Pagar Hidup
Wanita adalah warna unggu dan oranye, jeruk sankis dan mangga muda, es krim rasa stoberi, gitar Sepanyol, bakso, pohon vinus, bunga anggrek, kucing, kupu-kupu, Negara Swedia[1], hujan, senja, dan bulan purnama.
Jam setengah satu siang, kami sampai di depan gedung tua yang sudah tidak dipakai lagi, kata orang tempat ini menjadi sarang jin. "Om jin, aku ingin tiga permintaan," kata Riki, kelihatanya si Riki salah paham, memangnya jin penunggu di sini Jin lampu ajaib.
"Aku ingin playstation dan pacar yang mengerti aku," kata Arif yang ikut salah paham.
"Aku ingin pulang ke Medan," kata Ramli yang membuat kami sedih dan terdiam. Kami semua ingin pulang, kami muak dengan tugas kuliah dan demonstrasi yang menyedihkan. Kami rindu orang tua, keluarga, dan sahabat kami. Kami merindukan pohon-pohon cengkeh, manga, dan belimbing yang tumbuh di depan halaman rumah. Kami rindu aroma ikan asin dan terasi di dapur, kami merindukan kamar, kami merindukan gelas, dan piring di meja makan di dapur rumah kami. Kami merindukan capung-capung yang berterbanga, burung gereja yang selalu mampir di beranda rumah, sungai-sungai, surau-surau yang dulu selalu kami datangi saat masih sekolah.
Kami memiliki seorang teman, dia seorang mahasiswi bernama Sasa, dia bercanda dan berkata, "Aku tidak ingin pulang, bila aku pulang ayah akan menikahkanku dengan Camat di daerahku," ini lucu, apa memang lebih lebih baik begitu? Dari pada Sasa dinikahkan dengan kambing Pak Camat. Seoarang mahasiswi setempat dinikahkan dengan kambing kesayangan Pak Camat, mereka hidup di kandang kambing selamanya.
Andre temanku tiba-tiba muncul bersama seorang mahasiswi yang entah siapa, dia bukan dari rombongan kami, si mahasiswi terlihat ketakutan, bandu berwarna biru di kepalanya terlihat hampir jatuh, tubuhnya gemetar. Mahasiswi itu bernama Ema, Ema terlihat sangat ketakutan dan sedih, wajahanya pucat dan bibirnya hampir berwarna putih seperti ikan di pasar, dia baru saja terpisah dari rombongannya. Melihat keadaan Ema yang begitu gugup Andre bertanya pada Ema, "ada apa Ema? Mengapa Ema sedih?"
Ema menjawab dengan wajah murung,"petrus akan menembak kepala kita bang."
Aku membayangkan menjadi seorang Jendral pro pemerintah, dengan wajah sedih dan menundukan kepala di ruang rapat darurat negara, Pak Peresiden bertanya, "ada apa Jendral? Mengapa Jendral sedih?"
Jendral menjawab dengan wajah murung namun penuh nafsu, "oposisi dan para mahasiswa sudah keterlaluan! Sebaiknya kita tangkapi para keturunan monyet babi ular beludak itu! Pak!"
Dari kejauhan aku melihat seorang mahasiswa ketakutan disebuah kursi roda, dia ketakutan dan melihat kesana-kemari, mahasiswi itu terbawa arus demonstran, dia kelihatanya sama seperti Ema terpisah dengan rombonganya. Melihat mahasiswi itu membuatku sedih dan marah, sudah tahu dia harus bergerak dengan kursi roda, malah ikut aksi demonstrasi, ini bukan piknik atau ajang studitur anak sekolah, semua mahasiswa yang ada di sini akan mati bila petrus muncul tiba-tiba.
Aku memaksa diriku mendatangi ketua kordinator rombangan, ketua rombongan kami adalah sang ketua BEM, namanya adalah Dewi, Dewi si cewek tomboy yang sok jago, dengan topi dan kaca mata hitam, selalu memakai kemeja berwarna gelap dan jas almamater kampus, selalu membawa bendera, dan toa. Gaya para cewek tomboy ini di mataku mirip dengan dikatator fasisme, mereka selalu merasa hebat dari kami kaum lelaki.
Dengan sombong Dewi memegang kerah jas almameterku dengan tangan kirinya, dia mendekatkan bibirnya yang tebal ke telingaku, aku merasakan nafasnya, untung saja tidak bau, "Boleh, tapi belikan aku juga," kata Dewi dengan logat Surabaya, kelihatanya dia salah paham.
Aku tidak peduli dengan Dewi yang feminis totok itu, aku bergegas berlari mendekati mahasiswi yang ketakutan di kursi rodanya, dia sangat ketakutan, aku menawarkan bantuan agar dia bergabung dengan rombonganku, dia setuju, kami berkenalan, namanya adalah Bela, seorang wanita berkulit coklat dan berkacamata, aku melihat rambutnya yang sedikit keriting terurai. Aku langsung membawa Bela ke dalam rombonganku. Melihat kedatangan kami Dewi melotot, aku menceritakan apa yang terjadi. "Aku kira kau tadi ingin membelikanku minuman," kata Dewi sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Jangan tingalkan aku," kata Bela.
Beberapa Mahasiswa di rombonganku mulai berbisik-bisik, mereka membicarakan Dewi yang sok jago, ulah Dewi sering membuat kami kesal, sudah saatnya oposisi dan rakyat bertindak dan melengserkannya dari ketua kordinasi rombongan sekaligus ketua BEM, kami melihat kearah Riki, Riki adalah asdus di lab bahasa Inggris, dia mahasiswa yang paling genteng[2] di rombongan kami, "pacari dia Ki, hancurkan masa depanya, kemudian campakan."
"Dewi itu orangnya manis walau galak minta ampun," kata Riki, alah si Riki playboy cap ikan koi, kawini saja si Dewi itu, tapi kata Riki, "rasanya si Dewi itu ingin aku nikahi saja."
Kami para mahasiswa berhenti di dekat perempatan, di sebrang sana kami melihat pasukan polisi anti huru-hara. Seorang mahasiswa dibelakang rombongan kami tiba-tiba meniup peluit, bunyi peluit itu membuat kami para mahasiswa dan para polisi bingung, mengapa peluit itu ditiup disaat kami saling berhadapan seperti ini? Apa waktu permaianan sudah berakhir? Ataukah laga hidup mati dimulai dari sekarang. Aku jadi teringat saat pertandingan hidup mati antara Man City F.C melawan Bolton Wanderers[3] di Liga Primer Inggris. "Mari berjuang di Liga, Bung!"
Pasukan Polisi anti huru-hara itu sangat banyak, mereka bisa dengan mudah menendang pantat-pantat kami atau menjewer kuping kami dan berteriak, "pulang! Pulang! gembel bandel!" Mereka kini serentak maju sambil memukul-mukul perisai yang mereka bawa, kami tidak mungkin mundur setelah sejauh ini, para kordinator rombongan berteriak-teriak mengatur barisan, seperti menyiapkan pasukan, para polisi itu seperti pasukan Romawi dan kami adalah gerombolan tentara Tartar Mongol yang datang setelah meneror Jalur Sutra dan Merampok Gaza. Dengan senjata tiang bendera kayu dan batu, mana mungkin gerombolan pasukan Tartar ini mundur tanpa perlawanan, sasaran kami adalah selangkangan mereka, itu adalah sasaran empuk yang akurat dalam seterategi perang, akan kami tendang kuat-kuat.
Laga hidup mati dimulai, pasukan polisi itu maju serentak begitu menakutkan, kami masih berdiri di tempat, kami akan menyerang bila mereka sudah masuk jarak lemparan batu, "bersiapalah para polisi, akan kami buat kalian seperti agar-agar basi kena tinju Muhammat Ali!" Saat semangat kami memuncak menjadi api kebencian pada mereka tiba-tiba para mahasiswi maju kedepan, para mahasiswi adalah para wanita-wanita yang sering kami olok-olok itu, mereka maju kedepan dan membuat pagar hidup mencoba melindungi kami, "bunuh kami dulu pak!" Seru mereka. Melihat pagar hidup itu para polisi mundur perlahan-lahan.
Kami para pria terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa lagi melihat para wanita itu, para Mahasiwi-mahasiswi itu benar-benar punya nyali, kami merinding saat tiba-tiba para mahasiwi maju melindungi kami. Boleh juga, selain punya nyali para wanita juga ternyata ahli setrategi, mereka memukul mundur pasukan polisi tanpa menyerang, kami para pria rasanya ingin pulang saja ke asaram dan menagisi ketidak bergunaan kami.
[1]Konon Negara Swedia memiliki banyak wanita cantik
[2]Genteng pelesetan dari kata ganteng
[3]Skor pertandingan Man City F.C 0:1 Bolton Wanderers di Liga Primer Inggris 1992
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro