Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.Suatu hari di Roma

Salju ...

Butiran-butiran putih yang dingin itu berjatuhan dari langit, saling berlomba menyentuh telapak tangan yang kuulurkan melalui jendala taksi. Sengaja tak kukenakan sarung tangan pemberian papa, agar bisa menyambut lembutnya salju pertama yang kusentuh di kota Roma ini.

Meski telah terbiasa dengan kota Malang yang dingin, tapi rupanya tubuhku masih tetap menggigil menghadapi cuaca se-ekstrem ini. Jika saja tak menggunakan jaket tebal aku yakin tubuhku akan segera beku. Mataku masih saja berkelana menikmati indahnya ibu kota Italia yang tengah berselimut putih, Hingga akhirnya sebuah bangunan berbentuk elips menarik perhatianku.

"Colloseum!"

Tak kusangka dapat menyaksikannya dengan nyata, salah satu maskot kebanggaan Italia selain menara pisa itu sekarang terlihat berdiri megah tepat di depan mataku.

"Spiace signore, mi puó mettere qui?" kataku pada supir taksi yang sedari tadi setia mengantarku sejak aku tiba di bandara Leonardo da Vinci.

Supir itu mengangguk pelan dan menghentikan taksinya. Setelah membayar ongkos, tanpa mengatakan apapun lagi aku turun dengan riang meski tak tau apakah akan menemukan taksi kembali di sini nantinya. Aku tak peduli, karena mungkin saja aku tidak akan menemukan kesempatan ini lagi lain kali karena jadwalku yang akan dipenuhi dengan aktivitas belajar.

"Ciao signorina, buongiorno," kata seorang pria tinggi dengan mantel bulu yang terlihat sangat tebal.

Dari balik tubuhnya yang besar aku dapat melihat tiga pria lainnya dengan perawakan serupa. Tubuhku bergidik spontan, bukan karena dingin yang kian menusuk tapi karena wajah keempatnya yang terlihat sangar. Bagaimana ini? Apa aku lari saja?

Sedetik kemudian aku melihat segores senyum di wajah keras itu. Tiba-tiba saja aku jadi teringat bunda yang selalu bilang, 'jangan menilai seseorang dari apa yang terlihat'. Mungkin bunda benar, Aku terlalu berpikir berlebihan tentang mereka.

"Buongiorno, Signor," jawabku membalas sapaan mereka.

"Kau seorang wisatawan ?" tanya pria dengan mata biru yang pertama menyapaku tadi.

"Bukan, rencananya aku akan tinggal di sini untuk beberapa tahun."

"Oh benarkah? Kau datang ke tempat yang tepat, Italia adalah rumah yang ramah," kata Pria dengan mata hijau ikut menambahkan, aksen italianya begitu kentara terdengar di telingaku, aku memang pernah mendengar kalau ada sebagian warga italia yang bermata kehijauan.

"Tapi sepertinya kau harus banyak belajar jika ingin tinggal di sini." si Pria bermata biru yang satunya tak ingin ketinggalan bicara denganku.

"Belajar?"

"Pertama-tama, kau tidak boleh menyiakan waktu untuk berfoto jika berada di depan Colloseum seperti ini," jelas pria lain yang bermata hitam. "Jadi, mau foto bersama kami Signorina?"

Aku dengan senang hati menyetujuinya dan menyerahkan kamera baruku pada salah satu pria Italia itu. Mereka menempatkan posisi di sebelahku, membiarkanku mengambil posisi di tengah-tengah bak seorang ratu yang dikelilingi para pengawal tampan. Aku baru tau kalau penduduk Roma seramah ini.

Namun, tiba-tiba aku merasakan pergerakan yang aneh di lengan sebelah kananku. Saat menengok ke samping, tasku telah berpindah tangan. Si pria dengan mata biru tersenyum sinis seraya melempar tas kecilku pada si mata biru yang satunya. Oke, kutarik kembali kata-kataku tentang penduduk Roma yang ramah.

"Hei! Apa yang kau lakukan?" kataku saat melihat dua pria itu berlari sambil tertawa.

Aku mengejar keduanya spontan sampai kemudian berhenti kala teringat pada koperku yang tertinggal di belakang. Namun, saat aku berbalik, aku menyaksikan pemandangan paling horor sepanjang sembilan belas tahun eksistensiku di dunia ini. Dua pria lainnya, biar kuperjelas, si mata hijau dan hitam itu ikut berlari ke arah berlawanan dengan membawa serta koperku.

"Pelajaran kedua nona, jangan mudah percaya pada orang asing yang baru kau temui!" katanya saat berlari.

Aku frustasi, berteriak-teriak, menyumpah serapah pada empat pemuda italia itu. Bunda selalu melarangku berkata kasar apalagi mengumpat, tapi ini Roma jadi bunda tak akan dengar. Bahkan tak akan ada yang dengar sekalipun aku mengumpat dengan bahasa Italia, Tempat ini sepi.

Tak mungkin bagiku yang hanya seorang gadis malang dari kota Malang ini mengejar mereka di Roma yang bahkan baru pertama kali ini kuinjak tanahnya dan kuhirup udaranya. Kakiku terseok-seok di antara salju jalanan yang kian menebal. Tak mau makin tersesat, aku memutuskan untuk kembali ke Colloseum. Bangunan itu masih berdiri kokoh seperti saat pertama kali kulihat. Hanya saja saat ini ia tampak lebih angkuh dengan seringaian tajamnya yang mungkin diarahkan kepadaku.

Aku tak mengerti kenapa semua kebodohan ini menimpaku. Hei ayolah, namaku Salju Kirana Manila, seorang calon mahasiswi yang mendapat beasiswa untuk kuliah di Sapienza Univercity, salah satu Universitas terbaik dunia. Tapi mengingat kecerobohan yang kulakukan di sepanjang perjalanan, aku ragu apakah beasiswa itu ditujukan pada orang yang tepat.

Lalu sekarang, di bawah butiran salju yang entah kapan akan berhenti turun, aku kedinginan dan tak mampu berjalan lagi. Sebuah bangku taman tampak melambai ke arahku. Mungkin hanya besi tua dengan cat lusuh itu yang kini menaruh simpati. Kubaringkan tubuhku yang mulai mati rasa diatasnya.

Tak ada lagi yang bisa kuperbuat selain berharap seseorang datang dengan membawa semangkuk sup hangat dan sebuah mantel lagi.
Namun, itu hanya sebuah harapan kosong. Lagi pula siapa yang akan datang ke Colloseum di pagi yang sedingin ini? Orang- orang tentu akan lebih memilih menghabiskan waktu untuk bercengkrama dengan keluarga mereka di depan perapian yang hangat sambil sesekali menyesap coklat panas atau kopi yang sedikit pahit, setidaknya tidak sepahit hidupku.

Napasku mulai berat dan dihari yang masih sepagi ini aku merasa mengantuk. Jika mengingat film yang pernah kutonton bersama papa, katanya kau tidak boleh tidur jika dalam keadaan kedinginan, karna nyawa taruhannya.

Tapi saat ini mataku benar-benar tak bisa diajak kompromi, terasa sangat berat seperti menahan beban berton-ton dikelopaknya. Mungkin itulah beban hidupku. Kutatap sekali lagi Colloseum angkuh itu. Dulu ia menjadi saksi bisu atas akhir hidup para Gladiator tak bersalah yang di pergunakan hanya untuk menyenangkan kaisar, dan sekarang sepertinya ia pun juga akan menjadi saksi bisu akhir hidupku.

Kuhirup udara sebanyak yang kubisa, di saat terakhir begini entah kenapa oksigen yang biasanya biasa-biasa saja berubah rasanya menjadi begitu luar biasa. Ini hukuman karna aku telah menyia-nyiakan banyak waktu.
Mataku mulai menutup tapi aku berusaha membukanya kembali sekuat tenagaku. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan, Jika mengingat tentang film yang kutonton dengan papa bulan lalu, biasanya orang-orang baik yang akan mati selalu memberikan wasiat pada para keluarganya.

Jadi kupikir aku harus melakukannya juga, biar kukatakan dalam hati. Kurasa mereka akan merasakannya semacam telepati. Untuk bunda, terima kasih sudah mengizinkanku kuliah di sini meski dengan berat hati. Untuk papa, aku sebenarnya masih ingin menonton film bersama papa sambil memakan pie apel buatan Krystal tapi sekarang mungkin kita tak bisa melakukannya lagi. Yang terakhir untuk adikku, Krystal yang manis kau boleh ambil semua koleksi sepatuku, kau juga boleh ambil semua jatah apelku di kebun Bibi Tania, lalu kau juga boleh mengambil semua barang-arang yang berada di kamarku, semua yang dulu aku melarangmu untuk menyentuhnya ... ambil saja.

Kupikir ini saatnya, Aku sudah tak kuat lagi. Kupejamkan mataku perlahan-lahan diantara belaian angin yang berhembus dan pandanganku mulai kabur. Anehnya, disaat seperti ini aku malah mencium aroma kulit kayu dan vanila, lalu apel yang begitu manis, bahkan diakhir hidupku aku masih sempat mengingat apel. Inikah aroma kematian? Aku menghembuskan nafasku sekali lagi dan setelah itu semuanya gelap.

*

"Bunda keluar saja, aku mau tidur!" kataku seraya mendorong Bunda yang tak memberikan perlawanan berarti menuju pintu.

"Tapi Salju, kau kan belum mendengar ceritanya sampai akhir."

"Aku tau apa yang terjadi diakhirnya."

"Benarkah?"

"Bunda pasti akan bilang kalau sang putri dan pangerannya hidup bahagia selamanya." Aku menatap bunda sinis sambil menggenggam tanganku yang terkepal erat.
"Omong kosong!"

"Salju?!" Bunda terkejut, aku memang tak pernah membentak sebelumnya.

"Bahagia selamanya itu tidak ada! Bunda jangan membohongi Salju," kataku diiringi tangisan dan air mata yang mulai merembes ke sudut mataku.

"Kau tidak mengerti ya?" Bunda masih saja tak marah, dengan sabar ia megelus lembut puncak kepalaku.

"Usiaku memang baru empat tahun tapi Aku mengerti, aku paham Bunda!"

"Lalu kenapa?"

"Jika happily ever after itu memang ada lalu kenapa Ayah dan Bunda berpisah?" tanyaku seraya menutup pintu dan membiarkan bunda yang terdiam mematung dibalik pintu itu.


***

Tbc

~kamus kecil~

Ciao : Hallo

Signorina : Nona

Signor : Tuan

Buongiorno : Selamat pagi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro