Perpisahan
Di kelas fisika tarapan, dosen kami bertanya, "Untuk apa kalian ada di kelas ini? ingin kuliah atau ingin hidup sukses."
Kami serentak menjawab, "Ingin hidup sukses pak." Tapi apa kami akan hidup sukses? Kalau hanya menjalani hidup dengan bermodal pendidikan tanpa adanya kesempatan kerja .
Bagaimana bisa berkerja kalau tidak ada pekerjaan? Apa? kau ingin aku berwirausaha, kauhanya ingin lari dari pembicaraan? kalau hal itu aku juga tahu. Jawab dulu pertanyaan tadi dengan jelas!
"Seandanya ini Perancis, Presiden akan dikurung di menara Eiffel seperti kisah Rapunzel," Kata Julius.
"Seandainya ini Amerika, Presiden akan dilempar ke penjara Guantanamo seperti Mr.Jors," kata Husain, siapa itu Mr.Jors?
"Seandainya ini Rusia, Presiden akan berakhir di Lapangan Merah Moskva dengan tembakan tentara merah," kata Adit.
Petrus bagai ditelan bumi, lenyap begitu saja bagai bayangan hantu. Dosen bertanya lagi pada kami, "Seratus tahun yang akan datang Indonesia akan menjadi apa?"
Aku dan Husain menjawab dengan gaya US Marsell[1]. "USA sir!" seru kami dengan logat gaya militer, kami melihat kebelakang dengan licik, terlihat Julius mengepalakan tanganya dan marah pada kami.
"USA itu... Ujung Pandang, Semarang, Ambarawa," ejek Sasa pada kami berdua, "Iya kan?"
Sebuah kertas dilempar oleh Julius padaku, terlihat sebuah tulisan dikertas itu, 'Bila aku menjadi Presiden, akan aku gantung kalian antek kapitalis, bangsat!'
Hari rabu aku menunggu di luar gedung serba guna kampus, Dewi sedang di wisuda di dalam. Sebuah gelang dari kabel berwarna merah putih dan dianyam, gelang itu ada di tangan kiriku, gelang itu di bagikan oleh Dewi sebagai simbol bahwa kami bagian dari mahasiswa pro reformasi, tapi menurutku ini simbol mahasiswa non-blok.
Sekali menjadi Mahasiswa non-blok akan tetap non-blok, "Kami mahasiswa non-blok, bangsat!"
Setealah Dewi selesai mengikuti acara wisuda kami mulai mengobrol, dia mengajakku tinggal di Surabaya setelah lulus kuliah nanti, menurutnya akan lebih baik bila kami menikah dan tinggal di sana setelah lulus kuliah nanti, dia akan menunggu, namun aku menolak, aku tidak bisa karena harus tinggal bersama kedua orang tuaku di daerah, Dewi tertawa tapi saat aku mengatakan kedua orang tuaku sudah tua dan aku harus bersama mereka Dewi terdiam, mungkin tadi dia sempat berpikir aku ini anak mami.
Hari telah sore dan dia bertanya, "Menurutmu diriku ini seperti apa?"
Aku jawab, "seperti kangkung," mendengar perkataanku dia menjadi bingung, dia mencoba memahami kata-kataku, mungkin kepalanya akan pusing. Bagiku Dewi benar-benar wanita yang sempurna, mata dan rambutnya yang hitam, kulitnya yang coklat, dan senyumannya, aku selalu teringat suara tawanya, aku sering meniru gayanya berjalan dan cara dia memasukan kedua tangan ke saku jasnya, aku terlanjur jatuh cinta pada karakternya.
"Kau memang playboy, pasti sudah banyak wanita yang kautipu," balas Dewi meremehkan jawabnku.
Aku bukan playboy, aku juga bukan tukang tipu, aku ini non-blok. Kami akhinya harus berpisah, dan sekali lagi Dewi mengajakku tinggal bersamanya di Surabaya, tapi sepertinya tetap tidak bisa, aku juga mencintai ayah dan ibuku.
Lalu kami benar-benar berpisah setelah sekian lama menahan perasaan, aku berjuang menahan perasaan cintaku padanya agar persahabatan kami tidak hancur, setelah aku mengutarakan perasaanku akhirnya kami harus terpisah karena berbeda tujuan, satu jalan namun tidak satu perhentian, seperti perpisahan Trisan dan Isolde[2] di dalam pikiran Richard Wagner. lagi pula wanita yang selalu di dalam pikiranku ini lebih layak dengan pria yang lebih baik dari pada denganku si pecundang. Di 1998 cinta bukan lah jawaban, untuk apa bersama kalau pada akhinya harus berpisah? untuk apa saling memiliki padahal pada akhinya tidak bisa bersama? Seandainya kautahu perasaan kami di 1998.
[1]Sejenis jabatan KAPOLRI di Amerika Serikat.
[2]kisah yang dipopulerkan pada abad ke-12 melalui Anglo-Norman.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro