurang ajar anak ini!" pekau Ilham dengan tinju yang mengudara.
Arky yang berada di bawahnya memiringkan kepala. Mata pemuda tersebut tertutup rapat-rapat. Namun, setelah ditunggu-tunggu, tak ada yang terjadi. Indra pendengaran Arky hanya menangkap suara langkah kaki yang diikuti gesekkan suatu benda yang tidak bisa ia tebak apa, tetapi cukup mengakibatkan penasaran bertunas di otaknya. Oleh karena itu, cepat-cepat ia membuka mata. Kemudian, langsung mendapati Alby yang berlutut dan menahan kepalan tangan Ilham.
"Udah, Yah!" pinta Alby dengan tegas. Seolah-olah ia bukan orang yang tadi menunduk penuh putus asa.
Sebuah usaha Ilham keluarkan demi melepaskan tangannya dari Alby. "Lepasin, By!"
Alih-alih menurut, Alby terlihat mengeratkan genggaman. "Udah, Yah. Tahan, jangan kayak gini!"
"Nggak bisa, anak satu ini harus dikasih pelajaran biar nggak kurang ajar! Nggak bisa diatur!"
Melihat peluang yang tercipta, Arky segera berguling dan bangkit dari lantai. Kaki pemuda itu bergerak mundur, mengambil langkah agar dapat membuat ancang-ancang jika Ilham kembali bangkit dan mencoba menyerang. Sebab, kali ini ia tak ingin jatuh lagi. Cukup harga dirinya saja yang terjun lantaran disuduti, karena dari ekor matanya, Arky dapat melihat istri dan dua anak Andy yang mengintip.
Menyadari bahwa kemungkinan orang-orang berkumpul hanya untuk menyidangnya, Arky semakin murka. Pantas saja Andy datang sekeluarga dan Alby absen dari kamarnya. Sudah tak perlu ditebak siapa dalang dari semua ini.
Oleh sebab itu, mengetahui tidak ada satu pun yang berada di pihaknya, Arky mencoba tetap tegar dan melawan, "Ya, nggak usah ngatur makanya!"
"Arky, udah! Stop!" Alby mendelik garang, mengira dengan hal tersebut, Arky yang sudah dua puluh tiga tahun akan menciut. "Jangan ngelawan Ayah!"
"Nggak! Gue bukan lo yang bisa terima aja dipatahin kayak gini, Bang!"
Kesal Alby bertambah. Namun, mulutnya terlalu kelu untuk berkata-kata, hingga hanya dapat menyeru, "Arky!"
"Susah banget diatur, nurun dari siapa coba kamu ini?" Geming Andy berhasil runtuh. Lidahnya gatal mengomentari si bungsu.
Haluan kepala Arky beralih dengan cepat ke arah si kakak pertama. Matanya menggelap seraya berucap, "Diem lo, anjing peliharan!"
"Heh! Arky! Siapa yang ngajarin kamu kayak gitu?!" protes Ilham yang bergegas bangun. Sudah sangat siap menghujam Arky dengan tinju. Akan tetapi, Alby bergerak lebih cepat dan menahan kian kuat. Mengakibatkannya terpaksa mengurungkan niat dan hanya dapat melesatkan pertanyaan, "Kamu ini maunya apa sih, Arky?!"
"Udah jelas, kan, Yah?! Aku nggak mau kuliah, aku udah bilang dari awal! Aku maunya kerja aja!"
"Jadi tukang kopi, maksud kamu?!"
"Jangan kolot gitulah, Yah!" sergah Arky tak terima. "Lagian Ayah yang sering bilang, daripada buang-buang uang karena ngulang semester mulu, mending berhenti sekalian! Ini udah aku turutin. Aku udah berhenti biar nggak buang-buang uang Ayah, ternyata tetap salah, ya?! Kalau kayak gini, harusnya aku yang nanya, Ayah tuh yang maunya apa?!"
Binar amarah tampak semakin jelas dari indra penglihatan Arky. Ladang minyak di dalam dirinya terbakar kian dahsyat ketika mengilas balik setiap ucapan dan perlakuan Ilham di masa lalu, saat mengatahuinya harus mengulang semester karena gagal di banyak mata kuliah dan tak dapat memenuhi SKS. Selain itu, juga masih segar di ingatan Arky bagaimana Ilham memukul dan mengurungnya seharian di kamar kala mengetahui pemuda itu tinggal kelas di bangku SMP.
Satu hal yang sangat dapat mendeskripsikan sang ayah untuk Arky, yaitu kejam. Ilham sangat kejam. Oleh karena itu, Arky dapat dengan berani dan tak ragu mengatakan bahwa ia membenci ayahnya—jika ada yang ingin tahu seberapa sayang si bungsu pada pria tersebut. Jadi, memang tidak perlu ditanyakan lagi apa yang membuat Arky melakukan pemberontakan hingga seperti ini.
"Keluar dari rumah ini."
Empat kata yang keluar dari mulut Ilham kontan menyebabkan semua orang bergeming. Suasana rumah yang semula berisik karena teriakan yang bersahut-sahutan mendadak diserang hening.
Lidah Andy dan Alby kompak kaku. Keduanya mematung sambil memandang Ilham tak percaya. Di tempatnya berdiri, Arky melakukan hal yang sama. Namun, mimik terkejut yang mendobrak keluar dari wajahnya, ia sembunyikan dengan ekspresi datar. Mencoba mengelabui sang ayah bahwa ia tak tergertak.
"Kamu tanya Ayah maunya apa, kan?" Ilham menegapkan tubuh. Pria yang sudah menginjak kepala enam itu melepaskan kungkungan Alby dari tangannya. "Ayah mau kamu nurut apa kata Ayah, tapi kalau kamu capek sama itu semua, keluar dari rumah ini."
"Oke," jawab Arky cepat dan langsung membalikkan tubuhnya seraya menambah, "Lagian tinggal di sini sama aja kayak tinggal di penjara."
Diamnya semua anggota keluarga seolah menggemakan ucapan Arky. Namun, lelaki tersebut sudah benar-benar tak peduli. Lelah yang menandanginya karena baru kelar bekerja seolah sirna ketika membawa mobilnya membelah jalan. Untuk menenangkan pikiran, pemuda tersebut singgah di supermarket, membeli berbagai kudapan dan beberapa kaleng bir. Lalu mendaftar masuk ke hotel yang berjarak tak jauh dari T'Sky—agar lebih praktis saat berangkat kerja besok.
Meski sadar bahwa ia harus masuk di sif pertama pagi nanti, mata Arky dengan kurang ajar enggan terpejam. Semua itu disebabkan oleh pikiran positif, bahwa ia pasti akan baik-baik saja setelah lepas dari rumah yang, menurutnya, bak neraka dan juga pikiran negatif yang menakuti-nakutinya karena—walaupun sering kabur-kaburan semasa sekolah—ia belum pernah mencoba hidup yang benar-benar lepas dari awasan orang tua.
"Bodo amat! Pak Tua itu dari dulu juga nggak pernah peduli sama gue!" pekik Arky yang bermonolog sebelum menyesap habis birnya. Syukurlah kamar hotel tersebut kedap suara.
Di jam yang hampir menunjukkan pukul tiga dini hari, Arky akhirnya bisa terlelap. Tentu saja, keterlambatan sudah siap menunggu di saat matahari terbit. Mengakibatnya terpaksa terbirit-birit sebagai permulaan menjadi orang dewasa yang sesungguhnya. Membuat Arky sedikit skeptis dengan integritas yang ia punya.
Apa benar ia bisa?
Tak perlu menunggu waktu lama untuk menjawab kalimat interogatif tersebut, di sore hari, Arky dengan bangga mengesahkan bahwa ia mampu melewati semua hanya karena pekerjaannya hari ini berjalan lancar. Di tengah apresiasi itu, deringan ponsel tiba-tiba memenuhi mobil yang hendak melaju ke hotel tempatnya menginap.
Masih terdengar dentingan ponsel setelah jari panjang Arky menari merespons pesan. Akan tetapi, tak lagi ia acuhkan. Dengan cepat, pemuda tersebut menjalankan kendaraan beroda empat miiknya menuju suatu pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa potong pakaian baru, mengingat tak ada satu pun baju yang ia bawa setelah angkat kaki dari rumah.
Setelah berkutat di jejeran pakaian kurang dari setengah jam, Arky berada di depan kasa. Ia tak menyangka bahwa kasir perempuan dengan senyum ramah yang memindai belanjaannya mengatakan bahwa kartu kreditnya ditolak.
Dengan tak percaya, Arky meminta, "Tolong coba lagi, Mbak."
Masih dengan kurvaan di bibirnya, si kasir berkata, "Maaf, Mas. Yang terakhir kali tadi, udah percobaan kelima, tapi tetap nggak bisa. Mungkin kartu Mas terblokir."
Kalimat yang dikemukakan perempuan di depannya cukup jelas di pendengaran Arky. Namun, tak ada satu pun tanggapan yang ia keluarkan. Laki-laki tersebut membeku di atas kakinya.
"Pembayarannya diganti cash aja, Mas?" tanya si kasir sembari memgembalikan kartu kredit Arky.
Dengan gerakan lambat, Arky mengangkat tangan untuk mengambil kartu kredit yang mendadak berubah menjadi uang lima ribu rupiah. Membuat keningnya sontak berkerut dengan alis yang menyatu. Dominasi warna cokelat dari kertas itu seolah mengatakan bahwa apa yang Arky lihat tak salah.
Tak hanya itu, tangannya yang semula bersih tiba-tiba menjadi dekil. Kotoran-kotoran hitam di sela kukunya mampu menyebabkan Arky semakin terperangah. Di dalam benaknya, ia terus bertanya-tanya, "Gimana bisa?"
"Bisalah! Makanya, dengerin omongan Ayah!"
Arky mendongak kaget. Kini ia terduduk dengan Ilham berdiri di depannya. Di belakang pria tersebut, ada Andy yang menatapnya remeh dan Alby yang menguraikan pandangan prihatin. Daripada itu semua, yang mengakibatkan Arky semakin terkejut adalah Tati yang berada di antara mereka.
"Bunda?" Arky mencoba bangkit. Namun, kakinya mati rasa. Ia tak bergerak. "Bunda kenapa bisa di sini?"
Tatkala berusaha berdiri agar dapat mendatangi sang ibu, Ilham lebih dulu mendekat dengan kepalan tangan. Sebelum Arky sempat berkutik, tinju lebih dulu mengenai wajahnya. Menyebabkan pemuda itu luruh dengan rasa pusing yang tak terkira.
"Bunda ...," lirih Arky sambil perlahan-lahan membuka mata.
Ruangan dengan nuansa putih bercampur abu langsung memenuhi indra penglihatan Arky. Akan tetapi, kepala yang berat kembali mengakibatkan kelopaknya terpejam untuk beberapa saat.
Ketika merasa sudah lebih baik, Arky perlahan-lahan membuka matanya. Tak ada yang berubah lagi. Ia masih berada di ruangan putih bercampur abu-abu. Sambil menggaruk dagunya yang mendadak gatal, dengan hati-hati—agar pusingnya tak merajela—Arky menggerakkan kepala, menelusuri tempatnya berada.
Ini bukan kamarnya. Bukan pula hotel tempat persinggahan kemarin.
Dengan kening yang mengernyit, Arky mengilas balik semua yang terjadi barusan. Lalu setelah menghirup napas panjang, ia mengusap wajah dengan kasar.
"Shit! Kenapa harus mimpiin kejadian itu coba? Mana persis banget lagi." Arky berbicara sendiri seraya bangun dari kasur empuk yang menopangnya. "Tapi nggak jelas, anjir. Masa tiba-tiba gue jadi gelandangan ... dan ada Bunda."
Selama beberapa menit, Arky membatu. Lelaki tersebut hanya duduk sambil menunduk dan mengerjap-ngerjap, mengumpulkan nyawanya sambil mengingat bagaimana wajah teduh sang ibu. Ia rindu.
Setelah cukup lama berlalu, dengan kesadaran yang kini sudah penuh, Arky mendongak. Sorotnya dengan liar mulai menilik semua sudut ruangan. Akan tetapi, tetap tak mendapat ide di mana ia sekarang.
Tanpa mengingat kepalanya yang masih berat akibat minum-minum tadi malam, Arky segera bangkit dan beranjak dari kamar tempatnya mengadar. Cepat-cepat ia menekan knop pintu dan langsung disuguhi ruang dengan televisi dan sofa yang didekor apik. Pemandangan itu membuat kakinya melangkah keluar, memperhatikan dengan saksama hingga mendapati sebuah pigura di salah satu dinding.
Arky melangkah menuju foto yang terlihat usang. Seorang wanita dan gadis kecil yang sangat mirip terpotret di sana. Wajah—yang kemungkinan—sepasang ibu dan anak itu terlihat familier. Namun, di tengah pusingnya ini, ia tak bisa serta-merta menebak siapa mereka.
"Anjir, panas!"
Arky impuls terjenggut dari lamunan. Tanpa aba-aba, kaki pemuda tersebut langsung pergi ke tempat suara tadi berasal. Setelah itu, Arky tak dapat memercayai matanya, sebab di ruangan yang bisa ditebak adalah dapur, ia mendapati Aara yang tengah berkutat dengan kompor di hadapannya.
Seingat Arky, tadi malam, Aara mengenakan gaun mini dengan rompi rajut. Akan tetapi, sosok di depannya sangat berbeda. Terlihat lebih santai dengan piyama celana pendek bergambar My Melody. Rambut kecokelatan yang disanggul asal pun tak luput dari atensi Arky.
Merasa diperhatikan, gadis yang sedang memasak itu menoleh. Senyum spontan lahir dari bibirnya ketika berujar, "Wah, udah bangun nih pangeran tidurnya! Selamat pagi!"
Arky masih tak percaya. Namun, suara Aara yang ia kenal tak bisa dimungkiri tatkala membelai gendang telinganya. Alih-alih menyahut dengan ramah, Arky malah bertanya curiga, "Kenapa lo di sini?"
Senyum Aara sirna, ekspresinya berubah bingung. "Ya ..., kenapa emangnya?"
"Ya, kenapa? Kok lo ada di sini?"
"Gue masak ... sarapan?" Dalam hitungan detik, mimik buncah Aara kembali hilang saat sudut bibirnya menukik lagi. "Sarapan, yuk!"
Arky masih belum terima. Ia menggeleng pelan. "Nggak, Ra. Kenapa lo di sini?"
"Emangnya kenapa, Ky?" Kerutan di kening Aara kembali. Kini, ia pun tak mengerti apa gerangan yang merasuki Arky. "Ini rumah gue."
Mulut Arky lantas terbuka lebar. Rasa kejut tak ragu terpancar di seluruh bagian wajahnya. "Hah?! Terus kenapa gue di sini?!"
"Lo masih mabok, ya, Ky?"
( SN - 3. Sampai Lupa Diri )
The simple but weird,
MaaLjs.
3 Maret 2025 | 01.16
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro