Wisuda
Di tahun ini aku di wisuda, Adit, Husain, Julius dan Andre sudah di wisuda tahun kemarin, itu tentu saja karena mereka angkatan atas, saat wisuda kami semua kedinginan, AC terlalu kencang sampai-sampai air mineral botol yang aku bawa menjadi dingin. Kampus kami menyewa sebuah gedung serbaguna yang cukup besar ditengah kota Jakarta. Aku ingin ke kamar kecil namun anggota BKM (Badan Kepengurusan Mahasiswa) melarang kami kekamar kecil dengan alasan acara wisuda sangat sakral, seperti para negara adidaya, mereka memang tidak punya hati. Beberapa mahasiswa bahkan tidak berani batuk dan bersin, namun ada Mahasiswa yang begitu payah, dia tertidur dan mendengkur seperti kucing, seorang dosen sempat membangunkannya, namun dia tidur lagi setelah si dosen pergi.
Diacara wisuda yang sakral kami banyak memergoki beberapa peserta wisuda yang sembunyi-sembunyi mengunyak kue serabi kering dan menyedot minum dari sedotan di dalam jubah toga mereka, mereka bersendawa, batuk saat sesi acara menyanyikan hymne kampus, senyum-senyum saat rektor berpidato, menguap saat baca doa, kentut saat kami disuruh bertepuk tangan, di barisan belakang peserta ribut kerana bau kentut, di barisan belakang benar-benar kacau, seorang peserta kehilangan sepatunya, seseorang menyembunyikannya, "Bagaimana nanti aku maju kedepan? Kaus kakiku bolong," dia berkata dengan sedih, seorang peserta yang iseng akhirnya mengembalikan sepatunya, si peserta wisuda yang kehilangan sepatu itu membalasanya, dia meletakan permen karet di kursi peserta iseng itu saat dia lengah, si peserta iseng duduk tanpa tahu peremen karet lengket menempel di jubahnya seperti bekas menceret, bisa dibayangkan saat namanya dipangil nanti untuk maju kedepan.
Acara wisuda telah usai, penuh seremoni dan basa-basi, juga terlalu banyak pidato tentang negara Finlandia, seorang perwakilan kementrian diundang, dia melakukan kuliah singkat, sang mentri berkata, "Kita harus belajar dari Finlandia," namun beberapa peserta wisuda mengeleng-gelengkan kepala, mereka berbisik-bisik sang mentri keterlaluan untuk urusan pendidikan modern, seharusnya Indonesia berlajar pada Jepang, China, dan Amerika Serikat.
Kami mulai keluar dari gedung serbaguna, sekelompok peserta melemparkan topi toganya ke atas udara sambil berteriak, "Yahoo!" Aku hanya bisa tersenyum melihat kelakukan mereka,beberapa peserta bahkan tertawa dan mengobrol dengan keluaraga mereka, bahkan ada yang foto-foto. Sedangkan aku hanya duduk di dekat tangga masuk.
Seorang anak laki-laki sedang memandang kagum sebuah gambar yang terpampang di mobil box, "Tyranosurus Rex!" Teriak anak itu, dia menujuk gambar dinosurus sambil meloncat-loncat.
"Itu T-Rex de," kata Sasa yang tiba-tiba muncul dan duduk di sebelahku, padahal itu gambar dinosaurus Raptor. "Siapa yang datang?" Tanya Sasa padaku sambil mengangkat dagunya.
"Tidak ada," jawabku sambil memeluk topi toga.
Melihat Sasa aku jadi teringat kejadian beberapa semester yang lalu saat di kelas perkulihan kalkulus tarapan, dosen bertanya saat itu, "Siapa yang paling menderita di negara ini?"
Sasa dengan polos menjawab, "Sapi peras pak, setiap hari anunya di peras," seketika dosen langsung duduk diam, kami juga iku diam.
Julius akhirnya kehilangan kesabaran dengan lantang dan penuh nafsu dia menjelaskan, "Yang paling menderita adalah suku Indian dan Aborigin pak, bukan hanya tanah air mereka yang dirampas, tapi masa depan mereka bahkan harus hilang, peninggalah leluhur mereka juga diambil dengan alasan peninggalan sejarah dan disimpan di museum," kata Julius sambil melotot kearah Husain.
Husain menyipitkan mata dan berkata, "Omong kosong yang sok humanis."
Sasa yang duduk di sampingku dipangil seorang wanita, mungkin itu ibunya, dia berdiri dan menatap mataku, "Sampai jumpa lagi kawan," katanya menepuk bahuku.
"Sampai jumpa lagi, semoga kausukses."
"Kaujuga semoga sukses," katanya sambil pergi dan melihatku sambil tersenyum.
Setelah kami kami berpisah aku mengelilingi lapangan gedung serba guna seperti kucing, banyak para peserta wisuda asik berfoto bersama keluarga mereka, di acara wisuda ini aku hanya sendiri, aku adalah kucing yang sendirian, "Meeong."
Saat asik berjalan aku menemukan Jerico temanku, dia sedang berdiri di bawah pohon palem, dia memangilku dan bertanya, "Siapa yang datang?" Aku hanya mengeleng, "Sabar, kita sama," katanya menepuk pundakku, si Jerico sok menyabari orang.
"Orangtuaku sudah tua, mereka tidak bisa datang, aku tidak ingin merepotkan mereka."
"Sama, orangtuaku juga sudah tua, bahkan jauh di Sorong. Kita pasti jadi orang sukses," katanya dengan optimis.
"Yaqcob Ferdinan Marcob Swarazs!" Seru kami pada seorang peserta wisuda asal Dili sambil cekikikan tertawa.
Dia menoleh dan mendatangi kami, "Jangan pangil orang pakai nama lengkap, rasanya aneh!" Katanya kesal. "Punya kamera?" Kami berdua mengeleng, "Hah! Gembel!" Dia berseru sambil tertawa.
Ferdinan tiba-tiba heran melihat tanganku, ada sebuah gelang dari kabel berwarna merah dan putih yang dianyam, "Apa ini? Norak ah!" katanya sambil menyentuhnya dengan jari telunjuk.
"Ini gelang Mahasiswa non-blok --" kataku, namun Jerico langsung memotong penjelasanku.
"Ini gelang Mahasiswa pro-reformasi," kata Jerico menjelaskan, "Dewi yang membuatnya, semua sudah dibagi, tidak dapat kah?"
"Ambil saja," kataku sambil melepaskan gelang itu, "Aku masih ada dua lagi."
Ferdinan mengambil gelang itu dan mengenakannya, "Gelang Mahasiswa reformasi kah ini? Berlebihan kawan, ini hanya gelang perakarya anak sd," walau begitu Ferdinan tetap memakainya, dasar anak SD!
Lalu kami bertiga berjalan pulang, "Kapan kita ke Sorong?" Tanya Jerico.
"Kapan-kapan," jawabku dan Ferdinan, ongkos pulang ke daerah kami saja mahal setengah mati, apa lagi ke Sorong.
"Eh, kita makan soto betawi, aku yang traktir, mau tidak?"
"Boleh, bagus itu."
Aku sampai ke asrama jam 2 siang, Edo langsung menyambutku, "Bagaimana wisudanya bang?"
"Ada yang kentut tadi."
"Dosa besar itu bang!"
Setelah selesai sholat juhur aku pergi ke asaram putri, ada masalah yang super penting dan harus dibicarakan hari ini pada seseorang disana. Namun setelah aku sampai hanya Amel yang ada di asrama. Aku menemuinya dan bertanya apa Neji-kun ada, "Ingat tidak waktu pertama kali kamu kesini?" Tanya Amel, "Nah, sejak saat itu dia sering keluar, aku kira dia pergi bersamamu."
Kemana si Neji-kun? Padahal ada hal yang super penting yang ingin aku bicarakan, aku dan Amel berpisah. Aku berjalan kearah dalam komplek, besok akan pulang, jadi aku ingin menikmati jam-jam terakhir di Jakarta tepatnya di perkomplekan ini, terlihat awan di atasku menyerupai sisik, itu artinya tidak ada hujan hari ini, jadi aku bisa tidur siang sampai sore di lapangan sepak bola di dalam sana.
Aku segera pergi ke lapangan, namun saat aku sudah dekat dengan lapangan bola, ada seseorang di sana, aku melihat Neji-kun sedang duduk mendengarkan music lewat Player miliknya sambil membaca buku, aku berlari dan berteriak kearahnya, "Nana!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro