Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

( SN - 1. Sampai Tak Tersisa )

"Nggak bisa gitu dong, Pak!"

Mata Asep terbuka lebih lebar. Bibirnya mulai mengurva, membentuk senyuman penuh arti yang tak langsung dapat dimengerti Arky. Dengan cepat, tangan pria setengah baya itu menarik tangan anak majikannya tersebut, membuat Arky telak bergeser dari depan pintu mobilnya.

Kemudian, tiba-tiba saja Asep sudah berada di dalam kendaraan beroda empat itu. Membiarkan Arky terperangah di atas kakinya. Untuk seukuran bapak-bapak yang sudah berumur, Asep terbilang masih cukup gesit. Pantas saja Ilham—ayah Arky—berusaha terus mempertahankannya menjadi supir pribadi.

"Bisa!" Asep mengernyih semringah. "Lihat, sekarang saya udah di dalam mobil Mas Arky."

"Saya kira Bapak ngerti—"

"Saya cuma kerja dan menjalankan perintah, Mas. Kalau Pak Ilham mintanya begini, saya nggak bisa nolak," potong Asep dengan senyum yang enggan sirna. "Saya masih di pihak Mas Arky, tapi kalau boleh jujur, saya nggak suka ngelihat Mas pergi gitu aja di tengah-tengah masalah kayak gini."

Lahir kernyitan di kening Arky. Ia tak terima dengan kalimat terakhir yang dilontarkan Asep. "Saya nggak pergi, Pak Tua itu yang ngusir saya."

Asep mengangguk-angguk. "Iya, saya tahu, tapi coba pikirin lagi dengan kepala dingin. Kalau Mas di posisi Pak Ilham, Mas bakal kayak gimana?"

Arky membungkuk. Tangannya ditumpukan pada bingkai jendela mobil. "Kayak gimana apanya? Harusnya dia yang mikir, emang pantes nyetir anak-anaknya kayak gini? Oke, si kacung Andy iya-iya aja dan Bang Alby terlalu lemah buat bantah tapi saya nggak akan kayak gitu."

"Kalau menurut saya pribadi, apa yang Mas Arky dan Pak Ilham lakuin sekarang sama-sama nggak pantas sebagai keluarga. Senggaknya, di antara kalian, harus ada yang nelan ego dan ngalah buat berhentiin ini semua."

Giliran Arky yang menyeringai sambil menegapkan tubuh. Kedua tangannya terangkat, menyugar helaian rambut yang tadi menjuntai di depan dahinya. Lelaki tersebut menyisir pandang tempat parkir basemen hotel di mana mereka berada sekarang, lantas mendapati sosok mobil yang tak asing baginya di bagian sudut. Sembari memutar bola mata, Arky mengatur napas demi mencari sangkalan yang tepat demi memvalidasi harga dirinya.

"Suruh bos Bapak aja yang ngalah!"

"Iya, nanti saya coba bilang." Kembangan bibir Asep perlahan-lahan sirna. Namun, sama sekali tak terlihat marah, hanya menyayangkan bahwa misinya untuk membawa pemuda berumur dua puluh tiga tahun itu pulang serta-merta gagal. "Kalau gitu, saya pergi sekarang, ya?"

Mencoba berpikir positif dari apa yang dilihatnya beberapa menit lalu, Arky berusaha menawar, "Bapak nggak bisa, ya, pura-pura bilang kalau tadi nggak ketemu saya?"

"Maaf, Mas. Nggak bisa." Asep menggeleng-gelengkan kepala. Mata pria tersebut menyorot Arky sekilas sebelum menunjuk mobil yang berada di sudut parkiran, menandakan dugaan Arky benar. "Sekali lagi deh saya tanya, Mas Arky mau ikut saya pulang atau mobilnya saya bawa?"

Arky menghela napas panjang. Tangan-tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dan dengan mantap, ia menyahut, "Pak Asep pulang aja sendiri."

"Oke, saya pergi, ya. Hati-hati, Mas!"

Melihat mobilnya yang perlahan-lahan menjauh pergi dibuntuti mobil di sudut tadi, kepalan tangan tercipta di dalam kantong celana Arky. Wajah lelaki itu memerah tersapu amarah. Matanya pun menampilkan warna yang sama. Napas yang tadi diaturnya, kini kembali memburu tak terkira.

Lalu untuk meluapkan semua kekesalan yang bergejolak di dalam dirinya, Arky mengumpat keras, "Pak Tua anjing!"

( ⚘ )

"Kenapa lo nggak lawan?! Tinggal jotos, buat tumbang, terus ambil mobil lo lagi! Selesai!"

Arky tahu, kata-kata yang terkoherensi dari Jevin hanyalah saran semata karena tak tahu bagaimana sang ayah. Nada tinggi yang dipakai pemuda tersebut pun bukan tanda apa-apa, hanya agar suaranya terdengar karena volume musik di sekitar yang di atas rata-rata. Akan tetapi, entah kenapa tetap membuat Arky merasa gusar. Menurutnya, lebih baik diam daripada memberi anjuran tak berguna.

Sementara itu, Deon yang berada di antara mereka tak banyak bicara. Laki-laki bertubuh tinggi itu hanya menahan senyum cemooh yang siap terlahir di wajahnya. Namun, dari sana Arky tahu bahwa arahan Jevin tak membuat ia risi sendirian.

"Preman-premannya bokap gue ngikut!" sahut Arky dengan suara yang juga dinyaringkan agar menembus berisiknya musik yang mengisi ruang tempat mereka berada. "Kalau gue ngelawan, yang ada gue diseret pulang buat hadepin Pak Tua sialan itu! Ogah!"

"Kayaknya emang itu deh, Ky, tujuannya," ucap Deon dengan intonasi normal. Menyebabkan Arky dan Jevin sempat mencerna sejenak sebelum mengerti apa yang diucapkannya. "Beliau mau lo pulang tapi maksanya dengan cara buat lo susah. Iya, nggak, sih?"

Arky meraih kaleng alkohol yang isinya tinggal setengah, kemudian meneguk minuman itu hingga tak tersisa. Membuat kening laki-laki tersebut kemudian mengernyit, merasakan sensasi panas dan terbakar di kerongkongan sampai dadanya. Akan tetapi, tetap tidak berhenti mengambil kaleng baru di atas meja.

"Terserah dia, gue nggak peduli!" ujar Arky dengan nada mantap sambil merapatkan punggung pada sandaran sofa. Namun, diam-diam otak pemuda itu mulai bekerja, mencari solusi jikalau apa yang dikemukakan Deon menyata.

"Tinggal pulang aja sih, apa susahnya?!" celetuk Jevin yang langsung dihadiahi kerlingan tajam Arky dan helaan napas panjang dari Deon.

Meski terlihat cukup dekat, ada beberapa sekat yang terbangun di antara ketiga lelaki tersebut. Dengan spesifik, banyak hal terkecualikan untuk Jevin—termasuk ketegangan di antara Arky dan Ilham. Sifatnya yang impulsif dan cenderung tak memikirkan lawan bicara sulit diterima oleh Arky dan Deon—yang tak punya banyak stok kesabaran—kala membutuhkan nasihat di tengah-tengah kegentingan.

Selain itu, hubungan pertemanan Arky dan Deon terjalin lebih lama. Keduanya sudah mengenal dan saling berbagi cerita sejak duduk di bangku SMA. Lalu bertemu Jevin di jenjang studi berikutnya. Namun, meskipun begitu, Arky tak pernah semerta-merta berniat untuk menyingkirkan Jevin dari daftar temannya yang memang tak banyak.

Apalagi Jevin kadang-kadang juga mengulurkan bantuan, salah satunya adalah menyarankan Arky untuk pekerjaan yang sekarang ia tekuni, yaitu barista di T'Sky—salah satu kedai kopi paling ramai di ibukota. Walaupun ide tersebutlah yang menjadi musabab konflik antara Arky dan Ilham yang lantas murka setelah mengetahui anaknya itu diam-diam berhenti kuliah.

"Yuhu! Jevin! Tumben diem aja lo! Yuk, ke tengah dong!"

Atensi tiga pemuda itu lantas teralih ke asal suara yang ternyata dari Sally—kakak kelas Arky dan Deon semasa SMA, juga kebetulan merupakan teman nongkrong Jevin—yang terkenal sebagai pencinta pesta sekaligus empu acara ulang tahun yang mereka tandangi ini. Tak ayal perayaan bertambah umur yang diadakan di hotel tersebut dibuat dengan suasana bak klub dengan musik keras, lampu utama yang diredupkan agar pencahayaan dapat didominasi oleh LED strip dan lampu warna-warni, serta tak luput berbagai makanan ringan, juga minuman-minuman soda dan beralkohol.

Di belakang Sally, ada Aara—sahabat si pemilik pesta dan juga senior Arky dan Deon—yang terlihat sudah lelah mengikuti langkah aktif dan energik temannya. Sally seolah tak mengenal kata penat kendati jam sudah menunjukkan tengah malam. Dentuman musik yang semakin meriah seiring bertambahnya waktu seakan membuat gadis yang baru genap dua puluh tiga tahun itu kian semangat.

"Gue duduk sama mereka aja deh!" putus Aara yang langsung menempatkan diri di samping Arky.

"Ih, Ra! Ayo, turun ke dance floor!" desak Sally sambil meraih Jevin agar segera bangkit dari posisi duduknya.

"Nggak deh!" Aara mengibas-ngibaskan tangannya. "Bawa Jevin aja udah!"

"Nggak asyik lo mah!"

Tak mengambil acuh, Aara hanya mengangkat kedua bahu akan cibiran Sally yang perlahan mulai ke tengah ruangan bersama Jevin. Kemudian, punggungnya ikut menempel pada sandaran sofa seperti yang sedang Arky lakukan. Membuat laki-laki tersebut menjatuhkan atensi padanya. Mereka saling bertukar pandang selama beberapa detik, sebelum sudut-sudut bibir Aara terangkat mengukir kurvaan sebagai sapaan pertama.

Arky balas tersenyum kecil. Tubuhnya bergeser sedikit lebih dekat pada Aara agar suaranya dapat terdengar. "Kapan lo datang?"

"Udah dari tadi kali. Barengan sama lo masuknya."

Mata Arky terbuka lebih lebar. "Lah? Nggak sadar gue."

"Kalau kelihatan banyak pikiran gitu mana mungkin sadar?" Kikikan Aara mengudara. Tubuhnya sedikit dibungkukkan agar pandangannya dapat menjangkau Deon yang berada di sebelah Arky; mendapati pemuda itu tengah berkutat dengan camilan yang baru ia ambil dari meja.

"Ada apa sih?!" tanya Aara dengan suara sedikit keras, pertanda bahwa ia mengajak Deon—yang sekarang telah menoleh ke arahnya—masuk dalam obrolan. "Gue lihat, dari tadi kayaknya kalian serius amat!"

Tidak ada jawaban yang mengudara. Kedua laki-laki tersebut malah bertukar tatapan dan sama-sama diam. Akan tetapi, rasa penasaran akan kejadian hampir setengah jam lalu yang disaksikannya tak mau mengalah. Jadi, Aara putuskan tetap bersuara dengan wajah yang mengarah lurus pada Arky, "Gue tadi lihat lo marah-marah di basemen, Ky! Masalah sama bokap lo lagi?!"

Arah perhatian Arky kembali pada Aara. "Lo di sana tadi?!"

"Ya, iyalah! Tadi, kan, gue udah bilang masuknya bareng lo!" timpal Aara, mengingatkan Arky ucapannya beberapa menit yang lalu. Kemudian, ia menambah, "Lo anjing-anjingan gitu kayak orang kesetanan!"

Kalimat terakhir Aara berhasil menyebabkan Deon menyemburkan tawa. Walaupun iba atas apa yang menimpa Arky beberapa waktu belakangan, membayangkan bagaimana sahabatnya berteriak-teriak seperti yang digambarkan gadis itu membuat perutnya geli.

Hal yang dilakukan Deon dan Aara yang masih menuntut jawaban dari sorot matanya membuat Arky merasa terdesak. Wajah hingga telinganya perlahan-lahan memerah karena jengah yang datang tiba-tiba. Sungguh, jika waktu bisa diputar balik, Arky akan mencoba menahan emosinya.

"Nggak banyak kok yang lihat." Aara bergeser semakin rapat, sengaja menempelkan lengannya pada milik Arky. Ia tahu bahwa gengsi yang bercokol dalam diri pemuda tersebut sangat besar dan tak bisa disenggol. Oleh karena itu, dengan sedikit rasa bersalah, ia mencoba menyalurkan ketenangan dari sentuhan kecilnya.

"Gu—"

"Deon! Arky!" pekik Sally dari tengah ruangan yang tepat memotong ucapan Arky. Mimik perempuan tersebut terlihat panik.

Tak perlu waktu lama untuk bergejolak dengan rasa penasaran, sosok Jevin yang tengah mencengkam kerah seseorang terlihat di dekat Sally. Mengakibatkan dua laki-laki itu langsung mengambil langkah lebar menyusul temannya yang hendak membuat masalah.

( SN - 1. Sampai Tak Tersisa )

Heyyo!

Dengan M di sini. Long time no see!

It's been 3 years since I updated a new chapter (di draft lain sih xD) and now, I finally bring a new story dari seri yang sebelumnya belum pernah ada, tapi tetap masuk ke dalam MaaLjuniverse, yaa. Karena kalau udah ada yang baca seri MitAM, pasti tahu our heartbreak prince, si Deonicholas Hesrezqiyah itu. ヾ(≧▽≦*)o Tapi seperti biasa, semua seri di MaaLjuniverse bisa dibaca terpisah. Jadi, nggak pa-pa kalau belum baca yang lain tapi lebih bagus lagi kalo dibaca semua sih. Hihi. xD

Sempat skeptis bisa garap ini ..., but here I am, trying my best to finish what I started—at least, getting one chapter out as a new move is enough, right? (≧∇≦)

The simple but weird,
MaaLjs.

25 Februari 2025 | 20.15

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro