Dewi
Seorang dosen di mata kuliah masyarakat dan kewarga negaraan bertanya pada kami, "apa yang akan anda lakukan? Bila anda menjadi Presiden di negara ini, jawab pertanyaan itu diselembar kertas."
Kami para mahasiswa mulai menulis apa yang akan kami lakukan bila menjadi Presiden. Husain seperti yang sudah kami perkirakan akan memimpin negara dengan penuh keterbekuaan dan kebebasan, dia menginginkan sistem sekulerisme diterapkan. "Mesjid-mesjid harus dipisahkan dari urusan politik," tulis Husain, dia ingin menjadikan negeri ini seperti Eropha barat dan Turki, dasar antek barat!
Julius teman kami juga menulis harapan kurang lebih seperti Husain, "Kita akan menerapakan sistem demokrasi seperti Perancis berupa kebebasan, persamaan dan persaudaraan," Julius bahkan menambahkan, "Kita akan bergabung dengan NATO dan UNI Eropha," Julius memang rajanya omong kosong.
Adit teman kami yang satu asarama denganku dan Husain menulis, "Sistem sosialisme adalah jawaban kebangkitan bangsa kita, sosialisme sekarang juga!" hal ini membuat aku dan Husain menjerit. Dia juga berkata akan memimpin negara seperti Josep Stalin, tegas menghadapi kaum oposisi yang suka cerewet seperti anak bebek. Husain langsung menyentuh dahi Adit dengan tangannya, ternyata dahinya panas.
"Adit lagi kena flu soviet, hati-hati," bisik Husain padaku.
"Pantas, dia ingin jadi Stalin."
Aku menulis apa yang akan aku lakukan bila menjadi Presiden, sebagai orang non-blok rencanaku sederhana saja, "Saya akan mengucurkan banyak uang, untuk menuntaskan kemiskinan dan kebodohan," Husain langsung mentertawakan tulisanku, menurutnya tulisanku mirip seperti tulisan seorang penjilat. Aku memang penjilat, aku suka menjilati piring yang belepotan sambal rendang, penjilat jari-jari yang belepotan coklat, penjilat bungkus snack yang masih ada sisa-sisa bumbunya, menjilat dan merengek kepada Tuhan saat ada masalah dan perlu uang, tapi aku tidak sudi menjilat pada pemerintah dan Amerika, titik!
Seorang Jendral terlihat sedih di sebuah ruang rapat darurat, sang Jendral hanya menundukan kepala dan hanya diam, melihat kediaman sang Jendral sang Presiden pun kehilangan kesabaran dan mulai bertanya, "katakan, apa yang membuatmu sedih Jendral?"
Jendral menjawab dengan mata berkaca-kaca, "Aku jatuh cinta pada Dewi, tapi mana mungkin aku mengutarakannya, dia adalah sahabatku. Aku tidak takut ditolak, tapi aku takut persahabatan kami rusak."
Mendengar itu sang Presiden mengebrak meja dan berdiri, "cinta itu beracun, Jendral!"
Dewi tidak pernah aku melupakan nama itu. Dewi merupakan sebuah nama yang tumbuh seperti bungga anggrek yang tumbuh seenaknya di tembok hatiku, aku mengambarkanya seperti lagu als de orchideen bloeien.
Dewi sahabatku, aku pertama kali mengenalnya saat masa orentasi kampus, masa orentasi adalah neraka bagi kami para mahasiswa baru, kami dijemur diterik matahari dengan cahaya panas yang melimpah, sehingga tubuh kami beraorama seperti cumi-cumi kering dengan sedikit aroma ikan asin. Saat masuk waktu sholat Juhur aku minta ijin melakukan sholat di mushola kampus. Setelah selesai sholat aku kembali bergabung ke peletonku, tapi tiba-tiba seorang wanita yang juga seniorku muncul dan menarikku ke lapngan kampus tepat didepan kami, wanita sekaligus sang senior itu adalah Dewi.
Dia menyuruhku berdiri di depan lapangan, aku bingung saat dia marah-marah dan mengajakku berkelahi, Dewi menusuk pipiku dengan jari telunjuknya, untung saja aku sudah makan kalau tidak sudah aku gigik jari telunjuknya. Dewi marah padaku. "Kautadi merokok ya sehabis makan siang?!' bentaknya.
"Merokok? Aku tidak merokok," aku berkata jujur, aku bahkan tidak bisa merokok, aku bukan kaum revolusioner.
"Jangan bohong!" Bentaknya, dia memangil empat orang Mahasiswi baru yang ada di peleton disebelah barista peletonku.
"Kami melihat dia merokok," kata mereka, sialan!
Mereka bertiga memfitnahku atau mungkin juga salah lihat, lelaki mana yang tidak tahu, kaum wanita memang rajanya kalau soal main salah-salahan. Aku teringat saat aku masih kecil, saat itu aku masih TK, aku suka burung gereja, saat senja hari aku menemukan kelelawar dan menangkapnya, lalu kelelawar itu dikurung di kurungan tikus, aku menangkap kelelawar karena mengira dia adalah burung gereja, sekarang aku mengerti perasaan kelelawar itu, sekarang aku kena karma, bagaikan si kelawar itu. Ya Tuhan, aku adalah korban salah tangkap, aku bukan burung gereja!
Dewi menghukumku push-up 50 kali, tapi tetap aku mengatakan tidak merokok, seorang dosen berkumis muncul marah-marah dan mengancam akan menghukumku dengan hukuman lebih berat, tapi tetap aku katakana tidak merokok, Dewi menjemurku sampai waktu sholat ashar, tapi tetap aku katakana "Aku tidak merokok."
Aku difitnah dan dipermalukan, ditindak secara tidak adil, Dewi sialan! Aku benci dengamu! Saat orentasi selesai aku mendatangi Dewi diparkiran Mahasiswa, aku menemui dan mengatakan padanya aku tidak merokok bahkan tidak bisa merokok, tapi dia hanya berkata, "Is oke."
Setelah kejadian itu aku benar-benar benci padanya, aku mendendam seumur hidupku, aku membencimu sampai mati, dasar nyonya menir! Namun karena kejadian itu Dewi malah sok akrab dan sok baik denganku, dia sering menyapaku, menyegol bahuku, dan selalu melihat mataku. Aku menulis namanya di belakang buku binderku, tulisan itu adalah 'Dewi, kau harus mati, dasar bodoh!'
Disebuah hari yang panas di jam 14:00 siang bolong didalam kelas perkulihan fisika tarapan, kami semua saat itu hampir gila, bukan hanya panas tapi soal yang diberikan sang dosen juga membuat otak kami mendidih. Sang dosen selalu saja memberi soal dan tanpa contoh soal yang tepat, fisika tarapan memang pelajaran paling menyebalkan di saat musim kemarau seperti ini.
Saat itu aku sedang melamun sambil mengipas-ngipas bagian leher dengan sapu tangan, sebuah kertas dilempar dari belakang ke kepalaku. Aku terkejut dan melihat Julius disampingku, dia sedang senyum-senyum sendiri sambil memainkan kacing bajunya, Julius bodoh, karena hawa panas dia jadi gila.
Aku terkejut setelah melihat kertas itu, ada tulisan I Love You, dengan penuh kemarahan aku melihat kearah belakang, orang sialan mana yang berani merayuku! Seorang wanita berponi melambaikan tangan kearahku sambil mengigit pulpen, tidaaak! Jangan dia, dia adalah temanku Amel.
Amel adalah playgirl sejati, dulu dia menembak Husain namun ditolak secara telak, "Aku sedang malas bercinta," kata Husain padahal dia rajanya kalau soal wanita manis. Setelah gagal mengait Husain dia menembak Andre, lalu Riki, kemudian Adit, dan terakhir temanku Julius, dan sekarang... Aku... Yang benar saja?
Julian Mujadi kami memanggilnya Julius Peranciskus, dia tergila-gila dengan revolusi Perancis setelah membaca novel Les Miserables karya Victor Hugo, tapi Julius lebih condong ke libral kiri. Menurut Julius Indonesia harus seperti Perancis, namun aku menolak, Indonesia harus tetap menjadi non-blok.
Julius menyobek kertas yang dilempar Amel padaku, itu sudah jelas, Julius masih tergila-gila dengan Amel, Amel the Capricorn adalah bidadari imut bagi Julius the virgo, "Jengan biarkan cinta mengotori revolusi Perancis," bisik Julius kepadaku.
"Aku jatuh cinta pada Dewi, tapi dia sahabat kita Julius," kataku dalam hati sambil menatap mata Julius yang hitam, lalu dengan semangat Napoleon Bonaparte aku berkata dengan suara tegas dan dalam, "Percayalah padaku, peperangan ini akan kita menangkan, seluruh tanah Eropha untuk bangsa kita!"
Dosen tiba-tiba berdiri di depan kelas dan bertanya, "Selain Indonesia, negara mana yang kalian suka?"
Aku dan Husain saling lirik dan dengan lantang menjawab, "Amerika Serikat pak!"
Julius marah pada kami dan berteriak, "Bedebah penghiyanat! Perancis akan mengantung kalian mahasiswa gembel peliharaan asing!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro