( SN - 2. Sampai Tak Punya Arah )
"Nih!"
Sekaleng bir Aara alihkan ke tangan Arky. Kemudian, satu kaleng berisi minuman bersoda yang dipegangnya mulai ia sesap sambil menempatkan diri di samping si pemuda.
Malam semakin larut. Namun, perayaan ulang tahun Sally masih belum surut. Kendati Jevin sempat berulah hanya karena tak sengaja dorong-dorongan dengan salah satu tamu, pesta terus berjalan. Syukurlah Arky dan Deon dengan sigap memisahkan mereka, lalu berakhir dengan Jevin yang diseret Deon keluar acara.
Kini, hanya tersisa Arky yang masih berkubang di antara berisiknya musik yang seolah tak penat berputar, persis seperti pikiran Arky yang juga tak mau diam. Ia bingung harus pergi ke mana setelah ini.
Tidak ada tempat berpulang, tanpa kendaraan, dan juga uang yang hanya cukup untuk makan beberapa hari ke depan.
Kalau Arky tahu hasil pertengkaran dengan Ilham akan berujung seperti ini, upah kerja bulan kemarin dan uang sakunya akan ia simpan demi menunjang kehidupan hingga akhir bulan nanti. Lalu jika ditilik lebih jauh lagi, Arky juga ingin mengakrabkan diri dengan banyak orang demi meminta bantuan di saat-saat krisis begini, sebab Deon dan Jevin yang masih tinggal dengan orang tua langsung tercoret dari daftar orang-orang yang ingin dimintai uluran tangannya.
"Lo belum mau pulang?"
Lamunan Arky terpecah sesaat mendengar suara feminin di sebelahnya. Walaupun sudah dibawakan sekaleng bir—entah kaleng ke berapa Arky malam ini—ia lupa akan keberadaan Aara.
Setelah aksi peleraian Jevin tadi, gadis itu malah mengekori Arky. Bahkan ketika pemuda tersebut memutuskan untuk pindah ke sofa di sudut ruangan yang agak jauh dari kerumunan.
"Hm? Belum mau pulang?" ulang Aara sambil memiringkan kepala, membuat beberapa helai surai kecokelatannya yang lurus dan panjang jatuh dari bahu. Suaranya tak dibuat nyaring karena musik yang redup di spot mereka kali ini.
"Lo sendiri gimana? Nggak mau pulang?" tanya Arky balik. Indra penglihatan laki-laki itu menyorot Aara lamat-lamat. Kendati di lampu yang redup, wajah dengan riasan yang menambah kemolekan perempuan tersebut tak luput.
"Belum." Aara menaikkan rompi rajut berwarna hitam—dipadu dengan gaun mini setali bermotif kotak abu-abu yang terlihat pas dan cantik di tubuh gadis itu—yang sempat luruh dari bahunya. "Gue masih nunggu jawaban lo."
Arky mengembuskan napas panjang sebelum meneguk birnya. "Jawaban apa coba?"
"Lo ada masalah? Nanti pulangnya gimana? Ada tumpangan?"
Kelopak mata Arky mengerjap. Tangannya tak sengaja meremas kaleng hingga sedikit penyok di beberapa bagian. Itu semua bukan emosi, tetapi gundah yang menandangi karena ia sendiri pun tak tahu jawabannya.
"Kalau lo mau pulang, nggak apa, Ra. Duluan aja," respons Arky, tak menjawab satu pun pertanyaan Aara.
"Nggak, ah. Nemenin lo aja." Aara tersenyum dan iseng menyenggol lengan Arky sebelum menempelkan punggung pada sofa. Kepala gadis tersebut turut dijatuhkan di sandaran benda yang mereka duduki itu.
Sedikit senyum terukir dari bibir Arky. "Nggak apa, pulang aja. Gue nggak pa-pa kok."
Bola mata Aara bergerak melirik pemuda keras kepala di sampingnya. "Nggak mau. Lagian gue gabut di rumah, mending di sini aja."
"Gabut apaan? Udah malem gini, ya, kalau pulang langsung tidur dong."
"Biarin dong! Suka-suka gue!"
"Iya deh, iya."
"Ra!"
Mendengar namanya dipanggil, Aara impuls menegapkan tubuh. Arky yang berada di sebelahnya pun ikut mengalihkan perhatian ke asal suara yang ternyata bersumber dari seorang laki-laki berjarak beberapa meter di depan mereka.
"Eh?" Aara menyipitkan mata—di tengah gelap ruangan dan lampu yang berkedip-kedip—mencoba menaksir sosok yang baru saja menyebut namanya. "Heh! David!"
Kepala Arky dengan cepat berganti haluan pada perempuan di sampingnya, sebelum kembali mengarah pada lelaki yang mulai mendatangi tempat mereka. Mendadak dan tanpa diketahui alasannya, dada Arky berdebar gelisah. Apalagi setelah menyadari ekspresi segar Aara dengan bibir yang tersenyum ramah.
David—seperti yang Aara sebut tadi—langsung menempatkan diri di ruang kosong sebelah Aara. Tangan panjangnya melingkar, merangkul gadis itu agar mendekat.
"Ternyata lo di sini. Dari tadi gue nanya Sally tapi jawabannya nggak jelas. Udah mabok tuh dia," ungkap David dengan cengiran lebar.
Gelak Aara mengudara. "Ih, gue nggak tahu lo jadi diundang. Kemarin Sally bilang lo nggak bisa dihubungin."
"Iya, gue ganti nomor. Lupa ngabarin kalian."
Aara merotasikan mata. Lalu dibuatnya nada pura-pura menyindir saat mengatakan, "Duh, emang susah sih, ya, sama yang udah sibuk banget sekarang."
"Jangan gitu dong, Ra." David terkekeh malu dengan tangan yang menarik tubuh Aara semakin dekat, menjangkitkan tawa pada perempuan tersebut. "By the way, ngapain lo duduk di sini aja? Tumben nggak nempel sama Sally?"
Bersama sisa gelak, kurvaan bibir Aara tetap setia ketika kepalanya menoleh ke arah Arky yang sejak tadi mengamati interaksi mereka. Pemuda itu tak mengaplikasikan mimik apa pun, sangat berbeda dengan Aara dan David yang berseri-seri.
Aara kembali menjuruskan hadapan pada David. "Gue lagi sama Arky."
"Oh ...." Tangan David pelan-pelan menjauhi Aara. Tubuhnya tanpa sadar ikut bergeser agar tercipta jarak di antara mereka. "Arky yang di sekolah dulu?"
Dengan antusias, Aara menaikturunkan kepalanya. "Iya, junior kita dulu. Lo inget?"
"Ingetlah." David tertawa sumbang. "Kalian, kan, nempel mulu kalau di sekolah."
Pernyataan tersebut berhasil membuat Arky dan Aara bertukar pandang. Seolah dengan itu, keping ingatan tentang momen-momen lima tahun yang lalu dapat dibangkitkan. Dari kejadian tangis di belakang kantin sekolah hingga kata selamat yang entah mengapa seolah menjadi perpisahan mereka.
Keduanya sama-sama tak bisa menebak latar belakang yang melandasi kerenggangan tersebut ... atau lebih tepatnya, Arky yang tertinggal dan Aara yang tak sadar.
"Apa kabar, Bro? Sori, tadi gue nggak lihat lo."
Suara David mampu menarik dua insan yang sedang menyalurkan kenangan di sebelahnya. Laki-laki tersebut mengulurkan tangan, tepat mendatangi Arky.
Bersama senyum simpul, Arky menjengitkan kepala dan meraih tangan David untuk dijabat sejenak. "Iya, santai."
David bangkit, menyertakan sudut bibirnya yang terangkat. "Kalau gitu gue cabut deh. Mau ambil minum dulu."
"Oh, oke! Dadah!" Aara balas tersenyum dan melambaikan tangannya.
Selama beberapa saat, tanpa sadar sorot perempuan tersebut mengikuti David yang mengambil minuman dan makanan ringan dari meja di sudut lainnya, lalu bergabung dengan segerombolan orang yang hampir Aara kenali siapa saja. Tanpa tahu, Arky di sampingnya sedang memperhatikan.
"Kalau mau gabung, gabung aja, Ra," celetuk Arky yang mengakibatkan atensi Aara kembali padanya.
"Hah?" Aara mengerjap. Kebingungan terpancar dari mukanya. "Gabung ke mana?"
"Gabung sama temen-temen lo."
"Loh?" Alis Aara tertaut. "Ini juga lagi gabung sama lo. Lo, kan, temen gue."
Mulut Arky terkatup rapat. Rautnya tak terbaca. Aara tidak bisa menerka apa yang terjadi dan memilih untuk menunggu hal selanjutnya. Namun, tatkala menit-menit terus berganti dan tak terlihat satu pun indikasi dari Arky, gadis yang hampir menginjak dua puluh tiga tahun itu bersedekap. Tukikan alisnya masih belum sirna.
"Kenapa sih? Lo nggak nyaman, ya, gue di sini? Nggak suka? Mau gue pergi nih?" tuding Aara sembari menampilkan tatapan berawai.
Akhirnya, mimik datar Arky pecah juga. Kening pemuda tersebut mengerut dan dengan cepat, bahkan sebelum benaknya memberi persetujuan, ia spontan menjawab, "Nggak, nggak gitu."
"Terus kenapa? Kalau nggak kayak gitu, kok ngusir gue terus sih?" Bibir Aara mulai mengerucut dengan ekspresi yang semakin masam. "Gue maunya nemenin lo, tahu."
Geming lagi-lagi Arky aplikasikan. Tak ada ide untuk memberi jawaban, juga sedikit tersilaukan akan paras sosok di hadapannya. Meski sedang menampilkan raut cemberut, pesona wajah yang selama dua tahun mengisi warna bangku SMA-nya itu tetap memikat. Menyebabkannya tanpa sadar menelan saliva dengan susah payah, sebelum memindahkan tatapan demi menerima kembali kesadarannya.
Arky berdeham. "Ya, nggak pa-pa."
"Dih!" sergah Aara dengan geraman kecil. "Nggak jelas lo, ya."
Tak ada hawa canggung. Akan tetapi, Arky sudah tak nyaman di atas duduknya. Oleh karena itu, ia hanya mengangkat bahu tak acuh. Lantas bangkit berdiri dan berlalu pergi.
Aara yang tersisa sendiri di sofa langsung kebingungan. "Eh, mau ke mana, Ky?"
"Ambil minum!"
"Loh? Yang tadi gue ambilin mana?"
"Udah habis!"
"Ke sini lagi, ya, habis itu! Jangan ke mana-mana!"
"Nggak! Lo bawel!"
"Ih, Arky!" rengek Aara yang kemudian ikut bangkit dan mulai mengikuti langkah laki-laki tersebut.
( SN - 2. Sampai Tak Punya Arah )
The simple but weird,
MaaLjs.
27 Februari 2025 | 07.35
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro