Orange Nassau
Terlihat gelang kabel yang dianyam berwarna merah dan putih, gelang ini pemberian Dewi, ini memang gelang Mahasiswa non-blok sejati. Sepeningalan Dewi aku merasa keadaan kami sudah jauh berubah, dahulu saat kepemimpinan Dewi kami berdemo selalu serius, sekarang malah parah, kami yang non-blok itu terserang penyakit narsisnisme. Dulu aku sering melihat Dewi mengenakan kacamata hitam dan topi, tanganya kadang dimasukan ke saku jasnya, dia selalu berdiri paling depan sambil memantau kami dibarisan.
Aku tersenyum sendiri mengingat nostalgia saat Dewi masih bersama kami, kenangan yang terasa bagai sebuah lagu dan hujan, lalu terasa bagai cahaya rembulan dan bintang-bintang menyinariku, rasanya ada angin lembut meniup wajahku dan semua gerakan di Bumi terasa melambat, aku bisa melihat wajah Dewi yang memantul di mataku sendiri. Aku berjalan lambat ke belakang barisan rombongan, kumasukan kedua tanganku kedalam saku jas almameter seperti yang selalu dilakukan Dewi, aku juga mengembungkan pipi kanan seperti Dewi lakukan saat berjalan, aku menirukanya atau aku berusaha menjadi dirinya sambil berjalan lambat bagai entok, entok jantan non-blok pastinya.
Berjalan kedepan sambil memejamkan mata mengingat-ingat bagai mana saat Dewi masih bersama kami, namun tiba-tiba pria berjas hijau itu marah dan menyuruh para pengawalnya menakuti-nakuti para mahasiswa di barisan belakang, semenatara aku tidak tahu itu terjadi dan terus berajalan, tiba-tiba aku tidak sengaja menyengol bahu seseorang, bahu itu adalah bahu salah satu pengawal si pria berjas hijau, dia melotot melihatku dan aku bingung. Aku diam, pria itu diam, para mahasiswa diam, para polwan diam, para laskar pengawal diam, dan krik krik krik...
Andre muncul di belakangku dan berbisik, "Habisi! Dia bukan siapa-siapa, dia hanya anak kecil yang ingin diperhatikan pemerintah. Pukul! Pukul dia! Ayo pukul bangsat!" kata Andre sambil menguncang-guncang tubuhku, "Apa lagi yang kautunggu? Yang lain siap membelamu," pembohong.
"Pukul! Puku! Kenapa diam?!" Kata teman-temanku di belakang, mereka berteriak-teriak seperti monyet kegirangan, dasar para monyet provokator, tolong kadangi para monyet-monyet liar itu kakak Polwan, keberadaan mereka cukup menganggu privasi publik.
Para penjaga itu bergerombol di depanku, mereka ingin mengintimidasiku, sementara aku masih diam di tempat dan Andre di belakangku. Aku melirik Andre dia tersenyum licik, dia ingin sekali melihatku dihajar mereka, "Jangan jadi pengecut kawan! Lihat mereka, penampilan mereka serba palsu, hanya gaya-gayaan agar dilihat presiden," Andre menjadi setan pembisik ditelingaku.
"Kalau kalian berkelahi, kami akan menangkap kalian," kata para polwan mengingatkan kami.
Pria berjas hijau itu mendorongku kebelakang, replek saja aku langsung mengepalkan tangan dan ingin meninju telinganya, namun tiba-tiba Sasa menarik bajuku dan tinjuku meleset telak, aku bagai meninju angin.
"Bodoh!" Teriak Sasa di telingaku, dia menyeretku kebelakang, "Mau sok jago!"
Teman-temanku merasa kecewa tidak berhasil melihatku babak belur dihajar musuh, aku melihat mereka sangat ingin melihat kehancuranku, mereka kecewa padaku dan aku cewa pada diriku sendiri, kekurangan ion dan kelelahan membuat konsentrasiku buyar.
Kami akhirnya pulang dan aku pulang dengan rasa malu, di jalan tidak ada satupun temanku mendekat dan mengajak bicara, mereka terus mengerutu dan menyesal tidak mempan memanas-manasiku.
Aku melihat Sasa berjalan berjingkit di tepi trotoar sambil merentangkan tanganya seakan ingin terbang menjadi pesawat, aku mengodanya, "Kapal Belanda, apa kaumau ke Belanda?"
"Untuk apa aku ke Belanda?"
"Kapal kertas itu kauyang buat kan?"
"Iya, aku yang mebuat dan kauyang menghilangkannya, aku tahu lho," kata Sasa sambil mengembungkan pipi, bagaimana dia bisa tahu? Apa dia CIA?
Deg! Sialan! Waktu itu air pasang disekitar kampus kami, di selokan didepan ruang teori kelas air mengalir begitu deras, aku melihat Julius dan Adit membuat kapal-kapalan dari kertas, di kapal itu mereka menulis sesuatu, entah apa tulisannya, katanya kapal kertas itu dilarutkan untuk dewa Neptunus, dasar kaum panga kampung udik. Aku juga ikut-ikutan, aku membuat kapal dari kertas binderku, sebuah kapal perang kertas yang akan berlayar menyerbu laut China Selatan, namun kapal perang buatanku hasilnya jelek, kapal gagal dalam misi penyerbuan di pelayaran perdana, kapal karam begitu saja di selokan sebelum berperang, seperti karamnya kisah cintaku dan Dewi.
Aku ingat ada kapal kertas berwarna oranye di ruang teori kelas, aku mengambilnya dan membuatnya berlayar di selokan, kapal oranye itu berlayar dengan cepat seperti mobil balap F1 yang melaju di sirkuit balap Toronto, Julius dan Adit begitu takjub.
Adit dia melihat kearahku dengan gemetar dan berkata, "Itukan kapal di kelas kita, kenapa kauambil? Sasa akan mebunuhmu lho."
Dengan wajah cemas aku hanya bisa berkata pada kapal oranye itu, "Berlayarlah kawan, berlayarlah sampai ke Orange Nassau[1]."
[1]Orange Nassau ada sebuah benteng Belanda yang bernama Orange Nassau di Kalimantan Selatan di daerah Plaihari, benteng ini akhirnya dihancur leburkan oleh kerajaan Banjar yang dipimpin Pngeran Antasari.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro